Tasawuf, Mutiara yang Mulai Diingat Lagi (1)
Oleh Abdul Hadi W. M.
Jangan bangun rumahmu di tanah orang lain
Bekerjalah demi cita-citamu sendiri yang sejati di dunia ini
Jangan sampai kau terjerat oleh bujukan orang asing
Siapa orang asing itu kecuali hawa nafsumu?
Dialah sumber bencana dan kepiluanmu
Selama cuma tubuh yang kaurawat dan kaumanjakan
Tidak akan subur jiwamu, tidak akan pula teguh
Ini hanya sebutir dari demikian banyak mutiara hikmah
yang ditinggalkan para Sufi dalam gudang perbendaharaan mereka
dan masih banyak lagi yang tersembunyi dari kita.
Hikmah yang dikutip di atas ialah
satu bait dari sajak Jalaluddin Rumi (1207-1273 M)
sufi dan penyair besar dari Persia.
Sajak itu ditulis ketika umat Islam
berada dalam chaos dan disintegrasi besar-besaran,
mirip dengan yang kita alami sekarang,
sebagai akibat dari serbuan Perang Salib II di sebelah barat (tanah Arab)
dan penaklukkan tentara Mongol di sebelah timur (Persia, Asia Tengah).
Untaian di atas dipetik dari karya agung sang Sufi Matsnawi,
yang oleh para sarjana sastra Islam digelari sebagai Tafsir Qur`an
dalam bahasa Persia yang paling bernilai sastra.
Menurut Peter Avery (1978) karya Rumi itu ditulis
dengan tujuan
“memperteguh kembali jiwa masyarakat Muslim yang koyak-moyak
akibat pembantaian dan penjarahan besar-besaran tentara Mongol,
yang menyebarluaskan pesimisme dan
membuat orang Islam hilang rasa percaya diri
terhadap kekuatan terpendam dirinya dan agama yang dianutnya.”
Namun sayang sekali setelah melalui perjalanan waktu panjang
dan ratusan pergolakan internal yang melelahkan,
termasuk sengketa khilafiyah yang berlarut-larut,
mutiara hikmah seperti itu pada akhirnya terkubur
dari ingatan banyak orang Islam.
Begitu pula tujuan positif tasawuf kian dilupakan,
sedangkan yang sampai kepada kita kebanyakan ialah
pengertian yang dangkal dan lebih banyak keliru atau dikelirukan.
Kini minat terhadap tasawuf dan sastranya bangkit kembali
secara menggembirakan di kalangan terpelajar Islam.
Kata-kata Rumi di atas niscaya dapat memulihkan pemahaman positif kita
terhadap tasawuf.
Dengan indahnya sang Sufi
menggolongkan hawa nafsu sebagai barisan orang asing
yang cerdik dan pandai memperdaya kita.
Ini menyadarkan kita bahwa,
sebagaimana cita-cita dan ideologi asing,
hawa nafsu sebenarnya bukanlah diri kita yang sejati.
Dalam kitabnya itu Rumi melukiskan lebih jauh hawa nafsu:
Hawa nafsumu adalah ibu segenap berhala:
Berhala benda ialah ular, berhala jiwa adalah naga.
Menghancurkan berhala itu mudah,
namun menganggap mudah
Mengalahkan nafsu adalah tolol.
O Anakku,
jika bentuk nafsu ingin kaukenali,
bacalah uraian tentang Neraka
dengan tujuh pintunya
Dari hawa nafsu setiap saat bermunculan tipu muslihat;
Dan dari setiap tipu muslihat
seratus Fir’aun dan balatentaranya terjerumus.
Para Sufi menuturkan hikmah dalam berbagai bentuk pengucapan sastra.
Bukan hanya dalam bentuk prosa seperti risalah atau khitabah.
Bentuk penuturan estetik yang dipilih
antara lain kisah perumpamaan (alegori),
epik kerohanian,
adab,
cerita berbingkai,
humor,
sajak-sajak pujian (diwan, qasidah),
sajak-sajak cinta mistikal (ghazal),
satire atau sindirian (hija`), dan lain sebagainya.
Karya-karya mereka relevan dibaca kembali
untuk membenarkan pemahaman kita,
yang terlanjur keliru dan menyesatkan serta ahistoris tentang tasawuf..
Contohnya saja di Barat.
Di sana ahli tasawuf atau Sufi
lebih dikenal sebagai sekelompok penari yang gemar akan ekstase
dan sehari-hari kerjanya hanya demikian.
Gambaran seperti itu antara lain dijumpai
dalam buku James Morier Haji Baba of Ispahan.
Di negeri kita sendiri kegiatan kaum Sufi dan ahli tarekat
sering dikaitkan
dengan praktek pedukunan, klenik, paranormal atau nujum.
Padahal bukan itu tasawuf yang sebenarnya.
Tasawuf sering pula dipandang sebagai sumber kemunduran Islam,
suatu kesimpulan yang naif dan tidak didasarkan argumentasi yang jelas.
Dalam kenyataan
faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Islam sangat kompleks
dan saling menjalin satu dengan yang lain.
Di antara faktor-faktor itu termasuk faktor budaya, politik dan ekonomi.
Tasawuf sendiri sebagai gerakan keagamaan mengambil corak beragam,
ada yang aktif dan militan, ada yang memang pasif dan eskapis.
Ada yang mengambil bentuk gerakan Tarekat,
ada yang mengambil bentuk Falsafah dan gerakan Budaya.
Dan adalah tidak adil apabila kita melupakan sumbangan besar mereka
dalam penyebaran agama Islam,
khususnya di di negeri-negeri Islam bagian timur.
Pun tidak adil melupakan sumbangan yang mereka
di bidang seni, bahasa, sastra, kebahasaan, arsitektur dan berbagai kepakaran.
Besarnya sumbangan itu tercermin dalam kemasyhuran nama tokoh-tokohnya dan penerimaan luas masyarakat Muslim terhadap pemikiran dan kiprah mereka
dalam bidang spiritualitas.
Di antara tokoh-tokoh masyhur yang menghiasi lembaran sejarah kebudayaan dan peradaban Islam ialah
Mansur al-Hallaj,
al-Ghazali,
al-Qusyairi,
Ibn al-‘Arabi,
Ibn Sina,
Omar Khayyam,
Atar,
Rumi,
Jami’,
Mulla Sa’di,
Hafizh,
Suhrawardi,
Ghalib,
Hamzah Fansuri,
Mohammad Iqbal
dan lain-lain.
Sufi dikenal dengan banyak nama: darwisy,
`urafa (ilmunya disebut irfan) atau ahli suluk,
seperti dikenal di Jawa dan Madura.
Sekalipun gerakan mereka sering dituduh menyimpang dari agama,
terutama oleh ulama fiqih dan modernis,
namun mereka tetap tegar dalam keyakinan mereka
dan pengaruh ajaran mereka
tidak menyebabkan eksistensi keberadaan masyarakat Muslim terganggu
selama beberapa abad.
Para Sufi bahkan aktif memimpin gerakan jihad,
misalnya menentang kolonialisme pada masa penjajahan.
Mereka juga sering muncul sebagai pemimpin gerakan pembaharu.
Syekh Junaid al-Baghdadi mengatakan:
“Sistem tasawuf kami terikat pada Islam, al-Qur’an dan Sunnah Rasul.”
Tasawuf juga kerap dihubungkan dengan ajaran
Budha dan Vedanta, Neo-Platonisme dan asketisme Kristen.
Memang kebenaran yang mereka ajarkan
ada banyak mirip dengan ajaran-ajaran di atas.
Namun kemiripan itu sering terjadi
karena pada hakekatnya
ajaran mistisisme di mana-mana memiliki kemiripan.
Pengalaman mistikal sendiri bersifat universal,
namun bagaimana cara menyampaikannya
perlu perangkat agama dan teks keagamaan.
Namun akar dan sumber ajaran Sufi ialah al-Qur’an.
Islam sendiri sebagai al-din
tidak pernah mengaku sebagai ajaran yang benar-benar baru.
Begitu pula para Sufi tidak pernah mengklaim bahwa
ajaran kerohanian benar-benar baru dan sama sekali berbeda
dari bentuk-bentuk spiritualitas lain.
Malahan Sufi terkemuka,
Ibn al-Arabi yang digelari Syekh al-Akbar,
menuturkan:
Benih tasawuf telah ditanam pada zaman Nabi Adam.
Itulah mukjizat kehidupan, kemaujudan.
Di masa Nabi Nuh mulai bertunas.
Itulah mukjizat pertumbuhan, penyelamatan
Di masa Nabi Ibrahim dahan-dahannya bercabang.
Itulah mukjizat kemekaran dan pemeliharaan
Zaman Nabi Musa menyaksikan buah muncul.
Itulah mukjizat keranuman dan pembuahan
Zaman Nabi Isa buah-buahan itu mulai masak.
Itulah mukjizat puasa dan keriangan jiwa.
Zaman Nabi Muhammad kita menyaksikan
Anggur bening hasil perahan dan penyaringan.
Itulah mukjizat pencapaian dan perubahan bentuk.
Sufi sejati,
seperti dituturkan tokohnya, adalah
“Kalbu yang bening,
bukan baju kumal dan nafsu liar.”
Tujuan Sufi ialah
mencapai pengetahuan yang benar dan pasti
tentang Tuhan dan diri.
Dan itu dicapai melalui
penyucian jiwa,
pemurnian pikiran dan kalbu,
yang semuanya disebut jalan Cinta.
Apabila orang modern kerap berkata bahwa
keadaan tergantung pada orangnya,
maka Sufi mengatakan bahwa
keadaan seseorang sangat ditentukan oleh
pengetahuan yang dicapainya.
Pengetahuan bermacam-macam.
Ada yang didapat di luar diri dan ada yang dijumpai dalam diri
setelah mencarinya bersusah payah..
Mencari pengetahuan
bagi para sufi
merupakan suatu perjalanan
dan perjalanan paling indah
dan memberi kebahagiaan ialah
perjalanan menemukan diri
dan memperoleh pengetahuan
tentang hakekat segala hakekat.
Tentang hal ini penyair Sufi abad ke-12
Abu Said al-Khayr
menulis dalam sajak bersahaja,
namun menyentuh perasaan yang dalam:
Segala perjalanan menuju Kau — indah
Segala wajah menatap wajah-Mu — indah
Segala mata memandang sinar-Mu — indah
Segala kata mengulang nama-Mu — indah
Pada baris terakhir sajaknya Abu Said al-Khayr
menuturkan
indahnya pengalaman spiritual
yang diperoleh para Sufi
dalam zikir yang tulus dan sungguh-sungguh.
Penyair Sufi Turki abad ke-13 Yunus Emre juga menulis
dengan nada serupa:
Air sorga mengalir cerlang
Nama Tuhan disebut berulang-ulang
Demikian nyanyi burung bulbul Islam
Menyebut asma Allah berulang-ulang
Dahan pohon Tuba bergoyang
Semua kawan membaca al-Qur`an
Mawar di taman mendesir menyebar wewangian
Menyebut asma Allah berulang-ulang
Perjalanan Sufi ialah
perjalanan mencari Tuhan dan hakekat diri.
Penyair Sufi terbesar Asia Tenggara
Hamzah Fansuri
menulis dengan ungkapan bersahaja
namun indah dan dalam:
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah
Dari Barus ke Qudus terlalu payah
Akhirnya dijumpai di dalam rumah
Sejak dahulu hingga kini
manusia tidak berhenti mencari hakekat dirinya,
sebab hanya dengan mengenal diri
seseorang menemukan kebahagiaan
dan tidak asing dengan rumah spiritualnya.
Dalam sajak itu juga dinyatakan bahwa
perjalanan seorang Sufi
bukan sekedar perjalanan horisontal
di dunia bentuk-bentuk,
tetapi
sebuah perjalanan vertikal di alam hakekat.
Jalaluddin Rumi menulis bahwa
sumber kebahagiaan yang disebut hakekat diri
tidak dapat dijumpai apabila manusia terpaku
pada bentuk-bentuk formal peribadatan:
Salib dan Kristen,
pucuk ke pucuk kuperiksa
Tidak ada dia dalam salib.
Kudatangi pura Hindu,
kuil pagoda lama,
tak setitik pun tanda di sana.
Ke Ka’bah dan Mekkah aku datang.
Tak pula di sana.
Kujenguk ke dalam kalbuku sendiri.
Ya di situ kulihat dia.
Tak di tempat lain ternyata kujumpa.
Para Sufi memang suka mengembara
dari satu tempat ke tempat lain
sejak dulu sampai kini.
Mereka berjalan dengan tujuan banyak:
mencari guru,
kawan seperjalanan,
murid yang mau mendengarkan ajarannya
serta menyebarkan agama
dan memperbanyak jumlah orang Islam.
Pada abad ke-13 dan 14 M.
dunia Islam diharu biru oleh banyak peperangan,
antara lain Perang dan penaklukkan tentara Mongol.
Para Sufi berhasil menyelamatkan
kebudayaan dan peradaban Islam
yang telah hancur berkeping-keping.
Mereka pergi mencari tempat-tempat yang aman
sebagai pos-pos perhentian dalam perjalanan mereka.
Pos-pos perhentian ini berfungsi banyak:
sebagai surau,
pesantren,
tempat penampungan para pengungsi
dan perlindungan para pedagang.
Di pos-pos perhentian inilah
mereka mengkonsolidasikan kekuatan
dan penyebaran dakwah Islam,
menghimpun calon-calon syuhada dan ulama-ulama yang militan.
Di pos-pos perhentian itu pulalah
mereka mendirikan ta`ifa (organisasi dagang) bersama
para saudagar,
bekas tentara yang tidak aktif lagi,
pengrajin,
seniman,
tabib,
ilmuwan,
pelaut,
pelayar dan lain-lain.
Namun perjalanan dan pengembaraan di alam dunia
hanyalah sarana untuk memulai perjalanan yang lebih tinggi.
Perjalanan manusia yang sejati menurut Rumi ialah
“Perjalanan dari diri ke Diri’ yaitu
“Dari diri yang rendah, (yaitu hawa nafsu)
menuju diri yang lebih tinggi (yaitu Diri Rohani).
Perjalanan seperti itu
“Bagaikan perjalanan tebu mencari gula,
perjalanan sebutir pasir
yang menyimpang dari jalan yang lazim
kemudian masuk ke dalam kerang
dan kelak menjelma mutiara.”
Seseorang yang telah menemukan diri
akan merasa dekat dengan Yang Satu
sebagaimana dikatakan Hamzah Fansuri
dalam bait penutup untaian syairnya:
Hamzah Syahr Nawi zahirnya Jawi
Batinnya cahaya Ahmad yang safi
Sungguhpun ia terhina jati
`Asyiqnya da’im akan Dzat al-Bari
Orang yang berhasil
mengenal secara mendalam hakekat dirinya
akan memperoleh kearifan atau hikmah yang tinggi.
Dia mengerti bahwa
walaupun secara zahir ia dilahirkan
sebagai orang Melayu, Jawa, Persia atau Afghan,
namun secara batin sama,
berasal dari cahaya yang suci.
Atau sebagai dikatakan Baba Kuhi dari Shiraz pada abad ke-12:
Di pasar, di biara — hanya Tuhan kulihat
Di lembah dan gunung — hanya Tuhan kulihat
Sering ia terasa ada di sampingku
Pada saat bencana menimpa.
Dalam senang dan keberuntungan
— hanya Tuhan kulihat.
Pada waktu berdoa dan berpuasa
Pada saat sembahyang dan tafakur
Dalam agama Rasulullah
— hanya Tuhan kulihat.
Bukanlah jiwa atau tubuh,
bukan kejadian atau hakekat,
Bukan sifat atau sebab yang kujumpa
— hanya Tuhan kulihat dekat.
Kubuka mata dan dengan sinar wajah-Nya
Yang menerangi kegelapan di sekelilingku
Yang terjumla mata dalam segala
— hanya Tuhan kulihat.
Pengetahuan tidak terkira banyaknya di dunia ini.
Ia membentang di alam semesta dan dalam diri manusia
sebagai ayat-ayat-Nya, yaitu
isyarat akan keberadaan-Nya yang gaib namun nyata
melalui pekerjaan dan tindakan-tindakan-Nya yang kreatif.
Demikianlah Tuhan yang dilihat para Sufi itu
merujuk pada kenyataan tersebut,
bukan Tuhan dalam rupa lahiriyah
sebagaimana rupa makhluk-makhluk
di alam syahadah atau inderawi.
Lagi pula dalam ayat lain al-Qur`an dikatakan bahwa
“Kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah”.
Wajah-Nya yang diisyaratkan itu pun
bukan wajah lahiriyah Tuhan,
melainkan penampakan sifat-sifat dan pekerjaan-Nya
dalam kehidupan,
baik di alam semesta maupun dalam diri manusia.
Itulah sebabnya juga dikatakan dalam al-Qur`an bahwa
Tuhan lebih dekat kepada manusia
dibanding urat leher manusia sendiri.
Maka itu benar apabila Baba Kuhi
yang telah merasa haqq al-yaqin (yakin sebenar-benar yakin)
mengatakan,
“Sering Dia terasa ada di sampingku pada saat bencana menimpa.”
Telah dikatakan bahwa
para Sufi ialah pencari Hakekat Diri yang sejati
dan mereka mempercayai bahwa
pengalaman makrifat bersifat pribadi.
Mereka juga yakin diri
dan ajaran mereka bertujuan mencapai realisasi diri
dalam kehidupan yang memancarkan kebenaran ilahiyah.
Walau demikian
tidak berarti mereka senang memuji-muji diri,
bersikap egosentris dalam tindakan
dan suka mementingkan diri.
Justru melalui pencariannya itu
mereka ingin mencapai keadaan faqir,
kehapusan diri dari kepentingan dunia
yang bersifat materialistis dan egosentris.
Cara mereka menyiarkan agama jelas berbeda
dari para ulama fiqih dan muballigh biasa.
Mereka biasa menempuh pendekatan kultural.
Mereka serap kebudayaan masyarakat setempat,
kemudian dipompa dengan nilai-nilai Islam
dan selanjutnya ditransformasikan
menjadi bentuk kebudayaan baru.
Melalui sarana seni
seperti musik, sastra dan arsitektur
mereka menampakkan nilai-nilai Islam
dalam kehidupan masyarakat.
Apabila kesadaran batin masyarakat
telah siap menerima ajaran Islam,
maka pengajaran syariat dan fiqih
diberikan secara intensif
sebagai bentuk pembebasan
dari formalitas kehidupan lama.
Dalam kasus ini sangat menarik
apa yang dilakukan Sunan Bonang
seperti dituturkan sendiri olehnya di dalam Suluk Wujil.
Pada suatu hari datangla hari datanglah ke Pesantren Bonang
seorang pangeran cebol dari Majapahit bernama Wujil.
Bekas orang istana ini sangat haus akan kebenaran.
Ia tidak puas dengan segala bentuk ajaran formal
ajaran agama seperti Hindu, Buddha dan alirannya.
Dia telah mengembara ke mana-mana
untuk menemui para pendeta, ulama dan bhiksu.
Tetapi dia tidak pernah dapat menemukan
apa yang dicarinya.
Di Bonang Wujil diterima oleh Sang Wali
dan dikatakannya bahwa
hakekat ajaran agama Hindu yang asli
sebenarnya sama dengan Islam,
dan tujuan kedua agama ini sama.
Tetapi di dalam agama Hindu orang perlu bertapa di gunung
dan menyiksa badan untuk memperoleh kelepasan dan kesempurnaan.
Sedangkan di dalam agama Islam keselamatan jiwa
dapat dilakukan di tempat ramai tanpa perlu menyiksa badan.
Salat lima kali sehari tidak kurang manjurnya
dalam memberikan pembersihan pada jiwa.
Wujil kemudian diberi pelajaran
syari’at, asas-asas aqidah Islam, fiqih dan tasawuf.
Tasawuf menekankan pentingnya penyaksian kalbu
dalam mencapai kebenaran.
Penyaksian kalbu itulah yang disebut pengetahuan langsung.
Menurut mereka pengenalan kebenaran secara formal,
yang diperoleh dengan jalan mendengar atau membaca dari buku
tidaklah memadai.
Pengetahuan formal
tidak dapat mengantarkan seseorang
pada hakekat kebenaran
apabila terpaku pada bentuk-bentuk formal.
Syariat tidak bermakna apa-apa
tanpa dihayati dengan pemahaman
terhadap hakekat dan makrifat.
Dorongan untuk menyampaikan keyakinannya
tentang pentingnya pengetahuan langsung ini
mendorong para Sufi banyak melahirkan puisi
dan kisah-kisah perumpamaan yang menarik.
Sebab hanya melalui bahasa simbolik dan figuratif sastra
pandangan, gagasan dan pengalaman mereka
dapat diungkapkan lebih hidup
dibanding diuraikan dalam bentuk risalah ilmiah.
Sebutan lain
untuk pengetahuan langsung ialah Cinta
dan sering cinta diidentikkan dengan keimanan.
Pengetahuan langsung ini dicapai
apabila
seseorang telah lepas
dari kepentingan diri yang duniawi.
Sebagaimana ditulis oleh seorang penyair Sufi,
lebih kurang:
Cinta akan sempurna
apabila telah tanggal dari dirinya
Yaitu menyatu dengan tujuan cinta
Tujuan cinta ialah
kesatuan kehendak atau keberadaan
Bandingkan dengan apa yang dituturkan oleh seorang hukama Taois dari Cina tentang hakekat Kebenaran (haqq):
Mereka yang berkata, tidak tahu;
Mereka yang tahu, tidak berkata.
Seorang Sufi berkata pula lebih kurang:
Bilamana Rahasia-rahasia Penglihatan diajarkan kepada seseorang
Bibirnya dikatupkan menghadapi omongan tentang Kesadaran
Inti persoalan dalam sajak di atas ialah kenyataan bahwa kesadaran mistis itu pada hakekatnya dicapai melalui kesaksian kalbu dan dialami hanya dalam batin. Kebenaran yang dikandungnya sebenarnya bukanlah untuk diuraikan dengan kata-kata. Imam al-Ghazali menuturkan: “Pengetahuan ilahiyah sebegitu mendalam sehingga ia hanya diketahui oleh mereka yang memilikinya. Seorang anak tidak akan dapat memahami pengetahuan yang dicapai orang dewasa. Begitu pula seorang terpelajar dalam ilmu formal tidak akan dapat memahami pengetahuan yang dicapai ahli hakekat dan makrifat sebelum orang tersebut mencapai ilmu hakekat dan makrifat”
Pengetahuan langsung dan kesaksian batin Sufi tentang kebenaran tertinggi disebut haqq al-yaqin. Para Sufi mempercayai bahwa keyakinan yang mendalam inilah yang merupakan sumber kepastian, ketetapan hati dan iman. Berbeda dengan para filosof rasional dan ilmuwan formal yang percaya bahwa pengetahuan hanya dicapai melalui penyelidikan empiris dan pembuktian rasional, para Sufi percaya bahwa ibadah yang berdisiplin dan latihan kerohanian yang sungguh-sungguh juga merupakan sumber pengetahuan. Ini tidak berarti para Sufi menolak pentingnya pengalaman empiris dan pembuktian rasional. Menurut mereka metode empiris dan rasional sangat bermanfaat dalam kaitannya dengan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan dan dunia. Tetapi untuk mengenal rahasia-rahasia ketuhanan dan kebahagiaan rohani manusia memerlukan pengalaman intuitif atau penyaksian kalbu serta makrifat.
Para Sufi banyak melahirkan kisah-kisah perumpamaan yang menarik. Selain karena ketajaman dan kedalamannya, kisah-kisah itu menarik karena kaya dengan humor. Walaupun kisah-kisah itu ditafsirkan bermacam-macam, namun ada gagasan sentral di dalamnya. Misalnya kisah yang populer di kalangan ahli Tarekat Chistiyah. Kisah tersebut memberi peringatan kepada kita agar waspada menyiasati perkataan seseorang yang tidak ahli dalam bidang yang diceburinya. Kisah tersebut di antaranya:
Seseorang dipercaya telah mati, dan setelah dibungkus kain kafan, hendak dimasukkan ke liang kubur, orang itu hidup kembali. ‘Dia harusnya mati,’ kata orang yang berkabung, sebab dia telah diumumkan mati oleh orang yang ahli. ‘Tapi lihat, Anda dapat melihat saya masih hidup,’ seru orang mati yang hidup kembali.”
Seorang ahli hukum terkenal datang menemui kerumunan orang yang berkabung itu. ‘Kini, Anda telah mendengar apa yang dikatakan oleh orang yang dikira mati, tetapi apa saudara melihat hal ini benar?”
“Dia sudah mati,” ujar orang yang berkabung.
“Kuburlah dia,” kata ahli hukum.
Dan begitulah orang itu pun dikubur hidup-hidup.
Sindiran lain ditujukan kepada sarjana-sarjana lulusan akademi yang menguasai banyak pengetahuan, akan tetapi asing terhadap ilmu hakekat.
Dia yang kepalanya congkak dan suka menyombongkan diri
Janganlah dikira akan mau mengenal dan memahami kebenaran
Atau ujaran ini:
Berikan uang kepada sarjana agar mereka bisa belajar lebih banyak
Namun seorang zahid jangan diberi apa pun agar tetap zahid.
Para Sufi seperti Imam al-Ghazali, Jalaluddin Rumi dan Fariduddin `Attar sering mengingatkan bahwa ahli hakekat termasuk Sufi itu bukan orang yang serba tahu.. Kepada murid-murid mereka para guru Sufi selalu mengajarkan betapa perlunya seseorang berbuat sesuatu yang diyakini baik secara terus-menerus dengan iman, cinta dan harapan yang besar. Jadi seseorang tidak berputus asa. Rasa optimis lebih memberikan manfaat dibanding berputus asa. Kata Rumi “Siapa yang tetap mengetuk pintu akan tiba masanya pintu dibuka.” Seorang Sufi lain mengatakan, “Mengapa kau bilang pintu akan terbuka? Pintu itu sebenarnya tidak pernah tertutup.” Akan tetapi untuk meyakini bahwa ‘pintu selalu terbuka’ memerlukan proses yang panjang dan kesadaran batin yang dalam.
Para Sufi yakin bahwa kebenaran tertinggi atau hakiki tidak pernah dapat dirumuskan dalam konsep ilmiah. Pandangan serupa juga dijumpai di kalangan orang arif Hindu, Zen Buddhisme, Tao dan lain-lain. Seorang hukama Taois menyatakan, “Apa yang nampaknya benar sering merupakan distorsi atas kebenaran obyektif.” Hakekat segala sesuatu menurut keyakinan mereka tidak didapat melalui pertanyaan ‘Bagaimana? dan Mengapa?’
Kecuali tidak acuh pada pemilikan diri, para Sufi yakin bahwa sikap fakir atau bersahaja memiliki kekuatan yang dapat membimbing seseorang menuju pencerahan kalbu. Kisah yang bertalian dengan Syekh Utsman al-Hiri berikut ini cukup menarik:
Syekh Usman al-Hiri telah diundang makan malam oleh seorang yang jahil. Ketika syekh tiba di rumah orang itu, orang itu mengusirnya. Tetapi ketika baru beberapa langkah ia berjalan, orang itu memanggilnya lagi. Ini terjadi sampai tiga puluh kali, sampai ada orang lain muncul, terharu menyaksikan ketabahan Syekh Utsman dan kelembutannya, pada waktu dia melihat syekh itu membungkukkan badan dan minta maaf.
“Anda tidak mengerti,’“ kata al-Hiri. “Apa yang saya lakukan tak lebih dari apa yang dilakukan oleh seekor anjing yang terlatih. Ketika Anda memanggilnya, anjing itu datang. Ketika Anda mengusirnya maka ia pun pergi. Ini bukan perilaku seorang Sufi yang sejati dan tidak terlalu sukar untuk dilakukan.
Shakespeare kerap memberi peran kepada orang pandir dalam upaya mencapai pandangan yang tepat. Para Sufi kerap menggunakan kearifan dari orang gila (bahlul) untuk memperoleh kesadaran menuju kebenaran. Kegilaan, sebagaimana keindahan, berada dalam mata sang penglihat; dan kebenaran, sebagaimana lazim dipahami, ialah suatu hal yang bersifat nisbi.
Pemahaman para Sufi, sebagaimana pemahaman para mistikus sejati di Timur dan Barat, mengenai manusia dan alam semesta sering menimbulkan keheranan kita. Kita terbiasa mempercayai sains modern dengan berbagai penemuannya. Termasuk di bidang ilmu jiwa (psikologi), evolusi dan kodrat materi serta energi. Namun bukti-bukti menunjukkan bahwa konsepsi-konsepsi modern ini telah lama dikenal oleh para ahli makrifat di lingkungan agama Hindu, Budha, Kristen, Islam dan Tao. Seorang sufi masyhur menuturkan seperti berikut delapan ratus tahun yang lalu:
“Asal mulanya kau lempung. Dari mineral, kau naik jadi tumbuhan. Dari tetumbuhan, kau naik jadi hewan, dan dari hewan naik jadi manusia. Selama masa-masa penanjakan ini manusia tidak tahu ke mana ia akan pergi, tapi ia telah menempuh suatu perjalanan yang panjang. Dan kau telah menempuh ratusan dunia/alam yang berbeda-beda.” (Maulana Rumi)
“Belahlah hati atom: dari tengah-tengahnya akan kau saksikan bola matahari bersinar. Jika kau menyerahkan segenap yang kau miliki pada Cinta, kau tak akan merasakan kehilangan secercahpun. Jiwa berjalan melalui panasnya api cinta membuat kau menyaksikan jiwa berubah. Jika kau membuang kesempitan dimensi, dan ingin menyaksikan waktu dari sesuatu yang tak bertempat, kau akan mendengar apa yang belum pernah kau dengar dan akan menyaksikan apa yang belum pernah kau lihat; sehingga mereka melepaskan kau menuju suatu tempat di mana kau akan menyaksikan ‘dunia’ dan ‘dunia-dunia’ sebagai satu. Kau akan mencintai Keesaan (tauhid) dengan hati dan jiwa; sehingga, dengan mata sebenarnya, kau akan menyaksikan Tauhid …” (Syekh Ahmad Hatif)
Kesatuan transenden segala benda menjadi tekanan utama para ahli makrifat. Pembedaan artifisial yang dibuat dalam tingkat kesadaran biasa harus dicampakkan untuk memperoleh penglihatan murni. Kesadaran semacam itulah mungkin yang membuat Ibn al-‘Arabi berpendapat bahwa manusia yang berpikir usianya akan dihitung dengan cermat bisa mencapai empat puluh ribu tahun.
Aspek psikologis dari hikmah Sufi ditunjukkan oleh banyak kisah yang disampaikan dengan berbagai cara. Pengetahuan sampai melalui seorang guru kepada muridnya melalui cara yang sesuai dengan kemampuan murid dalam memahami suatu masalah, sesuai dengan kepribadian dan temperamennya. Seorang guru jarang menyampaikan ajaran kepada lebih dari sekelompok kecil murid, malah sering seorang guru hanya mengajar seorang murid. Banyak kisah Sufi yang menunjukkan bagaimana bagaimana cara mereka mengajar. Metodenya bermacam-macam, disamping dibedakan antara murid yang pandai atau cepat menangkap persoalan dengan murid yang lambat pertumbuhan pikirannya. Misalnya sebagaimana dituturkan dalam kisah ini:
“Suatu hari telah datang seorang lelaki menemui Syaikh Akbar Bahaudin, meminta petunjuk kerohanian. Bahaudin mengatakan kepadanya agar mengelakkan kajian kerohanian, dan meninggalkan majlisnya sekali ini. Pengunjung yang sama memprotes. ‘Kau sudah memiliki bukti,’ ujar Bahaudin. Pada waktu itu seekor burung terbang ke dalam ruang, mengepakkan sayap ke sana kemari tanpa mengetahui ke mana dia harus melarikan diri. Sanng Sufi menunggu sampai burung itu berdiam dekat jendela, dan kemudian tiba-tiba menepuk tangannya. Diberi peringatan, burung itu terbang lurus ke luar jendela, untuk membebaskan diri. Bagi burung itu suara tepukan itu telah cukup untuk menimbulkan goncangan; juga membuat ia terhina — tidak – kan demikian? kata Bahaudin.
Ini hanya contoh kecil saja, bagaimana guru-guru Sufi tidak mudah menerima seorang murid, terutama yang niatnya belum kukuh dan kemampuannya untuk memahami persoalan meragukan. Jadi mereka begitu selektif.
Upaya kita untuk menyimak mutiara hikmah dari mereka tidak akan memadai seandainya kita melupakan aforisme-aforisme mereka yang begitu menukik dan tajam. Beberapa di antaranya bisa kita paparkan:
Orang menentang sebuah pandangan karena tak mau tahu tentang pandangan tersebut..
Kecepatan memang diperlukan oleh seekor kuda, namun tidak semua bentuk kecepatan itu diperlukan dan memberi keuntungan.
Kau memiliki satu hal yang tak bakal hilang bila berada dalam sebuah kapal yang karam.
Aku tidak pernah melihat seseorang yang berada di jalan lurus itu kehilangan.
Nak, jangan minta inbalan dari A jika kau sedang bekerja di rumah B.
Jangan bersahabat dengan pemelihara gajah jika kau tidak punya ruang untuk menghibur seekor gajah.
Ikatlah dua ekor burung, mereka takkan mampu terbang sekali pun sayap yang mereka miliki empat.
Pembenaran diri yang berlebihan lebih jelek dibanding kecaman yang orisinal.
Berdosa kepada Tuhan adalah suatu hal; namun berdosa kepada manusia jauh lebih buruk.
Lilin menyala tidak untuk menerangi dirinya sendiri.
Kami telah menulis seratus surat kepadamu, dan kau tidak menulis sepucuk surat pun sebagai jawaban. Namun tak menjawab sudah merupakan sebuah jawaban.
Sering seseorang memberikan penafsiran keliru jik berhadapan langsung orang yang pandai dan mengetahui.
Seorang syekh ialah dia yang mempunyai murid yang memerlukan pribadinya, bukan keajaiban, kekeramatan dan kebesarannya.
Seorang sufi adalah dia yang telah meninggalkan tiga macam kata ‘aku’ dalam ucapannya: kepunyaanku, dadaku dan kekayaanku. Ia telah melepaskan sesuatu yang diperuntukan bagi dirinya.
Imbauan tasawuf memiliki ciri universal. Ia bertalian dengan setiap peradaban, setiap agama dan setiap babakan waktu dalam sejarah manusia. Bagi yang mengalaminya tidak memerlukan takrif atau definisi, dan tak akan pernah terkena cemaran logika serba dua kali dua sama dengan empat. Intisari tasawuf selalu hadir dalam tebaran kata-kata para bijak. Diktum yang disajikan Ibn al-‘Arabi ini barangkali merupakan contoh yang paling cemerlang:
“Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama pengetahuan intelektual, yang dalam kenyataan berisi informasi dan kumpulan fakta-fakta belaka, dan apabila pengetahuan ini digunakan untuk mencapai konsep-konsep intelektual yang melampaui batas, maka ia disebut intelektualisme. Yang kedua menyusul pengetahuan tentang keadaan-keadaan, mencakup baik perasaan emosional dan perasaan asing di mana orang mengira telah mencerap sesuatu yang tinggi. Namun dia tidak dapat memanfaatkan untuk keperluan hidupnya sendiri. Inilah emosionalisme. Yang ketiga pengetahuan nyata, yang disebut Pengetahuan tentang Hakekat. Dalam bentuk ini manusia dapat mencerap apa yang betul, apa yang benar, mengatasi batasan-batasan pikiran dan penginderaan. Para sarjana dan ilmuwan memusatkan perhatian pada bentuk pengetahuan pertama. Kaum emosionalis dan eksperimentalis menggunakan bentuk kedua. Yang lain memadukan keduanya, atau memakai satu di antara keduanya secara bergantian. Akan tetapi orang yang telah mencapai kebenaran ialah mereka yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya dengan hakekat yang terletak di balik kedua bentuk pengetahuan ini. Itulah Sufi sejati, darwis yang telah mencapai makrifat dalam arti sebenarnya.
Demikianlah uraian ringkas ini mudah-mudahan memadai dalam menjelaskan apa itu hakekat tasawuf, landasan falsafah dan kandungan sastranya.
Jakarta Desember 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar