Pada saat shalat isya
Semua orang menggelar kain dan lilin
Namun aku memimpikan kekasihku,
Menatap, sembari meratap dan sedih, isyaratnya
Dengan menangis, berarti aku melakukan wudhu,
Dan sholatku pun akan bergelora,
Lalu kubakar jalan masuk masjid
Ketika suara azanku berkumandang ....
Apakah aku shalat dua rakaat penuh?
Barangkali ini delapan?
Surah mana yang kubaca?
Karena aku tak punya lidah untuk membacanya.
Di pintu Tuhan-mana mungkin aku mengetuknya,
Karena kini aku tak punya tangan atau hati?
Tuhan, dikau telah membawa hati dan tangan!
Tuhan, anugerahi daku keselamatan,
Ampuni daku .... (D 2831)
Ka’bah untuk ruh
Dan Jibril: pohon Sidrah,
Kiblat pelahap:
Yaitu taplak meja.
Kiblat untuk ahli makrifat:
Cahaya persatuan dengan Tuhan.
Kiblat filsafat, nalar,
Adalah: pikiran kosong!
Kiblat sang zahid:
Tuhan Maha pemurah.
Kiblat si tamak:
Pundi-pundi berisi emas.
Kiblatnya mereka yang melihat
Makna sejati, adalah kesabaran.
Kiblat mereka yang hanya menyembah
Bentuk-bentuk: sosok batu.
Kiblatnya kaum esoteris
Yaitu Dia, Tuhan Rahmat.
Kiblatnya kaum eksoteris
Yaitu wajah wanita.... (M IV 1896)
Jika Dikau tak karuniakan jalan,
Ketahuilah bahwa jiwa pasti tersesat:
Jiwa yang hidup tanpa-Mu
Anggaplah itu mati!
Jika Dikau perlakukan dengan buruk
Hamba-hamba-Mu
Jika Dikau mencerca mereka, Tuhan,
Dikaulah Raja-tak soal
Apa pun yang Dikau lakukan
Dan jika Dikau menyebut matahari,
Rembulan indah itu “kotor”,
Dan jika Dikau katakan si “jahat”
Adakah rampingnya cemara nun di sana itu,
Dan jika Dikau katakan Takhta
Semua alam itu “rendah”,
Dan jika Dikau sebut lautan
Dan tambang emas “fakir lagi miskin”
Itu sah saja,
Sebab Dikaulah yang Mahasempurna:
Dikaulah satu-satunya yang mampu
Menyempurnakan segala yang fana! (M I 13899ff.)
Syair semacam itu mencerminkan sikap Maulana sendiri, ketakjubannya yang tak kunjung berhenti terhadap Tuhan Mahaperkasa.
Dia bilang: “Dikau telah beri aku hidup,
Dan beri aku banyak waktu,
Dikau amat murah hati kepada orang
Yang amat merendahkan diri, Tuhan!
Selama tujuh puluh tahun penuh
Di sini aku durhaka
Namun tidak Dikau tahan
Karunia-Mu sehari pun!
Kini aku tak dapat cari uang;
Aku sudah tua, aku tamu-Mu,
Akan kumainkan harpa untuk-Mu,
Sebab aku ini milik-Mu!”
Musa melihat seorang penggembala di jalan,
Katanya: “Duhai yang memilih orang
Yang Dikau kehendaki:
Di mana dikau, supaya aku menjadi hamba-Mu,
Supaya aku memperbaiki jubah-Mu
Dan menyisir rambut-Mu,
Supaya aku cuci pakaian-Mu, dan membunuh kutu-Mu,
Membawakan untuk-Mu susu, Duhai Yang Mahatinggi!
Mencium tangan indah-Mu, memijit kaki-Mu,
Supaya aku bersihkan kamar kecil-Mu
Pada saat akan tidur!
Kukurbankan semua kambingku untuk-Mu
Yang kurindukan dan memenuhi pikiranku,
Dengan penuh cinta!” (M II 1720ff.)
Ketika kamu berseru, “Ya Tuhan!”
Aku menyahut, “Aku di sini.”
Permohonanmu adalah pesan-Ku, sayang,
Dan semua upayamu untuk mendekatkan diri
Kepada-Ku
Tak lain adalah syarat bahwa Aku
Mendekatkan dirimu kepada-Ku.
Kepedihan dan upayamu yang penuh cinta:
Tanda-tanda rahmat-Ku!
Dalam setiap “Ya Tuhan!” ada seratus
“Di sinilah Wajah-Ku!” (M IV 189ff.)
Kalau tidak, mana mungkin bunga mawar tumbuh (M II 2442ff.)
Para nabi juga telah mengajarkan shalat. Adapun Nabi kita, yang jelas telah menunjukkan ibadah shalat ini, beliau bersabda, “Aku memiliki waktu bersama Tuhan di mana tidak ada ruang bagi seorang nabi utusan Tuhan maupun malaikat.” Dengan demikian, kita tahu bahwa jiwa shalat itu bukan saja bentuk ini, melainkan keterserapan dan hilangnya kesadaran, di mana semua bentuk lahiriah ini tetap berada di luar dan tidak ada tempat baginya. Jibril sekalipun, makhluk spiritual, tidak dapat masuk ke sana.
Diamlah, dan berjalanlah
Melalui kesunyian menuju ketiadaan,
Bila engkau sudah jadi ketiadaan,
Dirimu akan jadi pujian! (D 2628)
Sumber:
Diambil dari buku Akulah Angin Engkaulah Api (hidup dan karya Jalaluddin Rumi), Pengarang Annemarie Schimmel, Mizan, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar