Selasa, 09 Februari 2016

ZIKIR DAN KONTEMPLASI DALAM TASAWUF.

MEMBERSIHKAN HATI.

ZIKIR.

Manusia yang diberkahi dengan pengetahuan batin,
memandang dzikr, 
"senantiasa dan terus menerus mengingat" Allah,
sebagai metode yang paling efektif 
untuk membersihkan hati  dan mencapai kehadiran Ilahi.

Objek segenap ibadah ialah mengingat Allah,
dan hanya terus-menerus mengingat Allah (dzikr) sajalah 
yang bisa melahirkan cinta kepada Allah
serta mengosongkan hati dari kecintaan dan keterikatan
pada dunia fana ini.

Ajaran Islam paling dasar dan paling penting
tersirat dalam syahadah atau "pengakuan keimanan", 
Laa ilaha illa Allah,
yang berarti "tidak ada tuhan selain Allah"
atau
tidak ada objek yang layak dan pantas disembah kecuali Allah.
Dan ini, tak lain dan tak bukan ialah terus menerus mengingat Allah.

Segenap bentuk ibadah lainnya 
menekankan pentingnya mengingat Allah ini.
Ruh do'a ialah mengingat Allah.
Tujuan puasa ialah menghancurkan sensualitas,
sebab jika hati dibersihkan dari kotorannya , 
maka ia akan dipenuhi dengan mengingat Allah
dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya.

Meretas keterikatan dengan dunia dan menjauhi sensualitas
dilakukan demi  memperoleh waktu luang  
guna menyibukkan diri dengan mengingat Allah saja.

Tujuan dari perintah dan larangan Allah adalah juga dzikr
atau "mengingat Allah".
Sebagai hasil dari dzikr , 
hati pun kosong dari cinta pada segala sesuatu
serta terputus dari semuanya.
Kemudian, ia pun cenderung pada Allah semata .
Al-Qur'an memerintahkan manusia ;

"Sebutlah nama Tuhanmu,
 dan beribadahah kepada-Nya 
 dengan penuh ketekunan".
 Q.S.: 73:8

Jadi dengan dzikr, 
hati  pun dipenuhi cinta pada Allah sedemikian banyak  
sehingga  tidak ada lagi tempat bagi yang lainnya,
hubungan cinta dengan segala sesuatu lainnya pun terputus
dan yang tersisa hanya lah kecintaan  pada Allah.

Sang murid, 
sesudah menerima berbagai instruksi tentang dzikr dari Syaikh-nya,
mestilah menyibukkan diri dengannya (setelah menunaikan sholat wajib).
Ia harus tidak melaksanakan salat sunat, 
tetapi mesti membatasi diri dengan dzikr saja,
sepanjang siang dan malam hari, 
dan setiap tarikan nafas, 
dengan memandang segala sesuatu lainnya 
sebagai petaka dan bencana.

Jika pada saat yang sama ,
ia mampu memutuskan dirinya 
dari berbagai  kesedihan dan ketakutan dunia ini,
dan mencurahkan perhatiannya  pada dzikr dalam apa saja,
maka hijab-hijab pun bakal  tersingkap dari hatinya.
Hijab-hijab ini adalah refleksi 
atau cerminan berbagai macam bentuk dunia jasmani.

Orang yang sibuk dalam mengingat Allah 
menafikan bentuk-bentuk tak tertentu dalam dunia ini.
Dengan pedang terhunus 
berupa kalimat Laa ilaha illa Allah,
ia menafikan segala macam pikiran sesat.
Dan dengan illa Allah ,
ia menyaksikan eksistensi Wujud Abadi Allah ,
yang merupakan tujuan pokoknya.

Ia pun menafikan segala sesuatu yang mengikat dirinya 
dan memandangnya sebagai palsu serta khayalan belaka.
Sebaliknya,
ia memantapkan kecintaan pada Allah dengan penegasan,
sampai setahap demi setahap ,
hatinya kosong sama sekali dari segala sesuatu 
yang dicintainya.
Kemudian,
esensi keesaan Allah (tawhid) , pun 
berurat berakar dengan kuat dalam hati nya.
Mata batin-nya pun terbuka .

Kini, 
baginya tidak ada lagi  kotradiksi 
antara akal dan kesatuan,
pada titik ini,
hakikat dzikr dan substansi hati menjadi satu.
Keadaan ini ditafsirkan sebagai "transubstansiasi hati"
oleh  Syaikh Syihabuddin Suhrarwadi.

Tak ada pikiran lain kecuali Allah yang terbersit dalam hati.
Orang yang senantiasa mengingat Allah ,
dikuasai oleh dzikr yang membebaskan hatinya dari semuanya.

Menurut sebuah hadist qudsi  terkenal,
"Bumi dan langit-Ku tidak sanggup memuat-Ku
 tetapi hati hamba-Ku yang saleh mampu memuat-Ku".

Keindahan dan Keagungan tersingkap pada hati,
dan hakikat :
"Segala sesuatu yang ada di atasnya akan binasa.
 Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu ,
 yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan",
pun termanifestasikan.

Demikianlah Baba Kuhi dari Syiraz berseru :

"Di pasar, di biara -  hanya Allah yang kusaksikan;
 Di lembah dan di gunung  - hanya Allah yang kusaksikan;
 Aku sering menyaksikan-Nya  disisiku dalam bencana,
 Dalam keberuntungan dan nasib baik - 
 hanya Allah yang kusaksikan.

Dalam shalat dan puasa, 
Dalam pujian dan perenungan,
Dalam agama Nabi - hanya Allah yang kusaksikan,
Bukan jiwa maupun raga, aksiden maupun substansi,
Sifat maupun sebab - hanya Allah yang kusaksikan.

Kubuka mataku 
dan dengan cahaya wajah-Nya di sekelilingku,
dalam semua yang  ditatap mata - hanya Allah yang kusaksikan.
Kusaksikan diriku 
dengan mata-kepalaku yang paling jelas,
Tetapi ,
ketika kulihat ketiadaan ,
aku pun lenyap.
Dan sungguh,
akulah yang senantiasa hidup -
hanya Allah yang ku saksikan".

Kaum Sufi menyebut-nyebut keadaan ini 

ketika hatinya sudah sedemikian "dibersihkan" , 
fana   atau "lebur" atau "lenyap".
Dan sebagian Sufi 
memandangnya sebagai akhir dari perjalanan
menuju Allah.

"Tak ada jalan (masuk) buat seseorang 
 kecuali bila
 dirinya sudah lenyap dan lebur
 keharibaan ruang Keagungan (Ilahi)

 Apakah sarana untuk naik ke langit ?
 Adalah ketiadaan ini,
 Ketiadaan adalah akidah dan agama 
 para pecinta Allah".

Sebagian kaum Sufi 
tidak  mau berbicara secara panjang lebar lebih jauh,
lantaran tujuan yang dimaksud 
hampir pasti tidak dapat dicapai 
hanya dengan sekedar berbicara.
Ia diperoleh 
melalui pencarian dan perjuangan batin.

Berkenaan dengan hati yang sudah disucikan ini,
penulis kitab Ruh al-Arwah  melukiskan sapaan Allah
dalam kata-kata berikut ini ;

"Allah berbicara tentang Ketuhanan kepada raga,
 dan kepada hati Dia berbicara tentang cinta.
 Allah berkata,
 "Wahai raga !
  Akulah Tuhan,
  dan 
  Wahai hati !
  Akulah Sahabat mu.

  Wahai raga !
  Tanggunglah derita dan kesusahan,
  karena Ketuhanan menuntut 
  agar engkau mesti menyembah dan beribadah kepada-Ku,
  dan
  Wahai hati !
  Bergembiralah.

  Wahai Raga !
  Nikmatilah anugerah yang diperoleh dari kezuhudan,
  dan
  Wahai hati !
  Nikmatilah pemandangan indah.

  Wahai raga !
  Janganlah berhenti mematuhi-Ku.
  Wahai hati !
  Janganlah patuh tanpa mengingat-Ku.

  Wahai raga !
  Taggunglah kepedihan,
  dan
  Wahai hati !
  Amankan khazanah perbendaharaan".

# Dr.Mir Valiuddin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar