Wanita bekerja membantu perekonomian menurut Hukum Islam.
Pertama-tama kita harus menjawab pertanyaan ini bahwa
apakah Islam memandang hanya pria yang boleh bekerja
dan melakukan kegiatan perekonomian
serta mengeluarkan secara keseluruhan kaum wanita dalam masalah ini?
Tentu saja jawaban dari pertanyaan ini tidak.
Islam tidak berpandangan demikian.
Berikut ini kami akan menyebutkan dua contoh dalil
mengapa Islam memandang boleh wanita juga bekerja
dan melakukan kegiatan perekonomian:
Pertama: Kaum wanita memiliki hak kepemilikan atas harta-hartanya
Allah Swt dalam al-Quran berfirman,
“(Karena) orang laki-laki memiliki bagian dari apa yang mereka usahakan,
dan para wanita (pun) memiliki bagian dari apa yang mereka usahakan,
dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-Nisa [4]:32)
Artinya bahwa
sebagaimana apa yang diusahakan oleh kaum pria
maka mereka akan menjadi pemiliknya
demikian juga adanya bagi kaum wanita
apabila mereka memperoleh harta.
Ayat ini menjelaskan bahwa
di samping mengakui hak kepemilikan bagi kaum wanita –
yang dinegasikan hingga abad-abad belakangan
pada sebagian undang-undang yang berlaku di Barat[1] –
juga menetapkan tentang kebolehan wanita bekerja;
karena pada ayat ini,
yang diasumsikan adalah kehalalan apa yang diusahakan –
yaitu mencari penghasilan –
dan juga diungkapkan tentang kepemilikan penghasilan
dan pendapatan yang diperoleh.
Kedua: Islam memotivasi kaum wanita dan pria
untuk melakukan kegiatan perekonomian
Islam tidak hanya memandang boleh kegiatan perekonomian
dan mengizinkan kaum wanita dan pria
untuk memperoleh harta dan penghasilan,
bahkan Islam memotivasi dan menyeru kaum pria dan wanita
untuk melakukan kegiatan perekonomian secara aktif.
Islam menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang berkisah tentang
mencari dan menuntut karunia Ilahi (fadhluLlah) dan
memotivasi masyarakat untuk berperan secara aktif dalam bidang perekonomian.
[2] Dalam hal ini,
Islam menyeru umatnya untuk memperoleh karunia Ilahi yang tersebar di seantero bumi.
[3] Atau ayat-ayat yang menyeru manusia untuk memakmurkan bumi
[4] merupakan beberapa contoh atas adanya motivasi dan stimulasi ini.
Patut diperhatikan bahwa tidak satu pun dari ayat-ayat ini menjadikan kaum pria
sebagai satu-satunya obyek bicara (mukhatab).
Ayat-ayat ini menyampaikan pesannya kepada sekumpulan kaum Muslim
atau manusia dan menyeru seluruh manusia
untuk mencari karunia Ilahi (fadhlullah)
dan salah satu obyek karunia Ilahi ini adalah mencari penghasilan.
Tanpa ragu “bekerja” merupakan salah satu jalan terpenting
untuk memperoleh penghasilan dan
Islam juga menaruh perhatian khusus terhadap masalah ini.
Karena itu,
apabila kaum pria dan wanita diajak
untuk melakukan kegiatan perekonomian dan
juga apabila kerja merupakan salah satu obyek nyata kegiatan perekonomian
maka dapat disimpulkan bahwa
kaum wanita juga boleh bekerja sebagaiman kaum pria.
Keterbatasan Pekerjaan
Meski Islam menyeru kaum pria dan wanita untuk terlibat aktif
dalam kegiatan perekonomian dan bekerja
serta menilai apa yang diperoleh oleh keduanya adalah hak milik mereka,
namun dalam hal ini juga, seperti hal-hal lainnya,
Islam menerima adanya beberapa keterbatasan dalam hal ini.
Sebagian keterbatasan ini berkaitan dengan proses kegiatan perekonomian,
termasuk produksi dan distribusi.
Sebagian lainnya bertautan dengan relasi dan hubungan
antara sesama Muslim dengan yang lain.
Pada bagian pertama,
dalam beberapa keterbatasan ini,
tidak terdapat perbedaan antara pria dan wanita;
apabila riba haram hukumnya atau berdagang boleh hukumnya
maka kedua hukum ini berlaku bagi keduanya.
Namun pada bagian yang terkhusus untuk pria dan wanita
berpengaruh pada hukum-hukum partikularnya,
meski pada garis besar hukum pria dan wanita statusnya sama.
Misalnya, menjaga kesucian (ifâf) diwajibkan bagi keduanya,
meski obyek ifâf bagi kaum wanita adalah hijab
dan hal ini tidak berlaku bagi kaum pria.
Dalam hukum-hukum moral, seperti memandang kondisinya berlaku yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar