Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah,
maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.
Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ankabut: 5)
Atha’ bin as-Sa’ib menuturkan bahwa ayahnya menceritakan kepadanya,
“Suatu ketika Ammar bin Yasir mengimami kami shalat dan dia mempercepatnya.
Aku berkata, Anda tergesa-gesa dalam mengimami shalat, wahai Abul Yaqzan.’
Dia menjawab,
‘Hal itu tidak ada salahnya,
karena aku memanjatkan kepada Allah sebuah doa
yang pernah kudengar dari Rasulullah Saw’,
Ketika hendak beranjak,
salah seorang jamaah mengikutinya
dan bertanya kepadanya tentang doa yang dibacanya itu.
Dia pun mengulanginya,
‘Ya Allah,
dengan ilmu-Mu yang ghaib dan
dengan kekuasaan-Mu atas semua makhluk,
hidupkanlah aku jika Engkau tahu bahwa
hidup itu membawa kebaikan untukku,
dan matikanlah aku jika Engkau tahu bahwa
mati itu membawa kebaikan untukku.
Ya Allah
aku meminta kepada-Mu
agar aku takut kepada-Mu dalam semua perkara,
baik yang nyata maupun yang ghaib.
Aku memohon kepada-Mu ungkapan yang benar
ketika aku senang maupun ketika aku marah.
Aku mohon kepada-Mu kesederhanaan
dalam kekayaan maupun kemiskinan.
Aku mohon kepada-Mu kesenangan yang abadi,
dan kesejukan jiwa yang tak terputus.
Aku mohon kepada-Mu keridhaan
dengan apa yang telah ditentukan.
Dan aku mohon kepada-Mu kehidupan yang sejuk
sesudah mati.
Aku memohon agar bisa melihat Wajah-Mu yang Mulia,
dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu
tanpa bahaya yang mengancam,
atau menjadi korban fitnah yang menyesatkan.
Ya Allah,
hiasilah kami dengan keindahan iman.
Ya Alah,
jadikanlah kami sebagai pemberi petunjuk
maupun penerima petunjuk’.”
Rindu adalah
keadaan gairah hati yang berharap untuk berjumpa dengan Sang Kekasih.
Kadar rindu tergantung besar volume cinta.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
membedakan antara rindu dan hasrat yang bergolak,
katanya,
“Rindu ditentramkan oleh perjumpaan dan memandang.
Sedangkan hasrat yang bergolak
tidak sirna karena pertemuan.”
Mengenai konteks ini para Sufi bersyair:
Mata tak pernah berpaling
ketika memandang-Nya,
Sehingga-kembali kepada-Nya,
penuh gelora.
An-Nashr Abadzy menyatakan,
“Semua orang mempunyai tahap kerinduan.
Namun tidak semuanya mengalami tahap gelora,
dan siapa yang memasuki gelora itu,
justru akan linglung,
sehingga ia tidak dipandang lagi pengaruh
atau kesan dan keteguhan.”
Diceritakan bahwa
Ahmad bin Hamid al-Aswad datang kepada Abdullah ibnul Mubarak
dan berkata kepadanya,
“Aku bermimpi engkau akan meninggal setahun lagi.
Barangkali engkau harus bersiap-siap untuk keluar dari dunia.”
Abdullah ibnul Mubarak menjawab,
“Engkau memberiku waktu yang lama,
aku hidup sampai setahun penuh!
Padahal aku selalu menyukai syair yang kudengar dari Abu Ali ats-Tsaqafy:
Wahai yang tercekam rindu
karena perpisahan panjang
Bersabarlah,
siapa tahu esok engkau bertemu Sang Kekasih.
Abu Utsman menuturkan,
“Tanda rindu adalah mencintai kematian dengan hati yang ringan.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan,
“Tanda rindu adalah membebaskan tubuh dari hawa nafsu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan,
“Pada suatu hari Daud as. pergi sendirian ke padang pasir,
kemudian Allah Swt. menurunkan wahyu kepadanya,
‘Wahai Daud,
Aku tidak memandangmu sebagai orang yang sendirian!’
Daud menjawab,
‘Tuhanku,
aku terpengaruh oleh kerinduan dalam hatiku
untuk bertemu dengan-Mu, lantas
terhalang antara diriku untuk bergaul dengan sesama manusia.’
Maka Allah Swt berfirman:
“Kembalilah kepada mereka.
Sebab bila engkau mendatangi-Ku
bersama seorang hamba yang lari dari tuannya,
Aku tetapkan dirimu di Lauh Mahfudz sebagai seorang arif yang bijak’.”
Diceritakan,
ada seorang wanita tua yang didatangi oleh pemuda yang termasuk kerabatnya.
Keluarga lainnya merasa gembira, namun wanita itu justru menangis tersedu.
Ia ditanya, ‘Apa yang engkau tangisi?”
Wanita itu menjawab,
“Aku teringat kedatangan pemuda itu,
jika kelak di hari kedatangan kita kepada Allah Swt.”
Ketika Ahmad bin Atha’ ditanya tentang rindu,
dia menjawab,
“Jiwa yang terbakar,
qalbu yang berkobar, dan
jantung yang berkeping-keping.”
Pada kesempatan lain dia ditanya,
“Manakah yang lebih utama, rindu ataukah cinta?”
Ibnu Atha’ menjawab,
“Cinta, karena rindu terlahir dari cinta.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar