KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (2)
Menurut Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah
dzikir dengan kata-kata semata,
tanpa kehadiran kalbu (hudhur).
Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar
seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar.
Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian.
Ada yang terikat dengan waktu dan tempat,
serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya).
Dzikir yang terikat,
misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.
Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi,
misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat,
“Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah
wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim
(Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar,
tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).”
Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti,
“Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,” atau munajat lainnya.
Selain itu,
terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar
ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat.
Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah.
Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu
dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat,
“Allah bersamaku, Allah melihatku.”
Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu.
Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah,
memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai,
berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah.
---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar