Sepanjang perjalanan hidup dan kehidupan,
seorang hamba senantiasa dituntut untuk berusaha
menjaga, memperbaiki dan meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan
dalam menghambakan diri kepada Allah swt.
Di mana mereka harus sadar akan posisi dirinya sebagai hamba Allah (‘abid)
yang harus taat dan tunduk terhadap segala titah-Nya,
sebagai yang disembah (al-ma’bud) dalam kondisi apa pun adanya.
Dalam menuju kesana banyak cara yang ditempuh
sesuai dengan cara dan pendekatan bermacam-macam dan berbeda-beda,
antara lain,
dengan mengasingkan diri dari keramaian,
menjauhkan diri dari kehidupan materi,
memilih hidup sederhana.
Aktifitas-aktifitas semacam itu kemudian disebut dengan
kehidupan asketis (zuhud).
Semua perjalanan yang dilalui itu adalah
semata-mata dalam rangka menemukan tujuan hidup hakiki
yang merupakan kebahagiaan yang kekal dan abadi.
Dalam perkembangan selanjutnya,
perjalanan spiritual yang demikian itu
kemudian dikenal dengan perjalanan dan pengalaman sufistik.
Sedangkan
tujuan dari perjalanan sufistik tersebut adalah
semata-mata
untuk memperoleh hubungan langsung
dan didasari dengan Tuhan,
sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di Hadirat Allah swt.
Intisari dari ajaran sufisme ini adalah
kesadaran adanya komunikasi dan dialog
antara ruh manusia dengan Allah
dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Adapun kesadaran berada dengan Allah itu
dapat mengambil bentuk
ittihad (penyatuan diri dengan Tuhan),
hulul (manifestasi Tuhan dalam diri manusia),
ma’rifat (Melihat-Nya) ataupun
mahabbah (Mencintai-Nya).
Dengan berbagai metode dan pendekatan
yang ditempuh seorang sufi seperti itu,
maka dalam kaitan ini,
Imam Jakfar Ash-Shadiq pernah mengatakan, bahwa
dalam beribadah kepada Allah akan ditemui tiga macam bentuk:
Pertama,
kaum yang menyembah Allah karena takut.
Yang demikian itu adalah ibadahnya hamba sahaya;
Kedua,
kaum yang menyembah Allah kerena untuk mengharapkan imbalan.
Yang demikian adalah ibadahnya para pedagang; dan
Ketiga,
kaum yang menyembah Allah karena rasa cinta (mahabbah).
Yang demikian adalah ibadahnya orang merdeka.
Inilah ibadah yang paling utama.
Dengan demikian,
jelaslah bahwa menyembah Allah karena cinta adalah
ibadah tingkat tinggi dalam rangka mencari ridha Allah swt.
Pada dasarnya tuntunan dan ajaran tasawuf adalah
menekankan pada asfek esoteris (batin) dan bukan pada eksoteris (lahir),
maka dalam praksisnya seseorang salik (pelaku tasawuf)
senantiasa ingin mensucikan dirinya dari hal-hal yang kotor
yang masih melekat pada hati dan jiwanya.
Dia berusaha mengisinya
dengan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah,
sehingga tidaklah berlebihan apabila seorang salik
hatinya tidak bisa dilepaskan dari keinginan
untuk mendekat kepada kekasihnya,
yaitu Allah swt.
Banyak jalan yang ditempuh olehnya,
antara lain dengan banyak berdzikir kepada Allah,
maupun memperbanyak amalan-amalan shalih lainnya.
Oleh karena itu,
terdapat ungkapan yang berbunyi,
“Apabila Islam dipisahkan dari aspek esoterisme-nya,
maka ia hanya menjadi kerangka formalitas saja,
sehingga orang-orang yang rasionalistik
hanya menerima Islam sebagai keformalan semata.
Apabila kerangka tersebut tidak dibalut dengan daging
dan kemudian dihidupkan,
sesungguhnya keindahan Islam
tidak akan pernah ditemukan.
Tentang hakikat beragama,
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa
kitab ibarat tongkat yang diperlukan
untuk berlatih agar bisa berjalan,
ketika sudah pandai berjalan
maka tongkat itu tidak diperlukan lagi
dan justru akan memperlambat perjalanan.
Betapa banyak orang
yang terus memeluk dengan erat kitab/buku,
terus asyik dengan dalil sampai akhir hayatnya,
merasa sudah pandai barjalan
padahal tidak pernah menempuh perjalanan.
Tujuan hidup yang hakiki adalah menemukan Allah,
memandang keindahan wajah-Nya yang kekal abadi,
barulah kemudian menghambakan diri dan mencintainya
dengan sebenar-benar cinta,
dari sanalah sumber hikmah dan karunia
mengalir dengan deras,
laksana guyuran air hujan dari langit.
Menurut al-Ghazali,
cinta kepada Allah merupakan benih kebahagiaan, dan
kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi,
sebagai buah pengenalan terhadap Allah swt (ma’rifatullah).
Menurut Jalaluddin Rumi,
kebahagiaan tertinggi dalam perjalanan hidup adalah
terletak pada pengetahuan sejati tentang Allah swt (Ma’rifatullah).
Yang dapat diperoleh langsung melalui pengalaman bathin, yaitu
hati (intuisi) yang bersih dan jernih akan materi-materi
lewat bimbingan seorang Guru Mursyid yang Kamil dan
sangat pengerti keadaan spiritual muridnya.
Bukan dengan pendekatan
intelektual-teologi, filsafat, atau indera lahiriah semata.
Rumi juga memandang bahwa ma’rifat adalah buah dari fana’.
Dengan kata lain,
ke-fana’-an adalah ma’rifat itu sendiri.
Disinilah Rumi menemukan kebahagiaan tertinggi, yaitu
ketika ia sampai pada tahap ke-fana’-an atau penyaksiaan kesatuan.
“Sesaat engkau fana pada-Ku,
lebih baik itu dari pada engkau beramal seribu bulan”,
fana’ itulah hakikat dari Lailatul Qadar,
apabila orang menemukan malam itu
lebih baik dari beribadah selama 1000 bulan.
Adapun bagi Rabi’ah al-Adawiyah,
kebahagiaan tertinggi adalah terletak pada kasyf
(terbuka hijab untuk bisa melihat Allah),
yang terungkap dalam syairnya tentang cintanya,
yaitu:
“Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu
Mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat”
Dengan demikian,
tujuan cinta Rabi’ah adalah pencarian Kasyf (dapat melihat Allah) itu sendiri,
sehingga tak tampak sedikitpun selain-Nya.
Seperti Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 113:
“….dimanapun engkau memandang disitulah Wajah Allah”
Al-Qur’an telah menggambarkan kepada kita
betapa Maha dasyatnya memandang wajah Allah swt,
surga dan seluruh isinya tidak akan bisa mengalahkan kebahagiaan
memandang wajah-Nya,
bahkan digambarkan kebahagiaan tertinggi penduduk surga adalah
memandang wajah-Nya.
Masihkah kita berusaha berebut kapling di surga
kalau sudah tahu bahwa kebahagiaan itu bukan disana?
Kebahagiaan itu adalah
disaat kita bersama-Nya,
menikmati perjamuan-Nya,
memandang wajah-Nya,
dari sanalah timbul rasa cinta yang menggelora,
cinta yang menggetarkan seluruh jiwa dan raga,
cinta yang tidak mampu ditulis
walau seluruh air laut jadi tinta dan ranting kayu jadi pena.
Cinta yang membuat Saidina Ali
tidak merasakan pedih kakinya saat panah dicabut,
cinta yang membuat Rabi’ah
tidak merasakan pedih matanya tertusuk duri.
Inilah jalan kesufian,
jalan yang ditempuh oleh orang-orang
yang benar-benar bisa merasakan kehadiran-Nya,
merasakan getaran cinta-Nya setiap saat,
inilah tujuan hidup hakiki….
Yaitu Berjumpa dengan SANG KEKASIH.
(http://sufimuda.net/2008/06/29/tujuan-hidup-hakiki/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar