KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (3)
Setiap dzikir memiliki pengaruh tertentu.
Jika kita sibuk dengan dzikir, pasti akan diberi yang lebih tinggi darinya.
Dzikir yang disertai kesiapan akan bisa membuka tirai,
tapi hal itu disesuaikan dengan kondisi orang yang melakukannya.
Menurut Imam Ghazali,
hakikat dzikir adalah berkuasanya Allah di dalam kalbu
disertai kesirnaan dzikir itu sendiri.
Tapi, dalam pandangannya,
dzikir memiliki tiga kulit atau lapisan
yang salah satunya lebih dekat kepada inti (lubb) daripada yang lainnya.
Inti (lubb) tersebut berada di balik tiga kulit tadi.
Kulit-kulit itu adalah sebagai jalan menuju inti (lubb).
Kulit yang paling luar adalah dzikir lisan semata.
Seorang pedzikir selalu mengaplikasikan dzikir
lewat gerakan lisan disertai usaha menghadirkan kalbu.
Karena,
kalbu perlu penyesuaian dengan lisan
agar sanggup hadir dalam dzikir.
Jika dibiarkan,
ia akan sibuk dengan berbagai imajinasi yang melintas.
Kondisi ini baru berakhir
ketika kalbu mengikuti lisan
serta cahayanya membakar syahwat dan setan.
Saat itulah dzikir kalbu menguat,
sementara dzikir lisan mulai melemah.
Seluruh organ dan semua sisi tubuh dipenuhi cahaya,
kalbu pun bersih dari hal-hal selain Tuhan,
terputus dari berbagai bisikan, dan
setan al-Khannas pun tak lagi tinggal di dalamnya.
Dengan begitu,
kalbu menjadi tempat masuknya anugerah Allah,
serta cermin bagi segala manifestasi dan makrifat ilahiah.
Ketika dzikir itu menyeruak masuk ke dalam kalbu
dan menyebar di seluruh organ tubuh,
maka semua organ itu pun berdzikir
sesuai dengan kondisinya.
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar