Rabu, 17 Februari 2016

ZIKIR DAN KONTEMPLASI DALAM TASAWUF

Beberapa Zikir Penting.

Apa yang telah kami katakan di atas 
membuktikan secara konklusif 
bahwa dzikr atau mengingat Allah 
diperintahkan oleh ayat-ayat Al-Qur'an
yang jelas dan bersifat kategoris.
Yang diperintahkan adalah dzikr itu sendiri , 
dan ini berlawanan dengan ghaflah ("kelalaian")
Kemudian ,  
apa saja yang mengingatkan kita pada Zat Allah , 
berbagai sifat dan kesempurnaan-Nya,
sesungguhnya adalah dzikr atau "mengingat Allah".
Dengan mengingat ini, salat, membaca Al-Qur'an , 
melantunkan sembilan puluh sembilan Nama Allah,
mengucapkan 
tahlil, 
(tidak ada Zat yang layak dan berhak disembah selain Allah),
takbir (Allah Mahabesar), 
mengucapkan syahadah, 
istighfar (memohon ampunan Allah), 
isti'adzah 
(memohon perlindungan kepada Allah  dari bisikan setan terkutuk),
dan mendo'akan Nabi Muhammad atau durud , 
semuanya termasuk dalam dzikr atau  mengingat Allah.

Dari semua dzikr ini, para syaikh dari berbagai tarekat 
secara khusus telah memilih nama Zat Ilahi, yakni Allah,
dan dzikr nafy wa itsbat, yakni dzikr penafian dan penegasan
atau laa ilaha  illa Allah.
Mereka memilih yang terakhir ini lantaran Nabi sendiri 
memandangnya sebagai lebih utama dari semua dzikr lainnya.

Ada sejumlah hadis 
yang menjelaskan berbagai manfaat dari dzikr ini.
Inilah inti dan saripati dari semua dzikr lainnya.
Inilah pusat Keesaan Allah, tawhid, dan juga 
cahaya yang sangat terang benderang.



Al-Qur'an menjelaskan secara terinci makna dan pengertiannya.
Zikir ini menafikan semua tuhan palsu dan 
menegaskan Hakikat Tunggal.
Zikir tidak hanya menafikan tuhan-tuhan palsu , 
melainkan juga semua objek yang bersifat sementara  
serta menjalin hubungan erat dengan Objek Tunggal , 
desideratum,yakni berkenaan dengan mengingat Allah 
dan membebaskan seseorang 
dari segenap kebingungan serta kegelisahan.

Nama Zat Ilahi , atau Tuhan, yakni Allah , 
telah dipilih sebagai menempati kedudukan utama 
dalam mengingat Allah.
Sebab, sementara sembilan puluh sembilan Nama Allah 
adalah nama-nama bagi sifat-Nya, 
yang mengisyaratkan kualitas-kualitas tertentu , 
Allah adalah Nama - diri Tuhan, 
yang menunjukkan Zat Allah serta 
semua sifat-Nya yang berkaitan dengan-Nya.

Mengingat Allah melalui melalui nama singkat ini,
boleh dikata, sama artinya dengan mengingat Zat-Nya 
berikut semua Nama dan Sifat pada diri-Nya.
Selain itu, 
kemudahan dan keterbatasannya 
yang memungkinkan kita mengingat nama Allah 
tidaklah bisa dilakukan oleh nama lainnya mana pun .

Jika sembilan puluh sembilan nama-Nya dilantunkan  
maka melantunkannya 
tidaklah bisa disamakan dengannya dari segi kemenyeluruhan ,
karena Allah adalah Zat berikut semua Nama dan Sifat-Nya 
itu sendiri.
Di samping itu, menurut para Syaikh terkemuka,
setiap nama mempunyai cahaya khusus 
dan memiliki pengaruh tertentu.

Nama Zat (Allah) adalah sumber segala cahaya 
dan juga sumber segala cahaya 
dan juga segenap sifat dalam semua Nama .
Karena ia adalah  Nama - diri Tuhan , 
nama ini berhubungan langsung dengan Zat Mutlak .

Layak dan pantas juga diperhatikan bahwa 
Allah adalah Nama Tuhan 
dan pemelihara semua manusia.
Konsekuensinya,
setiap individu memiliki hubungan erat  dengan Nama Suci ini,
ia beroleh manfaat darinya dalam keadaan bagaimanapun
serta mengobati semua penyakit yang diseritanya.
Itulah sebabnya 
Nama Allah disebut sebagai Nama Paling Agung (al-ism al-'a-zham).
Kemenyeluruhan ini tidaklah dijumpai pada Nama lainnya mana pun.
Karena itulah , para syaikh dalam berbagai tarekat 
lebih suka melantunkan nama Zat Ilahi , yakni Allah.

Titik berat yang ditekankan oleh para Sufi besar 
pada pengulangan Nama Zat Ilahi telah menimbulkan keraguan
ihwal apakah sekedar mengulang-ngulang Nama-Nya ini 
bisa membantu kita memperoleh rahmat-Nya, 
khususnya dalam benak Ibn Taimiyah.
Akan tetapi, mengulang-ngulang Nama Zat Ilahi 
tanpa mengaitkannya dengan apa pun bisa dijustifikasi 
dari banyak Al-Qur'an ;

*"Ingatlah Aku dan Aku akan mengingatmu".

*"Katakanlah, 
' Serulah Allah atau serulah ar-Rahman,
  Dengan nama apa pun engkau menyeru-Nya , 
  Dia memiliki Nama-nama Indah (al-asma' al-husna).
  Q.S Al-Isra, 17;110)

*"Dan sebut serta ingatlah nama Tuhanmu , pagi dan petang"
 (Q.S. Al-Insan atau Ad-Dahr. 76:25)

*"Dan sebut serta ingatlah nama Tuhanmu 
  dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati"
  (Q.S Al_Al-Muzammil, 73:8)

Dan hadis Nabi Muhammad memberitahu kita,
"Hari Kiamat akan terjadi , jika Allah, Allah , 
 tidak disebut-sebut lagi di muka bumi."
 (Muslim).

"Bencana tidak akan menimpa seseorang 
yang mengucapkan Allah, Allah"
 (Muslim).

Para ulama telah mengemukakan berbagai keberatan 
berkenan dengan berbagai metode khusus dzikr atau postur tubuh
dalam berdzikir yang dipilih oleh para Syaikh tarekat 
sebagai titik otentik menurut syariat Islam.
Mereka menyebut berbagai metode ini sebagai bid'ah .

Jawaban kami ialah bahwa 
berbagai metode dzikr yang berbeda ,
misalnya mengulang nama Zat Ilahi atau 
syahadah dengan menekan napas dan sebagainya,
bagaikan aturan-aturan dalam ilmu tata kalimat 
guna memahami bahasa Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi.
Ini adalah alat yang sangat diperlukan.
Tak ada seorang pun memandangnya 
sebagai menjurus kepada Kedekatan Allah itu sendiri,
maka kesemuanya itu, 
harus dipandangnya sebagai bid'ah.

Hanya saja, 
pengalaman membuktikan fakta bahwa 
kesadaran akan kehadiran Allah , 
yang  merupakan tujuan hakiki,
tidak bisa dicapai kecuali dengan 
menempuh berbagai metode dan prosedur yang dianjurkan 
oleh para Sufi besar , 
yang tampaknya sangat penting dan mutlak diperlukan,
khususnya bagi seorang yang baru mulai menempuh jalan spiritual
(murid).
Itulah sebabnya di kalangan para syaikh tarekat , 
mereka yang menafsirkan dan menjabarkan hukum agama 
serta banyak mengingat Allah, 
dalam artian hakiki dan maknawi,
telah menetapkannya untuk menyembuhkan penyakit batin,
dan mereka memang berhak menetapkannya.

Instruki-instruksi 
Junaid al-Baghdadi , 
Bayazid Bisthami, 
Syaikh Abdul Qadir jailani,
Syaikh Sihabudin Suhrarwadi,
Khwaja Baha'uddin Naqsyabandi,
Khwaja Mu'inuddin Chisti,
Syaikh Ahmad Mujaddid al-Alf  ats Tsani
dan sebagainya, pantas dan layak untuk diamalkan.

Alasan untuk mengamalkan instruksi-instruksi mereka  ialah bahwa
para wali besar ini menduduki posisi mujtahid l-muntash,
atau mujtahid fi al-mahab atau ahl at-tarjih, dan mereka semua 
(serta wali-wali laian nya yang sederajat dengan mereka)
dipandang sebagai pembimbing spiritual dan  pemimpin 
di kalangan kaum Muslim.
Karya-karya mereka tentang ibadah , jalan Sufi , 
hakikat Keesaan Allah (tawhid),  dan pengetahuan mengenai Allah
sangat terkenal dan digunakan.
Karya-karya mereka ini sepenuhnya sesuai dengan 
Al-Qur'an , hadis, fiqih.

Pemikiran dan otoritas mereka dinyatakan dalam karya-karya mereka,
dan manakala tidak ada otoritas yang dikutip dari Al-Qur'an atau hadis,
mereka menggunakan otoritas penafsiran mereka sendiri.
Yang demikian ini sama dengan otoritas para ulama fiqih, 
yang akhirnya berdasar pada , dan bersumber dari 
Al-Qur'an dan hadis itu sendiri.
Hadis yang diriwayatkan oleh Mu'adz ibn Jabal terbaca sebagai berikut :

Ketika Nabi saw mengutus Mu'adz ibn Jabal ke Yaman ,
beliau berkata,
"Jika ada sebuah kasus dikemukakan kepadamu, 
 bagaimana engkau akan memutuskannya ?
 Mu'adz menjawab ,
 "Aku akan memutuskan nya sesuai dengan Al-Qur'an ".
 Nabi bertanya, 
"Bagaimana jika engkau tidak menemukannya dalam Al-Qur'an ?"
"Aku akan memutuskannya sesuai dengan Sunnah Nabi ".
Nabi bertanya lagi,
"Bagaimana jika engkau tidak menemukannya juga dalam sunah Nabi ?"
Mu'adz menjawab,
"Aku akan berijtihad dengan pikiranku sendiri".
Nabi kemudian menempelkan tangan beliau ke dada Mu'adz 
dan berkata , 
"Segala puji bagi Allah 
yang telah membimbing utusan Nabi-Nya 
sehingga Nabi meridhainya".

Berdasarkan basis otoritatif ini, 
dalam setiap tarekat Sufi, 
wali-wali yang sudah mencapai kesempurnaan , 
dalam kapasitas mereka sebagai mujtahid fi al--madzahib,
menegaskan kebenaran berkenaan dengan masalah-masalah 
Keesaan Allah dan peribadatan, 
di bawah sigian atau sorotan Al-Qur'an dan hadis, 
atau mengemukakan pandangan-pandangan mereka 
berdasarkan  ilham dan pencerahan personal.

Wali-wali besar senantiasa memandang Al-Qur'an , hadis, dan ijma'
atau "kesepakatan umat Islam" 
sebagai tolok ukur kebenaran inspirasi mereka.
Ucapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang hal ini sangat terkenal,
"Pengetahuan atau inspirasi tentang hakikat kebenaran
 yang tidak bersumber dari Syari'ah adalah bid'ah, 
 kekafiran, atau kemusyrikan".

Jadi , tidak ada alasan mengapa penafsiran para Sufi besar 
tentang Keesaan Allah dan peribadatan mesti dipandang tidak sesuai 
dengan penafsiran para ulama dalam masalah-masalah fiqih.
Pada setiap zaman , 
semua orang Muslim , para Sultan, amir, dan sebagainya
telah sepakat mengenai kewalian mereka 
serta menyetujui berbagai metode yang mereka gunakan .
Karenanya, 
jelaslah bahwa  orang yang menolak dan mengingkari 
jalan peribadatan atau tarekat yang ditempuh oleh 
para wali besar dan pemimpin spiritual ini 
bakal dipandang sebagai orang yang mengingkari 
kesepakatan pandangan di kalangan kaum Muslim.

Sanksi Al-Qur'an berikut ini sudah cukup 
untuk orang yang menolak kesepakatan pandangan di atas ;

"Dan barangsiapa memusuhi Rasul,
 sesudah jelas kepadanya petunjuk (yang benar)
 dan mengikuti jalan yang bukan jalan kaum Mukmin,
 maka Kami membiarkannya mengikuti kecenderungan dirinya,
 Dan Kami akan membakarnya dalam neraka Jahanam - 
 seburuk - buruk tempat kembali".




  










Tidak ada komentar:

Posting Komentar