Sabtu, 30 Januari 2016

Alfathri Adlin - SURGA

Dalam salah satu sesi kuliah di STF Driyarkara, masalah surga dan neraka pernah lho dibahas. Ini topik langka dan seringkali tabu dibicarakan dalam 'ruang filsafat', hanya saja kebetulan matakuliahnya adalah Humanisme dan Agama, dan topik ini pun sempat juga nyelonong masuk jadi pembahasan. Namun ada yang menarik dari diskusi tersebut, yaitu pertanyaan: 'Apa benar di surga nanti kita hidup senang-senang saja? Masa sih klimaks dari kehidupan ini adalah hidup senang-senang, apalagi bayangan tentang keabadian di sana. Abadi seperti apa?'
Saya menikmati saja diskusi tersebut namun malas terlibat sama sekali, karena toh pemahaman saya lebih banyak dari khazanah Islam. Namun, perkenankan saya memberi sedikit gambaran ihwal tahapan kehidupan tersebut berdasarkan khazanah yang saya pahami dari Islam.
Kita lewati saja dulu tahap yang dijelaskan dalam QS Al-Insan [76]: 1 dan QS Al-A'raf [7]: 172; tidak mudah menjelaskannya dengan singkat. Langsung saja ke mauthin rahim. Saat di rahim, kehidupan begitu sederhana. Lacan menyebutnya sebagai tahap 'the real', tahap penyatuan primordial antara ibu dengan anak. Dalam rahim, kehidupan begitu sederhana. Makanan pun sederhana, disalurkan melalui plasenta, yang menghubungkan ibu dan janin untuk mensuplai zat hara, oksigen, dan makanan. Warna disekitarnya pun hanyalah warna organ tubuh. Nyaman, tak ada masalah patah hati atau bokek, setidaknya untuk selama 9 bulan.
Bandingkan kehidupan di dalam rahim dengan kehidupan kita saat ini. Bandingkan besar ruang dalam rahim dengan bumi dan galaksi yang menjadi tempat kita hidup saat ini. Berapa milyar atau trilyun kali lipatkah perluasannya? Di rahim kita tidak mengenal beraneka rasa kuliner, dari mulai yang pedas hingga pahit, semua ada di muka bumi tempat kita lahir. Rahim tak menyediakan petualangan rasa seperti itu. Dalam kehidupan di muka bumi ini, kita mengenal susah senang, gembira sedih, keberuntungan kemalangan, dikhianati dicintai, dan berbagai perasaan yang tak kita cicipi saat berada di rahim. Kemudian, jika kita ambil usia Rasulullah saw sebagai standar, yaitu 63 tahun, maka bandingkanlah 63 tahun itu dengan 9 bulan di rahim. Betapa singkatnya 9 bulan itu.
Terbayangkan bukan, bahwa saat kita berpindah ke realitas lainnya dalam kehidupan panjang manusia hingga surga dan neraka nanti, maka itu tak ubahnya naik kelas lengkap dengan modul pelajaran yang jauh lebih kompleks lagi. Bukan semakin sederhana. Maulana Jalaluddin Rumi menggambarkan dalam salah satu puisinya sebagai berikut:
Apabila ada yang mengatakan kepada janin di rahim, ”Di luar sana ada sebuah dunia yang teratur,
Sebuah bumi yang menyenangkan, penuh kesenangan dan makanan, luas dan lebar;
Gunung, lautan, dan daratan, kebun buah-buahan mewangi, sawah dan ladang terbetang,
Langitnya sangat tinggi dan berbinar, sinar mentari dan cahaya bulan serta tak terkira banyaknya bintang;
Keajaibannya tak terlukiskan: mengapa kau tetap tinggal, mereguk darah, di dalam penjara yang kotor lagi penuh penderitaan ini?
Janin itu, sebagaimana layaknya, tentu akan berpaling tak percaya sama sekali; karena yang buta tak memiliki imajinasi.
Maka, di dunia ini, ketika orang suci menceritakan ada sebuah dunia tanpa bau dan warna,
Tak seorang pun di antara orang-orang kasar yang mau mendengarkannya: hawa nafsu adalah sebuah rintangan yang kuat dan perkasa –-
Begitupun dengan hasrat janin akan darah yang memberinya makanan di tempat terendah,
Merintanginya menyaksikan dunia luar, selama ia tak mengetahui makanan selain darah semata.
Jadi, kehidupan setelah kematian ini sama sekali bukan suatu kehidupan yang lebih sederhana. Dalam salah satu hadits, Rasulullah pernah bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menghimpunkan dua rasa aman dan dua rasa takut di dalam hati manusia, barang siapa merasa aman akan hari akhirat maka kelak di akhirat ia akan dalam ketakutan, dan barang siapa merasa takut akan hari akhirat maka kelak di akhirat ia akan dalam keamanan."
Mari bayangkan, sudah berapa lama mereka yang mengingkari Nabi Nuh, misalnya, mati dan harus menebus pengingkarannya tersebut di mauthin barzakh hingga saat ini (karena kiamat belum terjadi)? Sudah berapa ribu tahun mereka di sana? Bandingkan dengan usia mereka saat masih hidup. Terbayang? Maka, jika dibandingkan dengan kehidupan di mauthin barzakh, maka kehidupan di mauthin dunya ini tak ubahnya kehidupan dalam mauthin rahim saja, dan begitu seterusnya untuk tahapan kehidupan selanjutnya.
Ingin memiliki sedikit gambaran seperti apa keadaan di mauthin mahsyar? Coba Anda berdiam diri di tengah-tengah keramaian pesta pernikahan yang biasanya berlangsung selama 3 jam. Larutlah dalam keramaian tersebut selama 3 jam. Setelahnya, rasakan sendiri bagaimana capeknya fisik dan psikis Anda. Kini bayangkan bagaimana rasanya berada di tengah trilyunan makhluk saat hari pengadilan, dan masing-masing sibuk dengan urusannya masing-masing, sibuk memikirkan keselamatannya dari penghakiman Allah, dan itu berlangsung berabad-abad, karena satu manusia dihakimi satu per satu disaksikan oleh seluruh manusia dari Adam hingga manusia terakhir. Sampai pada hari itu pun, nabi Ibrahim digambarkan ragu akan ketaatannya kepada Allah. Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah ihwal apakah manusia yang telanjang saat di mauthin mahsyar tidak akan malu? Rasulullah saw menjawab bahwa urusan di hari itu jauh lebih berat dan besar daripada sekadar malu karena mendapati dirinya telanjang.
Karena itu, sebagian sufi pernah mengungkapkan bahwa seseorang yang membayangkan nanti di surga akan mendapatkan semua yang menjadi kesenangan syahwatiahnya, maka itu tak lebih hanya pantulan dari obsesi syahwatiahnya saja. Al-Quran menyebut sebuah gelar, yaitu ulil abshar, yang oleh sebagian ulama dijelaskan sebagai 'orang yang memiliki visi jauh hingga ke alam akhirat.' Jadi, kalau di dunia ini kita buta akan urusan agama hingga perkara yang terdalam, maka akan lebih buta lagi kita saat berpindah ke alam berikutnya, sehingga Al-Quran pun menggambarkan bahwa nanti ada manusia yang dibangkitkan dalam keadan buta, dan mereka bertanya: kenapa kami jadi buta, padahal dulunya kami adalah orang-orang yang bisa melihat?
Nah, kembali ke laptop, eh ke topik semula: karena saya sedang kuliah di kampus filsafat, dan mengikuti kuliah Humanisme dan Agama, maka saya nikmati saja semua diskusi itu sambil tetap menggeluti filsafat ini itu yang selalu membangkitkan minat saya untuk belajar dan belajar lagi. Wassalam....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar