Sabtu, 28 Mei 2016

 

MUKADDIMAH

Dengar lagu seruling bambu menyampaikan kisah pilu perpisahan. Tuturnya “Sejak aku berpisah dengan asal usulku, pokok bambu yang rimbun, ratapku membuat lelaki dan wanita mengadu.

Kuingin sebuah dada koyak sebab terpisah jauh dari orang yang dicintai. Dengan demikian, dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta.

Setiap orang yang hidup jauh dari kampung halamannya akan merindukan saat-saat tatkala dia masih berkumpul dengan sanak keluarganya.

Nada-nada senduku senantiasa kunyanyikan dalam setiap mejelis pertemuan, aku duduk bersama mereka yang riang dan sedih.

Rahasia laguku tidak jauh dari asal usul ratapku. Namun, apakah ada telinga yang mendengar dan mata melihat?

Tubuh tak terdinding dari roh, pun roh tak terdinding dari tubuh. Namun, tak seorang diperbolehkan melihat roh.

Bunyi seruling yang riuh ialah kobaran api, bukan desir angin yang berhembus: mereka yang tak mempunyai api akan sia-sia hidupnya.

Inilah api Cinta yang tersembunyi dalam seruling bambo, inilah bara semangat Cinta yang dikandung anggur.

Seruling ialah sahabat mereka yang terpisah dari sahabat karibnya: lagunya menyayat kalbu.

Siapa pernah melihat racun dan penawarnya sekaligus seperti seruling? Siapakah pernah menyaksikan orang berkabung dan pecinta menuturkan rindu dendamnya seperti seruling?

Seruling menyanyikan kisah jalan tergenang darah dan mnyingkap lagi rindu dendam Majenun.

Hanya untuk mereka yang tidak mengerti pemahaman dan kepahaman disampaikan: Lidah tak mempunyai pelanggan selain telinga.

Dalam pilu hari-hari hayat kami berlalu tak kenal waktu: hari-hari kami berjalan bersama kepiluan membara.

Kalua hari-hari kami mesti pergi, biarlah ia pergi! Kami tidak peduli. Kekallah Kau, sebab tiada sekudus Kau.

Mereka yang tidak puas pada air-Nya bukanlah ikan: mereka yang tidak punya roti utuk makanan sehari-hari akan merasakan betapa lamanya detik-detik waktu berjalan.

Tidak ada barang mentah yang mengerti arti kemasakan. Karena itu, kini akan kuringkas kata-kataku! Selamat tinggal!

Anakku, patahkan belenggu yang mengikatmu dan bebaskan dirimu! Berapa lama kau akan terikat pada perak dan emas?

Apabila air laut kau tuang ke dalam kendi, berapa teguk yang dapat ditampung? Paling-paling cukup untuk minuman sehari.

Kendi itu, mata yang tak pernah kenyang itu, tak akan pernah penuh:Ingatlah, kerang tidak akan berisi mutiara sebelum dirinya penuh.

Dia yang meminjam jubahnya dengan rasa cinta akan bersih dari ketamakan dan kekurangan.

Selamat datang, o, Cinta yang memberi keberuntungan indah. Kaulah tabib segala sakit kami, pemulih keangkuhan dan kesombongan, Filosof dan Dokter kami!

Dengan Cinta, tubuh tanah liat ini dapat terbang ke angkasa raya, mikraj: gunung menari dan tangkas geraknya.

Cinta menurunkan ilham kepada Gunung Sinai, o Pecinta, karena itu Gunung Sinai mabuk dan ‘Musa jatuh pingsan’.

Apabila aku mengikuti bibir yang sehaluan denganku, aku akan seperti seruling, menazamkan semua yang dapat kunazamkan.

Tetapi, dia yang dipisahkan darinya akan membisu, walaupun tahu ratusan syait dan gurindam.

Apabila mawar pergi dan taman lenyap, kisah burung bulbul tak akan lagi terdengar olehmu. Kekasih ialah segala-galanya, dan pecinta ialah tabirnya.

Kekasih ialah hidup dan pecinta itu benda mati. Kalau cinta tak memedulikannya, jadilah ia burung tanpa sayap.

Cinta ingin dunia ini dijelmakan: Jika cermin tak memantulkan bayangan, apa sebabnya?

Tahukah kau mengapa cermin jiwa tak memantulkan satu pun bayangan? Karena karatnya tidak dibersihkan.

O, Sahabat, dengar kisah ini: hanya dalam Kebenaran sumsum keperiadaan roh kami terkandung”



Disadur dari kitab Matsnawi Senandung Cinta Abadi karya Jalaluddin Rumi
Diterjemahkan oleh: Abdul Hadi W.M.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar