Rabu, 25 Mei 2016

MUKASYAFAH MENURUT SAYYID ABDULLAH ALWI AL-HADDAD
Ahmad bin Ali bin Da’fah bertanya apa yang dirasakan oleh seseorang, terutama arif billah, dalam beribadah dan berdzikir kepada Allah, yang telah mencapai makrifat dan mukasyafah (tersingkapnya rahasia Ilahi). Apakah mukasyafah itu berlangsung selamanya atau hanya pada beberapa keadaan saja?

Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad menjawab, “Mukasyafah pada sifat-sifat Allah Al-Jalal (Keagungan) dan Al-Jamal (keindahan) tidak akan berlangsung selamanya. Jika hal tersebut terjadi pada seseorang, maka ia tidakakan bisa membedakan sesuatu. Bahkan, ia tidak akan sadar terhadap dirinya dan sisi kemanusiaannya. Hal ini terjadi pada sebagian orang untuk beberapa waktu yang lama, lalu akan hilang sesudahnya.
Jika pada saat mengalami hal ini seseorang terlupakan dari beberapa kewajiban agama seperti shalat dan puasa, maka ia akan segera menggantikannya (qadha). Hendaklah seorang salik (yang menempuh jalan menuju Allah) menyembunyikan keadaan spiritualnya saat tampak kepadanya hakikat sesuatu. Keadaan spiritual semacam itu akan terus berlangsung sampai ia menjadi seorang yang mutamakkin (tetap kokoh dan matap keadaan spiritualnya).
Jika ia sudah menjadi seorang mutamakkin, maka ia berada pada keadaan spiritual, dimana makhluk tidak akan memalingkannya dari Sang Khaliq. Hakikat tidak mengeluarkannya dari syariat. Dan, syariat tidak akan menutupinya dari hakikat. Beberapa hakikat akan tersingkap baginya selamanaya dan terhijab sebagian yang lainnya ada waktu yang lain.
Terkadang, orang yang seperti ini masih menjalankan kehidupannya, seperti bekerja dan mencari nafkah. Hal itu tidak akan membahayakan keadaan spiritualnya dan tidak menghijabnya dari Allah SWT.”
Syekh Abdurrahman bin Abdullah ‘Abbad bertanya, “Apakah seseorang bisa memperoleh tingkatan-tingkatan spiritual (maqamat) dan keadaan-keadaan spiritual (ahwal) yang terpuji dengan hanya berpikir tentang orang yang sudah mencapainya dari beberapa cara?”

Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad menjawab, “Ya, boleh jadi. Baginya apa yang diharapkannya. Berpikir secara mendalam tentang hal tersebut merupakan jalan menuju tingkatan itu. Tetapi, harus dibarengi dengan amal perbuatan yang sesuai dengan pikirannya. Begitu pula berpikir kepada sesuatu yang mendekatinya.
Misalnya, seorang hamba yang ingin mencapai maqam raja’ mungkin saja melakukannya dengan cara berpikir mendalam pada ayat-ayat Allah, naskah hadis dan kisah-kisah teladan yang berkaitan dengan hal tersebut. Kemudian menjalankan amalan yang ditetapkan Allah dengan penuh ketaatan dan kepatuhan sebagai syarat untuk menggapai apa yang dicita-citakan. Inilah contoh dalam masalah maqamat, maka jadikanlah contoh itu sebagai pembanding.
Sedangkan ahwal (keadaan-keadaan spiritual) merupakan suatu pemberian (given). Maka berpikir tentangnya dan tentang segala sesuatu yang mendekatinya adalah jalan menuju persiapan untuk mengalaminya.
Terkadang, seseorang berhasil mengalaminya dengan diawali persiapan, tapi kadang juga gagal. Jadi, adalah sebuah kemunduran jika seseorang tidak mempersiapkan suatu kebaikan secara baik.”

-- Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam kitab An-Nafais Al-‘Uluwiyyah fi Masail Ash-Shufiyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar