TENTANG PERBEDAAN ANTARA JASAD, NAFS DAN RUH AL-QUDS
(Sebuah penggalan dari tulisan lama saya yang jauh lebih panjang lagi.......)
Dalam membahas mengenai Struktur Insan,
para sufi besar melakukannya dengan teliti karena,
seperti telah diperlihatkan di atas,
bahwa Struktur Insan adalah suatu hal yang fundamental,
sebab permasalahan lain di dunia ini merupakan perpanjangan darinya.
Kini telah banyak tulisan yang dibuat oleh cendekiawan Muslim
yang membahas masalah tersebut,
memetakannya serta mencoba membandingkan dan menyamakan
beberapa aspek-aspek tertentu dari Psikologi Barat—
yang memang telah terlebih dulu berkembang secara ilmiah dan sistematik—
dengan berbagai konsepsi Struktur Insan dalam Al-Quran dan hadis.
Kemudian dilabeli dengan istilah “Psikologi Islami”.
Namun bahasan-bahasan tersebut lupa untuk menguraikan secara jelas
garis batas wilayah antara kajian psikologi dan tashawwuf.
Walau psikologi dan tashawwuf mengambil manusia sebagai objek kajiannya,
namun aspek manusia yang yang menjadi fokus pengamatannya
berbeda satu sama lain, baik secara epistemologis maupun entitas,
walaupun dalam beberapa hal kedua disipilin ilmu ini
membentuk suatu hubungan yang komplementer mengenai Struktur Insan.
Nafs adalah entitas yang sering dikacaukan dengan pengertian psikologis
yang memandangnya sebagai kualitas.
Selain itu,
nafs pun sering dikacaukan pengertiannya dengan hawa nafsu.
Nafs adalah fokus pendidikan Ilahi
dan “harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit,
atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah,
dan hakikat dari setiap khalq adalah Al-Haqq.”
Sejak awal,
nafs memang sudah memiliki potensi pengetahuan, yaitu tentang dirinya sendiri.
Karena itu,
aksioma Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu terbagi menjadi tiga bagian,
di mana frasa ‘arafa nafsahu menunjukkan proses sang nafs
ketika berusaha memahami pengetahuan yang dikandung dalam dirinya.
Frasa ‘arafa Rabbahu menunjukkan proses ketika datang pengetahuan dari Tuhan
yang melegalkan (membenarkan maupun menyalahkan) pengetahuan
sang diri manusia tentang nafsnya.
Sementara kata faqad tidak mesti bermakna serial secara waktu,
namun serial secara urutan sebab akibat.
Dalam hal ini, Man ‘arafa nafsahu adalah sebab dari ‘arafa Rabbahu.
Tuhan berkepentingan terhadap kebenaran proses pengenalan manusia terhadap dirinya, karena manusia diciptakan sesuai dengan citra-Nya,
dan sebagai makhluk yang paling ‘mirip’ dengan-Nya,
maka diri manusia membawa pengetahuan tentang Tuhan
dalam derajat akurasi dan kebenaran tertinggi di seluruh semesta alam.
Ma‘rifat merupakan rahmat Tuhan terhadap hamba-Nya yang Dia kehendaki,
yaitu rahmat kedua setelah kembali menjadi al-muthaharûn
(tingkat kesucian bayi, yang merupakan rahmat pertama).
Mengenai hal ini, Ibnu Atha‘illah mengatakan
*******awal kutipan*******
Ketika terbuka kepadamu wajah pengenalan (ta‘aruf),
maka jangan engkau hiraukan amalanmu yang sedikit itu.
Sesungguhnya hal ini tidak terbuka bagimu
melainkan karena Dia menghendaki pengenalan-Nya atasmu.
Tidakkah kau ketahui bahwa sebuah pengenalan itu
merupakan pengenalan ihwal Diri-Nya kepadamu,
sedangkan amal itu sesuatu yang engkau hadiahkan kepada-Nya.
Maka sepadankah antara apa yang engkau berikan kepada-Nya
dengan Diri-Nya yang Dia berikan kepadamu?”
*******akhir kutipan*******
Bila dalam proses ‘arafa nafsahu subjeknya adalah jiwa (an-nafs),
maka dalam proses ‘arafa Rabbahu subjeknya adalah Rûh Al-Quds.
Rûh Al-Quds ini baru akan hadir bila nafs telah sempurna berproses,
yaitu telah sampai ke derajat nafs al-muthmainnah.
Hadirnya Rûh Al-Quds yang merupakan “utusan-Nya di dalam diri,
yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (‘amr) si nafs di dunia ini
(lihat QS Asy-Syûra [42]: 52, langsung dari bahasa Qur`annya
yang mana terdapat kalimah rûh dan ‘amr).
Rûh Al-Quds merupakan juru nasihat si nafs dari dalam qalb, dan nafs
yang telah diperkuat dengan rûh ini,
selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah
(jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya),
juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainnah.
Disebut muthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya
(qudrah diri/swadharma),
di sini rûh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinah dalam bahasa Ibrani)
yang diturunkan ke dalam qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) ‘amr.”
Karena itulah kehadiran Rûh Al-Quds sangat terkait dengan amal shalih
yang membuat nafs mampu menggunakan kekuatannya (aradh),
maupun membuat tubuh mampu untuk menjalankan amal shalihnya,
yaitu sesuai dengan kehendak Tuhan.
Rûh Al-Quds ibarat sosok Rasul di suatu kaum, di mana kaum itu adalah diri al-mu‘min.
Rûh Al-Quds berbeda dengan nafakh rûh atau nyawa,
karena Rûh Al-Quds bukanlah wujud fisik sebagaimana nafakh ruh.
Dia pun bukanlah aradh,
sebab urusan (‘amr) Tuhan mustahil berupa tubuh maupun aradh.
Rûh Al-Quds ini bersifat lathifah ‘alimah, yaitu sesuatu yang lembut (tidak bertubuh), memiliki ilmu dan memberikan kepahaman pada diri (nafs) manusia.
Karena itu,
bila dikaitkan dengan nafs,
kehadiran Rûh Al-Quds ini adalah dalam posisi guru,
pemberi pemahaman, dan yang mentransfer pengetahuan dari sisi Tuhan,
dikarenakan an-nafs
hanya mampu mengetahui kekuatan yang ada dalam dirinya saja.
Entitas Rûh Al-Quds ini disebut dengan Rûh ‘Amr dalam terminologi Al-Ghazali.
Struktur Insan seperti diuraikan di atas banyak diungkapkan dalam Al-Quran
baik secara eksplisit maupun implisit.
Adapun penjelasan yang dinyatakan dalam bentuk perumpamaan yang ringkas
dapat dilihat pada QS An-Nuur [24]: 35:
*******awal kutipan*******
“Allah cahaya petala langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat
yang di dalamnya terdapat pelita terang.
Pelita tersebut di dalam kaca,
kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak)
dari pohon yang banyak berkahnya,
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat,
yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api.
Cahaya di atas cahaya.
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki,
dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia,
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
*******akhir kutipan*******
Uraian dari Zamzam A.J.T. berikut ini
bisa merangkum dan menjelaskan perbedaan ketiga entitas tersebut:
*******awal kutipan*******
Cahaya Allah atau insan Ilahi ini diibaratkan dengan
misykat, fash, ceruk, lubang tak tembus
yang di dalamnya terdapat pelita terang.
Misykat melambangkan kegelapan jasad insan,
merupakan tempat bertemunya dua lautan,
lautan yang mengalir dari mata air ubudiyyah hamba
dan lautan yang bersumber dari ketinggian Uluhiyyah-Nya.
Aspek ubudiyyah insan keluar dari sisi jasad dan jiwa insan (nafs),
sedangkan apa yang datang dari aspek Uluhiyyah adalah Amr-Nya
yaitu
Rûh Al-Quds yang dilambangkan dengan pelita atau api yang terang nyalanya.
Jasad insan merupakan wujud yang dibangun dari aspek al-ardh (kebumian);
sedangkan nafs insan yang karena kejernihan wujudnya bagaikan kaca,
dilabel oleh kata as-samaai (langit).
Jadi as-samaai dunya dan al-ardh melambangkan pasangan jiwa dan raga insan
yang dijenjang tertentu keduanya berperan sebagai cahaya Allah Ta‘ala,
saksi Allah sejati.
Dalam persoalan mengabdi kepada Al-Khaliq (sang pencipta),
nafs insan merupakan imam bagi jasad
dimana pasangan ini akan bertindak sebagai pelaku utama
dalam persoalan pengungkapan khazanah Ilahi.
“Aku adalah harta tersembunyi (kanzun makhfiy),
Aku rindu untuk dikenal,
karena itu aku ciptakan makhluk agar aku diketahui.”(hadis qudsi).
Sedangkan tiupan atau nafas rûh (arwah) ke dalam diri insan
merupakan ujung dari nafas panjang Rububiyyah,
yang dilambangkan dengan cahaya jernih
yang mengisi ruang-ruang petala langit, as-samawaati.
Jadi nafs insan merupakan langit pertama,
langit terdekat ke sisi jasad,
dari tujuh langit malakut yang berlabuh didalam jasad insan.
Jasad atau jism insan merupakan rumah atau wadah bagi nafs insan,
dan qalb dari nafs yang telah diterangi cahaya taqwa
merupakan rumah bagi Ar-Ruh yang datang dari sisi-Nya.
Kehadiran Rûh Al-Quds ke dalam nafs insan
dan menetapnya Ar-Ruh ini di dalam qalb
merupakan satu persoalan yang mengakibatkan manusia tersebut
digelari cahaya Allah, baitullah, ahlul bait.
*******akhir kutipan*******
Contoh lain yang mungkin lebih mudah dimengerti
untuk imajinasi manusia saat ini adalah OHP (Over-Head Projector).
Keseluruhan badan OHP itu ibarat tubuh,
sementara plastik transparansi itu ibarat nafs.
Di atas plastik transparansi tersebut dituliskan sesuatu,
itu ibarat misi hidup manusia yang dituliskan di nafs,
namun dia tidak bisa membacanya.
Dibutuhkan sesuatu yang lain agar tulisan tersebut bisa dibaca,
itulah lampu OHP,
yang mengibaratkan Rûh Al-Quds.
Cahaya dari lampu OHP (Rûh Al-Quds) inilah
yang bisa menzahirkan tulisan (‘amr atau misi hidup)
di atas plastik transparansi (nafs) tersebut
ke layar (alam dunia) melalui lensa proyektor (qalb).
Imam Al-Ghazali membuat dua pengertian nafs.
Pertama,
adalah nafs dalam pengertian awam yang dipahami sebagai hawa nafsu.
Hawa nafsu adalah campuran atau aradh pada nafs,
namun sebenarnya bukan bagian dari nafs.
Dalam diri manusia ada embrio-embrio hawa nafsu
yang diturunkan dari kedua orang tua.
Embrio-embrio tersebut bisa tumbuh
jika dipupuki sehingga mewujud dalam diri secara independen
yang akhirnya membentuk nufusul hawwiyyah.
Jika sudah terlanjur mewujud, maka nafs harus bisa menjadi gembalanya.
Kedua,
adalah nafs dalam arti unsur halus (lathifah) yang merupakan hakikat Al-Insân.
Penyebutan Al-Insân itu ditujukan kepada nafs ini.
Nafs diidentifikasi atau dinamai berdasarkan
kadar pengaruh dari embrio-embrio hawa nafsu tersebut.
Apabila nafs tersebut terwarnai kuat oleh embrio-embrio hawa nafsu yang ada
di antara nafs dan tubuh,
maka nafs lathifah tersebut dinamai dengan nafs ‘amara bi su‘
karena menyuruh atau cenderung kepada hal-hal yang buruk.
Inilah menghijabi antara manusia (mar‘i) dengan qalbnya.
Pada setiap noda yang Allah Ta‘ala buang
berarti ada bagian yang dirahmati oleh Allah Ta‘ala.
Sementara nafs al-lawwamah adalah nafs yang mencela,
yang dalam transisi dan tengah berjihad serta menyesali
noda-noda yang menempel pada dirinya.
Dominasi hawa nafsu sudah berkurang terhadap nafs.
Jika nafs terbebas dari berbagai pengaruh hawa nafsu dan embrio-embrionya,
disebutlah sebagai nafs itu sebagai nafs muthmainnah.
Itulah nafs yang telah tenang dan telah sampai di jenjang ridha, yaitu,
ridha kepada Allah Ta‘ala dan diridhai,
karena telah ridha terhadap seluruh qadha Allah Ta‘ala dalam dirinya.
Inilah nafs yang telah memiliki taswiyah (kesempurnaan penerimaan)
untuk kehadiran Rûh Al-Quds.
*******awal kutipan*******
Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ar-Rûh.
Katakanlah:
“Ar-Rûh itu dari ‘amr Rabbku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS Al-Isrâ‘ [17]: 85)
*******akhir kutipan*******
Persoalan rûh ini
merupakan bagian dari ‘amr Rabb atau termasuk alam ‘amr.
Karena itu,
tidak ada istilah tazkiyatur ruhiyyah atau mi‘raj rûh,
tetapi tazkiyatun nafs dan mi‘raj nafs.
Rûh itu sesuatu yang suci dari Allah Ta‘ala dan merupakan ‘amr Rubbubiyyah.
Adapun kata sedikit dalam ayat tersebut
bukanlah ditujukan kepada sedikitnya pengetahuan tentang rûh
yang bisa manusia ketahui,
tetapi sedikitlah di antara manusia yang diberi pengetahuan tentang rûh.
Karena,
di ayat lain dalam Al-Quran disebutkan adanya orang yang disebut sebagai Ulil ‘Amri.
Bagaimana bisa seseorang yang sudah dirahmati dan dipercaya
memegang ‘amr oleh Allah Ta‘ala,
tetapi tidak mengetahui tentang rûh yang merupakan bagian dari ‘amr
(ingat hadis Rasulullah tentang amanah dan ‘amr).
Rûh itu terletak di inti nafs.
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa
rûh itu tidak berada baik di dalam maupun di luar tubuh,
tidak melekat dan juga tidak lepas dari tubuh.
Lebih jauh lagi,
beliau menjelaskan rûh itu bukan makhluk
karena tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk,
tetapi rûh itu juga makhluk karena datang berikutnya (perkara yang huduts bukan qadim).
Selain itu,
Imam Al-Ghazali pernah menjelaskan dua kategori rûh, yaitu,
pertama,
jisim latif (cahaya ruh).
Ini seperti membanjirnya cahaya hidup dari lampu yang menyebar
pada sekeliling ruangan,
atau ibarat menjalar atau mengalirnya darah dalam tubuh
yang dipompa oleh qalb jismaniyyah (jantung).
Yang kedua adalah
latifah ‘alimah, yaitu
api atau sumber cahaya.
Inilah Rûh Al-Quds atau Ar- Rûh yang merupakan sumber pengetahuan.
Tidaklah sama antara Rûh Al-Quds dengan Rûh Al-Amîn,
karena Rûh Al-Amîn adalah Jibril.
Namun, keduanya mempunyai kesamaan tugas,
yaitu sama-sama mengajarkan Al-Kitab.
*******awal kutipan*******
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada al-mu‘min
ketika Allah mengutus di antara mereka rasul
dari nafs-nafs mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
mensucikan mereka,
dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.
Dan sesungguhnya sebelum itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
(Ali ‘Imran [3]: 164)
Dan hari Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi
atas mereka dari nafs-nafs mereka sendiri,
dan Kami datangkan kamu
menjadi saksi atas seluruh umat manusia.
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira (busyran)
bagi al-muslimîn.
(An-Nahl [16]: 89)
Katakanlah:
Diturunkan kepadanya Rûh Al-Quds (inilah rahmat kedua—pen.) dari Rabbmu
dengan penyertaan al-haqq,
untuk meneguhkan orang-orang yang telah beriman,
dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi al-muslimîn.
(An-Nahl [16]: 102)
*******akhir kutipan*******
Rûh itu dilambangkan dengan api (misbah),
adapun tubuh (jism) dapat hidup walau hanya dengan cahaya api rûh saja,
atau bagian dari rûh atau aspek-aspek yang terbawa
karena tiupan atau nafakh rûh saja.
Dalam Al-Quran disebutkan dengan ungkapan min rûhi atau “dari rûh-Ku”.
Tak ubahnya seperti bunga dengan harumnya.
Harum bunga yang terbawa angin (busyran)
sudah dapat menghidupkan rasa lapar lebah (lambang al-mu‘min).
Atau seperti orang tengah berada di depan api unggun, walaupun apinya tidak menyentuh tubuhnya, tetapi hangatnya api yang terbawa oleh angin sudah bisa terasakan oleh tubuh.
*******awal kutipan*******
Maka tatkala dia tiba di api itu, diserulah dia:
“Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dalam api itu,
dan orang-orang yang berada disekitarnya.
Dan Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (An-Naml [27]: 8)
*******akhir kutipan*******
Atau coba Anda rasakan sendiri.
Pegang tubuh Anda, bagian leher misalnya.
Apabila masih terasa hangat,
itu tanda masih ada rûh yang tiupan atau nafakh rûh-nya
masih memberi kehidupan kepada tubuh Anda.
Bahkan seandainya tiupan atau nafakh rûh ini mengenai dinding,
maka dinding tersebut dapat hidup.
Sementara apabila Anda menyentuh tubuh orang yang sudah mati,
maka terasalah tubuh orang mati itu sudah dingin.
Itu mengisyaratkan bahwa
dalam tubuh orang mati tersebut sudah tidak ada lagi rûh
yang memberikan tiupan atau nafakh rûh yang bisa menghidupkan tubuh tersebut.
Tiupan atau nafakh rûh itulah yang secara umum disebut sebagai nyawa
dalam bahasa Indonesia.
Alam semesta ini maujud karena adanya nafakh rûh di dalamnya,
misalnya burung itu memiliki rûh bukan nafs.
Karena,
apabila burung memiliki nafs,
maka akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir nanti,
dan bisa mendapatkan siksa kubur dan neraka.
Fungsi nafakh rûh bagi tubuh adalah untuk menghidupkan,
karena sebelum diberi nafakh rûh, tubuh itu dalam keadaan mati.
Sedangkan fungsi nafakh rûh bagi nafs adalah sebagai energi paling dasar.
Hakikat atau bahan dasar nafs adalah sesuatu yang hidup,
tetapi untuk bergerak (energik)
maka nafs memerlukan cahaya rûh sebagai energi dasar.
*******awal kutipan*******
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan (nafakh) ke dalamnya dari rûh-Ku (min rûhi), maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (QS Al-Hijr [5]: 29 dan QS Shâd [38]: 72)
*******akhir kutipan*******
Ayat tersebut sudah menunjukkan bahwa tidak keseluruhan rûh,
tapi bagian atau persoalan yang terkait dengan rûh.
Ini tak ubahnya seperti cahayanya matahari, harumnya bunga, terang dan hangatnya api.
Singkatnya,
sesuatu yang ditiupkan (nafakh) yang akan menghidupkan atau menyalakan,
seperti minyak yang sudah menyala atau hidup walau belum disentuh api.
Nafakh rûh ditiupkan apabila Allah Ta‘ala telah menyempurnakan
tempat penerima rûh atau taswiyah (kesempurnaan penerimaan) dari tubuh
yang terbentuk dari 4 unsur (api, air, tanah, udara).
Taswiyah tersebut lebih menekankan
kepada komposisi elemen pembentuk tubuh yang tepat.
Jika campurannya terlampau basah,
maka “adonan” tubuh tersebut tidak akan mampu menerima nafakh rûh.
Sedangkan untuk menerima Rûh Al-Quds, yaitu
sang mataharinya, sang apinya, sang bunganya,
sehingga seorang hamba bisa menemukan diri sejati dan misi hidupnya,
tidak cukup hanya kesiapan 4 unsur tersebut,
tetapi juga diperlukan unsur ke 5, yaitu nafs.
Harus ada taswiyah baik di nafs maupun di tubuh.
Untuk menerima nur ilmu saja,
tubuh harus dalam kondisi sehat kokoh dan tidak terlampau basah
dengan minuman duniawi (syahwat), terlebih lagi untuk menerima Rûh Al-Quds.
Sedangkan untuk nafs,
harus dalam kondisi bersih dari hawa nafsu (tazkiyatun nafs),
seperti yang disabdakan Rasulullah Saw,
“Musuhmu yang terbesar berada di antara kedua sisimu.”
Nabi Isa pernah mengatakan bahwa manusia itu harus dilahirkan dua kali,
pertama lahir secara jasmani, sedang kedua adalah lahir secara ruhani.
Sebagaimana diungkapkan Syaikh Abdul Karim Al-Jilli,
Rûh Al-Quds itu adalah Rûhul Arwâh.
Rûh Al-Quds itu bukan makhluk
karena ia merupakan wajah khusus dari wajah-wajah Al-Haqq.
Adapun rûh Adam (nafakh ruh) adalah makhluk,
akan tetapi Rûh Allah bukanlah makhluk,
dialah Rûh Al-Quds yang disucikan dari kekurangan-kekurangan Kauniyyah makhluk.
Rûh Al-Quds ini merupakan pengibaratan wujud Ilahi di dalam makhluk,
atau ungkapan dari wajah Ilahi.
Karena itu,
dalam bahasa Jawa disebut juga
sebagai gusti kecil atau dewa ruci (ruh suci) atau gusti di dalam diri.
Dalam kosmologi Islam,
perempuan dan laki-laki disimbolkan dengan dua hal yang berbeda
namun saling melengkapi, berpasang-pasangan,
yin dan yang yang membentuk harmoni dan keseimbangan.
Segala sesuatu (selain Tuhan) diciptakan secara berpasang-pasangan
yang didasarkan bukan pada logika dominatif, tetapi logika komplementer.
Pasangan perempuan dan laki-laki yang juga disebut dalam Al-Quran
merupakan gambaran dari keseluruhan kosmos, yaitu langit dan bumi.
Dalam hubungan antara tubuh dan nafs,
maka tubuh adalah perempuan dan nafs adalah laki-laki.
Apabila keduanya “menikah” (menyatu),
dikatakanlah hal itu sebagai “setengah dari Ad-Dîn.”
Untuk menggenapkan Ad-Dîn maka
pasangan tubuh dan nafs tersebut harus menyatu dengan Rûh Al-Quds,
dan bentuk hubungannya menjadi
pasangan tubuh plus nafs adalah perempuan, dan Rûh Al-Quds adalah laki-laki.
Namun dalam beberapa ayat
nafs pun dilambangkan sebagai perempuan yang melahirkan laki-laki (‘aql),
dan begitu pula halnya dengan Rûh Al-Quds yang juga kadang dilambangkan
sebagai perempuan, karena merupakan Ummul Kitab (Induk Kitab).
Pendek kata,
simbolisasi ini bukan merendahkan yang satu terhadap yang lain,
tapi merupakan suatu kesatuan yang komplementer
sebagaimana diterangkan oleh Zamzam sebagai berikut:
*******awal kutipan*******
Maka yang disebut insan Ilahi, cahaya Allah,
adalah insan yang api jiwanya telah dinyalakan Allah Ta‘ala,
telah diperkuat oleh cahaya ilmu dan cahaya ma‘rifat.
Insan seperti ini memiliki struktur seperti yang digambarkan
dalam surat An-Nuur ayat 35, cahaya di atas cahaya.
Misykat, zujajah dan pohon zaitun adalah
persoalan yang datang dari aspek ubudiyyah,
merupakan pasangan bagi api ¬al-mishbah yaitu
urusan yang datang dari aspek Uluhiyyah-Nya;
persoalan yang diidentifikasi oleh hakikat pasangan perempuan dan laki-laki.
*******akhir kutipan*******
Selain itu, dalam Al-Quran,
tubuh dilambangkan juga sebagai bumi, nafs sebagai langit,
dan rûh sebagai matahari.
Namun, seperti telah diutarakan sebelumnya,
untuk bisa mendapatkan predikat Insan Ilahi atau menemukan misi hidup,
maka manusia yang akan dirahmati tersebut
harus berada dalam posisi percaya dan dipercaya.
Sebelumnya,
terlebih dahulu dia harus dibakar dalam api pensucian,
harus menerima ujian untuk memurnikan niatnya
dalam mencari Allah Ta‘ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar