Beberapa Zikir Penting.
Apa yang telah kami katakan di atas
membuktikan secara konklusif
bahwa dzikr atau mengingat Allah
diperintahkan oleh ayat-ayat Al-Qur'an
yang jelas dan bersifat kategoris.
Yang diperintahkan adalah dzikr itu sendiri ,
dan ini berlawanan dengan ghaflah ("kelalaian")
Kemudian ,
apa saja yang mengingatkan kita pada Zat Allah ,
berbagai sifat dan kesempurnaan-Nya,
sesungguhnya adalah dzikr atau "mengingat Allah".
Dengan mengingat ini, salat, membaca Al-Qur'an ,
melantunkan sembilan puluh sembilan Nama Allah,
mengucapkan
tahlil,
(tidak ada Zat yang layak dan berhak disembah selain Allah),
takbir (Allah Mahabesar),
mengucapkan syahadah,
istighfar (memohon ampunan Allah),
isti'adzah
(memohon perlindungan kepada Allah dari bisikan setan terkutuk),
dan mendo'akan Nabi Muhammad atau durud ,
semuanya termasuk dalam dzikr atau mengingat Allah.
Dari semua dzikr ini, para syaikh dari berbagai tarekat
secara khusus telah memilih nama Zat Ilahi, yakni Allah,
dan dzikr nafy wa itsbat, yakni dzikr penafian dan penegasan
atau laa ilaha illa Allah.
Mereka memilih yang terakhir ini lantaran Nabi sendiri
memandangnya sebagai lebih utama dari semua dzikr lainnya.
Ada sejumlah hadis
yang menjelaskan berbagai manfaat dari dzikr ini.
Inilah inti dan saripati dari semua dzikr lainnya.
Inilah pusat Keesaan Allah, tawhid, dan juga
cahaya yang sangat terang benderang.
Al-Qur'an menjelaskan secara terinci makna dan pengertiannya.
Zikir ini menafikan semua tuhan palsu dan
menegaskan Hakikat Tunggal.
Zikir tidak hanya menafikan tuhan-tuhan palsu ,
melainkan juga semua objek yang bersifat sementara
serta menjalin hubungan erat dengan Objek Tunggal ,
desideratum,yakni berkenaan dengan mengingat Allah
dan membebaskan seseorang
dari segenap kebingungan serta kegelisahan.
Nama Zat Ilahi , atau Tuhan, yakni Allah ,
telah dipilih sebagai menempati kedudukan utama
dalam mengingat Allah.
Sebab, sementara sembilan puluh sembilan Nama Allah
adalah nama-nama bagi sifat-Nya,
yang mengisyaratkan kualitas-kualitas tertentu ,
Allah adalah Nama - diri Tuhan,
yang menunjukkan Zat Allah serta
semua sifat-Nya yang berkaitan dengan-Nya.
Mengingat Allah melalui melalui nama singkat ini,
boleh dikata, sama artinya dengan mengingat Zat-Nya
berikut semua Nama dan Sifat pada diri-Nya.
Selain itu,
kemudahan dan keterbatasannya
yang memungkinkan kita mengingat nama Allah
tidaklah bisa dilakukan oleh nama lainnya mana pun .
Jika sembilan puluh sembilan nama-Nya dilantunkan
maka melantunkannya
tidaklah bisa disamakan dengannya dari segi kemenyeluruhan ,
karena Allah adalah Zat berikut semua Nama dan Sifat-Nya
itu sendiri.
Di samping itu, menurut para Syaikh terkemuka,
setiap nama mempunyai cahaya khusus
dan memiliki pengaruh tertentu.
Nama Zat (Allah) adalah sumber segala cahaya
dan juga sumber segala cahaya
dan juga segenap sifat dalam semua Nama .
Karena ia adalah Nama - diri Tuhan ,
nama ini berhubungan langsung dengan Zat Mutlak .
Layak dan pantas juga diperhatikan bahwa
Allah adalah Nama Tuhan
dan pemelihara semua manusia.
Konsekuensinya,
setiap individu memiliki hubungan erat dengan Nama Suci ini,
ia beroleh manfaat darinya dalam keadaan bagaimanapun
serta mengobati semua penyakit yang diseritanya.
Itulah sebabnya
Nama Allah disebut sebagai Nama Paling Agung (al-ism al-'a-zham).
Kemenyeluruhan ini tidaklah dijumpai pada Nama lainnya mana pun.
Karena itulah , para syaikh dalam berbagai tarekat
lebih suka melantunkan nama Zat Ilahi , yakni Allah.
Titik berat yang ditekankan oleh para Sufi besar
pada pengulangan Nama Zat Ilahi telah menimbulkan keraguan
ihwal apakah sekedar mengulang-ngulang Nama-Nya ini
bisa membantu kita memperoleh rahmat-Nya,
khususnya dalam benak Ibn Taimiyah.
Akan tetapi, mengulang-ngulang Nama Zat Ilahi
tanpa mengaitkannya dengan apa pun bisa dijustifikasi
dari banyak Al-Qur'an ;
*"Ingatlah Aku dan Aku akan mengingatmu".
*"Katakanlah,
' Serulah Allah atau serulah ar-Rahman,
Dengan nama apa pun engkau menyeru-Nya ,
Dia memiliki Nama-nama Indah (al-asma' al-husna).
Q.S Al-Isra, 17;110)
*"Dan sebut serta ingatlah nama Tuhanmu , pagi dan petang"
(Q.S. Al-Insan atau Ad-Dahr. 76:25)
*"Dan sebut serta ingatlah nama Tuhanmu
dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati"
(Q.S Al_Al-Muzammil, 73:8)
Dan hadis Nabi Muhammad memberitahu kita,
"Hari Kiamat akan terjadi , jika Allah, Allah ,
tidak disebut-sebut lagi di muka bumi."
(Muslim).
"Bencana tidak akan menimpa seseorang
yang mengucapkan Allah, Allah"
(Muslim).
Para ulama telah mengemukakan berbagai keberatan
berkenan dengan berbagai metode khusus dzikr atau postur tubuh
dalam berdzikir yang dipilih oleh para Syaikh tarekat
sebagai titik otentik menurut syariat Islam.
Mereka menyebut berbagai metode ini sebagai bid'ah .
Jawaban kami ialah bahwa
berbagai metode dzikr yang berbeda ,
misalnya mengulang nama Zat Ilahi atau
syahadah dengan menekan napas dan sebagainya,
bagaikan aturan-aturan dalam ilmu tata kalimat
guna memahami bahasa Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi.
Ini adalah alat yang sangat diperlukan.
Tak ada seorang pun memandangnya
sebagai menjurus kepada Kedekatan Allah itu sendiri,
maka kesemuanya itu,
harus dipandangnya sebagai bid'ah.
Hanya saja,
pengalaman membuktikan fakta bahwa
kesadaran akan kehadiran Allah ,
yang merupakan tujuan hakiki,
tidak bisa dicapai kecuali dengan
menempuh berbagai metode dan prosedur yang dianjurkan
oleh para Sufi besar ,
yang tampaknya sangat penting dan mutlak diperlukan,
khususnya bagi seorang yang baru mulai menempuh jalan spiritual
(murid).
Itulah sebabnya di kalangan para syaikh tarekat ,
mereka yang menafsirkan dan menjabarkan hukum agama
serta banyak mengingat Allah,
dalam artian hakiki dan maknawi,
telah menetapkannya untuk menyembuhkan penyakit batin,
dan mereka memang berhak menetapkannya.
Instruki-instruksi
Junaid al-Baghdadi ,
Bayazid Bisthami,
Syaikh Abdul Qadir jailani,
Syaikh Sihabudin Suhrarwadi,
Khwaja Baha'uddin Naqsyabandi,
Khwaja Mu'inuddin Chisti,
Syaikh Ahmad Mujaddid al-Alf ats Tsani
dan sebagainya, pantas dan layak untuk diamalkan.
Alasan untuk mengamalkan instruksi-instruksi mereka ialah bahwa
para wali besar ini menduduki posisi mujtahid l-muntash,
atau mujtahid fi al-mahab atau ahl at-tarjih, dan mereka semua
(serta wali-wali laian nya yang sederajat dengan mereka)
dipandang sebagai pembimbing spiritual dan pemimpin
di kalangan kaum Muslim.
Karya-karya mereka tentang ibadah , jalan Sufi ,
hakikat Keesaan Allah (tawhid), dan pengetahuan mengenai Allah
sangat terkenal dan digunakan.
Karya-karya mereka ini sepenuhnya sesuai dengan
Al-Qur'an , hadis, fiqih.
Pemikiran dan otoritas mereka dinyatakan dalam karya-karya mereka,
dan manakala tidak ada otoritas yang dikutip dari Al-Qur'an atau hadis,
mereka menggunakan otoritas penafsiran mereka sendiri.
Yang demikian ini sama dengan otoritas para ulama fiqih,
yang akhirnya berdasar pada , dan bersumber dari
Al-Qur'an dan hadis itu sendiri.
Hadis yang diriwayatkan oleh Mu'adz ibn Jabal terbaca sebagai berikut :
Ketika Nabi saw mengutus Mu'adz ibn Jabal ke Yaman ,
beliau berkata,
"Jika ada sebuah kasus dikemukakan kepadamu,
bagaimana engkau akan memutuskannya ?
Mu'adz menjawab ,
"Aku akan memutuskan nya sesuai dengan Al-Qur'an ".
Nabi bertanya,
"Bagaimana jika engkau tidak menemukannya dalam Al-Qur'an ?"
"Aku akan memutuskannya sesuai dengan Sunnah Nabi ".
Nabi bertanya lagi,
"Bagaimana jika engkau tidak menemukannya juga dalam sunah Nabi ?"
Mu'adz menjawab,
"Aku akan berijtihad dengan pikiranku sendiri".
Nabi kemudian menempelkan tangan beliau ke dada Mu'adz
dan berkata ,
"Segala puji bagi Allah
yang telah membimbing utusan Nabi-Nya
sehingga Nabi meridhainya".
Berdasarkan basis otoritatif ini,
dalam setiap tarekat Sufi,
wali-wali yang sudah mencapai kesempurnaan ,
dalam kapasitas mereka sebagai mujtahid fi al--madzahib,
menegaskan kebenaran berkenaan dengan masalah-masalah
Keesaan Allah dan peribadatan,
di bawah sigian atau sorotan Al-Qur'an dan hadis,
atau mengemukakan pandangan-pandangan mereka
berdasarkan ilham dan pencerahan personal.
Wali-wali besar senantiasa memandang Al-Qur'an , hadis, dan ijma'
atau "kesepakatan umat Islam"
sebagai tolok ukur kebenaran inspirasi mereka.
Ucapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang hal ini sangat terkenal,
"Pengetahuan atau inspirasi tentang hakikat kebenaran
yang tidak bersumber dari Syari'ah adalah bid'ah,
kekafiran, atau kemusyrikan".
Jadi , tidak ada alasan mengapa penafsiran para Sufi besar
tentang Keesaan Allah dan peribadatan mesti dipandang tidak sesuai
dengan penafsiran para ulama dalam masalah-masalah fiqih.
Pada setiap zaman ,
semua orang Muslim , para Sultan, amir, dan sebagainya
telah sepakat mengenai kewalian mereka
serta menyetujui berbagai metode yang mereka gunakan .
Karenanya,
jelaslah bahwa orang yang menolak dan mengingkari
jalan peribadatan atau tarekat yang ditempuh oleh
para wali besar dan pemimpin spiritual ini
bakal dipandang sebagai orang yang mengingkari
kesepakatan pandangan di kalangan kaum Muslim.
Sanksi Al-Qur'an berikut ini sudah cukup
untuk orang yang menolak kesepakatan pandangan di atas ;
"Dan barangsiapa memusuhi Rasul,
sesudah jelas kepadanya petunjuk (yang benar)
dan mengikuti jalan yang bukan jalan kaum Mukmin,
maka Kami membiarkannya mengikuti kecenderungan dirinya,
Dan Kami akan membakarnya dalam neraka Jahanam -
seburuk - buruk tempat kembali".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar