Rabu, 20 April 2016

Menapaki Jejak Maulana Rumi di Konya

Delapan belas ribu tahun yang lalu, 
Konya hanyalah sebuah cekungan raksasa di dataran tinggi yang tergenang air. 
Baru pada 10 ribu tahun yang lalu, 
cekungan ini kering dan menjadi daratan yang subur berbatas hutan-hutan 
di pinggirannya. 
Dan 700 tahun lalu, lahirlah di sini sebuah kelompok tasawuf terkemuka.

Terletak di pusat Anatolia, wilayah Turki bagian Asia, 
Konya telah dikenal sebagai kota internasional sejak abad ke-2 Masehi. 
Orang-orang Roma, pendiri kota ini, menyebutnya Iconium. 
Berabad-abad orang-orang lalu-lalang di kota ini. 
Tapi keharuman Konya baru semerbak pada abad ke-13, 
di tengah masa kejayaan Suku Seljuk, Turki.

Adalah Jalaluddin Rumi yang membuat kota ini jadi amat terkenal, 
bahkan kini dikunjungi satu juta peziarah muslim setiap tahun. 
Di sinilah tokoh terkemuka dalam tasawuf dan kesusastraan itu 
menghabiskan sebagian besar usianya hingga wafat.

Tak pelak, 
tempat paling penting untuk dikunjungi di Konya adalah Mausoleum Rumi, 
yang kini menjadi museum. 
Tempat inilah yang kini menjadi merek dagang kota, 
dan tempat pertunjukan tarian Samaa atau Whirling Dervishes
 --karena para Darwis penarinya bergerak melingkar-lingkar-- yang terkenal itu, pada setiap 17 Desember.


Terletak di pusat kota, dari kejauhan keanggunan mausoleum itu sudah tampak. 
Sebuah kerucut hijau besar menghiasi atap gedung tua itu, 
seakan bersaing dengan kubah dan menara masjid yang tegak di sebelahnya. 
Kerucut itulah ciri khas bangunan Rumi. 
Dan di bawah kerucut itulah 
tepat terletak makam sufi dan sastrawan besar Persia itu. 
Berdampingan dengan makam Rumi, terdapat makam Sultan Walad, 
anak sulung Rumi yang mengembangkan orde sufi Whirling Dervishes.

Museum itu kecil saja. 
Mungkin untuk saat ini kehadirannya 
agak tersaingi oleh masjid di sebelahnya yang dibangun arsitek terkemuka 
Turki Ottoman (Usmaniyah, red), yaitu Sinan,
 pada masa pemerintahan Sultan Salim II, abad ke-16.

Bangunan itu sendiri baru menjadi museum pada 1926 
dan kemudian kembali menjadi pusat kegiatan Whirling Dervishes. 
Sebelumnya, 
tempat ini sempat mengalami masa muram ketika Musthafa Kemal, 
bapak westernisasi Turki, melarang kegiatan kelompok sufi itu.

Sebelum memasuki ruang makam, setelah memasuki pintu utama, 
pengunjung akan langsung bertemu sebuah taman berhias kolam. 
Itulah simbol dari Malam Penyatuan --Rumi menyebut kematiannya 
sebagai saat penyatuan diri dengan Tuhan. 
Di taman itu pula, 
tarian Samaa dipertunjukkan setiap 17 Desember 
untuk memperingati hari kematian Rumi.

Puluhan, bahkan ratusan orang berkerumun di taman itu, 
bahkan saat tarian spiritual itu tidak dipergelarkan. 
Anak-anak Turki tampak berkumpul di sudut-sudut taman, 
mendengarkan dengan seksama penjelasan guru-guru mereka. 
Sejumlah orang asing, dari negara Islam ataupun bukan,
 pun asyik mendengarkan riwayat Rumi dari para pemandu wisata mereka.

Sesaat akan memasuki ruang utama makam, 
pengunjung berada pada sebuah ruangan yang biasa dipakai para sufi 
untuk membaca Al Quran. 
Sejumlah karya kaligrafi terkemuka ditampilkan di ruangan ini. 
Di sini pula dipamerkan manuskrip-manuskrip Rumi 
dan berbagai artefak yang berkaitan dengan kegiatan tasawufnya.

Pada ruangan makam, di bagian kanan, 
terdapat 55 makam dari keluarga dan pengikut Rumi. 
Tepat di bawah sebuah atap kerucut hijau, terdapat dua makam dari marmer biru.
 Itulah makam Rumi dan anaknya, Sultan Walad. 
Kedua makam dibuat pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman. 
Orang-orang tampak menengadahkan tangan, berdoa bagi sang 'Maulana'.

Makam bermarmer biru itu tidak telanjang, 
tapi ditutupi kain yang berhiaskan ayat-ayat suci Al Quran 
dalam bordiran benang emas. 
Kain itu merupakan hadiah dari Sultan Abdulhamid II pada 1894. 
Masih terhubung dengan ruangan makam, terdapat pula Samaahane. 
Secara resmi, 
sebagai bagian dari kegiatan tasawuf, 
di sinilah tarian Samaa ditampilkan. Pada ruangan yang sama, 
disediakan pula tempat untuk para pemusik. 
Saat ini,
 sejumlah alat musik yang biasa dipakai pada tarian Samaa, 
dipamerkan di ruangan itu, antara lain berupa rebab dan tambur.

Juga beberapa pakaian Rumi disimpan di ruangan yang sama. 
Bangunan makam Rumi kini juga dilengkapi masjid kecil 
yang dibangun Sultan Sulaiman. 
Sejumlah karya kaligrafi bernilai tinggi juga tersimpan di masjid kecil ini.

Di masjid yang sama terdapat pula karpet sutra -- karya khas Turki yang terkenal. 
Salah satu karpet itu dibuat dengan kepadatan 144 titik benang setiap senti. 
Meski tak jelas nilai pastinya, 
konon karpet itu adalah salah satu karpet termahal di dunia. 

Orang-orang memanggil pujangga besar itu dengan nama Maulana (Tuanku). 
Beliau lahir pada 1207 di Balkh, Afghanistan --dan karena asal-usulnya itu, 
orang-orang Afghanistan lebih suka menyebut Jalaluddin Rumi dengan nama 
Balkhi.

Ayah Rumi, Bahauddin Walad, adalah seorang sufi terkemuka di Balkh. 
Namun untuk menghindari invasi bangsa Mongol, 
pada 1220 Bahauddin memutuskan untuk membawa hijrah keluarganya. 
Mereka hijrah melalui Iran dan Syria, 
di mana Rumi sempat mempelajari sejarah dan literatur Arab.

Mereka kemudian menuju Anatolia, kawasan yang tak tersentuh bangsa Mongol, 
dan menetap di Laranda (sekarang bernama Karaman) pada 1221. 
Selama tujuh tahun, keluarga Bahauddin tinggal di sana 
dan membina hubungan erat dengan Sultan Seljuk, Alauddin Kaykobad.

Di kota yang sama, Rumi menikah pada 1225, dan anak pertamanya
 yang kemudian hari menjadi penyair terkenal juga, Sultan Walad, 
lahir setahun kemudian. 
Tahun ketujuh di Anatolia, 
Sultan Seljuk mengajak keluarga Bahauddin tinggal di Konya. 
kemudian mengajaknya tinggal di Konya.
 Bahauddin menerima undangan sultan itu, 
dia menjadi guru di Konya pada 1228 hingga meninggal pada 1231.

Rumi kemudian mengambil alih sekolah ayahnya 
dan dengan segera membuatnya jadi sekolah dengan reputasi tinggi di Konya. 
Rumi mulai memperkenalkan seluruh aspek filsafat 
dalam pendidikannya dan mengajarkan karya-karya pengarang klasik dunia.

Pendalaman tasawuf ia mulai ketika kawan seperguruan ayahnya, 
Burhanuddin Muhaqqiq, tiba di Konya pada penghujung 1230-an 
dan memperkenalkannya pada sufisme dan ide-ide ayahnya. 
Rumi pun mempelajari karya-karya sastrawan Persia Hakim Sanai dari Ghazna.

Penghindaran atas serdadu Mongol akhirnya sia-sia. 
Pada 1235, Anatolia diduduki bala tentara dari timur itu. 
Suasana menjadi kacau balau dan penuh ketidakpastian. 
Namun pada masa itulah, 
sekitar 1244, Rumi bertemu Syamsuddin Tabriz yang mengubah jalan hidupnya.

Diskusi-diskusi tasawuf segera terjalin antar keduanya. 
Konon, kedua sufi bisa menghabiskan waktu berhari-hari berdua 
tanpa makan, minum, atau kebutuhan jasmani lainnya. 
Diskusi-diskusi itu membawa Rumi ke dalam dunia cinta mistis.
 Namun hubungan dengan Syams akhirnya juga menimbulkan kecemburuan 
pada para pengikutnya, 
karena dia mulai meninggalkan perguruannya dan jarang muncul di muka umum.

Syams akhirnya meninggalkan Konya. 
Dan dalam keterpisahan itu, 
Rumi berubah haluan menciptakan puisi yang melantunkan rasa cinta,
 dengan diwarnai tarian berputar dan alunan musik. 
Rumi sendiri mengaku tak memahami perubahan pada dirinya.
 Ia mengatakan, 
jiwa yang dicintainyalah yang membuatkannya lagu,
 bukan dia sendiri.

Ketika mendengar Syams berada di Damaskus,
 Rumi segera menyuruh anak sulungnya, Sultan Walad, 
untuk mengajaknya kembali ke Konya. 
Rumi kemudian menjodohkan Syams dengan salah seorang anak angkatnya 
dan mereka tinggal bersamanya.

Kembali percakapan spiritual yang intens mereka jalani. 
Dan kembali kecemburuan menyeruak di kalangan pengikut Rumi. 
Lalu Syams menghilang secara misterius pada 1248, 
seperti saat kedatangannya pertama kali. 
Ada dugaan, Syams dibunuh para pecemburunya. 
Tapi Rumi tak pernah mempercayai itu, dan terus mencarinya.

Perasaan damai baru muncul setelah Rumi bertemu Salahuddin, 
seorang perajin emas yang buta huruf. 
Salahuddin menjadi cerminan diri Rumi: 
dalam kesederhanaan yang tulus, 
dia memahami Rumi tanpa perlu bertanya. 
Salahuddin menjadi inspirator kedua karya-karya Rumi setelah Syams. 
Dan untuk menguatkan ikatan persahabatan mereka, 
Rumi menikahkan Sultan Walad kepada anak perempuan Salahuddin. 
Surat-surat Rumi kepada menantunya 
kemudian menunjukkan nilai kemanusiaan yang indah dari Rumi.

Sumber inspirasi ketiga dari karya Rumi adalah Husamuddin Jalabi. 
Persahabatan Rumi dengannya antara lain menghasilkan karya terbesarnya, 
Masnawi-i Ma'nawi, berupa kumpulan 25.600 puisi dalam enam jilid buku. 
Kumpulan tersebut berisi pengalaman-pengalaman ekstatisnya 
dalam bentuk inkonvensional yang hingga kini 
masih sulit dipahami para analis barat.

Rumi wafat pada 17 Desember 1273. 
Kematian sang mahaguru itu ditangisi tidak hanya oleh warga muslim Konya, 
tapi juga banyak orang Kristen dan Yahudi.
 Rumi sendiri, sebelum wafat, berkata, 
''Kematian adalah penyatuan diri dengan Tuhan.''

Putranya, Sultan Walad, 
melanjutkan pekerjaan Husamuddin mengumpulkan karya-karya Rumi. 
Walad juga menghimpun para pengikut Rumi 
ke dalam sebuah tarekat Mevlevi. 
Dia juga menggenapkan tarian mistis Rumi 
ke dalam bentuk yang bisa dinikmati kini, dengan nama Samaa, 
yang dikenal di Barat sebagai Whirling Dervishes.

Karya-karya Rumi bisa dipisahkan pada dua bagian: 
puisi liris yang lahir dalam masa persahabatannya dengan Syams 
dan terkumpul pada lebih dari 36 ribu puisi 
yang disebut Diwani- Syams-i Tabriz, 
dan suatu didaktik Masnawi-i Ma'nawi dengan jumlah sekitar 25.600 puisi,
 ditulis dalam bentuk bersahaja, 
namun hingga kini masih sulit dipahami para peminatnya.

Whirling Dervishes Tarian terkenal itu, 
dalam fungsi ritualnya dan bukan pariwisata, 
biasanya dipergelarkan di ruangan yang disebut Samaahane.
 Inilah tarian yang melambangkan penyatuan mistis dengan Tuhan
 dan pencapaian kesempurnaan tertinggi.

Para sufi yang terlibat dalam tarian ini biasanya mengenakan jubah putih 
-- sebuah perlambang warna pakaian kematian (kain kafan) dalam Islam. 
Pada awal tarian, pakaian putih ini diselubungi jubah hitam, 
yang melambangkan pusara. 
Mereka pun mengenakan tutup kepala yang tinggi dan bundar, 
berwarna coklat atau putih, memperlambangkan batu nisan mereka.

Tarian berawal dengan gerak para sufi mencium tangan pimpinan mereka. 
Kemudian mereka menanggalkan jubah hitam 
sebagai perlambang pemisahan mereka dari pusara 
dan kesiapan untuk menari bagi Tuhan. 
Mereka mulai berputar secara perlahan. 
Tangan kanan dengan telapak menghadap ke atas di muka 
sedangkan di belakang tangan kiri dengan menghadap ke bawah. 
Itulah simbol bahwa 
apa yang mereka dapatkan dari kemurahan dan kasih sayang Tuhan 
mereka sebarkan ke seluruh semesta.

Lalu mereka berputar kian cepat, dan terus kian cepat. 
Dan lewat tarian itulah, 
para sufi mencapai suatu trance yang terkendali untuk mencapai 
dan menyentuh puncak kesempurnaan: 
penyatuan diri dengan Tuhan. 

Sejak Rumi memperkenalkannya dan Sultan Walad mengembangkannya, 
kegiatan kelompok tarekat Rumi segera menyebar ke seluruh Turki. 
Pengaruhnya menyentuh bermacam bidang kebudayaan, 
terutama musik dan puisi.

Bapak sekularisme Turki, Musthafa Kemal, 
kemudian melarang kegiatan itu pada 1925. Namun sejak 1954, 
ulang tahun kematian Rumi kembali diperingati di Konya dan tarian Samaa melanglangbuana sebagai atraksi wisata. 
Rumi, bagi para pengamat Barat, 
bukanlah orang yang cukup peduli kepada alasan perbuatan. 
Dia, menurut mereka, adalah sosok sebaliknya 
yang lebih mendasarkan diri pada rasa cinta dan kasih sayang.

Keinginan Rumi hanyalah menyatu dengan Tuhan. 
Dan menurutnya, 
Tuhan bukan menjelma dalam alam semesta 
melainkan dalam hati manusia. 
Karena itu, 
menurut Rumi, 
manusia lebih cenderung 
menggunakan hatinya dalam berbuat 
daripada berdasarkan pikiran. 

[REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Arys Hilman Nugraha (wartawan Republika)]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar