Jumat, 15 April 2016

Cinta Dan Keindahan Dalam Mencapai Taman Kebenaran

Oleh Seyyed Hossein Nasr 

Pengembaraan di jalan menuju Taman Kebenaran 
memerlukan bukan hanya pencapaian dan perwujudan pengetahuan pemersatu, melainkan juga keterbenaman di dalam cinta dan ketertarikan pada keindahan 
di tingkat tertingginya. 

Allah telah menjadikan mungkin bagi kita manusia untuk dapat meraih-Nya 
tidak hanya melalui pengetahuan tetapi juga melalui cinta dan keindahan. 

Taman itu adalah Taman Kebenaran, sekaligus juga Taman Cinta, 
yang Keindahannya melebihi dan melampaui semua yang dapat kita bayangkan 
atau telah kita alami sebagai sesuatu yang menyenangkan dan indah di bumi ini. 

Tukang Kebunnya juga sang Kekasih, yang tidak hanya harus diketahui, 
tetapi juga dicintai dan direnungkan dalam keindahannya yang tak berhingga, 
yang membakar penonton dan menggiring kepada ekstasi penyatuan 
serta kedamaian puncak. 

Laki-laki dan perempuan mengalami berbagai macam cinta 
dan menyaksikan banyak objek yang indah dalam kehidupan di bawah sini, 
tetapi kebanyakan tidak mencapai Taman Kebenaran melalui pengalaman seperti itu. Oleh karena itu 
kita harus bertanya pada diri kita sendiri 
apakah cinta dan keindahan dalam konteks Tasawuf dan mengapa kaum Sufi, 
yang begitu menekankan pengetahuan prinsipal dan mencerahkan, 
sangat sering berbicara tentang cinta dan keindahan, 
yang saling terkait tanpa terpisahkan satu sama lain.

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, 
penting untuk mencuplik hadis qudsi dari Nabi 
mengenai hubungan antara pengetahuan dan cinta:

Dia yang mencari-Ku 
akan menemukan-Ku.
Dia yang menemukan-Ku 
akan mengetahui-Ku.
Dia yang mengetahui-Ku 
akan mencintai-Ku.
Dia yang mencintai-Ku, 
akan Aku cintai.
Dia yang Kucintai, 
akan Aku tebas.
Dia yang Kutebas, 
akan Aku tebus.
Dia yang Kutebus, 
Diriku sendirilah penebusnya.

Jalan menuju Kebenaran menghasilkan penemuan Kebenaran, 
yang berarti pengetahuan mengenai-Nya. 
Lebih jauh lagi, 
Kebenaran itu sedemikian sehingga orang tidak dapat mengetahui-Nya 
tanpa mencintai-Nya. 
Dan cinta itu akhirnya mengantarkan ke dalam rengkuhan Allah, 
yang pada gilirannya mencintai orang-orang di antara hamba-hamba-Nya 
yang mencintai Dia. 
Akan tetapi, 
dalam pengertian metafisik, 
cinta Allah mendahulu cinta manusia, 
seperti yang akan kita tinjau di bawah ini.


HAKIKAT CINTA

Apa gunanya menulis tentang cinta? 

Orang harus mengalami cinta agar dapat memahami apa itu cinta. 
Seperti dikatakan Rūmī, 
ketika harus menjelaskan hakikat cinta, pena patah dan tak kuasa menulis. 
Namun demikian, 
meskipun berhadapan dengan kata-kata dan konsep, 
menulis tentang cinta dapat membangkitkan kesadaran tertentu 
dalam pikiran dan jiwa pembaca,
 yang pada gilirannya dapat membuatnya siap 
untuk mengalami cinta pada beberapa tingkat. 

Tapi cinta itu sendiri tidak dapat direduksi ke dalam deskripsinya 
meskipun amat jelas dan puitis, 
sementara pada saat yang sama kata-kata yang berasal dari orang-orang 
yang benar-benar telah mencinta 
dapat menghadirkan ingatan dan membangkitkan di dalam diri sebagian orang 
cinta yang tersimpan di dalam jiwa semua manusia laki-laki dan perempuan. 

Api cinta dapat dinyalakan melalui kata-kata yang tepat 
jika substansi jiwa siap untuk terbakar dalam api cinta, 
yang tanpanya hidup yang menjadi kehilangan nilai, 
karena sekali lagi mengutip Rumi: 
“Barangsiapa tidak memiliki api ini, hendaklah ia tidak ada.”

Mari kita mulai dengan metafisika cinta. 
Cinta adalah sebagian dan sepenggal dari kenyataan. 
Cintalah yang menarik wujud kepada satu sama lain dan kepada Sumber mereka. 

Cinta tak lain adalah api yang nyalanya menerangi 
dan yang panasnya menghidupkan hati dan menganugerahkan kehidupan. 
Ia juga badai yang dapat menjungkirbalikkan jiwa 
dan menumbangkan keberadaan yang biasa. 

Cinta adalah kehidupan tetapi bisa pula kematian. 
Ia mencakup kerinduan dan pedih keterpisahan serta gairah penyatuan. 
Cinta juga tak terpisahkan dari keberadaan dalam berbagai bentuknya. 

Bukan hanya dalam Kekristenan Allah dianggap cinta, 
menurut Al-Quran salah satu dari Nama-Nya adalah Cinta atau al-Wadūd. 
Dan karena cinta adalah bagian dari Hakikat Ilahi, 
semua keberadaan, yang memancar dari-Nya, dijalari oleh cinta. 
Allah adalah cahaya langit dan bumi, 
seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran. 
Kecerahan cahaya ini 
berkaitan dengan pengetahuan dan kehangatannya dengan cinta.

Tidak ada ranah eksistensi tanpa cinta ada di dalamnya, 
kecuali jika dilihat dari sudut pandang tertentu pada tingkatan manusiawi, 
karena Allah telah memberi kita kehendak bebas untuk mencinta atau tidak; 
namun demikian, 
bahkan pada tatanan manusiawi dapat dikatakan bahwa 
bahkan orang-orang yang tidak mencintai Allah atau tetangga mereka 
masih mencintai dirinya sendiri. 

Sejauh menyangkut kosmos, 
cinta dapat dilihat di mana-mana andai saja kita sadar akan realitasnya. 
Cabang-cabang pohon tumbuh ke arah cahaya karena cinta, 
dan hewan-hewan menyayangi anak-anak mereka sebagai akibat dari cinta. 
Bahkan langit bergerak karena kekuatan cinta, 
yang kita reduksi menjadi sekadar fisika dan kuantitatif, 
dan kita sebut gravitasi. 

Seperti yang ditulis Dante pada bagian paling akhir dari Divine Comedy, 
kesatuan rohani tertinggi melibatkan pengalaman dan realisasi 
dari “l’amor che move il sole e l’altre stelle,” yaitu,
 “cinta yang menggerakkan matahari dan bintang-bintang lainnya.”

Cinta mengalir di dalam nadi alam semesta, demikian pula rahmat, 
dan kita sebagai manusia dapat dan benar-benar mencinta, 
objek cinta kita mulai dari makhluk duniawi, 
terutama seseorang, hingga Allah itu sendiri. 

Tetapi seperti yang telah disebutkan, 
pada kenyataannya cinta berasal Allah dan tidak bersama kita. 

Dalam dua perintah dasarnya Kristus meminta para pengikutnya 
untuk mencintai Allah yang mencintai makhluknya dan mencintai tetangga. 

Al-Quran menyediakan dasar metafisikal untuk cinta ini 
dengan menegaskan bahwa 
Allah akan membawa orang-orang “yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya” 
(QS Al-Mâ’idah [5]:54). 

Ayat ini, yang telah berkali-kali dikutip oleh tulisan-tulisan Sufi mengenai cinta, 
makin menjelaskan bahwa 
pertama-tama Allah mencintai makhluk-Nya, 
dan sebagai konsekuensi dari cinta kita bisa mencintai-Nya. 
Selain itu, 
seperti yang dinyatakan dua perintah Kristus, 
cinta Allah memiliki kedudukan lebih tinggi daripada cinta tetangga, 
yang berarti semua makhluk dan bukan hanya manusia.

Karena itu, dari sudut pandang manusia, 
ada tahap-tahap cinta yang dipahami secara metafisikal 
dan seperti yang dijelaskan oleh kaum Sufi. 

Yang pertama-tama adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri 
dan kemudian Cinta-Nya untuk makhluk-Nya, termasuk kita, 
yang sebagai akibatnya 
cinta menjalari inti substansi makhluk di semua tingkat eksistensi. 
Kemudian, 
ada cinta kita kepada Yang Ilahi, 
dan akhirnya ada cinta kita kepada makhluk-makhluk lain, 
yang menurut mereka yang percaya diturunkan dari cinta kepada Allah. 

Pemahaman spiritual tentang cinta ini 
karenanya mentransendensi cinta ego pada dirinya sendiri, 
cinta palsu yang telah menjadi lumrah pada kebanyakan laki-laki dan perempuan. 

Hanya melalui hirarki ini 
dan hubungan di antara berbagai tingkatannya 
kekuatan spiritual dan transformatif cinta, 
yang bahkan dapat mengubah 
cinta ego pada dirinya sendiri menjadi cinta kepada Allah dan yang lainnya, 
dapat dimengerti. 

Tetapi ada unsur lain yang lebih halus 
yang melibatkan instrumen serta kandungan wahyu 
yang mengikatkan kita kepada Allah. 

Bisakah seseorang mencintai Allah sebagai seorang Kristen tanpa mencintai Kristus? Jawabannya cukup jelas. 
Kebenaran yang sama berlaku bagi Islam, 
di mana cinta kepada Nabi merupakan prasyarat bagi cinta kepada Allah. 
Kebenaran ini dirangkum sebagai berikut: 
untuk mencintai Allah, 
Dia harus terlebih dahulu mencintai kita, 
dan Allah tidak mencintai orang 
yang tidak mencintai Nabi atau rasul-Nya dan risalahnya.

Karena cinta berasal dari Allah dan memancar dari-Nya, 
cinta sejati di dunia ini pada akhirnya tidak lain daripada cinta kepada Allah. 

Orang-orang Kristen awal berbicara tentang agape dan eros 
untuk membedakan cinta Tuhan dan manusia atau kosmik, 
dan pembedaan ini masih penting dalam banyak teologi Kristen, 
terutama teologi Katolik. 

Kaum Sufi mengambil rute yang berbeda. 
Mereka tidak menggariskan perbedaan yang tajam antara agape dan eros, 
memandang yang kedua sebagai bayangan dan juga tangga menuju yang pertama. Sebaliknya, 
mereka berbicara tentang cinta sejati (al-‘isyq al-haqīqī), yaitu 
cinta manusia bagi Allah, dan cinta metaforis (al-‘isyq al-majāzī),
 yang meliputi segala bentuk cinta 
yang kelihatannya berada di luar dan bebas 
dari ikatan cinta antara Allah dan manusia. 

Menurut pandangan ini, 
sebagian besar dari apa yang kita anggap sebagai cinta 
bukanlah cinta yang sejati sama sekali 
melainkan cinta hanya dalam pengertian kiasan. 
Selain itu, 
terdapat satu hierarki lagi dalam cinta 
yang dimulai dari berbagai tingkatan cinta metaforis hingga cinta sejati, 
yang selalu melibatkan Allah dan dapat mencakup cinta pada seseorang atau sesuatu, tetapi di dalam Allah. 
Namun bahkan cinta metaforis adalah 
kilau dari cinta sejati 
karena akhirnya hanya ada satu Cinta dengan banyak tingkatan manifestasi.

Kaum Sufi juga berbicara tentang bentuk lain gradasi dan hierarki cinta. 
Mereka memulai dengan kondisi manusia biasa 
dan berakhir dengan keadaan orang-orang suci. 

Keadaan cinta terendah dari sudut pandang ini adalah 
cinta ego atau cinta diri atau cinta untuk dirinya sendiri. 
Ini masih cinta, 
tetapi karena sifatnya memenjarakan objeknya, 
cinta itu melumpuhkan dan menghalangi pertumbuhan jiwa 
dan kemungkinan baginya untuk mencapai tingkatan cinta yang lebih tinggi. 

Kemudian ada cinta kepada yang lain, 
entah itu manusia, hewan, atau benda-benda seperti tanaman, mineral, 
dan juga artefak bikinan manusia, terutama karya-karya seni. 

Tetapi tingkat cinta ini masih terbatas dan berhingga 
serta dalam banyak kasus bersifat sementara. 
Sering kali ia menimbulkan keterikatan pada dunia 
sehingga menghalangi jiwa dari mengalami tingkat cinta yang lebih tinggi, 
yang secara paradoks juga melibatkan keterlepasan 
dari hal-hal yang bersifat keduniawian. 

Kemudian ada cinta untuk realitas suci, 
mencakup para nabi, kitab-kitab yang diwahyukan, orang-orang suci, seni yang suci, 
dan sebagainya, yang datang dari Allah, mengarahkan jiwa kepada-Nya, 
asalkan manusia tetap sadar akan Sumber dari semua yang suci. 
Akhirnya, 
ada cinta kepada Allah, yang Suci adanya, 
yang tak berbatas dan membebaskan bukannya mengikat 
karena objek dari cinta ini adalah yang Tak Berbatas. 

Cinta tingkat tertinggi adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri, 
dan inilah Cinta yang membuat semua bentuk cinta lain menjadi mungkin. 
Bahkan, 
segala bentuk cinta merupakan pantulan, 
meskipun sangat samar, dari cinta tertinggi ini.

Dari sudut pandang spiritual semua tingkatan yang disebutkan di atas bisa positif, 
dan masing-masing tingkat yang lebih rendah 
dapat mengantarkan ke tingkatan yang lebih tinggi alih-alih bersifat membatasi. 

Cinta pada diri sendiri dapat membuka kesadaran tentang sifat ego 
yang mudah mengelabui dan cepat berlalu dari ingatan serta efeknya yang memenjara, mengarahkan seseorang kepada pencarian akan dirinya yang lebih tinggi. 

Cinta pada yang lain dapat mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan 
serta membantu jiwa untuk mencari cinta yang tidak pernah binasa. 

Cinta pada alam dapat menimbulkan rasa ingin tahu akan hikmat Allah 
dan cinta kepada Pencipta makhluk-makhluk yang menjadi objek kecintaan kita. 

Adapun cinta pada objek-objek suci, teofani dan yang sejenisnya, 
hampir selalu mengantarkan kepada cinta kepada Wujud 
Yang merupakan sumber dari karunia dan keindahan yang hadir di dalamnya. 

Hierarki cinta dengan demikian dapat dipandang sebagai tangga pendakian 
menuju Kerajaan Langit dan sebagai deskripsi 
tentang keterbatasan dan pemenjaraan yang lebih besar atas jiwa 
saat seseorang ,
saat ia turun ke tingkatan yang lebih rendah dari hierarki tersebut.

SIGNIFIKANSI SPIRITUAL CINTA MANUSIA

Mencintai dengan sungguh-sungguh berarti hidup dengan sungguh-sungguh, 
dan orang yang menjalani kehidupan tanpa cinta 
belum benar-benar menjalani kehidupan manusia dengan sepenuhnya. 

Keyakinan para Sufi ini menunjuk pada kebenaran penting bahwa 
cinta bukan hanya merupakan bagian dari kehidupan, 
melainkan juga memainkan peran spiritual yang sangat penting 
dalam perkembangan batin kita. 

Seperti yang telah disebutkan, 
kekuatan cinta bersifat transformatif. 

Ia memiliki efek alkemis pada jiwa dan dapat mengubah substansi jiwa itu sendiri. 

Perkawinan alkemis antara raksa dan belerang yang menghasilkan 
berbagai substansi konkret (menurut alkemi) melambangkan transformasi batin 
yang dihasilkan oleh rangkulan cinta terhadap jiwa, 
memungkinkannya meraih kesatuan dengan Roh dalam cara yang konkret.

Seorang manusia dapat mengalami berbagai bentuk cinta. 
Kita bisa mencintai orang tua kita, anak-anak dan kerabat kita. 
Kita bisa mencintai kota, negara, dan budaya kita. 
Ada cinta pada alam dan seni. 
Ada cinta pada agama dan hal-hal yang suci, 
semua mengarah kepada cinta Tuhan. 

Semua bentuk cinta ini 
membawa seseorang keluar melampaui egonya, 
melakukan pengorbanan dan menderita, 
memberi dan memberi lagi. 

Juga semua bentuk cinta 
merupakan pertanda hasrat jiwa yang mendalam 
akan cinta murni yang bersifat ilahiah. 

Tetapi ada satu jenis cinta yang paling kuat pada tataran manusia
—dan tentu saja tidak dalam kaitannya dengan Tuhan—
dan itu adalah cinta lelaki untuk perempuan atau cinta perempuan untuk laki-laki. 

Cinta konjugal dan romantis adalah 
ranah ujian bagi pertumbuhan jiwa secara emosional dan spiritual, 
dan ini terkait langsung dengan cinta 
dan pada akhirnya kesatuan antara jiwa dan Roh. 

Pernyataan ini tentu saja 
tidak menghapuskan kemungkinan keterlepasan dari cinta seperti itu 
demi Allah, 
seperti yang kita lihat dalam tindakan membujang 
yang dipraktekkan agama-agama tertentu.

Cinta yang sejati dan otentik dalam pengertian romantis, 
dan bukan ketertarikan seksual semata, 
merupakan sebentuk rahmat dan karunia dari Langit. 
Ia menghunjam ke dalam jiwa kita seperti badai yang kuat, 
menumbangkan keterikatan dan kebiasaan kita yang lama. 
Mencabut akar-akar jiwa kita dari ranah kepuasan diri dan egoisme. 
Menyebabkan sukacita sekaligus derita, kegairahan serta kerinduan. 
Melepaskan jiwa dari semua pertalian dengan yang lain 
dan mengikatkannya pada objek kecintaannya, 
bahkan mengatasi pikiran yang terserak-serak 
dan memusatkannya pada satu objek itu saja. 

Sifat kemutlakan cinta kepada Allah 
tercermin dalam cinta manusia yang seperti itu, 
yang memerlukan peluruhan seluruh sikap mementingkan diri sendiri 
dan memberi tanpa batas. 

Cinta seperti itu, jika otentik, 
tidak akan berkurang tatkala yang dicintai menjadi kurang cantik secara lahiriah 
dan kehilangan daya tarik lahiriahnya, 
sebab objek dari cinta itu adalah sosoknya dan bukan atributnya, 
yang mungkin menyenangkan hati pecintanya pada satu momen 
dan tidak demikian pada momen lainnya. 

Itulah sebabnya cinta romantis yang otentik bertumbuh bukannya berkurang 
seiring berjalannya waktu. 
Cinta seperti itu adalah karunia dari Allah kepada makhluk-Nya, 
yang Dia ciptakan berpasang-pasangan, seperti yang ditegaskan Al-Quran, 
dan cinta ini dalam pengertian terdalamnya tidak dapat dipisahkan 
dari cinta kepada Allah dan cinta Allah kepada kita.
 Inilah arti penting spiritual dari cinta manusia.

Dimensi seksual dari cinta itu sendiri penuh dengan signifikansi spiritual. 
Kesatuan seksual adalah cerminan duniawi atas prototipe surgawi. 
Laki-laki mengalami yang Tak Terbatas 
dan perempuan mengalami yang Mutlak di dalam kesatuan duniawi ini, 
yang mengembalikan, meski untuk sejenak, 
manusia ke dalam keutuhan androginik. 
Kebahagiaan kesatuan seksual juga merupakan pendahuluan 
dari kebahagiaan kesatuan jiwa dengan Roh, 
seperti yang dibicarakan oleh Hermetisisme Kristen 
serta beberapa mazhab mistisisme Kristen lainnya. 

Seperti disebutkan di atas, 
jiwa tentunya dapat menarik diri dari pesona duniawi ini 
melalui sikap zuhud demi mencari perkawinan langsung dengan Roh, 
seperti yang kita lihat dalam monastisisme dan berbagai bentuk spiritualitas Kristen, namun kesatuan seksual tetap penting secara rohani, 
khususnya dalam Tasawuf yang, seperti Islam selebihnya, 
memandang seksualitas sebagai kenyataan sakral, 
sehingga harus diatur oleh Hukum Suci, 
bukan sebagai perbuatan dosa semata 
yang hanya berasal dari kejatuhannya dari surga.

 Kesatuan seksual dapat mengantarkan kepada pengalaman fanā’ atau anihilasi 
dan karenanya kebebasan, betapa pun sejenak, 
dari belenggau keberadaan yang terpisah dan keterbatasan kesadaran sehari-hari. 

Dari sudut pandang Sufi, 
dorongan ke arah kesatuan seksual, 
yang merupakan dorongan sensual yang paling kuat 
di dalam sebagian besar manusia, 
pada kenyataannya 
merupakan pencarian jiwa akan kesatuan dengan Allah, 
terutama ketika kesatuan manusia digabungkan dengan cinta. 

Setiap kekasih pada akhirnya merupakan pantulan dari Sang Kekasih atau ma’syūq, sebagaimana dikatakan para Sufi, 
yang tak lain adalah Allah di dalam kenyataan batin-Nya, 
kenyataan yang sering dirujuk kaum Sufi dalam bentuk feminin. 

Zat Allah disebut Al-Dzāt dalam bahasa Arab, 
dan itu secara gramatikal bergender feminin. 

Dipandang sebagai Kekasih, 
dimensi batin dari yang Ilahi adalah Keindahan feminin 
yang dirindukan oleh jiwa lelaki. 
Namun 
dalam aspek-Nya sebagai Pencipta dan Pemelihara ciptaan, 
Allah dianggap maskulin. 

Dari sudut pandang metafisika murni, 
Allah tentu saja di atas mengatasi perbedaan lelaki-perempuan 
dalam cara yang sama 
seperti dalam doktrin-doktrin Timur Jauh Tao tertinggi 
mentransendensi dualisme yin dan yang.

Al-Quran menggunakan kata-kata yang berasal dari akar hubb 
ketika merujuk kepada cinta. 
Kaum Sufi juga menggunakan istilah seperti itu, 
tetapi mereka menambahkan ke istilah ‘isyq, 
yang menyiratkan cinta yang intens, 
dan mereka mengklaim bahwa Al-Quran, sebagai kitab suci, 
tidak menggunakan istilah ini lantaran keekstreman dan intensitasnya. 

Kata ‘isyq, menurut sumber-sumber tradisional, 
diturunkan dari nama untuk tanaman anggur 
yang melilitkan dirinya ke seputar sebatang pohon 
dan menekan begitu keras pada batangnya sehingga pohon itu mati. 

Etimologi puitis ini merujuk kepada kebenaran yang mendalam bahwa 
cinta melibatkan kematian. 

Seperti dikatakan Rūmī,
 “sang Kekasih hidup dan sang pecinta mati.” 

Di sini kita teringatkan pada “Nyanyian Cinta-Kematian” (Liebestod) 
dalam opera Wagner yang terkenal, Tristan und Isolde.

Kisah cinta yang hebat biasanya berakhir dalam kematian, 
seperti yang kita lihat misalnya dalam kisah-kisah literatur Barat 
seperti Tristan dan Isolde serta Romeo dan Juliet. 
Kematian mereka tampak dari luar 
seperti berkaitan dengan kekuatan dan keadaan lahiriah 
tetapi secara batiniah 
menunjukkan hubungan antara cinta yang intens dengan kematian. 

Dikatakan bahwa 
untuk setiap lelaki ada seorang perempuan—dan sebaliknya—
yang merupakan pasangan pelengkap sedemikian sempurna sehingga 
ketika keduanya bertemu di bumi 
intensitas cinta mereka akan menyebabkan mereka mati. 

Cinta manusia bahkan yang berada di bawah tahap ekstrem ini 
selalu bercampur dengan beberapa derajat kematian
—kematian terhadap ego sendiri, 
terhadap hasrat sendiri, 
terhadap kesenangan-kesenangan sendiri 
demi kepentingan yang lain. 

Dan ini disebabkan cinta manusia itu sendiri 
merupakan pantulan dari Cinta Tuhan, 
yang bisa kita alami hanya setelah kematian ego kita, 
dan dapat mengantarkan kepada Tuhan 
jiwa-jiwa mereka yang cukup beruntung untuk mengalami cinta ini. 

Itulah sebabnya pula mengapa kisah-kisah cinta legendaris 
tampak dari luar seperti menyangkut cinta manusia 
dan dari dalam menyangkut cinta untuk Tuhan dan dari Tuhan 
dan karena itu sering berakhir dengan kematian 
sang pahlawan lelaki atau perempuan atau keduanya.

Ada begitu banyak dongeng dalam Tasawuf, 
dan mungkin yang paling terkenal adalah kisah Laylā dan Majnūn. 
Cerita aslinya, 
yang memiliki banyak versi yang lebih baru, sederhana saja. 

Seorang pemuda Arab Badui bernama Qays bertemu Laylā 
dalam perkumpulan para wanita. 
Pertemuan ini berbekas begitu mendalam padanya. 
Ia jatuh cinta dengannya dan mengorbankan untanya untuk pesta itu. 
Ketika seorang lelaki bernama Manāzil datang ke pertemuan itu, 
perhatian semua perempuan kecuali Laylā terarah kepadanya, 
yang membalas cinta Qays kepadanya. 
Qays kemudian meminta dia dari tangan ayahnya, tetapi ayahnya menolak, 
mengatakan bahwa gadis itu telah bertunangan dengan orang lain. 
Dalam derita dan kesedihan mendalam, 
Qays kehilangan akal dan pikiran lalu mengembara di padang gurun 
setengah telanjang, hidup bersama binatang liar. 

Julukan Majnūn, yang berarti tergila-gila atau gila, 
yang kemudian disematkan untuknya, muncul akibat perilaku ini. 
Ayah Qays membawa berziarah ke Makkah dengan harapan bahwa ia akan sembuh,
 tapi pengalaman ini hanya kian menguatkan cintanya pada Laylā. Ketika sadar, Majnūn menggubah beberapa puisi mengungkapkan cintanya kepada Laylā, 
tetapi ia hanya bertemu dengannya satu kali lagi sebelum kematiannya.

Atas dasar puisi anonim ini, banyak versi prosa ditulis. 
Kisah ini menjadi terkenal dalam sastra Arab 
dan kemudian menjadi bagian dari tradisi sastra Persia. 
Barangkali adikarya terbesar yang didasarkan pada cerita ini, 
tetapi dengan sangat panjang lebar, 
adalah karya penyair Persia abad kedua belas Nizhāmī, 
yang mengubahnya menjadi salah satu adikarya puisi liris Persia. 

Sufi seperti Ahmad Ghazzālī, Attār, dan Rūmī mengubah cerita ini 
menjadi adalah contoh cinta Allah dan manusia 
sebagaimana yang dipahami dalam Tasauf. 

Amīr Khusraw, penyair terkemuka Persia abad keempat belas dari India, 
juga menyusun sebuah karya berjudul Laylī dan Majnūn 
(Laylī sebagai versi Persia dari Laylā) dan mendedikasikannya untuk Nizhām al-Awliyā’, orang suci Delhi yang terkenal. 
Selain itu, 
Sufi penyair abad kelima belas Jāmī menyusun sebuah karya besar dengan judul ini. 
Kisah Laylā dan Majnūn menjadi terkenal 
bukan hanya dalam sastra Arab melainkan juga Turki, Kurdi, Pashto, 
dan beberapa bahasa lainnya. 

Dalam versi Sufi ini kisah cinta terkenal ini, 
Laylā atau Laylī dipahami sebagai melambangkan Zat Ilahi. 
Nama Laylā/Laylī berasal dari kata bahasa Arab untuk malam (layl), 
dan itu berarti keindahan malam yang gelap, 
dari sinilah akar pengaitannya dengan “cahaya gelap” Zat Ilahi, 
yang menghitam karena intensitas cahayanya, mengatasi cahaya yang terlihat, 
yang melambangkan manifestasi. 
Ada pun Majnūn, artinya yang biasa sebagai seorang gila juga dilihat secara simbolis. 

Cinta juga melibatkan sejenis kegilaan, 
dan bahkan cinta manusia biasa sering melanggar logika dan akal sehat 
serta tampak bagi mereka yang tidak ditimpanya sebagai sejenis ketidakwarasan. 

Orang yang mencintai Allah dengan seluruh dirinya 
tentu akan tampak seperti ditimpa sebentuk keedanan 
dalam pandangan orang-orang 
yang menganggap keadaan yang normal 
sikap abai terhadap Cinta Allah 
yang mencirikan sebagian besar masyarakat. 

Kisah indah Laylā dan Majnūn karena itu 
merupakan sarana untuk mengekspresikan Cinta Allah 
terbungkus dalam bahasa cinta manusia.

CINTA ALLAH

Telah disebutkan bahwa 
Allah mencintai kita terlebih dahulu sebelum kita 
memiliki kemungkinan untuk mencintai-Nya. 

Prioritas ontologis ini harus selalu diingat. 
Allah dapat saja menciptakan makhluk yang tidak bisa apa-apa 
kecuali memuliakan Dia, dan Dia melakukan itu dalam menciptakan malaikat. 

Tetapi dalam kasus manusia, 
Dia menciptakan makhluk yang dianugerahi kehendak bebas, 
makhluk yang mampu mencintai-Nya secara sadar, 
tetapi juga mampu untuk tidak mencintai-Nya. 
Tidak ada cinta dengan paksaan. 

Cinta Allah adalah 
kenyataan yang meliputi penciptaan 
melalui tindakan penciptaan itu sendiri oleh Allah yang juga Maha Penyayang, 
Maha Pengasih, dan Maha Pencinta. 
Tetapi dari sisi manusia, 
adalah mungkin untuk tidak mencintai Allah 
sebagaimana mungkin pula untuk menolak keberadaan-Nya sendiri. 

Hidup di dunia ini bukan hanya ujian bagi iman kita, 
seperti ditegaskan Al-Quran, 
tetapi juga bagi cinta kita kepada Allah 
dan kemungkinan membalas cinta-Nya kepada kita 
dalam keterbatasan kita. 

Seperti disebutkan dalam hadis qudsi yang dikutip pada awal bab ini, 
adalah hak laki-laki dan perempuan 
untuk menjadikan Allah kekasih mereka. 
Atas dasar kenyataan ini, 
Allah meminta kita untuk menjadi kekasih bagi-Nya 
dalam kepenuhan kehendak bebas kita.

Halangan terbesar 
untuk merespons secara positif terhadap imbauan ilahi ini adalah bahwa 
ada banyak hal lain yang dapat menjadi objek kecintaan kita, 
mulai dari ego kita sendiri. 

Allah mengetahui keadaan ini, 
sehingga wahyu agama-agama dan kekuatan spiritual yang terkandung di dalamnya, 
dapat melepaskan ikatan kecintaan jiwa pada yang sementara dan fana 
lalu membelokkannya ke arah Allah. 

Ketika kaum Sufi berbicara tentang cinta, atau ‘isyq, 
mereka berpikir 
tentang aspeknya yang membebaskan dan bukan yang mengikat. 

Mencintai Allah secara penuh berarti memiliki kebebasan penuh 
dari setiap ikatan lain, dan karena Allah itu mutlak dan tak terbatas, 
maka itu berarti mengalami kebebasan mutlak dan tak terbatas.

Dalam salah satu ghazal-nya yang paling terkenal Hāfizh, 
penulis syair dan puisi mistik terindah dalam bahasa Persia, 
melantunkan:

Aku ungkapkan dan puas dengan kata-kataku,
Aku adalah hamba cinta dan terbebas dari kedua dunia.
Dulu aku terbang di dalam Taman suci, 
bagaimana aku bisa menjelaskan keterpisahanku?
Bagaimana aku lalu terjerat di dalam perangkap dunia ini?
Dulu aku malaikat 
dan surga yang agung adalah tempat tinggalku,
Adam membawaku ke biara reruntuhan kota ini.

Cinta Ilahi membebaskan kita 
tidak hanya dari dunia yang ini tetapi juga yang berikutnya, 
dipahami dalam bahasa agama biasa 
sebagai dunia yang penduduknya akan dihakimi 
dan mendapat balasan sesuai perbuatan baik atau buruknya di dunia ini. 

Melalui Cinta Ilahi kita kembali ke Taman suci 
tempat kita berada 
dalam kedekatan dengan Tuhan sebelum kejatuhan kita, 
Taman suci yang juga merupakan Taman kesatuan 
di atas seluruh keadaan penebusan dosa, 
di atas tempat tinggal di neraka dan surga
 seperti yang biasanya dipahami.

HARUSKAH MENCINTA UNTUK MENCAPAI TAMAN KEBENARAN?

Karena Taman Kebenaran dicapai melalui pengetahuan yang mencerahkan 
seperti yang dibahas dalam bab yang lalu, 
maka dapat ditanyakan 
apakah cinta merupakan pengiring yang diperlukan di jalan gnosis. 

Untuk menjawab pertanyaan mendasar ini 
penting untuk membedakan 
antara cinta sebagai emosi dan signifikansi metafisika cinta. 

Ada jalan mistik 
yang didasarkan hanya pada cinta yang menggiring manusia, 
melalui penggunaan emosi cinta yang ditujukan kepada Allah, 
kepada Allah sendiri.

Kebanyakan mistisisme Kristen adalah mistisisme cinta, 
seperti halnya bhakti marga dalam Hindu. 

Tasauf bukan jalan seperti itu 
meskipun Sufi tak hentinya berbicara tentang cinta. 

Dalam Tasauf cinta adalah pelengkap ma’rifah 
dan terkait dengan kenyataan yang diwujudkan oleh pengetahuan. 

Tentu saja, 
sebagian Sufi menekankan cinta dan pengetahuan yang lain, 
tetapi baik pengetahuan maupun cinta 
selalu hadir dalam setiap ajaran Sufi yang terpadu, 
sebagaimana halnya unsur tindakan, 
yang akan kita bicarakan dalam bab berikutnya. 

Rūmī adalah salah seorang penggubah lirik terindah tentang cinta dalam Tasauf, 
dan Matsnawī-nya diawali dengan syair-syair penuh dengan pujian terhadap cinta, 
namun buku yang sama disebut “samudra ma’rifah” 
oleh orang-orang yang mengenal karyanya dengan baik. 
Yang lain, 
seperti sahabatnya Shadr al-Dīn Qunyawī, 
menekankan ma’rifah tetapi tidak mengabaikan cinta. 
Singkatnya, 
jalan Tasauf menggabungkan pengetahuan dan cinta, 
dan jarang kita temukan seseorang atau sebuah mazhab dalam Tasauf 
yang ajarannya, meskipun menekankan cinta, 
tidak memiliki dimensi sapiential, 
yang murni bhakti dan bergenre sama dengan mistisisme Kristen 
serta beberapa bentuk spiritualitas Hindu.

Untuk pertanyaan 
apakah kita dapat mencapai Taman Kebenaran tanpa cinta, 
jawabannya adalah tidak, 
tapi pada saat yang sama harus ditekankan bahwa kesalehan sentimental, 
walaupun berharga pada tingkatannya sendiri, 
tidak dengan sendirinya memadai untuk tugas tersebut. 

Harus ada pengetahuan yang direalisasi, 
tetapi realisasi ini melibatkan seluruh wujud kita 
dan karenanya harus meliputi realitas cinta. 
Lebih jauh lagi, 
cinta mengantarkan kepada persatuan, 
dan Allah mencintai makhluk-Nya, 
sehingga tidak ada cara untuk mencapai Tuhan 
tanpa mengalami api cinta itu,
 yang membinasakan keberadaan kita yang terpisah 
lalu mengubah kita menjadi abu, 
yang darinya jiwa kita yang abadi muncul kembali 
dengan kehidupan yang baru. 
Oleh karena itu, 
dapat dikatakan bahwa 
orang yang tidak mencinta sesungguhnya tidaklah hidup.

KEINDAHAN—ILAHI, MANUSIA, KOSMIS

Keindahan dan cinta adalah dua aspek dari kenyataan yang sama 
jika dilihat dari sudut pandang tertentu, 
yang satu memiliki sifat aktif dan yang lainnya pasif. 

Yang satu seperti api yang membakar 
sedangkan yang lainnya sebuah danau tenang dan tak terganggu, 
walaupun ada dimensi ketenangan dalam cinta setelah direalisasi 
dan keindahan juga dapat dilihat dalam petir dan kilat.

 Ada komplementaritas di dalam komplementaritas yang pertama, yaitu 
sebuah elemen pasif di dalam sifat cinta yang aktif 
dan elemen aktif di dalam sifat keindahan yang pasif. 

Kita bahkan dapat dengan mudah menerapkan doktrin Timur Jauh 
tentang komplementaritas dari yin 
dan yang serta kehadiran yin di dalam yang 
dan yang di dalam yin 
pada hubungan mendasar antara cinta dan keindahan ini. 

Singkatnya, 
keduanya tak terpisahkan pada tingkat tertentu, 
karena bagaimana mungkin orang tidak mencintai apa yang indah 
dan bagaimana mungkin sesuatu yang kita cintai tidak akan tampak indah 
pada tingkat tertentu
 (dan bukan hanya pada bentuk lahiriah dan tampilan luarnya)?

Dengan cara yang sama Al-Quran dan Hadis berbicara tentang cinta, 
keduanya juga berbicara tentang keindahan 
dan bahkan Al-Quran merujuk kepada Nama Tuhan, 
yang mengungkapkan Sifat-Nya kepada kita, sebagai nama yang indah. 

Ada Hadis, kumpulan ucapan Nabi mengatakan,
 “Tuhan itu indah dan Dia mencintai keindahan” 
secara praktis merupakan dasar estetika Islam. 
Selain itu, 
Nama-Nama Allah secara keseluruhan disebut Nama-Nama yang Indah. 

Dua istilah dasar yang digunakan untuk keindahan 
dalam sumber-sumber dasar Islam pada umumnya dan Tasauf khususnya 
adalah husn atau ihsān, dan jamāl. 

Yang terakhir ini adalah Nama Allah, 
sebagaimana disebut di dalam hadis yang sudah dikutip—
dan juga disebutkan di dalam Al-Quran—
sementara yang pertama menyangkut Allah sekaligus manusia, 
serta jalan kepada-Nya. 

Husn dalam bahasa Arab pada saat bersamaan berarti 
keindahan, kebaikan, dan keutamaan, 
yang dari sudut pandang Sufi tidak lain daripada keindahan jiwa. 

Tasauf itu sendiri didefinisikan sebagai ihsān, 
yang, seperti dijelaskan oleh sebuah hadis qudsi, 
berarti menyembah Allah seakan-akan kita melihat Dia 
dan jika kita tidak melihat-Nya, seolah-olah Dia melihat kita. 

Jalan menuju Taman Kebenaran 
ditutupi oleh berbagai bentuk keindahan 
yang semuanya merupakan teofani Keindahan Wajah Sang Kekasih, 
dan jalur ini tidak bisa ditempuh kecuali oleh orang yang menghias jiwanya 
dengan keindahan. 
Lalu bagaimanakah para Sufi 
memahami kenyataan penting ini dalam kehidupan ruhani?

Seperti halnya wujud, 
keindahan adalah kenyataan universal yang tidak dapat dibatasi, 
dan definisi logis tidak merangkum semua kenyataannya. 
Kita dapat menunjuk kepadanya dalam kontras dengan kejelekan, 
namun itu tidak mencukupi karena pada intisarinya keindahan melampaui dualisme, termasuk dualisme biasa keindahan dan kejelekan, 
yang kita alami melalui indera kita. 
Akan tetapi, 
sebagian guru bijak selama berabad-abad telah berusaha 
untuk mendefinisikan keindahan. 

Salah satu yang paling termasyhur adalah Plato, yang mengatakan, 
“Keindahan adalah kecemerlangan Kebenaran.” 

Kaum Sufi akan siap untuk menerima pernyataan ini, 
kecuali bahwa mereka akan menambahkan bahwa 
karena Kebenaran juga Kenyataan dalam perspektif mereka, 
seperti terlihat dalam kata al-haqīqah, yang berarti keduanya, 
keindahan dapat dikatakan sebagai kecemerlangan Kenyataan itu sendiri. 

Semua kenyataan memancar dari yang Satu, 
Yang merupakan satu-satunya Realitas mutlak yang juga Keindahan mutlak. 

Ketika yang Satu mewujudkan yang banyak 
pada berbagai tingkatan eksistensi kosmik, 
Keindahan mutlak ini juga mewujud bersamaan dengan eksistensi, 
di mana ia seperti aura di sekitar matahari. 

Apa yang tampak jelek oleh kita 
muncul dari non-eksistensi yang menampakkan diri sebagai eksistensi. 
Karena eksistensi itu sendiri memancar dari yang Nyata, 
yang auranya adalah keindahan, 
yang muncul sebagai kejelekan merupakan akibat tiadanya cahaya Wujud 
dan bayangan yang terbentuk 
sebagai akibat jauhnya jarak dari Sumber cahaya ini.

Kaum Sufi juga setuju sepenuhnya dengan Plato 
ketika dalam Philebus ia menegaskan bahwa 
keindahan adalah bagian dari realitas hal-hal 
dan tidak bergantung pada apresiasi subyektif 
atau persepsi kita mengenainya. 

Keindahan adalah bagian dari realitas objektif setiap wujud. 
Ia tidak tergantung pada penontonnya 
kecuali hingga sejauh mana setiap penonton itu mempersepsi keindahan 
sesuai partikularitas jiwanya 
dan hingga sejauh mana jiwanya indah dan mampu mengapresiasi keindahan. 

Tetapi 
itu tidak berarti bahwa 
keindahan semata-mata berdasarkan pada penilaian subjektif kita, 
sebagaimana ketidaktahuan kita tentang struktur geologi sebuah gunung 
karena kurangnya pengetahuan kita 
tidak membuat struktur itu menjadi subjektif. 

Ya, kita harus melatih mata dan telinga kita 
untuk melihat dan mendengar keindahan, 
dan itu hanya dapat dilakukan, dalam peristilahan spiritual, 
jika jiwa telah terlatih dan dibiasakan dan dibuat indah 
melalui perolehan kebaikan. 
Akan tetapi, 
pelatihan ini bukan satu-satunya syarat 
sejauh menyangkut apresiasi pada manifestasi keindahan universal. 
Tentu saja juga diperlukan penguasaan bahasa formal 
yang digunakan untuk mewujudkan jenis keindahan tertentu. 

Seorang Persia lazimnya tidak bisa mengapresiasi keindahan Sanctus dari Mass in B Minor karya Bach atau seorang Jerman pada keindahan musik raga India 
tanpa pelatihan tentang “bahasa” formal yang digunakan. 

Namun beberapa jenis keindahan bersifat universal 
dan melintasi kekhasan budaya. 
Bagi mereka yang mengapresiasi keindahan alam, 
pegunungan Himalaya menunjukkan keagungan dan keindahan yang nyata, 
yang diapresiasi manusia baik yang berasal dari Brasil, Nigeria, ataupun Jepang. 

Dan keindahan seorang manusia 
dapat dipersepsi ke mana pun orang tersebut pergi di muka bumi. 
Bahkan dalam domain seni, 
di mana masing-masing peradaban memiliki bahasa formal yang berbeda, 
beberapa adikarya besar menampilkan keindahan universal. 
Kita hanya perlu mengingat Chartres Cathedral, Alhambra, atau lukisan Sung. 
Singkatnya, 
pelatihan jiwa dalam bahasa formal berbagai kesenian dalam banyak kasus 
harus menyertai pendekorasian jiwa dengan keindahan batin, 
sementara Allah telah memanifestasikan keindahan dengan cara tertentu 
sehingga beberapa jenis keindahan melintasi seluruh batas budaya 
seolah-olah untuk mengingatkan kita bahwa 
Keindahan seperti itu dimiliki oleh yang Tak Berbentuk 
dan melampaui partikularitas semua “bahasa” formal.

Dalam Tasauf 
estetika tidak terpisah dari disiplin rohani dan etika. 
Orang tidak dapat terbang dengan sayap keindahan menuju kebebasan dunia spiritual tanpa disiplin dan tanpa menjadi sadar dan mencintai Keindahan mutlak Allah 
yang dirindukan oleh jiwa, 
terlepas apakah ia menginsafinya atau tidak, 
dalam pencariannya akan setiap bentuk keindahan duniawi. 

Pencarian ini tidak mungkin dilakukan tanpa etika dan disiplin rohani. 

Seperti yang pernah dikatakan oleh Plotinus, 
yang disebut kaum muslim Shaykh, atau guru rohani, dari Yunani, 
jiwa mengejar keindahan dan keindahan 
merupakan manifestasi dari kuasa rohani 
yang menggerakkan semua tingkatan realitas. 

Kaum Sufi sepenuhnya setuju dengan pandangan ini, 
yang dulu pernah mendominasi estetika Barat 
namun kemudian terpinggirkan di Barat bersama ajaran Neoplatonik 
tentang subjek ini, pada abad kedelapan belas.

Bagaimanakah keindahan yang didambakan jiwa ini dirasakan dan dialami? 

Karena keindahan bersemayam di kedalaman jiwa, 
dan pada saat yang sama jiwa pun mendambakannya, 
Allah telah menjadikannya dapat dialami melalui semua fakultas, 
baik lahiriah maupun batiniah, yang dimiliki oleh jiwa itu. 

Semua indera lahiriah kita dapat merasakan keindahan 
terutama fakultas penglihatan dan pendengaran. 
Bahkan, 
kerap kali ketika kita merujuk pada keindahan, 
keindahan yang terdengar atau terlihatlah yang ada dalam pikiran kita. 

Tetapi fakultas batiniah dari jiwa kita 
juga dapat mempersepsi citra-citra keindahan yang tersembunyi 
dari mata lahiriah kita. 

Fakultas imaginal dapat mempersepsi citra-citra yang indah. 
Pikiran dapat melihat keindahan bentuk-bentuk matematis 
dalam dunia matematika murni terlepas dari alam material. 
Ia juga dapat memahami harmoni, 
yang tak dapat dipisahkan dari keindahan. 
Akal yang bersinar di dalam diri kita 
dapat merenungkan yang dapat dipahami secara murni dan alam malakuti. 
Adapun hati, 
ketika matanya dibuka, 
ia dapat melihat Keindahan wajah sang Kekasih itu sendiri. 
Melalui cara apa pun kesadaran kita berhubungan 
dan menjadi sadar akan realitas objektif, 
ada kemungkinan untuk mengalami keindahan, 
sebuah kualitas yang menjalari semua tingkatan dan modus keberadaan.

Walaupun keindahan ada di mana-mana, 
entah kita menyadarinya atau tidak, 
keindahan juga memiliki hierarki, 
sebagaimana halnya pada realitas, wujud dan cinta. 

Keindahan tertinggi adalah keindahan Realitas Tertinggi; 
keindahan mutlak adalah keindahan dari yang Mutlak. 
Bahkan keindahan paling intens yang dialami di dunia ini 
dalam wajah indah seseorang yang dicintai 
atau karya seni terhebat alam yang perawan 
atau bahkan semerbak jiwa seorang suci 
merupakan pantulan dari Keindahan ilahi. 

Mutlak dan tak terbatas secara sekaligus, 
Keindahan ini dapat dialami Kecantikan 
tetapi tidak dijelaskan dalam kata-kata manusia, 
sebagai realitas yang benar-benar tak terucapkan. 

Keindahan ini merupakan mahkota dari hierarki keindahan 
dan pada saat yang sama sumber setiap bentuk keindahan. 
Di bawahnya dalam hierarki itu 
terdapat keindahan dunia yang terpahamkan secara murni dan dunia malakuti, 
dan setelah itu dunia ruang-waktu yang mencerminkan dunia arketipal 
dan terpahamkan hampir secara langsung. 

Kategori terakhir bentuk-bentuk yang terikat oleh waktu dan ruang ini 
tentu saja mencakup alam perawan 
sebagaimana yang diciptakan oleh sang Seniman Tertinggi 
dan karenanya mencerminkan keindahan Penciptanya 
dengan sangat mencengangkan. 
Seni suci yang didasarkan pada inspirasi surgawi 
dan yang memungkinkan pengalaman langsung dunia spiritual 
dalam bentuk material juga termasuk dalam kategori ini.

Menurut ucapan Hermetik termasyhur, 
“Apa yang terendah melambangkan apa yang tertinggi.” 

Prinsip ini juga berhubungan dengan pengalaman keindahan 
Meskipun dunia material merupakan yang terendah dalam hierarki eksistensi, 
ia mencerminkan dunia tertinggi. 
Keindahan suatu bentuk material 
dengan demikian dapat mencerminkan keindahan tertinggi 
dan akhirnya Keindahan Ilahi. 
Banyak Sufi sepanjang zaman 
telah sepenuhnya sadar akan kebenaran ini 
dan memandang setiap bentuk yang indah 
sebagai bentuk pantulan Keindahan Wajah Dia.

Adapun mengenai keindahan manusia 
penting untuk dijelaskan di mana kedudukannya di dalam hierarki ini. 
Karena keadaan manusia mencakup semua tingkat keberadaan 
di dalam dirinya sendiri, 
dapat dikatakan bahwa 
manusia dapat merangkul seluruh hierarki. 

Manusia dapat memiliki 
keindahan fisik, 
keindahan karakter, 
keindahan jiwa, 
keindahan pikiran dan akal, dan 
keindahan hati. 

Dalam wilayah keduniaan, 
manusia sebenarnya merupakan bentuk keindahan tertinggi, 
terutama keindahan Manusia Universal, 
yang di dalamnya semua kemungkinan manusia terwujudkan. 

Adapun keindahan fisik bagi manusia biasa, itu adalah pemberian Allah, 
terutama ketika seseorang masih belia. 
Ketika kita semakin tua 
tindakan-tindakan kita yang didasarkan pada pilihan dan kehendak bebas 
akan semakin tercermin di dalam penampilan luar kita, 
dan kecantikan batin, 
dalam kasus orang-orang yang memiliki keindahan seperti itu, 
mulai mendominasi tampilan luar 
sementara keindahan lahiriah pemberian Allah akan semakin memudar. 
Tetapi keindahan lahiriah bukannya tidak berarti. 
Itu sebenarnya merupakan sebuah berkah yang besar dari Allah, 
membawa bersamanya banyak hak istimewa tetapi juga tanggung jawab besar. 

Kaum Sufi sering mengatakan bahwa 
merenungkan keindahan wajah seorang perempuan 
bagi seorang Sufi laki-laki adalah jalan yang paling langsung 
untuk merenungkan Keindahan Ilahi, dan yang sebaliknya juga benar. 

Ibn ‘Arabī dan Syabistarī, misalnya, 
menulis bagaimana setiap sisi wajah perempuan 
mengungkapkan Sifat Tuhan dan menyingkapkan sebuah Misteri Ilahi. 

Ibn ‘Arabī menulis 
ketika berada di Makkah dia bertemu dengan seorang wanita Persia muda 
dan ketika melihat wajahnya 
semua ilmu esoterik seolah-olah secara tiba-tiba terungkapkan baginya. 
Singkatnya, 
kaum Sufi, baik laki-laki maupun perempuan, bukan hanya pecinta Allah, 
tetapi mereka juga pencinta keindahan, 
yang tak dapat dipisahkan dari Realitas Ilahi dan yang, 
karena terkait dengan ketidakterbatasan Ilahi, 
menghadirkan kedamaian total dan membebaskan jiwa 
dari semua belenggu yang membatasi keberadaan.

Meskipun banyak Sufi gencar mengejar keindahan dan bentuk-bentuk yang indah, 
ada beberapa yang memperingatkan terhadap pencarian akan keindahan 
jika jiwa belum bersiap untuk pengalaman total Keindahan 
melalui bentuk-bentuk yang indah dengan membersihkan diri batinnya 
dari berbagai ketidaksempurnaan dan keburukan. 

Persis karena keindahan menarik jiwa,
 ia juga dapat menjebaknya dan bertindak sebagai sarana yang kuat 
untuk mengalihkannya dari Sumber segala keindahan. 

Itulah mengapa beberapa guru bijak dan mistikus di semua agama 
menganggap keindahan sebagai pedang bermata dua 
dan mencoba untuk menahan diri mereka 
dari mengapresiasi bentuk-bentuk lahiriah keindahan pada tahap tertentu 
dalam perjalanan spiritual. 

Orang-orang seperti itu disebut asketik (zuhhād dalam Islam), 
dan ada banyak orang yang demikian dalam sejarah awal Tasauf 
sebelum dimensi cinta dan pengetahuan mekar sepenuhnya. 

Tokoh-tokoh ini, sebenarnya, 
mempersiapkan landasan yang diperlukan bagi perkembangan itu. 
Apa yang dilakukan dan dikatakan oleh orang-orang suci dan peramal seperti itu adalah bahwa jiwa jangan sampai terperangkap 
di dalam sesuatu yang terbatas 
dan menghalanginya untuk naik ke tingkat kesempurnaan. 
Dengan demikian 
mereka berkonsentrasi hanya pada Allah 
sebagai yang Esa melebihi semua manifestasi dan segala bentuk.

Bahaya yang menjadi keprihatinan mereka 
berkaitan dengan kekeliruan 
menganggap suatu bentuk keindahan yang terbatas sebagai realitas yang mandiri, 
terlepas dari Allah sebagai Sumber segala keindahan. 

Persis lantaran sifat keindahan itulah 
maka ia memiliki kekuatan untuk menarik kepada dirinya sendiri 
dalam cara tertentu sehingga jiwa lupa 
akan Sumber keindahan ini 
dan juga fakta bahwa 
keindahan bentuk duniawi bersifat sementara. 

Tak banyak orang yang teralihkan dari Allah lantaran sesuatu yang buruk. 
Biasanya yang menyibukkan jiwa dan menjauhkannya dari Taman Kebenaran adalah sebuah bentuk yang memiliki beberapa jenis keindahan, 
yang padanya jiwa kemudian menjadi tertarik. 

Bayangan Keindahan Wajah Dia mulai bersaing 
di dalam jiwa dengan Keindahan mutlak, 
disebabkan oleh ketidaktahuannya 
jiwa tidak dapat membedakan antara yang Nyata dan pantulannya. 

Singkatnya, 
dalam visi Tasauf yang integral, 
keindahan akan tetap menjadi kenyataan di pusat kehidupan spiritual. 
Taman Kebenaran itu indah, 
dan tak seorang pun dapat memasukinya 
yang tidak menghargai keindahan dan yang tidak indah secara batin, 
yang tidak dapat membedakan antara keindahan dan kejelekan, 
yang berkaitan dengan mencermati perbedaan 
antara yang nyata dan tak nyata, yang salah dan yang benar.

Keindahan tidak dapat dipisahkan dari yang nyata dan benar 
karena, seperti mereka, 
ia mendampingi pantulan dari yang Esa di dalam yang banyak. 

Ia membukakan pintu bagi yang terbatas menuju yang Tidak Terbatas 
dan membebaskan jiwa dari kungkungan bentuk-bentuk terbatas, 
meskipun ia termanifestasi dalam tatanan formal. 

Harmoni 
merupakan hasil dari pantulan yang Esa di dalam yang bermacam-macam, 
dan karena itu ia terkait erat dengan keindahan. 
Objek keindahan memiliki harmoni kualitatif 
yang terkait dengan realitas seperti warna. 

Mereka tidak hanya dapat memiliki harmoni kualitatif tetapi juga kuantitatif. 
Ini dapat ditemukan, misalnya dalam musik, yang, di samping kualitas suara, 
terkait secara kuantitatif dengan pengukuran dan matematika, 
disiplin yang dipelajari dalam sains harmonik. 
Seni Islam dicirikan oleh proporsi harmonis, kejelasan matematis,
 dan berbagai tingkat simetri.

Dalam dunia spiritual lainnya yang tidak simetris 
juga dapat menjadi kendaraan bagi keindahan, 
sebagaimana yang dapat kita lihat pada taman Zen, 
tetapi dalam perspektif Sufi 
simetri biasanya dianggap terkait dengan harmoni dan harmoni dengan keindahan.

 Keindahan jenis ini melibatkan akal, 
dan kemampuan akal untuk mengerti, termasuk keindahan matematis, 
dianggap sebagai kualitas keindahan yang dirasakan pada tingkatan yang tinggi. Di bawahnya terletak keindahan yang dicerap oleh pancaindera 
dan di atasnya keindahan tak terlukiskan 
dari dunia yang mentransendensi segala bentuk. 
Tetapi seperti yang sudah disebutkan, 
semua tingkat keindahan ini adalah pantulan 
dari Keindahan puncak Wajah sang Kekasih, 
yang dialami oleh kita manusia saat berada dalam keadaan Surgawi.

Pengalaman keindahan itu masih berdiam jauh di dalam jiwa. 
Salah satu fungsi keindahan dalam kehidupan manusia adalah 
untuk memunculkan ingatan tentang Keindahan surgawi. 

Jika dipahami secara spiritual, 
keindahan itu sendiri menjadi sarana pemusatan perhatian 
dan penemuan kembali watak sejati kita 
sebagaimana Allah telah menciptakan kita,
 watak yang masih kita bawa jauh di dalam diri kita 
meskipun sudah terlupakan 
sebagai akibat dari kejatuhan kita ke dalam keadaan ketidaktahuan 
dan tidak lagi mengenal siapa diri kita. 

Setelah menjadi sepenuhnya terlahiriahkan (exteriorized), 
kita cenderung untuk hanya melihat pada bentuk lahiriah 
dan mencari keindahan lahiriah, 
sedangkan para Sufi merenungkan, 
melalui bentuk-bentuk lahiriah, makna batiniahnya 
dan keindahan batiniah yang terkandung di dalamnya. 

Seperti kata penyair Sufi Persia abad ketiga belas Awhad al-Dīn Kirmānī,

Lalu aku memandang wajah dunia dengan mata optik,
Karena bentuk lahiriah membawa tanpa Makna batin.
Dunia tak lain adalah bentuk dan kita harus hidup dalam bentuk:
Kita tak dapat melihat Makna lahiriah kecuali dalam bentuk.

Menurut hadis Nabi, 
Allah telah menuliskan keindahan di atas wajah segala sesuatu. 

Inilah wajah yang dipalingkan setiap makhluk kepada Allah. 
Realisasi spiritual berarti melihat wajah ini 
dan keindahan yang tertulis di atasnya
 serta mendengarkan musik indah dari seruan setiap makhluk, 
yang membentuk inti eksistensinya.

 Ini berarti 
melihat bentuk-bentuk dalam kebeningan metafisikal mereka 
dan bukan kegelapan lahiriah mereka. 
Kebeningan itu tak terpisahkan dari keindahan 
karena ia seperti jendela 
yang melaluinya Cahaya dari yang Tak Berhingga 
dan bersamanya pantulan dari Keindahan-Nya 
memasuki substansi bentuk itu sendiri,
 membuatnya menjadi kendaraan yang, 
melalui kecantikan mereka, 
membawa kita kepada yang Tak Berbentuk 
dan kepada Sumber dari semua keindahan.

Ya Tuhan
 Engkau yang paling mengetahui itu 
kini dan nanti,
Kami tidak melihat apa pun 
kecuali keindahan Wajah-Mu
Yang indah di dunia ini 
adalah cermin dari Keindahan-Mu
Kami telah melihat 
di Wajah Raja yang Maha Perkasa. 

Akan tetapi, 
untuk meraih tujuan perenungan Keindahan Allah 
di dalam bentuk-bentuk duniawi, 
jiwa harus memperoleh kembali keindahan realitas purbanya, 
yang tak lain dari ihsān, 
dan yang dengan demikian juga berarti 
menjadi berhiaskan kebajikan-kebajikan—kebajikan 
yang memperindah jiwa dan yang akhirnya merupakan milik Allah. 

Jiwa yang indah tertarik kepada Keindahan Ilahi 
seperti ngengat tertarik kepada cahaya lilin 
dan senantiasa mengalami di dalam setiap keindahan duniawi 
Keindahan Ilahi dari sang tukang Kebun di Taman Kebenaran, 
sebuah keindahan yang tak terpisahkan 
dari tujuan akhir kehidupan manusia.

Para raja menjilati tanah 
yang darinya keindahan ini dibuat,
Sebab 
Allah telah mencampur di dalam tanah berdebu
Seteguk keindahan dari cangkir paling terpilih-Nya.
Inilah dia, 
kekasih tersayang—bukan bibir tanah liat itu—
Yang engkau kecup dengan ratusan gairah,
Maka bayangkanlah, 
seperti apa kiranya andai ia tak bercela!

Rūmī

KEDAMAIAN

Kita tidak dapat membicarakan makna spiritual keindahan 
tanpa berpaling kepada soal kedamaian. 

Keindahan menarik jiwa, 
dan di dalamnya jiwa menemukan semua yang dicarinya. 

Jadi mengapa pergi ke tempat lain? 
Mengapa dia terusik? 
Menyaksikan keindahan 
membutuhkan ketenangan dan kesenangan, ketenteraman dan kedamaian. 

Dalam tatanan formal, 
selama jiwa tertarik oleh keindahan bentuk tersebut, 
ia tetap dalam keadaan damai, 
tetapi dalam banyak kasus jiwa 
segera berhadapan dengan keterbatasan eksistensi dari bentuk dan, 
mendapati keterbatasan ini bersifat membelenggu, 
mengalihkan perhatiannya ke tempat lain 
dan meninggalkan keadaan damai karena usikannya. 
Akan tetapi, 
bagi kaum Sufi, 
keindahan bentuk merupakan simbol dan pantulan dari arketipe surgawinya, 
yang ia renungkan melalui bentuk tersebut. 
Keindahan bentuk dengan demikian mengantarkan orang seperti itu 
kepada wajah Keindahan Tak Terbatas, 
tempat ditemukannya kedamaian sejati. 

Dalam Keindahan Tak Terbatas tidak terdapat batasan eksistensial, 
dan tidak ada yang dapat mengganggu 
keadaan mengalami kedamaian tertinggi seperti itu 
dengan mengalihkan perhatian jiwa ke tempat lain 
karena jiwa berada dalam keadaan di mana 
pada kenyataannya tidak ada tempat lain baginya untuk beralih. 
Ini adalah sebuah keadaan 
yang oleh sebagian Sufi Asia Tengah disebut perdamaian universal (shulh-i kull). 
Itu adalah ketika kedamaian yang diraih 
ketika seseorang terbenam di dalam Realita 
yang melampaui semua ketegangan dan dualisme, 
di mana hal-hal yang berlawanan bertemu, coincidentia oppositorum.

Adalah luar biasa bahwa 
jiwa manusia mendamba kedamaian 
sementara hidup di dunia 
yang penuh dengan perselisihan, pertikaian, perlawanan, perjuangan, dan peperangan. 

Apabila kita merenungkan istilah peace, shalom, shanti, dan salam 
dalam Kekristenan, Yudaisme, Hindu, dan Islam secara berturut-turut 
dan penggunaannya di mana-mana oleh para pengikut agama ini, 
serta istilah dengan arti yang sama yang digunakan di tempat lain, 
kita menjadi sadar akan keuniversalan kerinduan ini. 

Tasauf menekankan pentingnya kerinduan ini di dalam jiwa 
dan pentingnya mewujudkan tujuan dari kerinduan ini. 
Tetapi kaum Sufi berulang kali menekankan bahwa 
perdamaian ini tidak dapat ditemukan di dunia oposisi dan dualisme 
sementara kita tetap terikat ke dunia ini, 
itu hanya dapat ditemukan dengan mentransendensi dunia ini 
dan meraih Realitas Ilahi, yang sebagai Keindahan mutlak, 
juga merupakan kedamaian mutlak. 

Seperti yang dikatakan:

Tiada ketenteraman kecuali di dalam rengkuhan ruhani Kebenaran Ilahi (haqq).

Menurut Al-Quran dan sebuah hadis Nabi, 
ucapan sambutan dari para penghuni Surga, Taman itu, adalah salām atau damai; 
itulah ucapan salam yang biasa di kalangan Muslim, al- salām ‘alaykūm, 
atau “damai atasmu.” 

Nah, Taman itu bersinar dengan keindahan yang agung, 
yang dulu kita saksikan sebelum Kejatuhan kita 
dan orang-orang yang diberkati 
akan kembali mengalaminya setelah kematian. 

Keindahan seperti itu tidak dapat tidak 
kecuali berpadu dengan kedamaian dan ketenangan. 

Jiwa yang tidak merasakan ketenangan di dalam Keindahan Ilahi 
tidak layak mendapatkan Surga. 

Dia bahkan harus membawa ketenangan batin dan ketenangan jiwa 
ke ranah surgawi melalui pencapaian kebajikan-kebajikan spiritual 
agar dapat memasuki Taman itu 
dan mampu memetik manfaat dari kedamaian 
di ranah yang ke dalamnya jiwa-jiwa yang diberkati diperbolehkan masuk. 

Dengan cara yang sama 
jiwa yang diberkati harus menambahkan sesuatu 
pada Bait jannati agar orang itu layak untuk berada di sana.

Singkatnya, 
damai (al-salām) berada pada level tertinggi Nama Tuhan, 
dan Allah adalah kedamaian itu sendiri sekaligus pemberi kedamaian, 
karena Dia adalah indah dan sumber segala keindahan. 

Al-Quran menegaskan dalam sebuah ayat yang memainkan peran penting 
dalam amalan Sufi,
 ”Dialah yang telah menurunkan ketenangan (al-sakīnah) 
ke dalam hati orang-orang mukmin” (QS. Al-Fath [48]:4). 

Sakīnah ini, 
yang memiliki kesesuaian dengan Shekinah menurut Kabbalis, 
merupakan kedamaian yang bersifat surgawi dan berpadu dengan rahmat, 
karena Allah adalah sumber langsungnya. 
Tetapi kita harus siap untuk menerima karunia yang besar ini 
dengan menyelaraskan diri dengan kebenaran, 
beriman dan mencintai Allah, dan 
mengarahkan jiwa kita kembali kepada Sumber dari semua keindahan 
dengan cara mengamalkan kebajikan. 

Melihat Keindahan Wajah sang Kekasih 
tidak dapat dipisahkan cinta mutlak dan tak bersyarat pada Dia 
yang Sendirinya mutlak dan tak bersyarat, 
dan ini dipisahkan dari mengalami kedamaian 
“yang melampaui semua pemahaman.”

Mari kita ingat bahwa 
jalan spiritual melibatkan pengetahuan, di satu sisi, 
serta cinta dan keindahan, di sisi yang lain. 
Akan tetapi, 
konsekuensi berikut mengikuti jalan ini 
juga menyebabkan diraihnya kedamaian yang didambakan jiwa. 
Selain itu, 
seperti yang kita akan lihat dalam bab berikutnya, 
jalan pengetahuan, cinta, dan keindahan memerlukan tindakan benar dan baik, 
yang tanpanya seseorang tidak dapat menyadari sepenuhnya pengetahuan ilahi 
dan tidak akan mampu untuk mencintai Allah 
dan melihat Keindahan-Nya dengan sepenuhnya wujud dirinya. 
Akibatnya, 
tanpa kebaikan dan kebajikan 
orang tidak bisa mencapai perdamaian 
yang pada tingkatannya yang paling mendalam 
tidak dapat dipisahkan dari keindahan 
dan yang kita semua cari jauh di kedalaman diri kita 
bahkan di tengah hiruk-pikuk, kekacauan, dan ketegangan dunia 
tempat kita hidup.[]

Cuplikan dari buku
GARDEN OF TRUTH
Seyyed Hossein Nasr
Penerbit Mizan
Januari 2010
Rp 57.500

===========================================================
Zaman ini kita dihadapkan pada paradoks: 
keberlimpahan materi dan kemiskinan ruhani. 
Kekenyangan fisik dan kelaparan psikis. 
Kebanjiran informasi dan kelangkaan arti. 
Dengan ini, 
manusia modern seakan-akan ditarik kembali 
kepada pertanyaan-pertanyaan purba: 
apa yang sesungguhnya kita cari? 
Siapa sesungguhnya kita? 
Dari mana kita berasal dan mau ke mana kita ini?

Pertanyaan-pertanyaan ultimat demikian 
membutuhkan lebih dari sekadar terapi self help atau psikologi kepribadian. 
Ini menggiring manusia untuk memasuki wilayah paling inti dari kemanusiaan, 
sangkan paraning dumadi. 
Dan persis di sinilah tasawuf dapat memainkan peranannya.

Apa hakikat wujud manusia
Bagaimana hubungan fisik, jiwa, dan ruh
Bagaimana hubungan antara pengetahuan, tindakan, dan keyakinan
Bagaimana hubungan antara cinta, keindahan, dan kebenaran
Bagaimana hubungan syariah, thariqah, dan haqiqah
Bagaimana manusia menapaki jalan-jalan menuju Tuhan
Bagaimana pengaruh tasawuf terhadap pelbagai dimensi kehidupan
Siapa sufi-sufi dan tarekat-tarekat yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam
Mengapa ada pelbagai kecenderungan dalam tasawuf: 
pesona puisi/tari Rumi, 
misteri metafisikal Ibn ‘Arabi, 
panduan etikal Al-Ghazzali, dan 
kemartiran Al-Hallaj

Ditulis oleh seorang pakar dan sekaligus pelaku jalan sufi, 
Seyyed Hossein Nasr, 
buku ini menjadi gerbang menuju semesta sufi yang tiada bertara.

Seyyed Hossein Nasr adalah guru besar studi Islam di Universitas Georgetown. 
Mereguk ilmu-ilmu islam tradisional dan ilmu-ilmu Barat modern, 
Nasr adalah juru bicara utama spiritualitas dan filsafat Islam kepada dunia modern, 
dalam bahasa kontemporer yang canggih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar