Ungkapan “Aku adalah Tuhan”
bukanlah timbul dari sifat meninggikan diri.
Melainkan suatu kerendahan hati yang total.
Seseorang yang berkata “Aku adalah hamba Tuhan”
menyebutkan dua keberadaan, dirinya dan Tuhan.
Sedangkan
ungkapan “Aku adalah Tuhan” berarti peniadaan diri,
yakni dia menyerahkan dirinya sebagai kekosongan.
(Jalaluddin Rumi)
Jalaluddin Rumi adalah tokoh sufi terbesar dan penyair kelahiran Konya
yang terkenal sebagai sufi yang memperkenalkan jalan cinta (Mistikus Cinta).
Berbagai karyanya seperti Matsnawi, Fihi ma Fihi, Maktubat,
dan beberapa karya lainnya seperti Diwan-I Syams-I Tabrizi
yang berisi syair-syair cinta religius yang merepresentasikan
pengalaman spiritual tertentu seperti persatuan dengan Tuhan
atau perpisahan dengan-Nya.
Rumi sebagaimana para tokoh sufi lainnya adalah manusia-manusia bebas.
Mereka adalah the greatest adventure, para petualang sejati.
Dalam menyikapi dan mengarungi samudera kehidupan ini
mereka ibaratnya tidak hanya berenang dipinggir-pinggir pantai
atau berenang di kolam renang,
tetapi terjun langsung ke tengah samudera kehidupan.
Jadi mereka menyelami kehidupan sampai ke tingkat yang paling dalam,
sehingga mampu mengungkapkan sisi-sisi hakikat kehidupan yang sejati
yang bagi kaum awam masih merupakan sebuah misteri besar.
Jalaluddin Rumi menegaskan bahwa
adalah sangat tidak gampang untuk menjelaskan
masalah-masalah yang berkaitan dengan aspek hakikat kehidupan
kepada khalayak ramai/kaum awam,
karena tingkat pengetahuan mereka masih belum memadai.
Sebagai ilustrasi betapa tidak gampangnya
memahami dunia hakikat atau hakikatnya kehidupan,
Rumi mengambil missal mengenai ajaran agama.
Menurut Rumi,
ajaran agama yang sejati berbeda dengan yang diduga orang.
“Di dunia ini,” ujarnya,
“tidak ada padanan (persamaan) dari hal-hal yang disebut
‘Arsy (Allah), kitab, malaikat, hari hisab.
Demikian pula,
misteri-misteri Cinta Ilahi tak mungkin dapat diungkapkan secara terbuka
kepada manusia.
Diperlukan symbol, kiasan atau kisah-kisah,
namun harap diingat,
perumpamaan atau symbol-simbol itu hanyalah merupakan suatu gagasan kasar
tentang sesuatu yang lain” (Idris Shah, 2000: 158).
Sebagai contoh,
surga dan neraka adalah suatu bentuk kearifan ilahi
yang dimaksudkan untuk memandu manusia ke jalan lurus.
Tetapi apakah sebenarnya surga dan neraka itu?
Dalam kitab suci dilukiskan bahwa
surga adalah suatu tempat yang penuh kenikmatan
untuk bersenang-senang bersama wanita-wanita cantik dan anggur.
Dan semua kenikmatan itu diperuntukkan bagi mereka yang taat kepada ilahi.
Sedangkan
neraka adalah tempat siksaan maha dahsyat bagi mereka yang ingkar kepada Tuhan. Gambaran ini adalah sebuah simbol kasar dari sesuatu yang lain.
Sesuatu yang lain itu seperti apa wujudnya,
kita semua yang masih hidup ini sesungguhnya tidak pernah tahu.
Bentuk-bentuk kearifan ilahi dalam kitab suci
yang dinyatakan melalui gambaran kasar
sangat diperlukan agar manusia biasa (awam)
yang tingkat pengetahuan agamanya terbatas tertarik pada ajaran kebajikan
(ajaran agama atau jalan yang lurus).
Misalnya
hadiah surga dimaksudkan sebagai rangsangan atau daya tarik
agar mereka yang awam itu mau mengikuti jalan lurus yang diajarkan oleh Allah.
Lain halnya dengan manusia sejati
yang memiliki pengetahuan tinggi dan kearifan,
mereka memiliki mata batin yang mampu menangkap makna lain
dari kearifan ilahi itu.
Bagi kaum sufi,
surga dan neraka bukan tujuan cintanya kepada Allah.
Karena itu surga dan neraka “tidak masuk hitungan”,
lain dengan kaum awam yang menjadikan surga sebagai dambaan
yang akan dicapai setelah kematian tiba.
Adapun dambaan manusia sejati adalah
fana (lebur) dalam Dzat-Nya (manunggal dengan Gusti Allah).
Dengan contoh kearifan ilahi
berupa surga dan neraka ini kiranya menjadi cukup jelas bagi kita,
bahwa sesungguhnya
tidak mudah “menangkap” makna-makna batini
setiap ajaran yang dituangkan dalam kitab suci.
Oleh karena itu
pikiran Rumi hendaknya tidak ditafsirkan secara dangkal,
dengan serta merta memvonis bahwa
pendapat Rumi adalah keliru
tanpa mengetahui
apa yang sebenarnya disampaikan atau diungkapkannya.
1. Dunia Makna dan Dunia Bentuk
Untuk memahami alam pikiran Rumi
kita perlu mengenal adanya dunia makna dan dunia bentuk.
Rumi di berbagai puisinya seringkali menerangkan bahwa
apa yang Nampak dalam pandangan kita
sebenarnya hanyalah selubung yang menutupi hakikat yang tersembunyi.
Jadi,
dunia yang Nampak di depan kita hanyalah bentuk semata,
jadi itu bukan makna sesungguhnya.
Karena, menurut Rumi,
dunia itu merupakan selubung atau tirai dari makna-makna yang tersembunyi.
Jadi perlu dipahami adanya dikotomi antara bentuk dan makna.
Bentuk adalah penampakan luar (aspek luar),
sedangkan makna adalah hakikat sejati
yang berada di seberang bentuk (aspek dalam).
(William C. Chittick, 2001: 28).
Rumi merasa sedih bahwa
manusia seringkali terlalu menganggap penting dunia bentuk,
ketimbang dunia makna.
Padahal yang utama itu sesungguhnya maknanya,
karena makna adalah hakikat atau intisarinya.
Mengapa manusia lebih memilih dunia bentuk?
Sebab kebanyakan manusia terselubung oleh kabut kegelapan
berupa nafsu rendahnya.
Jadi yang lebih dominan menempati pusat kesadarannya adalah
nafsu rendahnya
sehingga ia tak mampu
menembus atau memahami makna yang tersembunyi
dalam bentuk-bentuk luarnya.
Rumi melalui puisinya dan atau ajarannya
senantiasa mengingatkan agar manusia tidak terkelabuhi
oleh segala macam bentuk.
Mereka hendaknya belajar untuk memahami hakikat atau makna yang tersembunyi.
Dengan demikian
manusia akan mampu memahami nilai-nilai kesejatiannya
dan mampu memahami makna dari kehidupan yang hakiki.
Namun Rumi pesimis mengenai hal ini,
karena memang tidak mudah baginya
untuk dapat menyingkapkan isyarat-isyarat-Nya atau kearifan-Nya
kepada orang-orang awam.
Rumi menyatakan:
“Jika Ia harus bersibuk diri dengan menjelaskan hal-hal yang pelik tersebut,
seorang sufi yang telah mencapai derajat keilahian pun
akan mengalami kesulitan,
sebab bagaimana mungkin
dapat menyingkapkan misteri-misteri yang serba gaib dan mistis
kepada orang-orang yang masih awam?”
Selanjutnya Rumi berkata:
“Seseorang yang tidak dapat menyaksikan seekor unta di puncak sebuah menara, bagaimana dia kemudian dapat melihat seutas rambut di mulut sang unta?”
(Mulyadhi R. Kartanegara, 1986: 95).
Maksudnya,
menjelaskan benda yang sangat jelas saja sulit
bagaimana mungkin menjelaskan hal-hal yang lebih rumit dan serba gaib.
Oleh karena itu Rumi menyerahkan sepenuhnya
kepada para pembaca atas karya-karyanya seraya berpesan:
“Hendaknya tidak memaksakan diri
sekiranya belum mampu menyelami dan memahami
hal-hal yang bersifat batini atau yang serba gaib.”
2. Teori Evolusi ala Rumi
Sesungguhnya
jauh sebelum dunia ilmu pengetahuan digemparkan oleh Charles Darwin (1809 – 1882) dengan teori evolusinya, Jalaluddin Rumi (1207 – 1273) sudah mendahului
dengan memaparkan “teori evolusi” tentang asal usul manusia.
Sementara Darwin hanya berhasil mengungkapkan proses evolusi
dari satu mata rantai saja, yaitu
munculnya manusia yang berdasarkan penelitian berasal dari binatang,
Rumi lebih jauh lagi.
Rumi berhasil mengungkapkan keseluruhan aspek kehidupan,
mulai dari sejak awal kehidupan sampai akhir kehidupan umat manusia.
Bacalah bait-bait puisi “teori evolusi” berikut ini:
Evolusi pertama
Pada awalnya manusia lahir dari tingkat alam benda
Kemudian
ia lampaui alam itu dan masuk ke alam tumbuh-tumbuhan
Hiduplah ia selama bertahun-tahun sebagai salah satu dari tetumbuhan itu
Ia tak ingat lagi dari alam sebelumnya yang sedemikian berbeda
Dan bila ia lampaui alam tumbuhan dan masuk ke alam kehewanan
Tidaklah ia ingat lagi keadaannya sebagai tumbuh-tumbuhan
Terkecuali kecenderungan yang dirasakan
sebagai bagian alam tumbuhan
Terutama di musim semi yang penuh bunga;
Seperti kecintaan anak-anak terhadap bundanya
Yang tiada tahu mengapa mereka suka pada buah dadanya
Sekali lagi Pencipta Maha Besar memindahkan
Manusia dari alam hewan kea lam insani;
dan begitulah manusia melalui susunan satu alam ke alam lain
Sampai ia menjadi cerdik dan piawai dan perkasa seperti sekarang ini.
Tentang ruhnya yang pertama ia kini tak ingat lagi
Dan sekali lagi ia akan dirubahnya dari ruhnya yang sekarang
Dalam teori evolusi tahap pertama dilukiskan oleh Rumi
tentang perjalanan asal usul manusia yang diawali dari alam benda (tanah),
sebagaimana firman-Nya bahwa
manusia itu diciptakan oleh Tuhan dari tanah.
Dari tanah ia tidak muncul menjadi manusia
tetapi berevolusi melalui tingkatan demi tingkatan,
sebagaimana firman-Nya dalam Surat Nuh ayat 14:
“Dia sesungguhnya menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.”
Jadi,
manusia lahir dari alam benda (tanah) masuk ke tahapan alam tumbuh-tumbuhan, sebagaimana firman Tuhan:
“Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah.” (Surat Nuh: 17)
Selanjutnya masuk ke tahapan alam hewan,
dan akhirnya muncul sebagai makhluk sempurna yang disebut manusia.
Ringkasnya,
pada awalnya ruh manusia tinggal bersama (manunggal) dengan Tuhan.
Kemudian atas kehendak-Nya manusia memasuki alam dunia
dengan diberi jubbah yang berasal dari tanah hitam (lempung Adam).
Mengenai hal ini Rumi menjelaskan dalam sebuah puisinya:
“Sebelum engkau menjadi jasad ini,
engkau adalah ruh suci
Berapa lamakah engkau akan terpisah darinya?
Kau adalah ruh suci di dalam lempung Adam
Aku tidak akan mengatakan sesuatu pun
– sudahkan engkau pikirkan matang-matang?
Engkau tidak akan mengenali dirimu sendiri dalam jubahmu –
karena kau lumuri ia dengan nafsu
yang terbungkus dalam lempung Adam!”
Jelaslah,
karena manusia dilumuri nafsu rendah dalam lempung Adam,
maka ia tidak lagi menyadari ruhnya yang suci,
bahkan tidak menyadari/mengenal dirinya sendiri.
Karena itu Rumi menjelaskan bahwa
tujuan diciptakan agama oleh Allah
pertama-tama dimaksudkan
untuk membebaskan ruh dari penjara jasad
dan dari cengkeraman hawa nafsu rendahnya,
lalu mengembalikan pada rumah asalnya yang sejati yaitu
ke haribaan Allah.
Hal ini diterangkan dalam “teori evolusi” berikutnya.
Evolusi tahap kedua
Dan kemudian tujuanku
Di balik awan-awan,
di balik langit
Daerah kekal tak mengenal maut memburu
Ibarat malaikat;
tak terikat waktu
Walau siang atau malam berlalu
Hidup dan mati,
gaib dan nyata
Tempat semula alam semesta
Sebagai Yang Tunggal dan Yang Segalanya
Dalam perjalanan teori evolusi tahap kedua,
dilukiskan perjalanan atau tujuan manusia setelah kematian tiba,
dimana digambarkan keadaan alam yang kekal, yaitu
tidak mengenal kematian lagi (masuk alam baka).
Alam itu adalah alam asal usul seluruh umat manusia yaitu,
Tuhan Yang Maha Esa.
Pernyataan Rumi yang menyebutkan bahwa
“kesemuanya itu berasal dari sumber yang satu dan meliputi segalanya”,
menggambarkan bahwa segenap wujud yang beraneka raga ini
pada hakikatnya hanyalah satu realitas.
Bilamana “teori evolusi” ini dipadankan dengan konsep Martabat Tujuh,
maka kita dapat menemukan garis kesamaan.
Menurut konsep martabat tujuh,
pada hakikatnya Allah, sebagai Dzat yang diselimuti misteri Maha Gaib,
tak dapat dikenali oleh siapa pun.
Untuk dapat dikenal maka Allah ber-tajalli sebanyak tujuh martabat.
Maka diciptakanlah alam semesta dengan segala isinya.
Khususnya manusia sebagai citra yang paling paripurna dari Tuhan.
Jadi tajalli-nya Allah di jagat raya diawali dengan munculnya alam semesta,
dimana dapat dijumpai antara lain berbagai macam tumbuhan,
makhluk-makhluk hidup di laut dan di darat (dalam bentuk materi).
Dalam proses selanjutnya muncullah manusia.
Dari manusia biasa (awam) ini melalui proses penyempurnaan
jadilah manusia sempurna (Insanul-Kamil).
3. Perbincangan Ilmiah
Bukan sebuah kebetulan,
bahwa apa yang diungkapkan oleh Rumi ternyata didukung oleh ilmuwan
bernama J.B. de Lamarck, seorang sarjana Perancis (1774 – 1829).
Dari hasil penelitian Lamarck menyimpulkan bahwa
semua makhluk hidup terus-menerus mengembangkan bentuk
untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan sekitar.
Menurut pendapatnya,
perubahan-perubahan kecil yang terjadi
diwariskan ke generasi berikutnya dan sesudah ribuan tahun
menghasilkan bentuk-bentuk kehidupan yang baru sama sekali.
(Teilhard Chardin, 1971: 10).
Sementara itu Chardin sendiri menyatakan bahwa
kelirulah pendapat yang mengatakan bahwa dunia ini statis
(tidak mengalami perubahan secara signifikan atau tidak berevolusi).
Dunia Nampak statis hanya dalam pandangan kita yang sekilas saja.
Dalam kenyataannya,
pandangan kita tentang kosmos
hanya dapat diibaratkan sebagai suatu potongan tipis
dari penampang lintang sebuah pohon,
yang akarnya berada jauh di masa lampau
dan cabang-cabangnya tumbuh ke ketinggian masa mendatang.
Seluruh dunia di masa lampau, di masa sekarang dan di masa mendatang
akan selalu merupakan suatu masa yang terus menerus berkembang
(Teilhard Chardin, 1971: 26).
Untuk menjadi pembanding,
ada baiknya kita lihat pandangan para ahli piker Asy’ariyyah.
Menurut mereka dunia tersusun dari apa yang mereka namakan jawahir,
yaitu bagian-bagian yang teramat kecilnya atau atom-atom
yang tiada dapat dipecah-pecah lagi.
Disebabkan kegiatan kreatif dari Tuhan yang tiada henti-hentinya,
setiap saat tercipta atom-atom baru
dan karena itulah alam semesta terus dalam keadaan berkembang
(Muhammad Iqbal, 1978: 111).
Hal ini tidak terlalu jauh berbeda dengan berbagai pandangan ilmiah sebelumnya.
Selanjutnya,
seorang ilmuwan bernama Charles Darwin
berhasil menemukan teri evolusi yang cukup komprehensif.
Dalam teorinya,
Darwin meyakinkan bahwa bentuk-bentuk kehidupan manusia berkembang
berdasarkan hasil evolusi berjuta tahun yang lalu, yaitu
dari binatang menuju manusia.
Teori itu didukung dengan beberapa bukti
dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba masa lampau.
Yang menarik dari pandangan Darwin tersebut adalah bahwa
semua keanekaragaman kehidupan (tumbuhan, binatang dan manusia)
berasal dari satu sel purba (Charles Darwin, 2002: 615).
Hal ini sesuai dengan yang dilukiskan Rumi dengan kata-kata puitis:
“Semuanya berawal dan berakhir
dari yang Tunggal dan Yang Meliputi segalanya.”
Jadi, jika dirumuskan secara sederhana, pandangan teori evolusi tentang penciptaan dunia adalah sebagai berikut:
Materi purba diciptakan oleh Tuhan,
yang kemudian berkembang atas dasar kekuatannya
yang ditanam oleh Tuhan di dalamnya.
Arus evolusi terus mendorong ke depan,
melalui tumbuhan dan binatang tercapai tingkatan manusia.
Manusia terus maju dari tingkatan rendah menuju yang lebih tinggi, yaitu
menjadi manusia sempurna (insan kamil).
Jadi manusia pertama berasal dari binatang
yang secara tidak langsung berasal dari Tuhan.
4. Tangga-Tangga Cinta
Salah satu fokus utama gagasan Rumi
yang sebagian besar diungkapkan dalam puisi-puisinya
sangat menekankan pentingnya cinta.
Mengapa cinta?
Sebab,
dengan cinta manusia bisa bersatu dengan Pecinta Agung yaitu Allah.
Rumi sebagaimana kaum sufi lainnya selalu mengingatkan kepada manusia
agar terus-menerus berupaya mendekatkan diri kepada Allah yaitu
dengan cara mencinta-Nya sepenuh hati.
Inilah tingkatan-tingkatan cinta versi Jalaluddin Rumi.
Pertama,
cinta atau pemujaan kepada hal-hal yang diciptakan oleh Allah,
yaitu:
manusia (pria-wanita, anak-anak),
materi (harta benda),
pangkat/kedudukan/jabatan dan sejenisnya.
Kedua,
cinta kepada yang menciptakan isi dunia yaitu Allah
yang ditunjukkan lewat pemujaan atau secara formal
dilaksanakan dalam praktik ibadah ritual kepada Allah.
Tingkat ini dalam agama disebut Syariat.
Ketiga,
cinta mistis atau dalam tahapan makrifat,
dimana wujudnya bersatu dengan sang Pencipta.
Allah dirasakan dan dihayati sentuhannya
secara personal dan spiritual.
Tingkatan ini sudah mencapai derajat sempurna, yaitu
derajat hakikat atau makrifat.
Berbicara tentang Rumi,
dimanakah tingkatan cinta Rumi dalam jenjang cinta?
Tentu saja Rumi tidak lagi dalam tingkatan cinta pertama yaitu
cinta kepada bentuk-bentuk materi,
namun sudah melesat dalam tingkatan tertinggi dalam cinta, yaitu
dalam derajat makrifat.
Dalam sebuah pernyataannya Rumi berkata:
“Semoga Allah memberkati
para budak materi dan para penghamba jasmani serta para pecinta harta benda.
Tetapi sedikit pun aku tidak merasa iri
dan hendak ikut serta memperebutkannya bersama mereka.
Adapun aku sendiri berada dalam derajat cinta makrifat.
Sebuah gambaran dunia cinta
yang tidak pernah musnah dan berubah, yaitu
bersama Yang Maha Kekal.”
5. Manunggaling Kawula Gusti
Cinta mistis menunjukkan tiadanya pamrih pribadi kepada Tuhan.
Karena itu manusia mencintai Tuhan
bukan karena takut panasnya api neraka
atau mengharap kenikmatan masuk surga,
namun semata-mata menginginkan Tuhan itu sendiri.
Oleh karena itu
cinta menurut versi Rumi termasuk lenyapnya kedirian,
karena adanya kesatuan (manunggal) yang sempurna dengan Sang Kekasih.
Tuhan adalah tujuan dan tumpuan harapan seluruh hidupnya,
tiada yang lainnya.
Pada saat tercapai puncak kemabukkan cinta,
maka akan terjadi perkawinan jiwa antara sang Khaliq dengan makhluknya,
dimana terjadi sintesa antara pecinta dan yang dicintai
yang terwujud dalam kondisi bersatu atau fana’ (lebur dalam diri Tuhan).
Untuk menggambarkan bagaimana “bersatunya” (manunggalnya)
antara makhluk dengan Khalik-nya,
Rumi melukiskan dengan sangat indah dalam bait-bait puisinya yang berjudul:
Kau dan Aku.
“Bahagia saat kita duduk di pendapa,
Kau dan aku,
Dua sosok dua tubuh namun hanya satu jiwa,
Kau dan aku,
Harum semerbak dan nyanyi burung
menebarkan kehidupan
Pada saat kita memasuki taman,
Kau dan aku,
Bintang-bintang yang beredar
sengaja menatap kita lama-lama
Bagai bulan
kita bagikan cahaya terang bagi mereka
Kau dan aku,
tak terpisahkan lagi,
menyatu dalam nikmat tertinggi
Bebas dari cakap orang,
Kau dan aku
Semua burung yang terbang di langit
mengidap iri
Lantaran kita tertawa-tawa bahagia,
Kau dan aku
Sungguh ajaib,
Kau dan aku,
yang duduk bersama di sudut rahasia
Pada saat yang sama
berada di Iraq dan Khurasan,
Kau dan aku.”
Jangan salah paham,
meskipun Rumi melukiskan bahwa antara aku dan Kau,
atau antara manusia dan Tuhan tak terpisahkan lagi,
karena sudah manunggal,
namun tidaklah berarti manusia telah menjadi,
atau sama dengan, Tuhan.
Mengapa?
Sebab, Dia adalah sang Raja!
“Aku tak sama dengan Sang Raja,
bahkan jauh dari itu
Sekalipun dari Dia kuperoleh cahaya
dalam penampakan diri-Nya
Kesamaan bukanlah dalam hal bentuk dan esensi;
air menjadi sejenis dengan tanah dalam tumbuhan
Karena jenisku berbeda dengan Raja-Ku,
egoku fana’ dalam Ego-Nya
Karena egoku fana’,
maka Dia sajalah yang tinggal (baqa’);
aku mengepul penaka debu
di bawah kaki kuda-Nya
Jiwa menjadi debu,
hanya di atas debulah
jejak kuda menjadi cap kaki-Nya.”
Gagasan Rumi
bagi kaum yang memegang teguh syariat formal boleh jadi
terasa kurang sreg (tepat/pas),
sehingga bisa dianggap nyleneh dan memberontak tata syariat agama.
Bagi Rumi semua pandangan terhadap gagasannya adalah sah-sah saja,
karena perbedaan pandangan adalah suatu rahmat.
Rumi sebagaimana diungkapkan dibagian awal,
memandang segala sesuatu dari sisi hakikatnya, dunia makna,
bukan dari dunia bentuk atau luar.
Karena itu Rumi memandang dari aspek kesejatiannya bukan dari kulit luarnya.
Gagasannya tentang cinta kepada Allah,
yang sangat mendominasi pikiran dan puisinya,
sering diungkapkan dalam cara di luar syariat, yaitu
dengan membentuk sebuah tarian yang disebut “para darwis yang menari”
– the whirling dervishes.
Dan dengan tarian mistiknya itu Rumi sampai pada Allah.
Jika orang bertanya mengapa lewat tata cara menari dan tidak dengan tata syariat?
Rumi dalam satu puisinya menyatakan:
“Orang harus mendobrak dan mematahkan batas-batas pemikiran
untuk menyaksikan kekuatan cinta yang tertinggi,
dan untuk mencerap kebesaran Allah Tercinta.”
Dan semua itu bisa melalui musik dan tari.
Sumber:
Disadur dari buku “Ajaran Manunggaling Kawulo-Gusti” (Belajar Makrifat dari Syekh Siti Jenar, Al Hallaj, dan Jalaluddin Rumi) – Penulis: Sri Muryanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar