Minggu, 17 April 2016

Pencarian Jati Diri dalam Syair Rumi

Kala itu, 
seorang pengembara tiba di suatu desa terpencil di pinggiran gurun pasir. 
Melihat keadaan desa yang tak asing, ia teringat pada seorang sahabat, 
yang dua dasawarsa tidak bertemu dengannya. Ia begitu rindu.

Segera pengembara itu mengayunkan kaki menuju rumah sahabatnya. 
Sampai di depan rumah ia langsung mengetuk pintu. 
“Siapa kamu?,” tanya si pemilik rumah.
 “Ini aku,” jawab si pengembara.

Tanpa diduga, dari dalam, si pemilik rumah berkata.
 “Kamu tidak boleh masuk. 
Tidak ada tempat bagimu karena kepalsuan belum meninggalkan dirimu.
Kepalsuanmu harus dibakar habis di dalam api.”

Mendengar hal itu, si pengembara pun meninggalkan rumah sahabatnya.
Perasaannya masygul. 
Selama setahun ia berkelana tanpa tujuan. 
Dalam hati dan perkataan si pengembara selalu menyebut nama sahabatnya. 
Ia memutuskan kembali lagi ke desa terpencil itu.

Dengan hati-hati dan penuh rasa takut, Ia mengetuk pintu rumah. 
“Siapa yang mengetuk pintu?,” kata sahabatnya dari dalam rumah. 
Si pengembara langsung menjawab serasa memohon, 
“Oo…, kekasihku, ini adalah kamu yang ada di depan pintu.” 
Tanpa harus menunggu, dari dalam terdengar suara lagi. 
“Karena ini adalah aku, masuklah! 
Di dalam rumah ini tidak ada tempat untuk dua Aku,” 
kata pemilik rumah selembut madu.

Kisah yang disadur dari puisi Jalaluddin Rumi, 
sufi besar itu mengibaratkan lika-liku kehidupan manusia di dunia 
dalam mengejar kepuasan nafsu.

Dunia, seakan kekal di mata manusia. 
“Seolah kita terus memburu kesenangan duniawi dan tenggelam di dalamnya.”

Manusia condong jadi lupa pada jati dirinya. 
Manusia terkadang lebih memusatkan perhatian pada dunia. 
Sampai-sampai melanggar hak orang lain dan tata nilai masyarakat, 
tak mereka rasakan.

“Orang-orang seperti ini sebenarnya bermimpi walaupun lahirnya terjaga.”
 Manusia baru tersadar ketika telah menuai bencana akibat perbuatan sendiri. 
Bencana atau musibah
 bisa menjadi pemicu mengembalikan manusia pada jalan kebenaran.

Setiap manusia memiliki kesadaran sebagai bayang-bayang Tuhan 
meskipun redup bak cahaya kunang. 
“Itulah manusia. 
Ia akan kembali ke Tuhan jika dibangunkan dengan musibah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar