Minggu, 29 Mei 2016

Asy-Syibli dan Imam Ali Zainal ‘Abidin

Tersebutlah Asy-Syibli, seorang murid Imam Ali Zainal ‘Abidin. 

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, 
ia segera menemui Ali untuk menyampaikan pengalaman hajinya. 
Terjadilah percakapan di antara mereka.

“Wahai Syibli, 
bukankah engkau telah selesai menunaikan ibadah haji?” tanya Ali. 
Ia menjawab, “Benar, wahai Guru.”

“Apakah engkau berhenti di Miqat, 
lalu menanggalkan semua pakaian yang terjahit, dan kemudian mandi?”
Asy-Syibli menjawab, “Benar.”

“Ketika berhenti di Miqat, 
apakah engkau bertekad untuk menanggalkan semua pakaian maksiat 
dan menggantinya dengan pakaian taat? 
Ketika menanggalkan semua pakaian terlarang itu, 
adakah engkau pun menanggalkan sifat riya, nifaq, serta segala syubhat? 
Ketika mandi sebelum memulai ihram, 
adakah engkau berniat membersihkan dari segala pelanggaran dan dosa?”

Asy-Syibli menjawab, “Tidak.”
“Kalau begitu, engkau tidak berhenti di Miqat, 
tidak menanggalkan pakaian yang terjahit, dan tidak pula membersihkan diri!”

Ali bertanya kembali, 
“Ketika mandi dan berihram serta mengucapkan niat, 
adakah engkau bertekad untuk membersihkan diri dengan cahaya tobat? 
Ketika niat berihram, 
adakah engkau mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah? 
Ketika mulai mengikatkan diri dalam ibadah haji, 
apakah engkau rela melepaskan semua ikatan selain Allah?”

“Tidak,” jawabnya.
“Kalau begitu, engkau tidak membersihkan diri, tidak berihram, 
tidak pula mengikatkan diri dalam haji 
Bukankah engkau telah memasuki Miqat, lalu shalat dua rakaat, 
dan setelah itu engkau mulai bertalbiyah?”
“Ya, benar.”

“Apakah ketika memasuki Miqat engkau meniatkannya sebagai ziarah 
menuju keridhaan Allah? 
Ketika shalat dua rakaat, 
adakah engkau berniat mendekatkan diri kepada Allah?”

“Tidak, wahai Guru.”
“Kalau begitu engkau tidak memasuki Miqat, 
tidak bertalbiyah dan tidak shalat ihram dua rakaat!,” tegas Ali Zainal ‘Abidin.

“Apakah engkau memasuki Masjidil Haram, 
memandang Ka’bah serta shalat di sana?”
“Benar.”

“Ketika memasuki Masjidil Haram, 
apakah engkau berniat mengharamkan dirimu segala macam ghibah? 
Ketika sampai di Mekkah, 
apakah engkau bertekad untuk menjadikan Allah satu-satunya tujuan?”

“Tidak,” jawabnya.
“Sesungguhnya, engkau belum memasuki Masjidil Haram, 
tidak memandang Ka’bah, serta tidak shalat pula di sana!”

Ali bertanya kembali, 
“Apakah engkau telah berthawaf 
dan berniat untuk berjalan serta berlari menuju keridhaan Allah?

“Tidak.”
“Kalau begitu, 
engkau tidak berthawaf dan tidak pula menyentuh rukun-rukunnya!”

Tanpa bosan Ali kembali bertanya,
 “Apakah engkau berjabat tangan dengan Hajar Aswad dan shalat di Maqam Ibrahim?”
Dijawabnya, “Benar.”

Mendengar jawaban itu, Ali Zainal ‘Abidin menangis, seraya berucap,
 “Oooh, barangsiapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, 
seakan ia berjabat tangan dengan Allah. 
Maka ingatlah, 
janganlah sekali-kali engkau menghancurkan kemuliaan yang telah diraih, 
serta membatalkan kehormatanmu dengan aneka dosa!”

Cucu Rasulullah SAW ini terus mencecar muridnya. 

“Saat berdiri di Maqam Ibrahim, 
apakah engkau bertekad untuk tetap berada di jalan taat 
serta menjauhkan diri dari maksiat? 
Ketika shalat dua rakat di sana, 
apakah engkau bertekad untuk mengikuti jejak Ibrahim 
serta menentang semua bisikan setan?”

“Tidak.”
“Kalau begitu, engkau tidak berjabat tangan dengan Hajar Aswad, 
tidak berdiri di Maqam Ibrahim, tidak pula shalat dua rakaat!”

Lanjutnya, 
“Apakah ketika melakukan Sa’i, antara Shafa dan Marwah, 
engkau menempatkan diri di antara harapan akan rahmat Allah 
dan rasa takut menghadapi murkaNya?”

“Tidak,” jawab Asy-Syibli.
“Kalau begitu, engkau tidak melakukan perjalanan antara dua bukit itu! 

Ketika pergi ke Mina,
 apakah engkau bertekad agar orang-orang merasa aman 
dari gangguan lidah, hati, serta tanganmu?”

“Tidak.”
Ali menggelengkan kepala, 
“Kalau begitu, engkau belum ke Mina! 

Apakah engkau telah Wukuf di Arafah, mendaki Jabal Rahmah, 
mengunjungi Wadi Namirah, 
serta memanjatkan do’a-do’a di bukit Shakharaat?”
“Benar, seperti itu.”

“Ketika Wukuf di Arafah, 
apakah engkau menghayati kebesaran Allah, 
serta berniat mendalami ilmu yang dapat mengantarkanmu kepadaNya? 
Apakah ketika itu engkau merasakan kedekatan yang demikian dekat denganmu? 

 Ketika mendaki Jabal Rahmah, 
apakah engkau mendambakan Rahmat Allah bagi setiap Mukmin? 
Ketika berada di Wadi Namirah,
 apakah engkau berketetapan hati 
untuk tidak meng-amar-kan yang ma’ruf, 
sebelum engkau meng-amar-kannya pada dirimu sendiri? 
Serta tidak melarang seseorang 
melakukan sesuatu sebelum engkau melarang diri sendiri? 
Ketika berada di antara bukit-bukit sana, 
apakah engkau sadar bahwa 
tempat itu akan menjadi saksi segala perbuatanmu?”

“Tidak.”
“Kalau begitu,
 engkau tidak wukuf di Arafah, tidak mendaki Jabal Rahmah, 
tidak mengenal Wadi Namirah, tidak pula berdo’a di sana! 

Apakah engkau telah melewati kedua bukit Al-‘Alamain, 
melakukan shalat dua rakaat sebelumnya, 
lalu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah untuk memungut batu-batu di sana, 
lalu melewati Masy’aral Haram?”
“Ya, benar.”

“Ketika shalat dua rakaat, 
apakah engkau meniatkannya sebagai shalat syukur, 
pada malam menjelang sepuluh Dzulhijjah, 
dengan mengharap tersingkirnya segala kesulitan 
serta datangnya segala kemudahan?

 Ketika lewat di antara bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh kanan kiri, 
 apakah saat itu engkau bertekad untuk tidak bergeser dari Islam; 
tidak dengan hatimu, lidahmu, dan semua gerak gerikmu? 

Ketika berangkat ke Muzdalifah, 
apakah engkau berniat membuang jauh segala maksiat 
serta bertekad untuk beramal yang diridhaiNya? 

Ketika melewati Masy’aral Haram, 
apakah engkau mengisyaratkan untuk bersyiar 
seperti orang-orang takwa kepada Allah?”
“Tidak.”

“Wahai Syibli, sesungguhnya engkau tidak melakukan itu semua!”

Ali Zainal ‘Abidin melanjutkan, 
“Ketika engkau sampai di Mina, 
apakah engkau yakin 
telah sampai di tujuan dan Tuhanmu telah memenuhi semua hajatmu? 

Ketika melempar Jumrah, 
apakah engkau meniatkan untuk melempar dan memerangi iblis, musuh besarmu? 

Ketika mencukur rambut (tahallul), apakah engkau bertekad 
untuk mencukur segala kenistaan? 

Ketika shalat di Masjid Khaif, 
apakah engkau bertekad untuk tidak takut, 
kecuali kepada Allah dan tidak mengharap rahmat kecuali dariNya semata? 

Ketika memotong hewan kurban, 
apakah engkau bertekad untuk memotong urat ketamakan; 
 serta mengikuti teladan Ibrahim yang rela mengorbankan apapun demi Allah? 

Ketika kembali ke Mekkah dan melakukan Thawaf Ifadhah, 
apakah engkau meniatkannya untuk berifadhah dari pusat rahmat Allah, 
kembali dan berserah kepadaNya?”

Dengan gemetar, Asy-Syibli menjawab, “Tidak, wahai Guru.”

“Sungguh, 
engkau tidak mencapai Mina, 
tidak melempar Jumrah, 
tidak bertahallul, 
tidak menyembelih kurban, 
tidak manasik,
 tidak shalat di Masjid Khaif, 
tidak Thawaf Ifadhah, 
tidak pula mendekat kepada Allah!

 Kembalilah, kembalilah! 
Sesungguhnya engkau belum menunaikan hajimu!”

Asy-Syibli menangis tersedu, 
menyesali ibadah haji yang telah dilakukannya. 
Sejak itu, 
ia giat memperdalam ilmunya, 
sehingga tahun berikutnya ia kembali berhaji 
dengan ma’rifat serta keyakinan penuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar