Sabtu, 06 Februari 2016

Mujahadah

Mujahadah

Terjemah Ringkas Risalah Al-Qusyairiyah
Risalah Al-Qusyairiyah :
Allah berfirman, 
“Walladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa 
wa innallaaha lama’al Muhsiniin”. 
Yang artinya, 
“dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami 
niscaya akan Kami tunjukkan jalan Kami, 
dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang baik”. (QS. Al-Ankabut 69)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri diceritakan bahwa ia berkata, 
“Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seutamanya jihad, 
maka dijawab, ‘Kalimatu haqqin ‘inda sulthaani jaa’ir”. 
Yang artinya, ‘kalimat yang adil yang disampaikan kepada penguasa yang lalim’”. 
Tanpa terasa kedua mata Abu sa’id mengeluarkan air mata.

Syaikh Abul Qasim Al-Qusyaairi berkata, 
“Saya pernah mendengar Ustadz Abu ‘Ali Addaqaaq berkata, 
”Barang siapa menghiasi lahiriahnya dengan mujahadah, 
maka Allah akan memperbaiki bathiniahnya dengan musyahadah. 
Ketahuilah bahwa seseorang yang dalam awal perjalanannya 
tidak mengalami mujahadah 
maka dia tidak akan mendapatkan lilin yang menerangi jalannya”.

Abu Utsman Al-Maghribi berkata, 
“barang siapa mengira bahwa 
sesuatu hanya dapat dibukakan atau disingkapkan untuknya 
hanya melalui jalan ini atau 
hanya dengan keteguhan menjalani mujahadah, 
maka dia adalah orang yang salah”.

Syaikh Abul Qasim Al-Qusyairi pernah mendengar Ustadz Abu ‘Ali Addaqaaq 
semoga Allah merahmatinya berkata, 
”Barang siapa dalam permulaannya tidak pernah berdiri, 
maka pada akhirnya dia tidak akan pernah duduk”. 
Beliau juga pernah mengatakan bahwa g
erak membawa barokah atau gerak adalah barokah itu sendiri. 
Gerak lahir menurut beliau mengharuskan timbulnya barokah rahasia.

“Wahai para pemuda”, pesan Assirri, 
“bersungguh-sungguhlah kalian sebelum batas akhir kemampuan 
yang membuat kalian lemah dan kurang 
sebagaimana kelemahan dan kekurangan fisik kalian”. 
Saat itu para pemuda tidak mampu mengawani Assirri dalam menjalankan ibadah.

Menurut Hasan Al-Qazzaz menerangkan bahwa masalah ini mujahadah, 
dibangun atas tiga hal:

Hendaknya tidak makan kecuali benar-benar membutuhkan / lapar, 
Tidak tidur kecuali benar-benar mengantuk, 
dan tidak berbicara kecuali benar-benar terdesak (mengharuskan).

Syaikh Al-Qusyairi berkata, 
Saya pernah mendengar Ibrahim bin Adham berkata, 
“Seseorang tidak akan mendapatkan derajat orang-orang salih 
hingga mampu mengatasi enam rintangan: 

Menutup pintu nikmat dan membuka pintu kesulitan.
Menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan.
Menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan.
Menutup pintu tidur dan membuka pintu terjaga.
Menutup pintu kekayaan dan membuka pintu kefakiran.
Menutup pintu angan-angan dan membuka pintu persiapan menjelang kematian”.

“Barang siapa yang nafsunya memuliakan dirinya, 
maka agama dan reputasinya akan menghinakannya”. 
Demikian kata Abu Amir bin Najid.

Syaikh Al-Qusyairi RA berkata, 
“Saya pernah mendengar Abu ‘Ali Ar-Rudzabaar mengatakan, 
“Jika seorang sufi setelah lima hari –tidak mendapatkan makanan berkata, ‘saya lapar’, maka giringlah dia ke pasar dan suruhlah ia bekerja”. 

Ketahuilah bahwa 
dasar daripada mujahadah adalah 
menyapih hawa nafsu dari kebiasaannya, 
dan membawanya pada penentangan hawa nafsu di seluruh waktu”.

Nafsu mempunyai dua sifat yang mampu mencegah kebenaran:

Ketekunannya menuruti syahwat.
Mencegah keta’atan.

Jika nafsu ketika mengendarai keinginannya tidak dapat dikendalikan, 
maka wajib dikekang dengan kekang taqwa. 
Jika ia dapat berhenti dengan menepati perintah-perintah agama, 
maka dia wajib digiring pada penentangan hawa nafsu. 

Ketika dalam kondisi marah dia berontak, maka 
wajib diteliti, dikendalikan,dan diarahkan pada keadaannya yang tenang. 
Tak ada kondisi yang akibatnya lebih bagus daripada kemarahan, 
yang kekuasaannya dipecahkan dengan akhlak yang baik, 
dan apinya dipadamkan dengan kelembutan perilaku. 

Jika nafsu menganggap halal “suatu ketololan” 
sehingga segala sesuatu menjadi sempit 
kecuali dengan penampakan perangai-perangai baik 
dan lebih mempercantiknya ketika orang lain melihat atau menelitinya/riya’ 
maka keadaan yang demikian ini harus dipecahkan dan dilepaskan 
dengan siksaan kehinaan. 

Yaitu dengan cara mengingatkan 
kerendahan derajad nafsu, kehinaan aslinya dan kekotoran perbuatannya. 

Mujahadah orang awam terdapat pada pemenuhan amalan wajib. 
Mujahadah orang khusus terdapat pada pembersihan ahwal / keadaan. 

Oleh karena itu menahan lapar dan terjaga adalah sesuatu yang mudah lagi ringan. Sedangkan mengobati akhlak dan menjauhkannya dari kebusukannya adalah 
sesuatu yang sangat sulit.

Diantara penutup-penutup penyakit nafsu adalah 
kecondongannya pada kemampuan merayakan manisnya pujian. 
Jika seseorang menghirup seteguk pujian 
maka dia akan ‘memikul’ penduduk langit dan bumi pada bulu matanya. 
Adapun tanda-tandanya apabila ia terputus dari minuman/pujian tersebut 
maka keadaannya akan kembali kepada kemalasan dan kelemahan.

Seorang wanita yang sudah ditanya tentang keadaannya lalu dijawab, 
“Ketika saya masih muda, kutemukan pada diriku keaktifan dan giat beribadah. 
Dan sekarang tidak aku temukan lagi. 
Ketika usia berubah, yang demikian itu hilang dariku”.

Syaikh Al Qusyary berkata, 
“saya pernah mendengar Dzunun Al-Mishri berkata, 
‘Allah tidak akan memuliakan seseorang dengan suatu kemuliaan, 
yang lebih mulia daripada menunjukkannya pada kehinaan nafsunya. 
Dan tidak menghinakan seseorang yang lebih hina daripada Ia (SWT) 
menutupi kehinaan nafsunya dari pandangannya.

Ibrahim Al-Khawas menuturkan bahwa 
ia tidak takut akan sesuatu kecuali takut pada sikap yang menuruti hawa nafsu. 

Akan tetapi Muhammad bin Fudhail berpendapat bahwa 
kesenangan atau kesenggangan adalah 
merupakan pembebasan dari syahwat dan kesenangan nafsu.

Syaikh Abul Qasim Al-Qusyairi pernah mendengar Syaikh Abu Ali Ar-Rudzabari mengatakan, “penyakit hati menyusup ke dalam akhlak melalui tiga jalan:

Penyakit watak, 
Kebiasaan yang dilaksanakan terus menerus,
Kerusakan pergaulan.

Adapun penyakit watak adalah memakan barang yang haram
Sedang yang dimaksud melakukan kebiasaan adalah 
memandang dan merasakan nikmat dengan barang haram.
dan kerusakan pergaulan adalah 
ketika syahwat dalam nafsu bangkit, maka nafsu pasti mengikutinya.

An-Nashr Abadzi berkata, 
“nafsumu adalah penjaramu. Maka apabila kamu dapat keluar dari padanya, maka kamu pasti akan tinggal di tempat yang enak dan kekal”.

“Nafsu semuanya adalah gelap” kata Abu Jafar. 
“dan lampunya adalah rahasia / sirr nya. 

Cahaya nafsu adalah taufiq. 
Barang siapa dalam rahasianya tidak di dampingi dengan taufiq Tuhannya 
maka dia dalam kegelapan di segala sisinya”.

Yang dimaksud rahasianya adalah rahasia antara dirinya dengan Allah SWT.

Rahasia adalah tempat keikhlasan seorang hamba
dengan keikhlasan hamba akan mengetahui bahwa 
segala yang terjadi bukan karena kekuatan dirinya 
melainkan pertolongan Allah semata.
kemudian dengan taufiqNya 
mampu menjaga diri dari keburukan nafsunya. 

Seseorang yang tidak mendapat taufiq maka 
ilmunya tidak akan bermanfaat pada dirinya dengan Tuhannya, 
karena ilmunya tidak akan menghindarkannya 
dari perbuatan yang buruk dan 
tidak pula menyebabkan keridhaan Tuhannya.

Abu Utsman berkata, 
“seseorang tidak akan tahu aibnya sendiri selama ia menganggap baik diri sendiri.”

Abu Hafs menyatakan, 
”Tidak ada kerusakan yang lebih cepat 
daripada kerusakan orang yang tidak mengetahui aib dirinya, 
padahal maksiat adalah kurir kekufuran”.

Abu Sulaiman berkata, 
“Saya tidak pernah menganggap baik ibadah saya, saya cukup hanya berbuat saja”.

Dzunun Al-Mishri, 
“kerusakan pada makhluk melalui enam perkara:

Lemahnya niat beramal untuk akhirat
Badan yang dijadikan jaminan untuk nafsunya
Panjang angan-angan yang menguasai dirinya padahal ajal sangatlah dekat
Lebih mengutamakan keridhaan makhluk daripada keridhaan Allah.
Mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan sunah Nabi SAW
Menjadikan tergelincirnya lidah 
digunakan sebagai argumen untuk membela diri 
di sisi lain mengubur sebagian besar perilakunya –yang tidak baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar