Jumat, 19 Februari 2016

RUH.

Para ulama memiliki pandangan berbeda tentang bolehnya mengkaji tema seputar ruh. Ada yang berpendapat, mengkaji ruh itu haram, karena hanya Allah yang tahu. 
Ada pula yang berpedapat, kajian tentang ruh itu makruh mendekati haram, 
karena dalam Al-Quran tidak ada nash yang menjelaskan masalah ruh secara gamblang.
Setiap pendapat tersebut memiliki dasar pemahaman yang berbeda terhadap firman Allah, 
“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, 
‘Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan kalian hanya diberi sedikit pengetahuan’.” – 
QS Al-Isra’ (17): 85.

Mereka yang menolak kajian tentang ruh di antaranya berpandangan, 
pernyataan Allah pada ayat tersebut menjelaskan bahwa ruh termasuk alam metafisika, yang tidak dapat diketahui secara pasti. Ia bukan sesuatu yang bersifat inderawi, 
yang dapat diketahui lebih jauh. Selain itu, ilmu manusia terbatas hanya pada pengetahuan tentang penciptaan. Inilah yang dimaksud dengan kalimat 
dalam ayat tersebut, “Dan kalian hanya diberi sedikit pengetahuan.”

Sementara itu mereka yang memperbolehkan mengkaji tentang ruh 
di antaranya berpandangan, tidak ada kesepakatan para ulama yang menyatakan bahwa ruh yang ditanyakan dalam ayat itu adalah ruh (nyawa) manusia. 
Ada pendapat yang menyatakan bahwa 
yang dimaksud ruh dalam ayat tersebut adalah Al-Quran, Jibril, Isa, 
atau ciptaan Allah yang ghaib, yang hanya diketahui oleh Allah SWT.

Bagaimanapun, yang lebih baik adalah tidak membahas masalah ruh terlalu dalam. 
Syaikh Abu An-Nashr As-Sarraj Ath-Thuusi mengatakan, 
“Terdapat orang-orang yang salah memahami ruh, 
(kesalahan) mereka ini bertingkat-tingkat, 
semuanya bingung dan salah paham. 
Sebab mereka memikirkan keadaan sesuatu (yakni ruh) yang mana Allah sendiri 
telah mengangkat darinya pada segala keadaan dan telah membersihkannya 
dari sentuhan ilmu pengetahuan, (sehingga) ia tak akan dapat disifati 
oleh seorang pun kecuali dengan sifat yang telah dijelaskan Allah.”


Hakikat Ruh
Habib Syaikh bin Ahmad Al-Musawa, dalam karyanya berjudul Apa itu Ruh ?, 
menyatakan, definisi ruh adalah, 
“ciptaan/makhluk yang termasuk salah satu dari urusan Allah Yang, Mahatinggi. 
Tiada hubungan antara ia dengan Allah kecuali ia hanyalah salah satu dari milik-Nya dan berada dalam ketaatan-Nya dan dalam genggaman (kekuasaan)-Nya. 
Tidaklah ia menitis (bereinkarnasi) ataupun keluar dari satu badan 
kemudian masuk ke badan yang lain. 
Ia juga akan merasakan kematian sebagaimana badan merasakannya. 
Ia menikmati kenikmatan sebagaimana juga badan, 
atau akan merasakan siksa sebagaimana juga badan. 
Dia akan dibangkitkan pada badan yang ia keluar darinya. 
Dan Allah menciptakan ruh Nabi Adam AS dari alam malakut 
sedangkan badannya dari tanah.”

Sementara itu, sebagian besar filosof muslim, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan sekelompok kaum sufi, berpendapat, jiwa terpisah dari materi. 
Ia bukan jasad atau benda. 
Ia tidak memiliki dimensi panjang dan dalam. 
Jiwa sangat berhubungan dengan sistem yang bekerja dalam jasad. 
Dengan kata lain, jiwa menggerakkan jasad dari luar karena ia tidak menyatu 
dengan jasad. 
Jiwa adalah inti ruh murni yang dapat mempengaruhi jasad dari luar seperti magnet.

Al-Ghazali, dalam Ihya’-nya, menyebutkan, kata-kata ruh, jiwa, akal, dan hati, 
sejatinya merujuk pada sesuatu yang sama, namun berbeda dalam ungkapan. 

Sesuatu ini, 
jika ditinjau dari segi kehidupan jasad, disebut ruh. 
Jika ditinjau dari segi syahwat, ia disebut jiwa. 
Jika ditinjau dari segi alat berpikir, ia disebut akal. Dan 
jika ditinjau dari segi ma’rifat (pengetahuan), ia disebut hati (qalb).

Dalam bahasa sehari-hari, 
ruh dan jiwa juga acap digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang sama, 
seperti pada ucapan “ruhnya telah melayang”, atau “jiwanya telah melayang”. 
Dua kalimat tersebut bermakna sama, orang itu telah mati.

Para ulama lainnya berpendapat, 
ruh adalah benda ruhaniah (cahaya) langit yang intinya sangat lembut, 
seperti sinar matahari.
 Ia tidak dapat berubah, tidak dapat terpisah-pisah, dan tidak dapat dikoyak. 
Jika proses penciptaan satu jasad telah sempurna dan telah siap,
 seperti dalam firman Allah 
“Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya – QS Al-Hijr (15): 29, 
benda-benda mulia (ruh) Ilahi dari langit akan beraksi di dalam tubuh, 
seperti api yang membakar. 

Inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah
 “Aku meniupkan ruh (ciptaan)-Ku ke dalamnya.” – QS Al-Hijr (15): 29. 
Selama jasad dalam kondisi sehat, sempurna, dan siap menerima benda mulia tersebut, 
ia akan tetap hidup. 
Jika di dalam jasad ada unsur-unsur yang memberatkan, misalnya penyakit, 
unsur-unsur itu akan menghambat benda mulia ini sehingga ia akan terpisah dari jasad. Saat itu, jasad menjadi mati.
Beragam definisi ruh disebutkan para ulama. Intinya, manusia terdiri dari jasad dan ruh. 

Perbedaan pendapat para ulama seputar hakikat ruh 
bukan bagian dari inti aqidah Islam. 
Masalah ini berada dalam ranah ijtihad para ulama mursyid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar