MEMBERSIHKAN HATI.
ZIKIR.
Manusia yang diberkahi dengan pengetahuan batin,
memandang dzikr,
"senantiasa dan terus menerus mengingat" Allah,
sebagai metode yang paling efektif
untuk membersihkan hati dan mencapai kehadiran Ilahi.
Objek segenap ibadah ialah mengingat Allah,
dan hanya terus-menerus mengingat Allah (dzikr) sajalah
yang bisa melahirkan cinta kepada Allah
serta mengosongkan hati dari kecintaan dan keterikatan
pada dunia fana ini.
Ajaran Islam paling dasar dan paling penting
tersirat dalam syahadah atau "pengakuan keimanan",
Laa ilaha illa Allah,
yang berarti "tidak ada tuhan selain Allah"
atau
tidak ada objek yang layak dan pantas disembah kecuali Allah.
Dan ini, tak lain dan tak bukan ialah terus menerus mengingat Allah.
Segenap bentuk ibadah lainnya
menekankan pentingnya mengingat Allah ini.
Ruh do'a ialah mengingat Allah.
Tujuan puasa ialah menghancurkan sensualitas,
sebab jika hati dibersihkan dari kotorannya ,
maka ia akan dipenuhi dengan mengingat Allah
dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya.
Meretas keterikatan dengan dunia dan menjauhi sensualitas
dilakukan demi memperoleh waktu luang
guna menyibukkan diri dengan mengingat Allah saja.
Tujuan dari perintah dan larangan Allah adalah juga dzikr
atau "mengingat Allah".
Sebagai hasil dari dzikr ,
hati pun kosong dari cinta pada segala sesuatu
serta terputus dari semuanya.
Kemudian, ia pun cenderung pada Allah semata .
Al-Qur'an memerintahkan manusia ;
"Sebutlah nama Tuhanmu,
dan beribadahah kepada-Nya
dengan penuh ketekunan".
Q.S.: 73:8
Jadi dengan dzikr,
hati pun dipenuhi cinta pada Allah sedemikian banyak
sehingga tidak ada lagi tempat bagi yang lainnya,
hubungan cinta dengan segala sesuatu lainnya pun terputus
dan yang tersisa hanya lah kecintaan pada Allah.
Sang murid,
sesudah menerima berbagai instruksi tentang dzikr dari Syaikh-nya,
mestilah menyibukkan diri dengannya (setelah menunaikan sholat wajib).
Ia harus tidak melaksanakan salat sunat,
tetapi mesti membatasi diri dengan dzikr saja,
sepanjang siang dan malam hari,
dan setiap tarikan nafas,
dengan memandang segala sesuatu lainnya
sebagai petaka dan bencana.
Jika pada saat yang sama ,
ia mampu memutuskan dirinya
dari berbagai kesedihan dan ketakutan dunia ini,
dan mencurahkan perhatiannya pada dzikr dalam apa saja,
maka hijab-hijab pun bakal tersingkap dari hatinya.
Hijab-hijab ini adalah refleksi
atau cerminan berbagai macam bentuk dunia jasmani.
Orang yang sibuk dalam mengingat Allah
menafikan bentuk-bentuk tak tertentu dalam dunia ini.
Dengan pedang terhunus
berupa kalimat Laa ilaha illa Allah,
ia menafikan segala macam pikiran sesat.
Dan dengan illa Allah ,
ia menyaksikan eksistensi Wujud Abadi Allah ,
yang merupakan tujuan pokoknya.
Ia pun menafikan segala sesuatu yang mengikat dirinya
dan memandangnya sebagai palsu serta khayalan belaka.
Sebaliknya,
ia memantapkan kecintaan pada Allah dengan penegasan,
sampai setahap demi setahap ,
hatinya kosong sama sekali dari segala sesuatu
yang dicintainya.
Kemudian,
esensi keesaan Allah (tawhid) , pun
berurat berakar dengan kuat dalam hati nya.
Mata batin-nya pun terbuka .
Kini,
baginya tidak ada lagi kotradiksi
antara akal dan kesatuan,
pada titik ini,
hakikat dzikr dan substansi hati menjadi satu.
Keadaan ini ditafsirkan sebagai "transubstansiasi hati"
oleh Syaikh Syihabuddin Suhrarwadi.
Tak ada pikiran lain kecuali Allah yang terbersit dalam hati.
Orang yang senantiasa mengingat Allah ,
dikuasai oleh dzikr yang membebaskan hatinya dari semuanya.
Menurut sebuah hadist qudsi terkenal,
"Bumi dan langit-Ku tidak sanggup memuat-Ku
tetapi hati hamba-Ku yang saleh mampu memuat-Ku".
Keindahan dan Keagungan tersingkap pada hati,
dan hakikat :
"Segala sesuatu yang ada di atasnya akan binasa.
Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu ,
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan",
pun termanifestasikan.
Demikianlah Baba Kuhi dari Syiraz berseru :
"Di pasar, di biara - hanya Allah yang kusaksikan;
Di lembah dan di gunung - hanya Allah yang kusaksikan;
Aku sering menyaksikan-Nya disisiku dalam bencana,
Dalam keberuntungan dan nasib baik -
hanya Allah yang kusaksikan.
Dalam shalat dan puasa,
Dalam pujian dan perenungan,
Dalam agama Nabi - hanya Allah yang kusaksikan,
Bukan jiwa maupun raga, aksiden maupun substansi,
Sifat maupun sebab - hanya Allah yang kusaksikan.
Kubuka mataku
dan dengan cahaya wajah-Nya di sekelilingku,
dalam semua yang ditatap mata - hanya Allah yang kusaksikan.
Kusaksikan diriku
dengan mata-kepalaku yang paling jelas,
Tetapi ,
ketika kulihat ketiadaan ,
aku pun lenyap.
Dan sungguh,
akulah yang senantiasa hidup -
hanya Allah yang ku saksikan".
Kaum Sufi menyebut-nyebut keadaan ini
ketika hatinya sudah sedemikian "dibersihkan" ,
fana atau "lebur" atau "lenyap".
Dan sebagian Sufi
memandangnya sebagai akhir dari perjalanan
menuju Allah.
"Tak ada jalan (masuk) buat seseorang
kecuali bila
dirinya sudah lenyap dan lebur
keharibaan ruang Keagungan (Ilahi)
Apakah sarana untuk naik ke langit ?
Adalah ketiadaan ini,
Ketiadaan adalah akidah dan agama
para pecinta Allah".
Sebagian kaum Sufi
tidak mau berbicara secara panjang lebar lebih jauh,
lantaran tujuan yang dimaksud
hampir pasti tidak dapat dicapai
hanya dengan sekedar berbicara.
Ia diperoleh
melalui pencarian dan perjuangan batin.
Berkenaan dengan hati yang sudah disucikan ini,
penulis kitab Ruh al-Arwah melukiskan sapaan Allah
dalam kata-kata berikut ini ;
"Allah berbicara tentang Ketuhanan kepada raga,
dan kepada hati Dia berbicara tentang cinta.
Allah berkata,
"Wahai raga !
Akulah Tuhan,
dan
Wahai hati !
Akulah Sahabat mu.
Wahai raga !
Tanggunglah derita dan kesusahan,
karena Ketuhanan menuntut
agar engkau mesti menyembah dan beribadah kepada-Ku,
dan
Wahai hati !
Bergembiralah.
Wahai Raga !
Nikmatilah anugerah yang diperoleh dari kezuhudan,
dan
Wahai hati !
Nikmatilah pemandangan indah.
Wahai raga !
Janganlah berhenti mematuhi-Ku.
Wahai hati !
Janganlah patuh tanpa mengingat-Ku.
Wahai raga !
Taggunglah kepedihan,
dan
Wahai hati !
Amankan khazanah perbendaharaan".
# Dr.Mir Valiuddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar