Di kalangan Al-Asy’ari (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) masih dipertanyakan, apakah melihat Allah hanya khusus di akhirat saja ?. Dalam membahas hal tersebut ulama telah menyatakan bahawa melihat Allah hanya bukan di akhirat saja tetapi juga dapat melihat Allah selagi di dunia ini, yaitu dengan “mata batin atau mata hati” (basirah).
Pendapat tersebut didasari dengan alasan : bahwa Rasulullah SAW pada
waktu melakukan Isra Mi’raj benar-benar melihat Allah, sehingga Sayidina
Hasan bin ‘Ali r.a berani bersumpah sewaktu menerangkan hal itu.
Demikian pula dengan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim
dari Ibnu ‘Abbas r.a, yang oleh Imam Nawawi disimpulkan: “Kesimpulannya,
Sesungguhnya rajih (alasan kuat) menurut sebagian Ulama bahwa
Rasulullah SAW. melihat Tuhannya dengan nyata / mata, pada malam Isra
berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas dan lain-lain”.
Menurut Syeikh Ibnu Hajar Haitami tentang Rasulullah melihat Tuhan di malam Isra : “Dikalangan Ahlus Sunnah telah terjadi kesepakatan tentang mukjizat Rasulullah melihat Allah di malam Mi’raj dengan nyata / mata”. Para Auliya pula mendapat kurnia Allah melihat Allah dengan mata batinnya, sebagai suatu “Karomah” untuk mereka, seperti juga mukjizat untuk Rasulullah SAW.
Untuk melihat Allah didunia dengan mata hati adalah termasuk dalam rukun agama yang ketiga iaitu maqam IHSAN yang bererti "Kamu beribadah seolah-olah kamu melihat Allah..." (Hadis Jibril: Bukhari dan Muslim). Ia adalah matlamat akhir dan tujuan teragung seorang hamba Allah dalam menjalani kehidupan ibadahnya didunia ini.
Syeikh Abdul Qadir Jailani mengakui hal itu, dan Ulama Sufi umumnya mengemukakan : “Apabila rohaniyah dapat menguasai basyariyah (fizikal) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata tidak akan melihat, kecuali hanya dengan pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata batin” Pengertian “rohaniyah dapat menguasai basyariyat” dapat diambil misal, seorang yang sangat takut dengan hantu. Rasa takut tersebut akan sangat mempengaruhi jiwanya, sehingga apabila ia berjalan pada malam hari, kemudian tiba-tiba ia melihat pohon atau daun pisang yang bergerak tertiup angin, maka ia akan berlari ketakutan karena dikiranya hal itu adalah lembaga hantu yang menakutkan.
Boleh juga terjadi melihat Allah di dalam mimpi. Dalam kitab Sirajut-Tholibin disebutkan : “Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian besar Ulama Sufi kemungkinan terjadi melihat Tuhan”. Dikalangan ulama Sufi terdapat keyakinan bahwa “melihat Tuhan bisa terjadi dengan pandangan mata batin yang mendapat nur dari Allah SWT, yang oleh Syeikh Junaid disebut Nurul Imtinan.
Syeikh Junaid al-Baghdadi terkenal sebagai seorang yang amat waro’ (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang Sufi besar pada zamannya, yang tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh Sufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain, Abu ‘Ali Ad-Daqaq, Abu Bakar Al-Atthar, Al-Jurairi, ‘Athowi dan lain-lain. Diceritakan saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Qur’an. Beliau wafat pada hari Jum’at tahun 297 Hijriyah, setelah selesai membaca ayat ke 70 Surat. Al-Baqarah.
Ketika hidupnya sehubungan dengan ucapan beliau tentang Allah, murid beliau bertanya :“Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Allah pada waktu engkau menyembah-Nya ? Beliau menjawab : “Kami (Para Arif) tidak akan menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Kami juga tidak akan bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenal-Nya”. Kesimpulannya adalah, bahwa melihat Allah di dunia sepanjang pendapat para ‘Arif boleh saja terjadi, dengan Nur Mukhasyafah didalam hatinya.
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah, bahwa yang dimaksud dengan “melihat” bukan bererti melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warnanya dari Zat Tuhan), yang mereka istilahkan “bi ghoiri kaifin wa hashrin wa dhorbin min mistalin”. Selain itu mereka pun mengakui bahwa penglihatan kelak diakhirat jauh lebih jelas dan lebih nyata dibanding apa yang mereka lihat di dunia sekarang. “
Imam Qurtubi berkata : “Melihat Allah SWT di dunia (dengan mata hati) dapat diterima akal. Kalau sekiranya tidak boleh, tentulah permintaan Nabi Musa a.s. untuk melihat Allah adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin seorang Nabi tidak mengerti apa yang boleh dan dan apa yang tidak boleh bagi Allah. Bahkan (seandainya) Nabi Musa tidak meminta, hal ini boleh terjadi dan bukan mustahil”.(Al-Jami’ul Ahkamul-Qur’an) “
Dan firman Allah : “Tatkala Tuhan tajalli( manifestasi/zahir/tampak/nyata) pada gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur” Maka apabila Allah bertajalli pada gunung, padahal gunung itu adalah benda padat, kenapa tidak mungkin Allah “tajalli” pada Rasul-Rasul-Nya dan Wali-WaliNya ?” (Kawasyiful-Jilliyah).
Berbicara tentang permohonan Nabi Musa a.s. untuk melihat Allah SWT. Sebaiknya kita perhatikan dahulu firman Allah :
“Dan tatkala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang kami tentukan, dan Tuhan-Nya berbicara kepadanya, maka Musa berkata : Ya Tuhanku, nampakkan (Dirimu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. “Tuhan berfirman: “Kamu tidak akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah bukit itu, bila bukit itu tetap di tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhan tajalli / tampak pada bukit itu, kejadian itu menyebabkan bukit itu hancur dan Musa pun pengsan. Setelah Musa sedar kembali dia berkata : “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang pertama yang beriman”. (QS. Al-Araf 7 : 143)
Dalam ayat ini terdapat kata-kata yang perlu di kaji lebih dalam yaitu :
1.Tidak akan melihat Aku
2.Tuhan tajalli pada gunung / bukit.
3.Bukit / gunung hancur, dan
4.Nabi Musa a.s pengsan.
Tidak akan melihat Aku, suatu pernyataan dari Allah, bahwa bagaimanapun juga mata kepala yang berbentuk bola mata yang terletak pada rongga soket mata dengan daya lihatnya, tidak akan mampu melihat Allah. TETAPI tidak bererti menutup kemungkinan untuk dilihat dengan mata hati. Bila mata hati itu dilengkapi oleh Allah dengan Nur-Nya yang kemudian disebut dengan “nurul basirah” (Cahaya pandangan batin) dan kemudian terdapat pancaran dan nyala pandangan batin yang disebut (bashar) yang kemudian mata kepala sama sekali tidak berfungsi termasuk tidak berfungsinya daya fikir dan seluruh kemampuan fizikal (jasmani) yang oleh orang Sufi digambarkan dengan “fana-zauqi”, maka pada keadaan itulah terjadinya melihat Allah.
“Ramai orang-orang Sufi berkata : “ Aku melihat Allah’. Diceritakan orang tentang ucapan Ja’far bin Muhammad (As-Shadiq) ketika beliau ditanya : “Apakah anda melihat Allah ?” Ja’far menjawab “Aku melihat Allah dan akupun menyembah-Nya”. Si penanya berkata lagi : Bagaimana anda melihat-Nya ?” Beliau menjawab : Tidak mungkin mata kepala dapat melihat-Nya dengan keterbatasannya itu, tetapi Allah dapat dilihat dengan mata hati yang Haqqul Yaqin (keyakinan sebenarnya)”
Tafsir Imam Qurtubi sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah tersebut. Allah tajalli pada gunung , bukanlah bererti “Allah menampakan diri-Nya mengambil tempat pada gunung kerana Allah Yang Maha Esa, Maha Meliputi, Pencipta ruang dan tempat, mustahil bagi-Nya menempati ruang dan tempat.
Saidina ‘Ali berkata : “Allah wujud tidak bertempat, Dialah yang menciptakan waktu dan tempat”. (Alqozhul Himam) Pengertian tajali menurut pandangan Sufi / ‘Arif Billah adalah:
DIA MENAMPAKKAN DIRINYA SENDIRI TANPA ADANYA YANG LAIN DARI DIA, DENGAN KESEMPURNAAN SIFAT-SIFATNYA, NURNYA, YANG LAISA KAMISTLIHI SYAI’UN.
Laisa kamistlihi syai’un tidak ada sesuatu dan satu pun yang seumpama / menyamai-Nya,- tiada pena yang dapat melukiskan dan tak ada kata yang dapat diucapkan, tak ada pula huruf yang dapat dirangkai.
Tajalli Allah pada gunung, merupakan isyarat bahwa Allah boleh saja bertajalli pada benda apapun juga, lebih-lebih kepada Rasul / Nabi-Nabi dan para Wali-Nya atau kepada siapun yang Ia kehendaki. Apabila Allah tajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka Allah akui bahawa tangan, kaki, mata, telinga, hati dan seluruh yang ada pada diri si hamba adalah tangan dan kakinya Allah SWT sebagai sebuah makna kebersamaan(ma'iyatullah).
Banyak Hadits yang merupakan dalil dan keterangan yang menguatkan hal itu. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abi Umamah dalam Kitab Al-Kabir : “Hamba-Ku yang selalu merasa dekat pada-Ku dengan melaksanakan amalan-amalan nawafil / sunnat / tambahan, sehingga Aku mencintainya. Akulah yang jadi pendengarannya yang dengan itu ia mendengar, Akulah yang jadi matanya yang dengan itu dia melihat, Akulah yang menjadi lidahnya yang dengan itu ia bicara, Aku pula yang menjadi hatinya yang dengan itu ia bercita-cita. Bila ia meminta / memohon kepada-Ku, Aku perkenankan doanya, dan bila ia meminta tolong kepada-Ku, Aku tolong dia. Aku amat suka kepada hamba-Ku yang mempersembahkan ibadahnya kepada-Ku dengan penuh keikhlasan” (HR. Thobrani dari Umamah r.a.).
Untuk mencapai tajalli, harus melalui beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan dan ketekunan, jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Pada teori lain diistilahkan; takhalli, tahalli, seterusnya sampai tajalli. Takhalli berarti pengosongan dari segala sifat-sifat yang tercela. Kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji, disebut Tahalli. Jadi takhalli adalah pengosongan fikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan tahalli adalah menghiasinya dengan hanya semata-mata “zikirullah”.
Pengosongan dalam erti “fana segala yang fana” akan menyebabkan hati dan pikir itu pun menjadi fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Dalam Istilah kitab kuning hal itu disebut dengan : “rasa yang tiada berasa”. Semua sudah terbentang, semua sudah jelas, semua sudah nyata, maka itulah tajalli atau “mukasyafah”.
Disitulah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa yang pengsan dan gunung yang hancur berantakan. Nabi Musa a. s. tidak mampu untuk berbicara, mana Musa ? Mana gunung?, akhirnya seperti apa yang dikatakan oleh Syeikh Junaid “Hakikat Tauhid (sebenar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya: kenapa dan bagaimana”. Allah berfirman:
“Segala sesuatu hilang hancur tiada erti, kecuali wajah-Nya / Zat-Nya (QS. Al-Qashas 28 : 88)
“Semua pasti lenyap, sedang yang kekal abadi hanya wajah Tuhanmu Yang Maha memiliki kebesaran dan kemuliaan” (QS. Rahman 55 : 26-27)
“Apa yang ada padamu akan hancur, dan apa yang ada pada Allah kekal abadi” (S. An-Nahl 16 : 96)
Disinilah makna hancurnya gunung dan pengsannya Nabi Musa a.s. Seorang yang berjiwa Sufi, bila merenungkan ayat ini (QS 7 :143) akan bahagia dan menitiskan air mata dan berkata “Betapa bahagia wahai gunung, betapa besar engkau, betapa kerasnya engkau, betapapula tegarnya engkau, wahai gunung batu, namun engkau rela menerima kehancuran, kefanaan dihadapan Allah. Dikefanaanmu, kau rasakan keindahan dan kenikmatan yang tiada taranya.
Semoga Allah sentiasa memberi taufiq kepada kita untuk terus menerus membersihkan hati dan nafsu sehingga mencelikkan mata hati kita didunia untuk melihat Allah sebelum melihatNya diakhirat kelak. Amiin..
SILA SHARE DAN SEBARKAN
Menurut Syeikh Ibnu Hajar Haitami tentang Rasulullah melihat Tuhan di malam Isra : “Dikalangan Ahlus Sunnah telah terjadi kesepakatan tentang mukjizat Rasulullah melihat Allah di malam Mi’raj dengan nyata / mata”. Para Auliya pula mendapat kurnia Allah melihat Allah dengan mata batinnya, sebagai suatu “Karomah” untuk mereka, seperti juga mukjizat untuk Rasulullah SAW.
Untuk melihat Allah didunia dengan mata hati adalah termasuk dalam rukun agama yang ketiga iaitu maqam IHSAN yang bererti "Kamu beribadah seolah-olah kamu melihat Allah..." (Hadis Jibril: Bukhari dan Muslim). Ia adalah matlamat akhir dan tujuan teragung seorang hamba Allah dalam menjalani kehidupan ibadahnya didunia ini.
Syeikh Abdul Qadir Jailani mengakui hal itu, dan Ulama Sufi umumnya mengemukakan : “Apabila rohaniyah dapat menguasai basyariyah (fizikal) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata tidak akan melihat, kecuali hanya dengan pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata batin” Pengertian “rohaniyah dapat menguasai basyariyat” dapat diambil misal, seorang yang sangat takut dengan hantu. Rasa takut tersebut akan sangat mempengaruhi jiwanya, sehingga apabila ia berjalan pada malam hari, kemudian tiba-tiba ia melihat pohon atau daun pisang yang bergerak tertiup angin, maka ia akan berlari ketakutan karena dikiranya hal itu adalah lembaga hantu yang menakutkan.
Boleh juga terjadi melihat Allah di dalam mimpi. Dalam kitab Sirajut-Tholibin disebutkan : “Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian besar Ulama Sufi kemungkinan terjadi melihat Tuhan”. Dikalangan ulama Sufi terdapat keyakinan bahwa “melihat Tuhan bisa terjadi dengan pandangan mata batin yang mendapat nur dari Allah SWT, yang oleh Syeikh Junaid disebut Nurul Imtinan.
Syeikh Junaid al-Baghdadi terkenal sebagai seorang yang amat waro’ (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang Sufi besar pada zamannya, yang tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh Sufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain, Abu ‘Ali Ad-Daqaq, Abu Bakar Al-Atthar, Al-Jurairi, ‘Athowi dan lain-lain. Diceritakan saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Qur’an. Beliau wafat pada hari Jum’at tahun 297 Hijriyah, setelah selesai membaca ayat ke 70 Surat. Al-Baqarah.
Ketika hidupnya sehubungan dengan ucapan beliau tentang Allah, murid beliau bertanya :“Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Allah pada waktu engkau menyembah-Nya ? Beliau menjawab : “Kami (Para Arif) tidak akan menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Kami juga tidak akan bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenal-Nya”. Kesimpulannya adalah, bahwa melihat Allah di dunia sepanjang pendapat para ‘Arif boleh saja terjadi, dengan Nur Mukhasyafah didalam hatinya.
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah, bahwa yang dimaksud dengan “melihat” bukan bererti melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warnanya dari Zat Tuhan), yang mereka istilahkan “bi ghoiri kaifin wa hashrin wa dhorbin min mistalin”. Selain itu mereka pun mengakui bahwa penglihatan kelak diakhirat jauh lebih jelas dan lebih nyata dibanding apa yang mereka lihat di dunia sekarang. “
Imam Qurtubi berkata : “Melihat Allah SWT di dunia (dengan mata hati) dapat diterima akal. Kalau sekiranya tidak boleh, tentulah permintaan Nabi Musa a.s. untuk melihat Allah adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin seorang Nabi tidak mengerti apa yang boleh dan dan apa yang tidak boleh bagi Allah. Bahkan (seandainya) Nabi Musa tidak meminta, hal ini boleh terjadi dan bukan mustahil”.(Al-Jami’ul Ahkamul-Qur’an) “
Dan firman Allah : “Tatkala Tuhan tajalli( manifestasi/zahir/tampak/nyata) pada gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur” Maka apabila Allah bertajalli pada gunung, padahal gunung itu adalah benda padat, kenapa tidak mungkin Allah “tajalli” pada Rasul-Rasul-Nya dan Wali-WaliNya ?” (Kawasyiful-Jilliyah).
Berbicara tentang permohonan Nabi Musa a.s. untuk melihat Allah SWT. Sebaiknya kita perhatikan dahulu firman Allah :
“Dan tatkala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang kami tentukan, dan Tuhan-Nya berbicara kepadanya, maka Musa berkata : Ya Tuhanku, nampakkan (Dirimu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. “Tuhan berfirman: “Kamu tidak akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah bukit itu, bila bukit itu tetap di tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhan tajalli / tampak pada bukit itu, kejadian itu menyebabkan bukit itu hancur dan Musa pun pengsan. Setelah Musa sedar kembali dia berkata : “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang pertama yang beriman”. (QS. Al-Araf 7 : 143)
Dalam ayat ini terdapat kata-kata yang perlu di kaji lebih dalam yaitu :
1.Tidak akan melihat Aku
2.Tuhan tajalli pada gunung / bukit.
3.Bukit / gunung hancur, dan
4.Nabi Musa a.s pengsan.
Tidak akan melihat Aku, suatu pernyataan dari Allah, bahwa bagaimanapun juga mata kepala yang berbentuk bola mata yang terletak pada rongga soket mata dengan daya lihatnya, tidak akan mampu melihat Allah. TETAPI tidak bererti menutup kemungkinan untuk dilihat dengan mata hati. Bila mata hati itu dilengkapi oleh Allah dengan Nur-Nya yang kemudian disebut dengan “nurul basirah” (Cahaya pandangan batin) dan kemudian terdapat pancaran dan nyala pandangan batin yang disebut (bashar) yang kemudian mata kepala sama sekali tidak berfungsi termasuk tidak berfungsinya daya fikir dan seluruh kemampuan fizikal (jasmani) yang oleh orang Sufi digambarkan dengan “fana-zauqi”, maka pada keadaan itulah terjadinya melihat Allah.
“Ramai orang-orang Sufi berkata : “ Aku melihat Allah’. Diceritakan orang tentang ucapan Ja’far bin Muhammad (As-Shadiq) ketika beliau ditanya : “Apakah anda melihat Allah ?” Ja’far menjawab “Aku melihat Allah dan akupun menyembah-Nya”. Si penanya berkata lagi : Bagaimana anda melihat-Nya ?” Beliau menjawab : Tidak mungkin mata kepala dapat melihat-Nya dengan keterbatasannya itu, tetapi Allah dapat dilihat dengan mata hati yang Haqqul Yaqin (keyakinan sebenarnya)”
Tafsir Imam Qurtubi sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah tersebut. Allah tajalli pada gunung , bukanlah bererti “Allah menampakan diri-Nya mengambil tempat pada gunung kerana Allah Yang Maha Esa, Maha Meliputi, Pencipta ruang dan tempat, mustahil bagi-Nya menempati ruang dan tempat.
Saidina ‘Ali berkata : “Allah wujud tidak bertempat, Dialah yang menciptakan waktu dan tempat”. (Alqozhul Himam) Pengertian tajali menurut pandangan Sufi / ‘Arif Billah adalah:
DIA MENAMPAKKAN DIRINYA SENDIRI TANPA ADANYA YANG LAIN DARI DIA, DENGAN KESEMPURNAAN SIFAT-SIFATNYA, NURNYA, YANG LAISA KAMISTLIHI SYAI’UN.
Laisa kamistlihi syai’un tidak ada sesuatu dan satu pun yang seumpama / menyamai-Nya,- tiada pena yang dapat melukiskan dan tak ada kata yang dapat diucapkan, tak ada pula huruf yang dapat dirangkai.
Tajalli Allah pada gunung, merupakan isyarat bahwa Allah boleh saja bertajalli pada benda apapun juga, lebih-lebih kepada Rasul / Nabi-Nabi dan para Wali-Nya atau kepada siapun yang Ia kehendaki. Apabila Allah tajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka Allah akui bahawa tangan, kaki, mata, telinga, hati dan seluruh yang ada pada diri si hamba adalah tangan dan kakinya Allah SWT sebagai sebuah makna kebersamaan(ma'iyatullah).
Banyak Hadits yang merupakan dalil dan keterangan yang menguatkan hal itu. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abi Umamah dalam Kitab Al-Kabir : “Hamba-Ku yang selalu merasa dekat pada-Ku dengan melaksanakan amalan-amalan nawafil / sunnat / tambahan, sehingga Aku mencintainya. Akulah yang jadi pendengarannya yang dengan itu ia mendengar, Akulah yang jadi matanya yang dengan itu dia melihat, Akulah yang menjadi lidahnya yang dengan itu ia bicara, Aku pula yang menjadi hatinya yang dengan itu ia bercita-cita. Bila ia meminta / memohon kepada-Ku, Aku perkenankan doanya, dan bila ia meminta tolong kepada-Ku, Aku tolong dia. Aku amat suka kepada hamba-Ku yang mempersembahkan ibadahnya kepada-Ku dengan penuh keikhlasan” (HR. Thobrani dari Umamah r.a.).
Untuk mencapai tajalli, harus melalui beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan dan ketekunan, jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Pada teori lain diistilahkan; takhalli, tahalli, seterusnya sampai tajalli. Takhalli berarti pengosongan dari segala sifat-sifat yang tercela. Kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji, disebut Tahalli. Jadi takhalli adalah pengosongan fikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan tahalli adalah menghiasinya dengan hanya semata-mata “zikirullah”.
Pengosongan dalam erti “fana segala yang fana” akan menyebabkan hati dan pikir itu pun menjadi fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Dalam Istilah kitab kuning hal itu disebut dengan : “rasa yang tiada berasa”. Semua sudah terbentang, semua sudah jelas, semua sudah nyata, maka itulah tajalli atau “mukasyafah”.
Disitulah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa yang pengsan dan gunung yang hancur berantakan. Nabi Musa a. s. tidak mampu untuk berbicara, mana Musa ? Mana gunung?, akhirnya seperti apa yang dikatakan oleh Syeikh Junaid “Hakikat Tauhid (sebenar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya: kenapa dan bagaimana”. Allah berfirman:
“Segala sesuatu hilang hancur tiada erti, kecuali wajah-Nya / Zat-Nya (QS. Al-Qashas 28 : 88)
“Semua pasti lenyap, sedang yang kekal abadi hanya wajah Tuhanmu Yang Maha memiliki kebesaran dan kemuliaan” (QS. Rahman 55 : 26-27)
“Apa yang ada padamu akan hancur, dan apa yang ada pada Allah kekal abadi” (S. An-Nahl 16 : 96)
Disinilah makna hancurnya gunung dan pengsannya Nabi Musa a.s. Seorang yang berjiwa Sufi, bila merenungkan ayat ini (QS 7 :143) akan bahagia dan menitiskan air mata dan berkata “Betapa bahagia wahai gunung, betapa besar engkau, betapa kerasnya engkau, betapapula tegarnya engkau, wahai gunung batu, namun engkau rela menerima kehancuran, kefanaan dihadapan Allah. Dikefanaanmu, kau rasakan keindahan dan kenikmatan yang tiada taranya.
Semoga Allah sentiasa memberi taufiq kepada kita untuk terus menerus membersihkan hati dan nafsu sehingga mencelikkan mata hati kita didunia untuk melihat Allah sebelum melihatNya diakhirat kelak. Amiin..
SILA SHARE DAN SEBARKAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar