Senin, 11 April 2016

Melacak Corak Tasawuf Muhammadiyah

Melacak Corak Tasawuf Muhammadiyah.

Muhammadiyah adalah organisasi Islam pertama di Indonesia 
yang mengusung isu pokok modernisasi. 

Hal ini sangatlah wajar, 
karena pada masa organisasi ini dilahirkan oleh K.H. Ahmad Dahlan, 
umat Islam khususnya di Jawa sedang mengalami krisis kemanusiaan 
karena terbelenggu oleh kolonialisme Belanda. 

Peranan pemerintah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat 
yang telah dilemahkan oleh Belanda 
baik dari segi kebijakan politik maupun militer 
tidak bisa berbuat banyak untuk melepaskan rakyat dari penderitaan, 
sedangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan kebijakan 
pembagian kelas masyarakat, 
yang membuat rakyat jelata tidak dapat menikmati 
fasilitas pendidikan, kesehatan maupun kesejahteraan ekonomi 
yang hanya berpihak kepada ras Eropa, China dan Pribumi Priyayi.

Berdasarkan latar sosio historis tersebut 
maka pada hakikatnya yang diperjuangkan oleh KH Ahmad Dahlan adalah 
agama Islam yang bisa membebaskan penganutnya 
dari penderitaan dan keterpurukan hidup. 

Dengan mengadopsi pemikiran Abduh dan Ridha yang mencoba memahami Islam berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah, 
yang diharomisasikan dengan segala perangkat modernitas dan kemajuan teknologi, Persyarikatan Muhammadiyah pun didirikan pada 18 November 1912 M.[6] 

Muhammadiyah kemudian banyak mendirikan amal usaha dalam bidang pendidikan 
yang mengajarkan ilmu praktis disamping juga ilmu agama, 
sarana kesehatan dan panti sosial adalah alat untuk mendapatkan tujuan yang sebenarnya yaitu pembentukan masyarakat yang berakhlaqul karimah.

Seyyed Hossein Nasr menganggap tasawuf sebagai spirit of Islamic religion 
(jiwa dan semangat agama Islam). 

Tanpa tasawuf, 
Islam akan menjadi gersang, tidak subur, bahkan tidak hidup. 

Karena itu pada hakikatnya jargo anti TBC (taklid, bid’ah, dan c(k)hurafat) 
bukanlah gerakan yang anti tasawuf, 
namun lebih kepada praktik keagamaan 
yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan 
sehingga membuat manusia yang menjalankan praktik keagamaan tersebut 
memiliki pemikiran yang jumud dan tak berkemajuan.

Tidak seperti faham Wahabisme 
yang seringkali diidentikkan dengan Muhammadiyah, 
pandangan-pandangan keagamaan KH. Ahmad Dahlan 
pada dasarnya menunjukkan sikap lunak, 
bahkan bersahabat terhadap tasawuf. 

Hal inilah yang mengantar Mitsuo Nakamura, 
peneliti pergerakan Muhammadiyah, 
menunjukkan elemen-elemen tasawuf dalam ajaran Muhammadiyah. 

Anggapan Nakamura itu lebih jelas tergambar 
dalam ungkapan ulama yang bernama kecil Muhammad Darwisy 
yang bertendensikan tasawuf kepada pengikut-pengikutnya. 

Kata-kata mutiara sufi kenamaan Hasan Basri 
yang senantiasa mengingatkan manusia 
akan kematian dan hari pembalasan di kemudian hari 
bergema dalam ungkapan-ungkapan pendiri Muhammadiyah itu. 

Anjuran-anjuran sufi besar Al-Muhasiby yang menekankan bahaya 
penyakit riya (hiprokasi), dan Yahya ibn Muaz tentang peringatan kematian 
dapat ditemukan persamaannya dalam anjuran-anjuran tokoh dari Kauman Yogyakarta ini.

 Bahkan keengganan murid Syaikh Ahmad Khatib (1855-1916), 
ulama kelahiran Indonesia yang pernah menempati posisi tertinggi di Makkah, 
untuk melibatkan diri dalam pemikiran spekulatif teologis 
yang mengundang perdebatan adalah 
merupakan kelangsungan tradisi sufi-sufi besar Islam.

Muhammad Abduh, 
reformis pembaru Mesir yang banyak memberikan inspirasi kepada Muhammadiyah itu, adalah murid Syekh Darwisy, penganut Tarekat Syaziliyah. 

Rasyid Ridha dalam buku Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh memaparkan bagaimana Abduh mengenang jasa gurunya itu 
sebagai orang yang melepaskannya dari penjara kebodohan dan ikatan taklid 
serta mengantarkannya pada satu cita-cita 
untuk mendapatkan pengetahuan dan disiplin jiwa yang sempurna. 

Dewasa ini, 
korelasi antara Muhammadiyah dan Tasawuf 
kembali dimunculkan oleh Amin Abdullah 
yang merupakan Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah 
mencoba menawarkan satu pendekatan 
yang selama ini asing dalam tradisi tarjih, 
yaitu pendekatan ‘irfany dan burhany, 
suatu pendekatan yang dekat dengan gaya tasawuf. 

Gagasan Amin Abdullah ini mendapat respon negatif 
dari tokoh-tokoh sepuh Muhammadiyah. 
Namun berbeda dengan tokoh-tokoh sepuh Muhammadiyah, 
para aktivis muda Muhammdiyah merespon secara positif 
apa yang digulirkan oleh Amin Abdullah. 

Mereka mencoba untuk memulai mengimplementasikan ide-ide Amin itu 
dalam kegiatannya. 
Salah satu cabang IMM, contohnya, 
beberapa kali mengadakan diskusi tenta2ng Ibn ‘Arabi, 
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar diskusi 
tentang Spiritualitas dan Problem Masyarakat Urban.[7]

Selain Amin Abdullah yang merupakan tokoh kontempor Muhammadiyah saat ini, 
generasi sebelumnya pun, 
walau pun tidak mengeluarkan pemikiran tasawuf teoritisnya secara terperinci 
namun telah melakukan praktek keagamaan yang bercorak sufistik. 

Hal ini dapat dilihat dari sejarah hidup pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan 
yang dalam garis keilmuan dan spiritualnya bersambung 
dengan para sufi-sufi di Hadramaut. 

Begitu juga dengan HAMKA yang selama hidupnya tetap konsisten 
sebagai ulama pencerah dan pemberi contoh yang baik kepada seluruh umat Islam. 

Dari pimpinan Muhammadiyah yang lain setelah K>.H> Ahmad Dahlan, 
adalah K.H. A.R. Fachrudin merupakan tokoh Muhammadiyah 
yang walaupun telah hampir seperempat abad memimpin Muhammadiyah 
namun tidak pernah menggunakan kesempatan yang ia miliki 
untuk memuaskan kebutuhan pribadinya. 

Ajaran K.H> Ahmad Dahlan yang berkata hidup hidupilah Muhammadiyah 
dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah 
benar-benar melekat dalam diri pribadi K.H> A.R Fachrudin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar