SYARIAT DALAM AMALAN TASAWUF.
Seluruh pengamal tasawuf
yang mengamalkan pengamalan tarikat muktabarah sepakat bahwa
landasan utama peramalan itu adalah pengamalan syariat yang kuat.
Semua lembaga tarikat Muktabarah berlandaskan Ahlus Sunnah wal Jama'ah
yang sangat menekankan pengamalan syariat yang sempurna, adalah
satu-satunya jalan untuk berhasilnya pengamalan tarikat itu.
Sementara ada sebagian orang yang berpura-pura mengaku pengamal tasawuf
tapi tidak mengamalkan syariat,
mengatakan mereka telah sampai ke tingkat yang tinggi,
telah sampai ke tingkat musyahadah
yang dibuktikan dengan beberapa kekeramatan-kekeramatan.
Pengakuan yang demikian ini adalah sesat,
karena sangat bertentangan dengan Al Qur'an dan Al Hadis,
dan tidak sesuai dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah dan
berbeda atau sangat bertentangan dengan kenyataan
yang dilaksanakan oleh para tokoh sufi pengamal tarikat Al Muktabarah.
Pengakuan-pengakuan yang demikian ini umumnya datang
dari orang yang berpura- pura pengamal tasawuf
atau datang dari pihak-pihak yang tidak senang
kepada jalan yang ditempuh oleh para sufi.
Para sufi menekankan peramalannya
harus didasarkan kepada at Taslim (penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT),
At Tafwidh (berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT),
At Tabarri Minan Nafsi (Pembebasan diri dari hawa nafsu), dan
At Tauhid bil Khalqi wal Masyi'ah
(mengesakan hanya Allah sajalah yang Maha Pencipta dan Maha Berkehendak).
Berbeda dengan golongan Qadariah yang mendasarkan peramalannya kepada
Al Fi'lu (perbuatan adalah kehendak yang bersangkutan),
al Masyi'ah (semua kehendak adalah kehendak yang bersangkutan),
al Khalqah (semua yang diciptakan adalah ciptaan yang bersangkutan) dan
at Takdir (semua takdir itu tergantung kepada yang bersangkutan).
Mereka ini semuanya,
mendasarkan apa saja yang mereka lakukan
tergantung kehendak mereka.
Di dalam Al Qur'an
banyak sekali dalil yang menunjukkan kebenaran
landasan peramalan para sufi tersebut.
Hasilnya pun kelihatan
dengan pengamalan yang sungguh-sungguh
yang didasarkan kepada syariat yang kuat,
para sufi memperoleh
kesenangan,
kemanisan dalam beriman dan beribadat,
ketentraman dan ketenangan.
Apa yang diperoleh para sufi ini merupakan buah,
hasil ibadatnya yang merupakan rahmat dari Allah SWT.
Apa yang diperoleh oleh para sufi ini belum tentu,
atau bahkan kecil sekali kemungkinannya dapat diperoleh oleh orang lain.
Letak perbedaannya menurut Al-Ghazali,
para sufi lebih gigih dalam riyadlah dan mujahadah.
Mereka tidak memadai dengan pengamalan-pengamalan syariat wajib saja,
tetapi harus juga mengamalkan syariat-syariat sunnah.
Para sufi tidak hanya meninggalkan yang haram dan makruh saja,
tetapi juga meninggalkan hal-hal yang mubah (kebolehan),
yang tidak berfaedah
apalagi kalau hal itu dapat membawa kepada melalaikan syariat.
Ibnu Khaldun menyatakan,
berkat riadlah dan mujahadah yang sungguh-sungguh,
maka para wali memperoleh tanda-tanda kemenangan yang besar,
memperoleh kekeramatan-kekeramatan,
sebagaimana hal itu juga diperoleh
para sahabat Rasulullah As Sabiqunal Awwalun.
Orang tidak boleh tertipu dan terpedaya
dengan adanya kekeramatan-kekeramatan ini
sebelum dibuktikan kuatnya syariat yang bersangkutan.
Kekeramatan ini tidak menjadi tujuan dan tidak pula menjadi ukuran.
Yang menjadi tujuan adalah dekat kepada Allah,
mendapat ridla-Nya dan
yang menjadi ukurannya mengamalkan syariat
dengan berhakikat sempurna.
Pengamal tasawuf yang telah memperoleh
kesenangan,
kemanisan dalam beriman dan beribadat,
ketentraman dan
ketenangan
adalah suatu bukti bahwa
dia telah menjalani atau menempuh jalan yang benar
dan mengamalkan syariat yang haq.
Dalam buku "Al Munqiz Minadlalal" diuraikan tentang para sufi
yang banyak memberikan pendapat atau komentar
berkenaan tasawuf dihubungkan dengan syariat,
ini disebutkan di dalamnya.
a. Imam Al Ghazali
Al Ghazali mengatakan,
"Ketahuilah bahwa banyak orang yang mengaku,
dia adalah menempuh jalan (tarikat) kepada Allah,
tapi yang sesungguhnya,
yang bersungguh-sungguh menempuh jalan itu adalah sedikit.
Adapun tanda orang yang menempuh jalan yang sungguh-sungguh dan benar,
diukur dari kesungguhannya melaksanakan syariat.
Kalaupun ada orang yang mengaku bertasawuf dan bertarikat
dan telah menampakkan semacam kekeramatan-kekeramatan,
melalaikan atau tidak mengamalkan syariat,
ketahuilah bahwa itu adalah tipu muslihat,
sebab orang yang bijaksana (orang tasawuf) mengatakan,
Artinya :
Jikalau kamu melihat seseorang mampu terbang di angkasa
dan mampu berjalan di atas air,
tetapi ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat,
maka ketahuilah bahwa sebenarnya ia itu adalah setan."
b. Abu Yazid Al Bustami, menyatakan:
Artinya :
Andaikata kamu melihat seseorang yang diberi kekeramatan
hingga dapat naik ke udara,
maka janganlah kamu tertipu dengannya
sehingga kamu dapat melihat dan meneliti
bagaimana dia melaksanakan perintah dan larangan agama
serta memelihara ketentuan-ketentuan hukum agama
dan bagaimana dia melaksanakan syariat agama.
c. Sahl at Tasturi
At Tasturi mengungkapkan tentang pokok-pokok tasawuf
yang terdiri dari tujuh pokok jalan (tarikat), yaitu
berpegang kepada Al Kitab (Al Qur'an),
mengikuti Sunnah Rasul,
makan dari hasil yang halal,
mencegah gangguan yang menyakiti,
menjauhkan diri dari maksiat,
selalu melazimkan tobat dan
menunaikan hak-hak orang lain.
d. Junaid al Baghdadi
Al Junaidi mengomentari orang yang mengaku ahli makrifat
tetapi dalam gerak geriknya meninggalkan perbuatan-perbuatan baik
dan meninggalkan mendekatkan diri kepada Allah,
maka beliau mengatakan
"Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan".
Selanjutnya beliau mengatakan,
Artinya :
Ucapan itu adalah ucapan suatu kaum
yang mengatakan adanya pengguguran amalan-amalan.
Bagiku hal itu merupakan suatu kejahatan yang besar,
dan orang yang mencuri atau orang yang berzina adalah lebih baik
daripada orang yang berpaham seperti itu.
e. Abul Hasan As Syazili
As Syazili mengatakan,
Artinya :
Jika pengungkapanmu bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul,
maka hendaklah engkau berpegang kepada Al Qur'an dan Sunnah Rasul itu,
sambil engkau mengatakan kepada dirimu sendiri
"sesungguhnya Allah SWT telah menjamin diriku
dari kekeliruan dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasul".
Allah tidak menjamin
dalam segi pengungkapan, ilham, maupun musyahadah (penyaksian),
kecuali setelah menyesuaikan perbandingannya
dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasul.
Sebagai kesimpulan,
semua pengamalan kaum sufi harus mengikuti semua Nash Al Qur'an dan As Sunnah dan meneladani amaliah-amaliah Rasulullah,
sebagai panutan tertinggi para sufi.
Sabda Rasulullah SAW,
Artinya :
Nabi SAW ditanya
tentang suatu kaum yang meninggalkan amalan-amalan agama,
sedangkan mereka adalah orang-orang yang berbaik sangka
kepada Allah SWT.
Maka jawab Nabi SAW,
"Mereka telah berdusta.
Karena jika mereka berbaik sangka,
tentu amal perbuatan mereka juga adalah baik."
(Dr. Abdul Halim Mahmoud 1964: 161 - 167).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar