Mengenali tujuan Haqiqi.
Dapat dipahami oleh seluruh tarekat bahwa
pengalaman yang aneh dan mempesona
hanya merupakan proses perjalanan,
bukan tujuan sesungguhnya. .
Tujuan hakiki adalah mencapai Kehadirat Ilahi
dengan daya tarik Dia Yang Tercinta.
Rasulullah (S) adalah pembimbing dan pemberi contoh.
Dalam mukjizat Perjalanan Malamnya,
di mana beliau (S) ditemani oleh malaikat Jibril a.s
berangkat dari Mekkah ke Jerusalem
lalu naik ke langit ketujuh menghadap Kehadirat Ilahi,
Rasulullah (S) menyaksikan seluruh alam semesta.
Allah (SWT) di dalam al Quran dengan jelas menerangkan bahwa
Rasulullah (S) mempunyai pandangan yang "tidak berbelok maupun ragu."
(QS 53:2).
Dengan kata lain,
beliau (S) melihat dan menyaksikannya
tetapi tidak pernah membiarkan semua itu mengganggunya
dari perjalanan menuju tujuan utamanya yang Maha Agung.
Rasulullah (S) dapat menyaksikan pemandangan tersebut
tanpa terganggu sebab hatinya semata untuk Allah (SWT).
Beliau (S) adalah sebaik-baik makhlukNya, sebaik-baik kekasihNya.
Namun kita,
kita ini sangat rapuh dan belum memiliki niat yang kuat.
Pengalaman dan kemampuan seperti itu
dapat sejalan dengan keinginan ego kita,
namun peleburan (fanaa) ke Zat Allah melalui bimbingan Murysid
selanjutnya diteruskan kepada Rosulullah (S)
tidak akan pernah menjadi hal yang menarik bagi si ego.
Oleh sebab itu untuk memberikan ‘antisipasi yang maksimum',
para guru Naqshbandi memberikan pendekatan yang berbeda
dalam membuka mata kalbu para muridnya.
Terdapat 70.000 ‘penghalang' (hijab) antara kita dengan maqam Rasulullah (S).
Guru-guru Naqshbandi ‘membuka' tabir ini
dalam urutan menurun diawali dari yang ‘terdekat' dari Hadirat Ilahi
yang selanjutnya secara berturut-turut menuju tingkatan para murid.
Proses ini berlangsung secara kontinu melalui latihan (riyadhah)
yang ditempuh oleh para murid sampai tertinggal ‘selembar' hijab lagi,
yaitu hijab insani yang menahan sensitivitas murid
untuk merenungkan Realitas Ilahi (Haq).
Hal tersebut dilakukan semata-mata guna melindungi murid
dari daya tarik kepada selain Allah.
Namun demikian
akhirnya penghalang tersebut dilepas juga
setelah murid mencapai keadaan kesempurnaan yang tertinggi (ihsan),
selambatnya yaitu ketika 7 (tujuh) buangan nafas terakhir
menjelang kematian (sakratul maut).
Jika hijab dipindahkan dari ‘bawah ke atas'
melalui proses riyadhah ruhaniah,
murid dapat menyaksikan serangkaian panorama baru (takjub).
Ini bisa menghalanginya dari kemajuan.
Siapa pun yang mendapat maqam demikian selama hidupnya
dia akan menganggap dirinya
sangat kuat dan terkenal di bandingkan orang lain.
Hal ini yang berbahaya.
Kekuatan dan ketenaran adalah kondisi yang kondusif bagi kekuasaan dunia.
Ego tidak akan melewatkan kesempatan ini
untuk berbagi dalam suka dan kekaguman,
dengan demikian seluruh proses dan usaha spiritual
yang telah dilakukan akan tercemar.
Seorang 'calon sufi' semestinya mencari Allah, bukan ketenaran.
Lihatlah sejarah wanita suci,
Siti Maryam yang suatu ketika berdoa,
"Aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi dilupakan" (QS 19:23).
Dia telah mengajarkan seluruh umat manusia
untuk tidak menonjolkan diri dalam pandangan duniawi,
dan tidak mencari ketenaran sesaat.
Karena sebenarnya
obsesi untuk menggenggam ‘kekuatan dan ketenaran'
bahkan
dapat menjadi suatu beban ruhaniah yang berat (pseudo-sufisme).
Sufi yang sesungguhnya lebih memilih tenggelam
dalam Samudra Kesatuan dengan Allah (madjhuub).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar