Rabu, 20 April 2016

Tingkatan Alam Menurut Para Sufi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

“Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadiannya), 
dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, 
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr: 29).

Jika para ulama fikih hanya membagi dua alam, yakni 
alam syahadah dan alam gaib, 
para sufi membagi alam ke dalam berbagai tingkatan.

Pembagian besarnya tetap sama, 
hanya dibagi pada alam syahadah mutlak dan alam gaib mutlak. 
Di antara dua alam mutlak itu ada alam antara (barzakh).

Alam barzakh sesungguhnya sudah masuk wilayah alam gaib. 
Hanya saja alam ini dibagi dua. 
Pertama, alam gaib mudhaf, yakni 
alam gaib yang relatif masih lebih dekat ke alam syahadah. 
Ibnu Arabi menyebutnya alam mitsal, sedangkan 
Al-Ghazali menyebutnya alam hayal, 
yang keduanya diartikan the imaginal world oleh William C Chittik.

Kedua, alam gaib lainnya, ialah 
yang lebih dekat dengan alam gaib mutlak, yaitu 
alam malakut, alam jabarut, sampai ke alam wahidiyat dan alam ahadiyat 
yang sebenarnya sudah tidak bisa lagi disebut alam. 
Sebab, 
tidak masuk lagi dalam kategori ma siwa Allah, 
sebagaimana telah dibahas dalam artikel yang lalu.

Para sufi seolah tidak mengenal alam gaib dalam arti 
alam yang di luar kemampuan kognitif manusia untuk memahaminya 
atau alam yang tak teridentifikasi (unidentifying world). 
Alam gaib oleh para sufi bukan sesuatu yang amat asing. 
Alam gaib bagi mereka ialah alam yang berada di balik hijab.

Manakala hijab sudah terbuka (mukasyafah), hilanglah kegaiban itu. 
Kalaupun masih ada, 
yang terwujud hanyalah entitas tetap (al-a’yan al-tsabitah). 
Ini pun sudah diidentifikasi dalam dua kategori, yaitu 
entitas wahidiyat yang masih bisa dikenali 
melalui nama-nama (Al-Asma)-Nya dan 
ahadiyat yang sudah tidak teridentifikasi 
atau disebut alam gaib mutlak (asrar al-asrar/the sacred of the sacred).

Berbeda dengan para fukaha 
yang seolah memberi wilayah alam gaib amat luas, yaitu 
selain yang masuk dari kategori alam syahadah, 
alam dunia yang kita huni ini.

 Para sufi tidak mendikotomikan antara alam syahadah dan alam gaib. 
Ibnu Arabi termasuk di antara sufi yang berpendapat seperti itu.

Bagi Ibnu Arabi, 
alam syahadah tidak murni alam fisik 
karena ia hanya elemen dasar dari rangkaian tingkatan alam 
yang terdiri atas tanah, air, udara, dan api. 
Alam syahadah mutlak disebut juga alam dunia (dari akar kata dana, berarti rendah). Alam dunia ini juga terdiri atas 
alam mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan sebagian unsur manusia.

Alam mineral pun masih dapat diidentifikasi dengan batu-batuan dan logam. 
Lalu logam masih dibedakan dengan logam biasa, 
seperti tembaga, besi, tembaga, perak, dan logam mulia berupa emas. 
Emas juga dapat dibedakan berdasarkan karatnya, 
dari karat rendah sampai 24 karat.

Di atas alam mineral ada alam tumbuh-tumbuhan 
yang memiliki daya untuk tumbuh sendiri (growth), 
makan (nutrilive faculty), dan kemampuan reproduksi.

Di atasnya masih ada alam hewan yang lebih kompleks 
karena sudah memliki selain apa yang dimiliki oleh alam mineral 
dan alam tumbuhan-tumbuhan.

Dunia hewan memiliki berbagai kemampuan, 
antara lain kemampuan penginderaan (sensation) dan gerak (harkah, locomotion), termasuk imajinasi sederhana, kekuatan khayal, 
dan memori-memori sederhana lainnya. 
Alam hewan juga sudah mengenal imajinasi (mutakhayyilah) dan 
indera-indera batin lainnya yang sesuai dengan tingkatannya.

Alam hewan sudah memiliki kemampuan pergerakan dan mobilitas 
secara vertikal dan horizontal yang tidak dimiliki alam mineral 
dan alam tumbuh-tumbuhan.
 Di atas alam mineral dan alam tumbuh-tumbuhan ialah alam manusia.
 Manusia secara biologis 
menghimpun semua potensi yang dimiliki tiga alam di bawahnya.

Manusia sering disebut sebagai binatang yang diberi kemampuan lebih 
(al-hayawan al-nathiq).
 Keunggulan manusia tak hanya terletak pada kesempurnaan jasmani 
dan jenis-jenis indera yang dimilikinya, 
tapi manusia juga diberi keistimewaan khusus 
yang tidak dimiliki makhluk lain, yaitu roh.

Roh oleh para filsuf 
kadang disebut akal (intellect) kadang disebut jiwa rasional. 
Keberadaan roh di dalam diri manusia, 
baik dalam proses maupun dalam substansi, 
dibahas secara luas oleh para sufi dan filsuf. 
Dalam kitab-kitab tafsir sufi (Tafsir Isyari),
 roh digambarkan sebagai unsur suci (malakut/lahut) 
yang ada pada diri manusia.

Itu yang membuat para malaikat dan makhluk lainnya 
tunduk (taskhir) dan bersujud, 
serta mengabdi kepada manusia, kecuali iblis 
yang kemudian membuatnya terkutuk. 
Keutamaan yang dimiliki manusia inilah 
menjadikannya sebagai khalifah Tuhan di bumi (khalaif al-ardl).

Ketika manusia masih dalam struktur sederhana,
 yang baru tersusun dari unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewani, 
belum ada perintah sujud dari Allah SWT kepadanya.

Nanti setelah unsur suci itu di-install ke dalam diri Adam, 
barulah perintah sujud itu muncul (fasjudu li adam fa sajadu illa iblis).

Unsur ekstra, atau istilah khalqan akhar dalam firman Allah pada QS Al-Mu’minun, membuat manusia sebagai makhluk istimewa. 
Ini pula yang membuat manusia menurut SH Nasr, 
sebagai satu-satunya makhluk eksistensialis yang derajatnya bisa fluktuatif, 
turun-naik, di mata Allah.

Manusia bisa tampil sebagai makhluk paling utama (ahsan taqwim) 
yang bisa menembus alam puncak (sidrah al-muntaha), 
di mana Jibril dan para malaikat utama lainnya 
tidak sanggup sampai ke sana.

Namun, 
kemampuan dan keutamaan yang dimiliki manusia seperti itu 
bisa juga membuatnya tersungkur jatuh ke lembah paling bawah (asfala safilin), 
terutama jika manusia menyia-nyiakan potensi tersebut, 
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran:

“Sungguh 
akan kami isi neraka jahanam 
banyak dari kalangan jin dan manusia. 
Mereka memiliki hati, 
tetapi tidak dipergunakannya 
untuk memahami (ayat-ayat Allah); 
mereka memiliki mata 
(tetapi) tidak dipergunakannya 
untuk melihat 
(tanda-tanda kekuasaan Allah); 
dan mereka mempunyai telinga 
(tetapi) tidak dipergunakannya 
untuk mendengarkan (ayat-ayat) Allah. 
Mereka seperti hewan, 
bahkan lebih sesat lagi. 
Mereka itulah orang-orang yang lengah.” 

(QS. Al-A’raf: 179).

Transformasi dan transmutasi manusia menuju ke alam berikutnya 
sangat ditentukan oleh setiap individu. 
Jika mampu menggunakan potensi indera batinnya 
untuk menembus wilayah barzakh, 
manusia bisa melakukan transformasi itu.

Ada orang yang menunggu kematian untuk memasuki alam barzakh. 
Namun, 
ada juga orang yang mampu bolak-balik memasuki wilayah barzakh 
dan berkomunikasi dengan para penghuni barzakh lain 
atau alam-alam gaib di level lebih tinggi.

Kalau di alam syahadah, 
mutlak seperti alam-alam dunia 
mengalami proses evolusi untuk mencapai derajat utama.

Misalnya, 
mineral yang berupa tanah, batu, logam, perak, sampai kepada logam mulia 
seperti emas yang nilainya pasti lebih tinggi dibanding mineral lainnya 
dalam alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan manusia demikian pula adanya.

Untuk menjadi logam mulia, 
sudah tentu harus melalui proses panjang. 
Demikian pula untuk menjadi batu permata 
juga harus melalui perjuangan panjang. 

Inilah analogi transmutasi evolusioner benda-benda alam syahadah 
yang pernah diungkap oleh seorang sufi sekaligus ahli kimia 
bernama Jabir bin Hayyan.

Penyair besar dan sufi Muslim, Jalaluddin Rumi, 
juga menjelaskan bahwa 
hubungan Al-Haq (Allah SWT) dengan alam-alam tersebut adalah hubungan cinta. 
Menurut Rumi, 
sebagaimana dikutip Prof Mulyadi, 
pergerakan, perputaran, dan thawafnya alam raya ini adalah 
reaksi dari pesona gelombang cinta Tuhan.

Mereka berputar laksana Sang Pencipta mabuk kepayang 
untuk berjumpa dengan kekasihnya. 
Mungkin ini yang menginspirasi Rumi 
menciptakan tarian sufi yang dikenal dengan Whirling Dervish.

Dalam level alam manusia juga mempunyai logika yang sama 
jika ia ingin mencapai martabat utama (maqaman mahmuda), 
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, 

“Dan pada sebagian malam,
 lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu. 
Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” 
(QS. Al-Isra: 79).

Manusia juga harus menempuh diri 
dengan berbagai riyadhah dan mujahadah 
hingga mencapai posisi jiwa yang bersih (illuminated),
 selanjutnyaa mampu menembus batas-batas hijab. 
Jika hijab sudah tersingkap, mukasyafah terjadi.

Jika itu terjadi, 
wilayah alam gaib menjadi berkurang 
karena alam barzakh sudah dapat diakses. 
Rupanya, 
inilah rahasia hadis Nabi, 
“Mutu qabla antamutu (matilah sebelum kalian mati yang sebenarnya).”
(http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/05/25/m4l3or-tingkatan-alam-menurut-para-sufi-4habis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar