Tasawuf, Mutiara Yang Mulai Diingat Lagi (2)
Oleh Abdul Hadi W. M.
Telah sering dikemukakan bahwa
sufi merupakan golongan penuntut ilmu hakekat.
Mereka adalah para penjelajah spiritual
yang tidak puas hanya mengenal
yang fenomenal dalam hidup ini.
Mereka mengembara dengan ilmunya
untuk menemukan hakekat diri
di mana kebenaran bersemayam.
Bagi mereka pengalaman mistikal yang bersifat spiritual itu
memang bersifat pribadi.
Tetapi tak berarti pengalaman seperti itu
tidak bisa dialami pula oleh orang lain
yang menempuh jalan kerohanian (suluk) yang sama.
Oleh karena itu kendati sifatnya pribadi,
pengalaman kesufian dapat dibagi dan disampaikan
kepada orang lain dengan cara tertentu.
Sebelum menempuh perjalanan rohani yang panjang
mereka juga mempersiapkan diri
dengan bekal yang tidak sedikit,
berupa
pengetahuan,
kearifan-kearifan,
wawasan dan falsafah hidup, serta
keyakinan bahwa
perjalanannya memiliki tujuan yang jelas.
Mereka yakin pula bahwa
tujuan utama ilmu hakekat ialah
realisasi diri dalam Tuhan.
Ini tak berarti bahwa
mereka ingin memupuk individualisme dan egosentrisme,
karena pengertian ‘diri’ (self, khudi) dalam tasawuf
secara konseptual merujuk kepada firman Tuhan
yang menyebutkan bahwa
manusia diturunkan ke dunia
sebagai khalifah Tuhan dan hamba-Nya.
Untuk menjadi khalifah yang baik,
seseorang harus mengetahui perintah dan kehendak-Nya
melalui kitab suci.
Untuk bisa menjadi hamba-Nya
seseorang harus pula berusaha menaati perintah-Nya.
Pengertian khalifah Tuhan dan hamba-Nya itu
diringkas oleh sufi dalam kata-kata faqr,
diri yang tidak merasa memiliki apa pun di dunia
selain petunjuk-Nya
dan juga diri yang hanya memerlukan Tuhan
bukan selain Tuhan.
Inilah realisasi diri yang dimaksud dalam tasawuf.
Seorang faqr telah fana’ (hapus) dalam arti bahwa
dia telah mampu mengendalikan jiwa badani (hawa nafsu) nya.
Dengan tunduknya jiwa badani kepada jiwa rohani (diri hakiki)
dalam anthusiasme ketuhanan,
berarti seseorang mencapai gerbang kebakaan (baqa’) yaitu
merasakan dirinya hidup kekal dalam kasih sayang Ilahi.
Secara spiritual,
arti perkataan fana ialah luluhnya jiwa badani
di bawah kendali jiwa rohani,
yang dengan itu pintu menuju alam malakut dan ketuhanan
terbuka lebar.
Tanda seorang faqr ialah
keterbebasan hati mereka
dari belenggu materialisme dan hedonisme material,
dan kesediaannya mengurbankan nyawa dan harta
demi tercapainya cita-cita kehidupan yang lebih tinggi.
Dengan perkataan lain kepentingan diri atau egonya
telah terkalahkan oleh kepentingan yang lebih besar dan mulia,
seperti kepentingan kemanusiaan, sosial, agama dan kebudayaan.
Salah satu yang banyak dicatat oleh para sejarawan
yang menyaksikan dan meneliti kiprah mereka
dalam kehidupan keagamaan ialah
cara-cara mereka yang berbeda
dari ahli fiqih dan pendakwah umumnya ialah
dalam hal metode penyebaran agama.
Dalam menyebarkan agama,
mereka lebih mengutamakan pendekatan kultural.
Mula-mula mereka pelajari
bahasa, adat istiadat, seni dan sastra dari masyarakat setempat.
Kemudian mereka olah kembali budaya-budaya lokal itu
setelah diresapi nilai-nilai dan pandangan hidup Islam.
Kemudian mereka transformasikan
menjadi bentuk-bentuk dan ungkapan baru
yang memperlihatkan kesinambungan budaya sebelumnya.
Melalui sarana seni seperti musik, sastra dan arsitektur misalnya,
ajaran Islam tentang Tuhan, nilai-nilai moral dan estetika,
serta konsep Islam tentang kebudayaan, adab, ilmu dan lain-lain
disebarkan ke tengah masyarakat luas.
Apabila
kesadaran batin masyarakat telah siap menerima ajaran Islam,
maka pengajaran syariat dan fiqih diberikan secara intensif
sebagai bentuk pembebasan
dari bentuk-bentuk pemujaan agama yang lama.
Dengan perkataan lain dalam menyebarkan agama,
mereka bergerak dari yang spiritual menuju yang formal dan lahiriyah.
Dalam kasus ini sangat menarik apa yang dilakukan Sunan Bonang
seperti dituturkan dalam Suluk Wujil.
Pada suatu hari datanglah hari datanglah ke Pesantren Bonang seorang pangeran cebol dari Majapahit bernama Wujil. Bekas orang istana ini sangat haus akan kebenaran. Ia tidak puas dengan segala bentuk ajaran formal ajaran agama seperti Hindu, Buddha dan alirannya. Dia telah mengembara ke mana-mana untuk menemui para pendeta, ulama dan bhiksu. Tetapi dia tidak pernah dapat menemukan apa yang dicarinya.
Di Bonang Wujil diterima oleh Sang Wali dan dikatakannya bahwa hakekat ajaran agama Hindu yang asli sebenarnya sama dengan Islam, dan tujuan kedua agama ini sama. Tetapi di dalam agama Hindu orang perlu bertapa di gunung dan menyiksa badan untuk memperoleh kelepasan dan kesempurnaan. Sedangkan di dalam agama Islam keselamatan jiwa dapat dilakukan di tempat ramai tanpa perlu menyiksa badan. Salat lima kali sehari tidak kurang manjurnya dalam memberikan pembersihan pada jiwa. Wujil kemudian diberi pelajaran syari’at, asas-asas aqidah Islam, fiqih dan tasawuf.
Tasawuf menekankan pentingnya penyaksian kalbu dalam mencapai kebenaran. Penyaksian kalbu itulah yang disebut pengetahuan langsung. Menurut mereka pengenalan kebenaran secara formal, yang diperoleh dengan jalan mendengar atau membaca dari buku tidaklah memadai. Pengetahuan formal tidak dapat mengantarkan seseorang pada hakekat kebenaran apabila terpaku pada bentuk-bentuk formal. Syariat tidak bermakna apa-apa tanpa dihayati dengan pemahaman terhadap hakekat dan makrifat. Dorongan untuk menyampaikan keyakinannya tentang pentingnya pengetahuan langsung ini mendorong para Sufi banyak melahirkan puisi dan kisah-kisah perumpamaan yang menarik. Sebab hanya melalui bahasa simbolik dan figuratif sastra pandangan, gagasan dan pengalaman mereka dapat diungkapkan lebih hidup dibanding diuraikan dalam bentuk risalah ilmiah.
Sebutan lain untuk pengetahuan langsung ialah Cinta dan sering cinta diidentikkan dengan keimanan. Pengetahuan langsung ini dicapai apabila seseorang telah lepas dari kepentingan diri yang duniawi. Sebagaimana ditulis oleh seorang penyair Sufi, lebih kurang:
Cinta akan sempurna apabila telah tanggal dari dirinya
Yaitu menyatu dengan tujuan cinta
Tujuan cinta ialah kesatuan kehendak atau keberadaan
Bandingkan dengan apa yang dituturkan oleh seorang hukama Taois dari Cina tentang hakekat Kebenaran (haqq):
Mereka yang berkata, tidak tahu;
Mereka yang tahu, tidak berkata.
Seorang Sufi berkata pula lebih kurang:
Bilamana Rahasia-rahasia Penglihatan diajarkan kepada seseorang
Bibirnya dikatupkan menghadapi omongan tentang Kesadaran
Inti persoalan dalam sajak di atas ialah kenyataan bahwa kesadaran mistis itu pada hakekatnya dicapai melalui kesaksian kalbu dan dialami hanya dalam batin. Kebenaran yang dikandungnya sebenarnya bukanlah untuk diuraikan dengan kata-kata. Imam al-Ghazali menuturkan: “Pengetahuan ilahiyah sebegitu mendalam sehingga ia hanya diketahui oleh mereka yang memilikinya. Seorang anak tidak akan dapat memahami pengetahuan yang dicapai orang dewasa. Begitu pula seorang terpelajar dalam ilmu formal tidak akan dapat memahami pengetahuan yang dicapai ahli hakekat dan makrifat sebelum orang tersebut mencapai ilmu hakekat dan makrifat”
Pengetahuan langsung dan kesaksian batin Sufi tentang kebenaran tertinggi disebut haqq al-yaqin. Para Sufi mempercayai bahwa keyakinan yang mendalam inilah yang merupakan sumber kepastian, ketetapan hati dan iman. Berbeda dengan para filosof rasional dan ilmuwan formal yang percaya bahwa pengetahuan hanya dicapai melalui penyelidikan empiris dan pembuktian rasional, para Sufi percaya bahwa ibadah yang berdisiplin dan latihan kerohanian yang sungguh-sungguh juga merupakan sumber pengetahuan. Ini tidak berarti para Sufi menolak pentingnya pengalaman empiris dan pembuktian rasional. Menurut mereka metode empiris dan rasional sangat bermanfaat dalam kaitannya dengan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan dan dunia. Tetapi untuk mengenal rahasia-rahasia ketuhanan dan kebahagiaan rohani manusia memerlukan pengalaman intuitif atau penyaksian kalbu serta makrifat.
Para Sufi banyak melahirkan kisah-kisah perumpamaan yang menarik. Selain karena ketajaman dan kedalamannya, kisah-kisah itu menarik karena kaya dengan humor. Walaupun kisah-kisah itu ditafsirkan bermacam-macam, namun ada gagasan sentral di dalamnya. Misalnya kisah yang populer di kalangan ahli Tarekat Chistiyah. Kisah tersebut memberi peringatan kepada kita agar waspada menyiasati perkataan seseorang yang tidak ahli dalam bidang yang diceburinya. Kisah tersebut di antaranya:
Seseorang dipercaya telah mati, dan setelah dibungkus kain kafan, hendak dimasukkan ke liang kubur, orang itu hidup kembali. ‘Dia harusnya mati,’ kata orang yang berkabung, sebab dia telah diumumkan mati oleh orang yang ahli. ‘Tapi lihat, Anda dapat melihat saya masih hidup,’ seru orang mati yang hidup kembali.”
Seorang ahli hukum terkenal datang menemui kerumunan orang yang berkabung itu. ‘Kini, Anda telah mendengar apa yang dikatakan oleh orang yang dikira mati, tetapi apa saudara melihat hal ini benar?”
“Dia sudah mati,” ujar orang yang berkabung.
“Kuburlah dia,” kata ahli hukum.
Dan begitulah orang itu pun dikubur hidup-hidup.
Sindiran lain ditujukan kepada sarjana-sarjana lulusan akademi yang menguasai banyak pengetahuan, akan tetapi asing terhadap ilmu hakekat.
Dia yang kepalanya congkak dan suka menyombongkan diri
Janganlah dikira akan mau mengenal dan memahami kebenaran
Atau ujaran ini:
Berikan uang kepada sarjana agar mereka bisa belajar lebih banyak
Namun seorang zahid jangan diberi apa pun agar tetap zahid.
Para Sufi seperti Imam al-Ghazali, Jalaluddin Rumi dan Fariduddin `Attar sering mengingatkan bahwa ahli hakekat termasuk Sufi itu bukan orang yang serba tahu.. Kepada murid-murid mereka para guru Sufi selalu mengajarkan betapa perlunya seseorang berbuat sesuatu yang diyakini baik secara terus-menerus dengan iman, cinta dan harapan yang besar. Jadi seseorang tidak berputus asa. Rasa optimis lebih memberikan manfaat dibanding berputus asa. Kata Rumi “Siapa yang tetap mengetuk pintu akan tiba masanya pintu dibuka.” Seorang Sufi lain mengatakan, “Mengapa kau bilang pintu akan terbuka? Pintu itu sebenarnya tidak pernah tertutup.” Akan tetapi untuk meyakini bahwa ‘pintu selalu terbuka’ memerlukan proses yang panjang dan kesadaran batin yang dalam.
Para Sufi yakin bahwa kebenaran tertinggi atau hakiki tidak pernah dapat dirumuskan dalam konsep ilmiah. Pandangan serupa juga dijumpai di kalangan orang arif Hindu, Zen Buddhisme, Tao dan lain-lain. Seorang hukama Taois menyatakan, “Apa yang nampaknya benar sering merupakan distorsi atas kebenaran obyektif.” Hakekat segala sesuatu menurut keyakinan mereka tidak didapat melalui pertanyaan ‘Bagaimana? dan Mengapa?’
Kecuali tidak acuh pada pemilikan diri, para Sufi yakin bahwa sikap fakir atau bersahaja memiliki kekuatan yang dapat membimbing seseorang menuju pencerahan kalbu. Kisah yang bertalian dengan Syekh Utsman al-Hiri berikut ini cukup menarik:
Syekh Usman al-Hiri telah diundang makan malam oleh seorang yang jahil. Ketika syekh tiba di rumah orang itu, orang itu mengusirnya. Tetapi ketika baru beberapa langkah ia berjalan, orang itu memanggilnya lagi. Ini terjadi sampai tiga puluh kali, sampai ada orang lain muncul, terharu menyaksikan ketabahan Syekh Utsman dan kelembutannya, pada waktu dia melihat syekh itu membungkukkan badan dan minta maaf.
“Anda tidak mengerti,’“ kata al-Hiri. “Apa yang saya lakukan tak lebih dari apa yang dilakukan oleh seekor anjing yang terlatih. Ketika Anda memanggilnya, anjing itu datang. Ketika Anda mengusirnya maka ia pun pergi. Ini bukan perilaku seorang Sufi yang sejati dan tidak terlalu sukar untuk dilakukan.
Shakespeare kerap memberi peran kepada orang pandir dalam upaya mencapai pandangan yang tepat. Para Sufi kerap menggunakan kearifan dari orang gila (bahlul) untuk memperoleh kesadaran menuju kebenaran. Kegilaan, sebagaimana keindahan, berada dalam mata sang penglihat; dan kebenaran, sebagaimana lazim dipahami, ialah suatu hal yang bersifat nisbi.
Pemahaman para Sufi mengenai manusia dan alam semesta, sebagaimana pengertian mistikus sejati pada umumnya, sering membuat kita terperangah heran. Kita telah terbiasa meyakini kebenaran sains modern dengan berbagai penemuannya. Khususnya tentang evolusi dan kodrat materi serta energi. Namun bukti-bukti menunjukkan bahwa konsep-konsep yang disebut sebagai hasil penemuan sains modern ini sebenarnya telah lama dikenal oleh ahli-ahli makrifat dalam tradisi keagamaan seperti Hindu, Budha, Kristen, Islam dan Tao. Seorang sufi masyhur misalnya menuturkan seperti berikut delapan ratus tahun yang lalu:
“Asal mulanya kau lempung. Dari mineral, kau naik jadi tumbuhan. Dari tetumbuhan, kau naik jadi hewan, dan dari hewan naik jadi manusia. Selama masa-masa penanjakan ini manusia tidak tahu ke mana ia akan pergi, tapi ia telah menempuh suatu perjalanan yang panjang. Dan kau telah menempuh ratusan dunia/alam yang berbeda-beda.” (Maulana Rumi)
“Belahlah hati atom: dari tengah-tengahnya akan kau saksikan bola matahari bersinar. Jika kau menyerahkan segenap yang kau miliki pada Cinta, kau tak akan merasakan kehilangan secercahpun. Jiwa berjalan melalui panasnya api cinta membuat kau menyaksikan jiwa berubah. Jika kau membuang kesempitan dimensi, dan ingin menyaksikan waktu dari sesuatu yang tak bertempat, kau akan mendengar apa yang belum pernah kau dengar dan akan menyaksikan apa yang belum pernah kau lihat; sehingga mereka melepaskan kau menuju suatu tempat di mana kau akan menyaksikan ‘dunia’ dan ‘dunia-dunia’ sebagai satu. Kau akan mencintai Keesaan (tauhid) dengan hati dan jiwa; sehingga, dengan mata sebenarnya, kau akan menyaksikan Tauhid …” (Syekh Ahmad Hatif)
Kesatuan transenden segala benda menjadi tekanan utama para ahli makrifat. Pembedaan artifisial yang dibuat dalam tingkat kesadaran biasa harus dicampakkan untuk memperoleh penglihatan murni. Kesadaran semacam itulah mungkin yang membuat Ibn al-‘Arabi berpendapat bahwa manusia yang berpikir usianya akan dihitung dengan cermat bisa mencapai empat puluh ribu tahun.
Aspek psikologis dari hikmah Sufi ditunjukkan oleh banyak kisah yang disampaikan dengan berbagai cara. Pengetahuana sampai melalui seorang guru kepada muridnya melalui cara yang sesuai dengan kemampuan murid dalam memahami suatu masalah, sesuai dengan kepribadian dan temperamennya. Seorang guru jarang menyampaikan ajaran kepada lebih dari sekelompok kecil murid, malah sering seorang guru hanya mengajar seorang murid. Banyak kisah Sufi yang menunjukkan bagaimana cara mereka mengajar. Metodenya bermacam-macam, disamping dibedakan antara murid yang pandai atau cepat menangkap persoalan dengan murid yang lambat pertumbuhan pikirannya. Misalnya sebagaimana dituturkan dalam kisah ini:
“Suatu hari telah datang seorang lelaki menemui Syaikh Akbar Bahaudin, meminta petunjuk kerohanian. Bahaudin mengatakan kepadanya agar mengelakkan kajian kerohanian, dan meninggalkan majlisnya sekali ini. Pengunjung yang sama memprotes. ‘Kau sudah memiliki bukti,’ ujar Bahaudin. Pada waktu itu seekor burung terbang ke dalam ruang, mengepakkan sayap ke sana kemari tanpa mengetahui ke mana dia harus melarikan diri. Sang Sufi menunggu sampai burung itu berdiam dekat jendela, dan kemudian tiba-tiba menepuk tangannya. Diberi peringatan, burung itu terbang lurus ke luar jendela, untuk membebaskan diri. Bagi burung itu suara tepukan itu telah cukup untuk menimbulkan goncangan; juga membuat ia terhina — tidak – kan demikian? kata Bahaudin.
Ini hanya contoh kecil saja, bagaimana guru-guru Sufi tidak mudah menerima seorang murid, terutama yang niatnya belum kukuh dan kemampuannya untuk memahami persoalan meragukan. Jadi mereka begitu selektif.
Upaya kita untuk menyimak mutiara hikmah dari mereka tidak akan memadai seandainya kita melupakan aforisme-aforisme mereka yang begitu menukik dan tajam. Beberapa di antaranya bisa kita paparkan:
Orang menentang sebuah pandangan karena tak mau tahu tentang pandangan tersebut..
Kecepatan memang diperlukan oleh seekor kuda, namun tidak semua bentuk kecepatan itu diperlukan dan memberi keuntungan.
Kau memiliki satu hal yang tak bakal hilang bila berada dalam sebuah kapal yang karam.
Aku tidak pernah melihat seseorang yang berada di jalan lurus itu kehilangan.
Nak, jangan minta imbalan dari A jika kau sedang bekerja di rumah B.
Jangan bersahabat dengan pemelihara gajah jika kau tidak punya ruang untuk menghibur seekor gajah.
Ikatlah dua ekor burung, mereka takkan mampu terbang sekali pun sayap yang mereka miliki empat.
Pembenaran diri yang berlebihan lebih jelek dibanding kecaman yang orisinal.
Berdosa kepada Tuhan adalah suatu hal; namun berdosa kepada manusia jauh lebih buruk.
Lilin menyala tidak untuk menerangi dirinya sendiri.
Kami telah menulis seratus surat kepadamu, dan kau tidak menulis sepucuk surat pun sebagai jawaban. Namun tak menjawab sudah merupakan sebuah jawaban.
Sering seseorang memberikan penafsiran keliru jika berhadapan langsung dengan orang yang pandai dan mengetahui.
Seorang syekh ialah dia yang mempunyai murid yang memerlukan pribadinya, bukan keajaiban, kekeramatan dan kebesarannya.
Seorang sufi adalah dia yang telah meninggalkan tiga macam kata ‘aku’ dalam ucapannya: kepunyaanku, dadaku dan kekayaanku. Ia telah melepaskan sesuatu yang diperuntukan bagi dirinya.
Imbauan tasawuf memiliki ciri universal. Ia bertalian dengan setiap peradaban, setiap agama dan setiap babakan waktu dalam sejarah manusia. Bagi yang mengalaminya tidak memerlukan takrif atau definisi, dan tak akan pernah terkena cemaran logika serba dua kali dua sama dengan empat. Intisari tasawuf selalu hadir dalam tebaran kata-kata para bijak. Diktum Ibn al-‘Arabi berikut ini barangkali merupakan contoh yang paling cemerlang:
“Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama pengetahuan intelektual, yang dalam kenyataan berisi informasi dan kumpulan fakta-fakta belaka, dan apabila pengetahuan ini digunakan untuk mencapai konsep-konsep intelektual yang melampaui batas, maka ia disebut intelektualisme. Yang kedua menyusul pengetahuan tentang keadaan-keadaan, mencakup baik perasaan emosional dan perasaan asing di mana orang mengira telah mencerap sesuatu yang tinggi. Namun dia tidak dapat memanfaatkan untuk keperluan hidupnya sendiri. Inilah emosionalisme. Yang ketiga pengetahuan nyata, yang disebut Pengetahuan tentang Hakekat. Dalam bentuk ini manusia dapat mencerap apa yang betul, apa yang benar, mengatasi batasan-batasan pikiran dan penginderaan. Para sarjana dan ilmuwan memusatkan perhatian pada bentuk pengetahuan pertama. Kaum emosionalis dan eksperimentalis menggunakan bentuk kedua. Yang lain memadukan keduanya, atau memakai satu di antara keduanya secara bergantian.
Akan tetapi
orang yang telah mencapai kebenaran ialah
mereka yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya dengan hakekat
yang terletak di balik kedua bentuk pengetahuan ini.
Itulah Sufi sejati,
darwis yang telah mencapai makrifat dalam arti sebenarnya.
Demikianlah uraian ringkas ini mudah-mudahan memadai dalam menjelaskan apa itu hakekat tasawuf, landasan falsafah dan kandungan sastranya.
Jakarta Desember 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar