Belajar Menjadi Sufi Dari Maulana Jalaluddin Rumi
Siapa yang berperilaku sesuai dengan perkataannya, dialah yang
tercerahkan, yang menolak hubungan-hubungan biasa dari dunia.
(Dzun-Nun al-Mishri)
Maulana (secara harfiah bermakna "Guru Kita") Jalaluddin Rumi,
pendiri Tarekat Para Darwis Berputar,
dalam karirnya menjadi bukti ungkapan Timur,
"Para raksasa muncul dari Afghanistan dan mempengaruhi dunia."
Ia dilahirkan di Bactria,
dari sebuah keluarga bangsawan pada awal abad ketiga belas.
Ia tinggal dan mengajar di Iconum (Rum) di Asia Kecil,
sebelum munculnya Kerajaan Utsmani,
yang tahtanya menurut seruannya ia tolak.
Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Persia,
dan dipandang tinggi oleh orang Persia karena kandungan puitis,
kesusastraan dan mistiknya.
Sehingga karya-karya ini disebut
sebagai"al-Qur'an dalam bahasa Pehlevi (bahasa Persia)" --
meskipun karya-karya ini bertentangan dengan kepercayaan bangsa Persia,
sekte Syi'ah, yang dikritik atas eksklusivismenya.
Di kalangan orang Muslim Arab, India dan Pakistan,
Rumi dipandang sebagai salah seorang dari guru mistik tingkat pertama --
meskipun ia menyatakan bahwa
ajaran-ajaran al-Qur'an bersifat alegoris,
dan ia memiliki tujuh makna yang berbeda.
Jangkauan pengaruh Rumi sulit untuk bisa diperkirakan,
meskipun hal ini terkadang bisa dilihat secara sekilas,
pada kesusastraan dan pemikiran dari berbagai madzhab.
Bahkan Doktor Johnson,
yang terkenal karena pernyataannya yang tidak menyenangkan,
mengatakan tentang Rumi,
"Ia menjelaskan kepada Peziarah
akan rahasia-rahasia dari jalan Kesatuan,
dan menyingkap Misteri-misteri
dari jalan Kebenaran Abadi."
Karyanya telah cukup dikenal dalam kurun waktu
kurang dari seratus tahun setelah kematiannya pada 1273,
karena Chaucer menggunakannya sebagai rujukan sebagian karyanya,
bersama-sama dengan bahan dari ajaran-ajaran guru spiritual Rumi,
Aththar sang Kimiawan (1150-1229/30).
Dan berbagai rujukan terhadap bahan bahasa Arab
yang bisa ditemukan pada Chaucer,
bahkan suatu pengujian secara cepat memperlihatkan
suatu pengaruh Sufi dari Madzhab Rumi dalam literatur.
Penggunaan Chaucer terhadap ungkapan seperti,
"Singa mungkin bisa mengambil pelajaran ketika seekor anjing dihukum ...,"
merupakan adaptasi semata yang terkait pada kata-kata,
idhtrib al-kalba wa ya'khud addaba al-fahdu
("Pukullah anjing dan singa akan mengambil pelajaran!"),
sebagai suatu ungkapan rahasia
yang digunakan oleh Para Darwis Berputar.
Penafsirannya bergantung
pada suatu permainan pada kata-kata "anjing" dan "singa".
Meskipun ditulis demikian rupa,
pengucapan kata kunci tersebut dipergunakan secara homofone.
Sebagai ganti mengucapkan "anjing" (kalb),
Sufi mengatakan "hati" (qalb), dan
sebagai ganti kata "singa" (fahdu) adalah kata fahid("kelalaian").
Ungkapan tersebut sekarang menjadi,
"Pukullah hati (dengan latihan-latihan Sufi)
dan kelalaian (fakultas-fakultas [jiwa])
akan bersikap (dengan benar)."
Ini merupakan slogan
yang memperkenalkan gerakan-gerakan "pemukulan hati"
yang didorong oleh gerakan dan konsentrasi pada Mevlevi --
"Para Darwis Berputar".
Hubungan antara Canterbury Tales (Cerita-cerita Canterbury)
sebagai sebuah alegori perkembangan batin
dan Parliament of the Birds dari Aththar
merupakan persoalan menarik lainnya.
Profesor Skeat mengingatkan kita bahwa, seperti Aththar,
Chaucer memiliki tiga puluh pengikut.
Tigapuluh Peziarah tersebut mencari burung mistik,
dan nama burung itu adalah Simurgh.
Nama ini masuk akal dalam bahasa Persia,
sebab Simurgh bermakna "tiga puluh burung".
Akan tetapi dalam bahasa Inggris pengubahan (bentuk) semacam ini
tidaklah mungkin.
Jumlah peziarah tersebut,
yang diperlukan dalam bahasa Persia
sebab adanya persyaratan irama,
dipertahankan Chaucer, menghilangkan makna ganda.
The Pardoner's Tale terdapat pada Aththar,
cerita pohon pear ditemukan pada Kitab IV dari karya Sufinya Rumi,
Matsnawi.
Pengaruh Rumi,
baik dalam gagasan maupun secara tekstual,
cukup besar di Barat.
Karena semua karyanya telah diterjemahkan
ke dalam bahasa-bahasa Barat pada tahun-tahun terakhir ini,
maka dampaknya semakin besar.
Tetapi jika ia,
seperti Profesor Arberry menyebutnya,
"benar-benar penyair mistis terbesar dalam sejarah manusia,"
maka puisi-puisi sendiri yang di dalamnya
begitu banyak memaparkan ajaran-ajarannya,
hanya benar-benar bisa diapresiasi dalam bahasa Persia aslinya.
Meskipun demikian,
ajaran-ajaran dan metode-metode
yang dipergunakan oleh Para Darwis Berputar
dan madzhab-madzhab lainnya yang dipengaruhi Rumi,
tidaklah terlalu sulit ditemukan,
dengan syarat bahwa
cara dalam meletakkan kebenaran-kebenaran esoterik tersebut
bisa dipahami.
Ada tiga dokumen
dimana melalui ini karya Rumi bisa dikaji oleh dunia luar.
Kitab Matsnawi-i-Manawi (Sajak-sajak Spiritual)
merupakan karya utama Jalaluddin --
terdiri dari enam kitab (bagian) puisi dan metafora
yang bentuk aslinya memiliki kekuatan sedemikian rupa,
sehingga pembacaannya
bisa menghasilkan suatu kebahagiaan (spiritual) kompleks
secara aneh bagi kesadaran pendengarnya.
Karya ini diselesaikan dalam waktu empat puluh tigatahun.
Sebenarnya ia tidak bisa dikritik sebagai karya puisi,
sebab mengandung gagasan,
bentuk dan penyajian yang pelik dan khas.
Mereka yang mencari bait konvensional semata di dalamnya,
seperti dinyatakan Profesor Nicholson,
harus membolak-balik karya tersebut secara cepat.
Dan kemudian mereka akan kehilangan pengaruh
dari apa yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk seni khusus,
yang diciptakan Rumi untuk menyampaikan makna-makna,
yang oleh Rumi sendiri diakui
tidak memiliki padanan sesungguhnya
dalam pengalaman manusia biasa.
Mengabaikan pencapaian luar biasa ini
sama halnya dengan memilih-milih rasa (makanan)
tanpa selai strawberry.
Karena terlalu menekankan peranan puisi besar dalam lautan Matsnawi,
terkadang Nicholson memperlihatkan suatu kesukaan terhadap syair formal.
"Matsnawi,"
katanya (Introduction, Selection from the Diwan of Shams of Tabriz, hlm. xxxix), "mengandung suatu kekayaan puisi yang mencerahkan.
Tetapi para pembacanya harus menempuh jalan
melalui apologi, dialog dan penafsiran-penafsiran nash-nash Qur'ani,
kepelikan-kepelikan metafisis dan petuah-petuah moral
secara bersamaan sebelum mereka memiliki kesempatan menikmati
suatu bagian dari kidung murni dan tinggi."
Bagi Sufi,
jika bukan bagi siapa saja,
kitab ini berbicara dari suatu dimensi yang berbeda,
bahkan suatu dimensi
yang bagaimanapun
berada di dalam dirinya yang terdalam.
Seperti semua karya Sufi,
Matsnawi akan beragam pengaruhnya terhadap pendengarnya
sesuai dengan kondisi-kondisi dimana karya ini dikaji.
Kitab ini memuat lelucon, fabel, pembicaraan,
rujukan kepada para mantan guru dan
metode-metode yang bisa mengantarkan pada ekstase (ecstatogenic) --
suatu contoh fenomenal dari metode pencerai-beraian,
dimana sebuah gambar disusun dengan multi-dampak
untuk memasukkan pesan ke dalam pikiran Sufi.
Pesan ini,
Rumi maupun semua guru Sufi lainnya,
secara parsial disusun sebagai jawaban
terhadap lingkungan di mana ia bekerja.
Ia menciptakan tarian dan gerakan-gerakan memutar
di kalangan para muridnya.
Menurut riwayat,
hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas
dari orang yang diajarinya.
Apa yang disebut sebagai variasi doktrin
atau tindakan yang ditetapkan oleh berbagai guru Sufi
sebenarnya tidak lain merupakan penerapan dari aturan ini.
Dalam sistem pengajarannya,
Rumi mempergunakan penjelasan dan latihan mental,
pemikiran dan meditasi,
kerja dan bermain,
tindakan dan diam.
Gerakan-gerakan "tubuh-pikiran" dari Para Darwis Berputar
dibarengi dengan musik tiup untuk mengiringi gerakan-gerakan tersebut,
merupakan hasil dari metode khusus yang dirancang
untuk membawa seorang Salik mencapai afinitas dengan arus mistis,
untuk ditransformasikan melalui cara ini.
Segala sesuatu yang dipahami oleh orang yang belum tercerahkan (orang biasa)
memiliki kegunaan dan makna dalam konteks khusus Sufisme
yang mungkin tidak terlihat sampai hal itu dialami.
"Doa," ucap Rumi, "memiliki bentuk, suara dan realitas fisiknya.
Segala sesuatu yang memiliki kata (nama),
memiliki padanan fisiknya.
Dan setiap pemikiran memiliki suatu (bentuk) tindakan."
Salah satu karakteristik yang benar-benar Sufistik dari Rumi adalah bahwa,
sekalipun tentu ia akan memberikan pernyataan tegas
yang paling tidak populer -- bahwa
orang biasa, apa pun pencapaian formalnya,
tidak dewasa dalam mistisisme --
ia juga memberikan kesempatan
bagi hampir semua orang untuk mencapai kemajuan
menuju penyempurnaan nasib manusia.
Seperti para Sufi yang berada di dalam suatu atmosfir teologis,
pertama kali Rumi menunjukkan para pendengar terhadap persoalan agama.
Ia menekankan bahwa
bentuk dimana didalamnya merupakan kebiasaan
dalam beragama
dan bersifat emosional yang dipahami
oleh badan-badan (lembaga) terorganisir,
tidaklah benar.
Tabir Cahaya,
yang merupakan penghalang
yang diakibatkan oleh sikap pembenaran diri,
adalah lebih berbahaya dibanding Tabir Kegelapan,
yang dihasilkan didalam pikiran oleh kejahatan.
Pemahaman hanya bisa dihasilkan dengan cinta,
bukan dengan pelatihan melalui cara-cara terorganisir.
Baginya (Rumi),
para guru tertua dari agama-agama adalah benar.
Para penerusnya,
kecuali sebagian kecil,
mengelola persoalan-persoalan itu sedemikian rupa
sehingga secara menyeluruh menutup kemungkinan pencerahan.
Sikap ini menuntut suatu pendekatan baru
terhadap persoalan-persoalan agama.
Rumi memahami seluruh persoalan tersebut di luar saluran normal.
Ia tidak dipersiapkan untuk menyerahkan dogma pada studi dan dalil (argumen).
"Agama sejati," tuturnya,
"adalah berbeda dari yang diduga orang.
Oleh sebab itu,
tidak ada nilainya untuk mengkaji dan menguji dogma."
"Di dunia ini," ucapnya,
"tidak ada padanan dari hal-hal yang disebut
sebagai Arasy(Tuhan), Kitab, Malaikat, Hari Hisab.
Perumpamaan digunakan,
dan semua itu secara pasti
sekadar suatu gagasan kasar tentang sesuatu yang lain."
Dalam kumpulan ucapan dan ajarannya
yang berjudul Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di Dalamnya),
yang digunakan sebagai buku-buku rujukan para Sufi,
ia bahkan melangkah lebih jauh.
"Manusia," tuturnya,
"melewati tiga jenjang.
Pada jenjang pertama,
ia menyembah apa saja --
manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu.
Kemudian,
ketika sedikit lebih maju,
ia menyembah Tuhan.
Pada akhirnya,
ia tidak berkata,
'Aku menyembah Tuhan,' maupun,
'Aku tidak menyembah Tuhan.'
Ia telah melewati tahapan ketiga."
Untuk mendekati jalan Sufi,
sang Salik harus menyadari bahwa
dirinya,
sebagian besar merupakan serangkaian dari apa yang saat ini
disebut pengkondisian --
gagasan-gagasan kaku dan prasangka,
kadang-kadang respon otomatis yang telah terjadi
melalui pelatihan orang lain.
Manusia tidaklah sebebas yang diduga.
Tahapan pertama bagi seseorang adalah
untuk melepaskan diri dari pemikiran bahwa
dirinya mengerti dan benar-benar mengerti.
Tetapi manusia telah diajar, bahwa
dirinya bisa memahami melalui proses yang sama, yaitu
proses logika.
Ajaran ini telah melemahkannya.
"Jika engkau mengikuti cara-cara
yang telah diajarkan kepadamu,
yang mungkin telah engkau warisi,
karena hanya ada alasan lain selain ini,
maka engkau tidak logis."
Pemahaman agama,
dan hal-hal yang telah diajarkan oleh para tokoh agama besar,
merupakan bagian dari Sufisme.
Sufisme menggunakan terminologi dari agama biasa,
tetapi dengan cara khas yang selalu menyulut kemarahan
dari penganut nominalnya.
Secara umum,
bagi Sufi,
masing-masing guru keagamaan menyimbolkan,
dalam ibadahnya dan terutama dalam kehidupannya,
suatu aspek dari jalan yang totalitasnya adalah Sufisme.
"Yesus ada dalam dirimu," ucap Rumi;
"carilah pertolongannya.
Dan kemudian,
jangan mencari dari dalam dirimu sendiri,
dari Musamu,
kebutuhan bagi seorang Fir'aun."
Jalan-jalan keagamaan yang dirintis Sufi itu
dinyatakan oleh Rumi
ketika ia mengatakan bahwa
jalan Yesus adalah perjuangan dengan kesunyian dan mengatasi nafsu.
Jalan Muhammad adalah
hidup di dalam masyarakat sebagai manusia biasa.
"Pergilah dengan jalan Muhammad!" tuturnya,
"tetapi jika engkau tidak mampu,
maka pergilah dengan jalan Kristiani!"
Di sini Rumi bukan berarti menyeru pendengarnya
untuk memeluk salah satu dari agama ini.
Ia sesungguhnya menunjukkan jalan-jalan
di mana di dalamnya sang Salik bisa menemukan pencerahan
melalui pemahaman.
Sufi menghargai terhadap jalan-jalan yang dikandung,
pada Yesus dan Muhammad.
Demikian juga,
ketika Sufi berbicara tentang Tuhan,
ia tidak memaksudkan ketuhanan dalam pengertian
sebagaimana dipahami oleh seorang yang telah dilatih oleh teolog.
Tuhan (dalam pengertian teologis) ini diterima oleh sebagian orang,
yakni orang yang saleh; ditolak oleh yang lain, yakni para atheis.
Bahkan ia merupakan suatu penolakan,
atau penerimaan terhadap sesuatu
yang telah diberikan oleh kalangan skolastik dan kependetaan.
Tuhan para Sufi tidak dilihat dalam kontroversi ini;
sebab bagi Sufi,
Tuhan merupakan persoalan pengalaman pribadi.
Semua ini tidak berarti bahwa
seorang Sufi berusaha membuang pelatihan fakultas penalaran.
Rumi menjelaskan bahwa
akal adalah esensial,
tetapi ia memiliki tempatnya tersendiri.
"jika engkau ingin membuat baju,
kunjungilah penjahit,
maka akal akan mengatakan kepadamu penjahit mana yang dipilih.
Akan tetapi,
setelah itu akal harus menahan diri.
Engkau harus memberikan kepercayaan penuh kepada penjahit bahwa
akan menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan benar."
"Logika," kata Rumi,
"membawa seorang pasien ke dokter.
Setelah itu,
secara utuh ia berada di tangan sang dokter."
Tetapi seorang materialis yang terlatih baik,
meskipun ia mengaku bahwa
dirinya ingin mendengar apa yang bisa dikatakan seorang mistikus kepadanya,
tidak bisa diberitahu semua kebenaran.
Ia tidak akan mempercayainya.
Kebenaran tidak didasarkan materialisime lebih daripada logika.
Disinilah mistiskus bekerja dengan serangkaian ranah yang berbeda,
sementara seorang materialis hanya pada satu ranah.
Akibat dari hubungan mereka pastilah bahwa
Sufi bahkan akan tampak tidak konsisten dalam pandangan materialis.
Jika pada hari ini
ia mengatakan sesuatu yang dikatakannya secara berbeda
dengan hari kemarin,
ia akan tampak sebagai pembohong.
Paling tidak,
situasi yang berada pada tujuan-tujuan yang berseberangan
akan merusak setiap kesempatan untuk maju
dengan sikap saling memahami.
"Mereka yang tidak memahami suatu hal," ucap Rumi,
"akan mengatakan bahwa hal itu tidak berguna.
Tangan dan alat adalah bagaikan batu dan baja.
Pukullah batu dengan tanah.
Apakah percikan api akan terjadi?"
Salah satu alasan mengapa
Sufi tidak mengajar secara umum adalah karena
agamawan yang telah terkondisikan,
atau seorang materialis, tidak akan memahaminya:
Seekor burung rajawali raja bertengger di sebuah reruntuhan bangunan
yang dihuni oleh burung-burung hantu.
Mereka berpendapat bahwa rajawali itu datang
untuk mengusir mereka dari rumahnya
dan untuk ditempatinya sendiri.
"Reruntuhan ini tampak mewah bagi kalian.
Bagiku,
tempat yang lebih baik adalah di tangan Raja," tutur si rajawali.
Sebagian burung hantu tersebut berteriak,
"Jangan mempercayainya.
Ia menggunakan tipuan untuk mengambil rumah kita!"
Penggunaan dongeng dan ilustrasi seperti fabel di atas
sangat luas di kalangan para Sufi,
dan Rumi dikenal sebagai pakarnya.
Pemikirannya
yang sama seringkali disampaikan oleh Rumi dalam banyak bentuk,
agar bisa dipahami pikiran.
Para Sufi mengatakan bahwa
suatu idea akan memasuki pikiran yang terkondisikan (tertabiri)
hanya jika ia disusun begitu baik
sehingga mampu melewati dinding kondisional.
Kenyataan bahwa
non-Sufi sangat sedikit memiliki kesamaan dengan Sufi itu
berdasar pada yang ada dalam setiap diri manusia,
dan yang tidak seluruhnya bisa dimatikan
oleh bentuk pengondisian apa pun.
Unsur-unsur inilah yang mendasari perkembangan Sufi.
Salah satu unsur dasar dan permanen adalah unsur cinta.
Cinta merupakan faktor
yang akan membawa seseorang dan semua orang,
pada pencerahan:
"Panasnya ruang pembakaran
mungkin terlalu berat bagimu
untuk bisa mengambil manfaat dari pengaruh panasnya;
sementara nyala api yang lebih lemah
dari sebuah lampu
bisa memberikan tingkatan panas yang engkau butuhkan."
Setiap orang,
ketika mencapai jenjang tertentu
karena kemampuan yang semata-mata bersifat personal,
mengira bahwa ia bisa menemukan jalan menuju pencerahan
melalui dirinya sendiri.
Anggapan ini ditolak oleh para Sufi,
sebab mereka mempertanyakan
bagaimana seseorang bisa menemukan sesuatu
sementara ia tidak tahu apa sebenarnya sesuatu tersebut.
"Setiap orang menjadi pencari emas," ucap Rumi,
"tetapi orang awam tidak mengetahuinya
ketika ia melihatnya.
Jika Anda tidak bisa mengenalinya,
bergabunglah dengan orang bijak."
Orang awam,
karena mengira ia berada di jalan pencerahan,
seringkali hanya melihat pantulannya.
Sinar mungkin bisa dipantulkan ke dinding;
dinding tersebut merupakan tempat bagi sinar.
"Jangan tempelkan dirimu ke batu-bata dari dinding itu,
tetapi carilah (cahaya) asli yang abadi!"
"Air membutuhkan suatu perantara,
sebuah tungku,
antara tungku dan api itulah air dipanaskan dengan benar."
Bagaimana cara seorang Salik menemukan tugasnya
dalam mencari jalan yang benar?
Pertama,
ia tidak boleh mengabaikan kerja dan harus tetap "hidup" di dunia.
"Jangan menyerah dan berhenti kerja!" perintah Rumi.
Sungguh,
"Khazanah yang engkau cari berasal darinya."
Ini merupakan satu alasan
mengapa semua Sufi harus memiliki sebuah kegiatan konstruktif
Meskipun demikian,
kerja bukan saja kerja biasa
atau bahkan kreativitas yang bisa diterima secara sosial.
Ia meliputi kerja-diri;
al kimia menjadikan seseorang berkepribadian sempurna:
"Wool
di tangan seorang yang berpengetahuan,
menjadi permadani.
Tanah menjadi istana.
Kehadiran manusia spiritual
menciptakan perubahan serupa."
Pada awalnya seorang yang bijak merupakan pembimbing seorang murid.
Segera setelah memungkinkan,
guru ini melepaskan si murid,
sebagai orang yang memperoleh hikmahnya sendiri,
dan kemudian ia melanjutkan kerja-dirinya.
Para guru palsu dalam Sufisme,
sebagaimana di mana saja, tidaklah sedikit.
Maka para Sufi dihadapkan pada situasi aneh,
sebab sementara guru palsu bisa jadi tampak seperti asli
(karena ia berusaha keras untuk berpenampilan seperti yang diinginkan muridnya), sedangkan Sufi sejati
seringkali tidak seperti apa yang dikira oleh Salik
yang belum terlatih dan belum bisa membedakan.
Rumi mengingatkan,
"Jangan menilai seorang Sufi
sebagai seseorang yang bisa dilihat, sobat.
Berapa lama,
seperti seorang anak kecil,
engkau hanya lebih menyukai kacang dan roti?"
Guru palsu sangat memperhatikan penampilan,
dan mengetahui bagaimana membuat seorang murid mengira bahwa
ia adalah orang besar,
bahwa ia memahaminya,
bahwa dirinya memiliki rahasia-rahasia besar yang akan diungkap.
Seorang Sufi memiliki banyak rahasia,
tetapi ia harus menjadikan rahasia-rahasia tersebut berkembang
dalam diri murid.
Sufisme merupakan sesuatu yang diberikan kepadanya.
Guru palsu akan menjaga para pengikutnya
agar tidak menjauh dari dirinya untuk selamanya,
tidak mengatakan kepada mereka,
bahwa mereka tengah diberikan latihan
yang harus berakhir secepat mungkin,
sehingga mereka bisa merasakan perkembangan mereka sendiri
dan melanjutkan hidup sebagai orang-orang yang tercerahkan.
Rumi menyeru kepada para skolastik, teolog dan pengikut guru palsu,
"Kapan kalian berhenti menyembah dan mencintai timbanya?
Kapan kaki mulai mencari airnya?"
Hal-hal lahiriah merupakan sesuatu
yang biasanya dinilai oleh kebanyakan orang.
"Ketahuilah perbedaan
antara warna anggur dan warna gelasnya."
Sufi harus mengikuti semua rutinitas pengembangan-diri;
sebaliknya semata-mata konsentrasi terhadap salah satunya
akan menyebabkan ketimpangan,
yang bisa membawa pada kerugian.
Laju pengembangan setiap orang berbeda-beda.
"Sebagian," ucap Rumi,
"memahami semuanya
hanya dengan membaca sebuah baris (ajaran).
Yang lain,
yang benar-benar telah hadir pada suatu peristiwa,
mengetahui semua tentang hal itu.
Kemampuan pemahaman
berkembang bersama kemajuan spiritual seseorang."
Meditasi-meditasi Rumi
meliputi beberapa gagasan yang mencolok,
yang dirancang untuk membawa Salik
ke dalam suatu pemahaman tentang kenyataan bahwa
secara temporer ia berada di luar hubungan dengan realitas utuh,
meskipun
kehidupan biasa tampak sebagai totalitas dari realitas itu sendiri.
Apa yang kita lihat,
apa yang kita rasakan dan alami
dalam kehidupan wajar dan belum tercerahkan,
menurut pemikiran Sufistik,
hanyalah sebagian dari keseluruhan yang besar.
Ada dimensi-dimensi yang hanya bisa dicapai melalui upaya keras.
Seperti bagian gunung es yang tampak di permukaan,
keseluruhan badan gunung itu ada di sana,
meskipun tidak terlihat di bawah kondisi-kondisi wajar.
Jika seperti gunung es
realitas tersebut jauh lebih besar dari yang biasa diduga
oleh pengamatan superfisial.
Rumi mempergunakan berbagai analogi untuk menjelaskan hal ini.
Salah satu paling mengejutkan adalah teorinya tentang tindakan.
Katanya,
ada sesuatu yang disebut sebagai tindakan komprehensif,
dan juga ada tindakan individual.
Kita terbiasa melihat,
dalam indera dunia biasa, semata tindakan individu.
Semisal,
sejumlah orang sedang membuat sebuah tenda.
Sebagian menjahit, yang lain mempersiapkan tali, sebagian lagi menenun.
Mereka semua ikut ambil bagian dalam suatu tindakan komprehensif,
meskipun masing-masing tampak sebagai tindakan individual.
Jika kita berpikir tentang pembuatan tenda,
hal itu adalah tindakan komprehensif dari keseluruhan kelompok,
dimana itulah yang penting.
Dalam arah-arah tertentu, para Sufi menyatakan,
kehidupan harus dipandang sebagai keseluruhan,
demikian juga secara individual.
Hal ini sesuai dengan keseluruhan rencana,
tindakan komprehensif dalam kehidupan,
sangatlah mendasar bagi pencerahan.
Sedikit demi sedikit,
di saat pengalamannya meningkat,
Sufi mulai membentuk kembali pemikirannya selaras dengan garis ini.
Sebelum ia benar-benar memiliki pengalaman mistisisme,
ia adalah seorang yang lugu, tidak terlibat,
atau memiliki suatu idea yang secara menyeluruh khayali
tentang sifat dasar pengalaman tersebut,
terutama tentang Guru dan jalan (Tarekat).
Rumi memberikan kepadanya meditasi-meditasi
yang dirancang untuk mengatasi perkembangan berlebihan
dari idea-idea tertentu yang mengalir deras
di kalangan orang yang belum memperoleh pengajaran (Sufistik).
Manusia mengharap diberi sebuah kunci emas.
Tetapi sebagian lebih cepat berkembang dari yang lain.
Seorang yang bepergian melewati kegelapan itu
masih bisa disebut sedang bepergian.
Sang murid akan belajar (sesuatu)
ketika ia tidak mengetahui bahwa dirinya tengah belajar,
dan sebagai hasilnya ia mungkin akan terlumuri (pengetahuan).
Di musim dingin,
Rumi mengingatkan,
sebuah pohon tengah mengumpulkan makanan.
Orang mungkin mengira bahwa
pohon tersebut bermalas-malasan,
sebab mereka tidak melihat sesuatu yang terjadi.
Tetapi di musim semi mereka melihat untaian-untaian bunga.
Sekarang,
pikirnya, ia tengah bekerja.
Ada waktunya untuk mengumpulkan dan ada waktunya untuk mengeluarkannya.
Hal ini membawa subyek kembali pada ajaran:
"Pencerahan harus datang sedikit demi sedikit --
jika tidak, tak terbendung".
Sarana-sarana skolastisisme,
yang digunakan sebagai latihan bagi para Sufi,
digantikan oleh pelatihan esoterik,
dan hal ini harus dilakukan sesuai dengan kapasitas murid.
Alat-alat pandai besi, ucap Rumi,
"di tangan tukang tambal sepatu adalah
seperti benih yang ditabur ke dalam pasir.
Dan alat-alat tukang tambal sepatu
di tangan petani adalah
seperti jerami yang ditawarkan kepada anjing,
atau tulang yang diberikan pada keledai."
Sikap terhadap konvensi-konvensi biasa
dalam kehidupan mengalami suatu pengujian.
Persoalan jeritan batin manusia dipandang,
bukan seperti sebuah kebutuhan Freudian,
tetapi sebagai sesuatu instrumen alamiah
yang melekat pada pikiran
untuk memungkinkannya mencapai kebenaran.
Rumi mengajarkan bahwa
manusia sebenarnya tidak mengetahui apa yang mereka inginkan.
Jeritan batinnya dinyatakan dalam ratusan keinginan
yang mereka duga sebagai kebutuhan mereka.
Namun hal ini bukanlah hasrat mereka sesungguhnya,
sebagaimana pengalaman memperlihatkan.
Karena ketika tujuan-tujuan ini tercapai,
jeritan tersebut tidak berhenti.
Rumi pastilah melihat Freud sebagai seorang yang terobsesi
oleh salah satu perwujudan sekunder dari jeritan besar tersebut;
bukan sebagai seorang yang telah menemukan dasar jeritan itu.
Demikian juga,
orang-orang tampak jahat dalam pandangan seseorang --
tetapi bagi lainnya mereka mungkin terlihat baik.
Hal ini disebabkan dalam satu pikiran terdapat idea ketidakpuasan,
sementara pada lainnya terdapat pandangan kebaikan.
"Ikan dan kail kedua-duanya sama-sama hadir."
Sufi mempelajari kekuatan pelepasan-diri,
kemudian diikuti kekuatan mengalami apa yang ia pertimbangkan,
tidak sekadar melihatnya.
Untuk melakukan hal ini,
ia diperintahkan gurunya untuk merenungkan peringatan Rumi,
"Orang yang kenyang dan kelaparan
tidak melihat hal yang sama
ketika kedua-duanya melihat sepotong roti."
Jika seseorang sangat tidak terlatih
sehingga ia dipengaruhi oleh kebiasaannya sendiri,
ia tidak bisa berharap
untuk bisa mempunyai banyak kemampuan.
Rumi memusatkan pada kontrol pengembangan;
kontrol melalui pengalaman,
bukan semata-mata melalui teori tentang yang baik dan buruk,
benar atau salah.
Teori ini masuk dalam kategori kata-kata,
"Kata-kata,
dalam dirinya sendiri, tidaklah penting.
Anda memperlakukan seorang tamu dengan baik,
dan berbicara beberapa patah kata yang lembut kepadanya,
karenanya ia bahagia.
Tetapi jika Anda memperlakukan orang lain
dengan menggunakan beberapa patah kata dengan kasar,
ia akan merasa sakit.
Bisakah beberapa patah kata tersebut
bermakna kebahagiaan atau kesedihan?
Ini merupakan faktor-faktor sekunder,
dan bukan faktor sesungguhnya.
Kata-kata mempengaruhi orang yang lemah."
Murid Sufi berkembang melalui berbagai latihan
dalam melihat segala hal dengan cara pandang baru.
Ia juga berbuat, bertindak dengan cara berbeda
dalam suatu situasi tertentu daripada yang seharusnya ia lakukan. I
a memahami makna yang lebih mendalam
karena anjuran-anjuran sebagai berikut,
"Ambillah mutiaranya, bukan kulitnya!
Engkau tidak akan menemukan sebuah mutiara di setiap kulit.
Sesosok gunung jauh lebih besar dari sesosok batu mirah.
" Apa yang tampak lazim bagi orang pada umumnya,
mungkin berlalu di atas dasar sebuah kebijakan dan dipandang sebagai biasa,
secara mendalam menjadi penuh makna bagi Sufi
yang dalam intensitasnya menemukan hubungan dengan sesuatu
yang disebutnya sebagai "yang lain" --
faktor dasar yang sedang dicarinya.
"Apa yang tampak sebuah batu bagi orang biasa," lanjut Jalaluddin Rumi,
"adalah mutiara bagi sang Alim."
Kini kehalusan pengalaman spiritual tampak sekilas bagi sang Salik.
Jika ia seorang pekerja kreatif,
ia memasuki jenjang itu ketika inspirasi kadangkala masuk ke dalam dirinya,
tetapi tidak pada waktu yang lain.
Jika ia rentan terhadap pengalaman ekstatik,
akan menemukan bahwa
perasaan penuh makna yang membahagiakan
dalam keutuhan itu datang secara singkat
sehingga ia tidak mampu mengendalikannya.
Rahasia melindungi dirinya sendiri.
"Pusatkan perhatian pada spiritualitas seperti yang engkau inginkan
--ia akan membutakan dirimu jika engkau tidak mampu melihatnya.
Tulislah hal ini,
bicarakan dan ulaslah
-- ia akan gagal untuk memberikan manfaat kepadamu:
ia akan terbang.
Namun,
jika rahasia itu menyentuh pusat pikiranmu,
ia mungkin datang ketanganmu,
seperti seekor burung yang jinak.
Layaknya burung merak,
ia tidak akan hinggap di tempat yang tidak layak."
Hanya ketika telah melampaui jenjang perkembangan inilah,
seorang Sufi bisa menyampaikan sesuatu
tentang jalan itu kepada orang lain.
Jika ia mencobanya sebelum melampaui jenjang tersebut,
"Ia akan lenyap".
Di sini juga letak arti penting
suatu keseimbangan halus
antara (keadaan-keadaan) ekstrim yang sangat mendasar itu,
atau keseluruhan upaya itu akan sia-sia.
"Pikiran Anda sebagai jaring itu begitu halus," tutur Rumi.
Ia harus disesuaikan dengan tepat
agar bisa menangkap sasarannya.
Jika ada kesedihan, jaring itu terkoyak.
Jika terkoyak, ia tidak berguna.
Karena cinta yang terlalu besar,
begitu pula karena penentangan yang terlalu besar,
jaring itu terkoyak.
"Jangan lakukan keduanya!"
Lima indera batin mulai berfungsi
jika kehidupan batin individu dibangkitkan.
Makanan batiniah yang dibicarakan oleh Rumi itu mulai mempengaruhinya.
Indera indera batin bagaimanapun menyerupai indera-indera lahiriah,
tetapi
"perbandingan indera batin dengan indera lahiriah seperti emas dan tembaga".
Karena setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda,
para Sufi pada jenjang ini mengembangkan dengan cara-cara tertentu.
Adalah biasa bagi sejumlah fakultas batin
dan berbagai kemampuan khusus
untuk berkembang secara bersamaan dan harmonis.
Berbagai perubahan kepekaan batin itu mungkin terjadi,
tetapi perubahan itu sama sekali berbeda
dengan perubahan batin dari orang-orang yang belum berkembang
menuju kepribadian sejati.
Kekasaran batin orang-orang awam ini
digantikan oleh perubahan dan interaksi dari cita rasa yang lebih tinggi,
dimana cita rasa yang lebih rendah dipandang sebagai refleksi semata.
Konsepsi Sufi tentang hikmah dan kebodohan mengalami suatu perubahan.
Rumi memahaminya sebagai berikut,
"Jika seseorang benar-benar bijaksana
dan tidak memiliki kebodohan,
ia akan dihancurkan oleh kebijaksanaannya sendiri.
Oleh karena itu,
kebodohan bisa dihargai,
sebab ia berarti bagi kelangsungan eksistensi.
Kebodohan dalam perubahan ini merupakan kolaborator hikmah,
sebagaimana malam dan siang saling melengkapi."
Bekerjanya hal-hal yang bertentangan secara bersamaan
merupakan tema penting lain dalam Sufisme.
Ketika pertentangan nyata bisa didamaikan,
individualitas bukan saja utuh,
ia juga bisa melampaui ikatan-ikatan manusia awam
sebagaimana kita memahaminya.
Individu itu,
selama kita bisa menyatakannya sedekat mungkin, sangatlah kuat.
Apa makna pernyataan ini
dan bagaimana terjadinya adalah
persoalan-persoalan dari pengalaman pribadi,
di luar dunia penulisan semata.
Rumi mengingatkan kita pada lain tempat,
dalam ucapannya yang tertulis dengan kata-kata:
"Kitab sang Sufi bukanlah huruf-huruf yang kelam,
kitabnya seputih kalbu."
Sekarang sang Sufi mempunyai pandangan batin tertentu
yang terkait dengan perkembangan suatu intuisi yang selalu benar.
Perasaannya terhadap pengetahuan sedemikian rupa,
sehingga dengan membaca sebuah kitab,
ia bisa membedakan fakta dan fiksi,
tujuan sejati penulisnya dari unsur-unsur lainnya.
Kalangan yang secara khusus terancam oleh kemampuan ini adalah
para peniru yang mengaku sebagai Sufi.
Sementara orang yang mempunyai intuisi itu
akan mempunyai kemampuan tembus pandang.
Bahkan pengertiannya tentang keseimbangan
memperlihatkan kepadanya
betapa jauh si peniru itu dari tujuan Sufisme.
Rumi mengulas fungsi ini dalam Matsnawi.
Ajaran ini secara setia disampaikan pula oleh para guru Sufi
ketika mereka menemukan bahwa
murid telah mencapai jenjang ini:
"Peniru itu seperti penyalur.
Ia sendiri tidak minum,
tetapi ia mungkin bisa memindahkan air
kepada orang yang kehausan."
Karena telah mengalami kemajuan di jalan itu,
Sufi menyadari betapa rumit dan berbahayanya jalan itu
jika tidak dijalankan sesuai dengan metode
yang telah dikembangkan selama berabad-abad.
Dengan menggunakan fabel,
Matsnawi mencatat jenjang dari pengalaman ini.
Seekor singa memasuki sebuah kandang,
memangsa seekor sapi yang tinggal di dalam kandang itu,
lalu ia duduk ditempat si sapi.
Kandang itu gelap,
si pemilik sapi masuk dan mencari-cari sapinya.
Tangannya meraba-raba tubuh singa itu.
Si singa berkata dalam hati,
"Jika ada cahaya,
pastilah ia akan mati ketakutan.
Ia menyentuhku hanya karena menduga bahwa
aku adalah sapinya."
Jika fabel ini dibaca sebagai cerita biasa,
penggambarannya yang singkat dan menarik ini
mungkin dipahami sebagai sejenis orang bodoh
yang terburu-buru masuk ke tempat
di mana para malaikat sendiri takut merambahnya.
Pemahaman terhadap makna sejati
di balik berbagai peristiwa duniawi
yang tidak bisa dijelaskan secara nalar itu
merupakan konsekuensi lain dari perkembangan Sufi.
Sebagai contoh,
mengapa tahapan tertentu dalam studi mistis
menuntut seseorang lebih lama dari lainnya,
meskipun ia sebenarnya melaksanakan rutinitas yang sama?
Rumi menggambarkan pengalaman
dan satu dimensi khusus dalam kehidupan
yang menutupi fungsi aktualitas secara utuh
dan memberikan suatu pandangan yang tidak memuaskan kita
dari keseluruhan itu.
"Dua pengemis," katanya,
"mendatangi sebuah rumah.
Salah satunya segera merasa puas setelah diberi sepotong roti.
Ia pun pergi.
Sementara pengemis kedua tetap menunggu bagiannya.
Mengapa?
Pengemis pertama itu tidak disukai, ia diberi roti basi dan hambar.
Pengemis kedua diminta menunggu sampai sepotong roti segar
selesai dimasak untuknya."
Cerita ini menggambarkan suatu tema
yang terjadi berulangkali dalam ajaran Sufi,
bahwa seringkali ada satu unsur dalam sebuah peristiwa
yang tidak bisa diketahui.
Akibatnya
kita mendasarkan pendapat kita
pada bahan yang tidak utuh.
Adalah keajaiban kecil
jika orang yang belum tercerahkan mengembangkan
dan memberikan suatu "pandangan kilas"
yang berlangsung dengan sendirinya.
"Engkau dikuasai oleh dunia dimensi,"
senandung Rumi dalam sebuah syairnya,
"tetapi engkau berasal dari dunia non-dimensi.
Tutuplah yang pertama dan bukalah yang kedua!"
Seluruh kehidupan dan setiap ciptaan
dipandang dalam suatu bentuk baru dan komprehensif .
Dengan menggunakan metafor Matsnawi,
pekerja "tersembunyi di dalam ruang kerjanya",
bersembunyi dalam kerjanya untuk merenda jaring-jaring dirinya.
Ruang kerjanya adalah tempat pandangannya.
Di luar tempat ini adalah kegelapan.
Posisi Sufi sebagai orang yang mempunyai pandangan batin lebih dalam
tentang persoalan-persoalan dunia dan keseluruhan serta saling bertentangan,
merupakan potensi kekuatan diri yang sangat besar.
Tetapi ia hanya bisa melakukan hal ini
dalam hubungannya dengan seluruh makhluk
– pertama dengan sesama Sufi,
kemudian dengan manusia secara umum
dan akhirnya dengan semua makhluk.
Kekuatan dan keberadaannya
berkaitan dengan serangkaian hubungan baru.
Orang-orang datang kepadanya
dan ia menyadari bahwa
bahkan mereka yang ingin mencemoohkan dirinya
sangat mungkin datang untuk belajar sesuatu
daripada sekadar menilai dirinya.
Ia memandang sejumlah besar peristiwa
sebagai suatu jenis pertanyaan dan jawaban.
Suatu kunjungan kepada seorang yang Tercerahkan
dipandangnya sebagai pendekatan,
"Ajarilah aku!"
Betapapun laparnya suatu pertanyaan,
tetap saja sebuah pertanyaan.
"Kirimkan makanan!"
Mencegah diri untuk tidak makan merupakan jawaban,
suatu jawaban negatif.
Sebagaimana Rumi menyimpulkan bagian ini,
jawaban untuk seseorang yang bodoh adalah diam.
Ia mampu memberikan sebagian pengalaman mistiknya
kepada orang-orang tertentu,
sebagian muridnya dan orang yang dituntun
oleh pengalaman masa lalu mereka
untuk perkembangan semacam itu.
Hal ini terkadang dilakukan melalui latihan-latihan konsentrasi
dan prakteknya mungkin berkembang
ke dalam pengalaman mistik yang sesungguhnya.
Rumi berkata kepada para muridnya,
"Pada mulanya pencerahan datang kepadamu
dari orang-orang yang Tercerahkan.
Ini adalah suatu tiruan.
Namun ketika hal itu datang berulang kali,
ini adalah pengalaman tentang kebenaran."
Selama tahap pencariannya,
seorang Sufi mungkin sering terlihat
tidak memperdulikan perasaan orang lain,
atau berada di luar aktivitas masyarakat.
Jika demikian,
hal ini karena
ia telah melihat karakter sejati dari suatu situasi,
di balik situasi lahiriah
yang hanya terlihat secara parsial bagi orang lain.
Ia berbuat dengan cara sebaik mungkin,
meskipun tidak selalu mengetahui
mengapa ia mengatakan atau melakukan sesuatu.
Dalam Fihi Ma Fihi,
Rumi memberikan ilustrasi tentang situasi itu.
Seorang pemabuk melihat seorang Raja
lewat dengan menunggang kuda yang sangat mahal harganya.
Ia mencemooh kuda itu.
Sang Raja marah
dan memanggilnya untuk menghadap kepadanya.
Orang itu menjelaskan,
"Saat itu seorang pemabuk sedang berdiri di atas atap.
Aku sekarang bukan dia, sebab dia telah pergi."
Sang Raja puas dengan jawaban ini
dan memberikan hadiah kepadanya.
Pemabuk itu adalah sang Sufi
dan orang yang sadar itu juga adalah dirinya.
Dalam hubungannya dengan realitas sejati,
sang Sufi telah bertindak dengan cara tertentu.
Akibatnya ia diberi hadiah.
Ia juga melaksanakan suatu fungsi
ketika menjelaskan kepada Raja bahwa
orang tidak selalu bertanggung jawab
atas berbagai tindakannya.
Ia juga telah memberikan kesempatan kepada Raja
untuk melakukan perbuatan baik.
Tidak ada anggur yang matang menjadi mentah kembali.
Evolusi manusia tidak dapat dihentikan.
Meskipun demikian
evolusi ini bisa diarahkan dan dicampuradukkan
oleh mereka yang tidak mengetahui apa sesungguhnya intuisi itu.
Dengan demikian
ajaran-ajaran Sufisme bisa diselewengkan
dan seorang yang telah Tercerahkan juga bisa dihubungi
jika ia membiarkan dirinya terlalu sering terlihat secara terbuka
oleh orang kebanyakan.
Sebab untuk mengajarkan masalah Sufistik kepada orang luar,
seperti guru Sufi lainnya,
Rumi selalu menyerukan:
Ketika lentera batin permata masih menyala,
Potonglah segera sumbu atasnya
dan berilah minyak.
Namun ia sepakat dengan para guru lainnya
yang menolak untuk membicarakan mistik kepada setiap orang,
"Panggillah kuda-kuda ke tempat yang tidak berumput,
mereka pun akan mempertanyakannya." --
tidak menjadi soal apa pertanyaannya itu.
Para Sufi
menentang kalangan intelektual murni dan para pemikir skolastik,
karena mereka percaya bahwa
pelatihan pikiran dengan cara obsesif
dan satu jalur pemikiran semacam itu justru membahayakan pikiran.
Demikian pula,
mereka sangat menentang orang-orang yang mengira bahwa
semua persoalan itu bersifat intuitif dan asketis.
Padahal Rumi menekankan
keseimbangan dari semua kemampuan itu.
Kesatuan pikiran dan intuisi
yang akan melahirkan pencerahan dan perkembangan
yang dicari oleh para Sufi itu didasarkan pada Cinta
-- tema yang ditekankan oleh Rumi ini
tidak bisa dipaparkan secara lebih baik
kecuali melalui berbagai tulisannya sendiri,
kecuali jika ia berada di dalam dinding-dinding aktual
dari sebuah madzhab Sufi.
Seperti intelektualisme yang bekerja dengan bahan-bahan yang nyata,
Sufisme bekerja dengan bahan-bahan yang terlihat dan tidak.
Jika ilmu dan skolastisisme selalu mempersempit cakupannya
kedalam bidang kajian yang semakin sempit,
maka Sufisme
tetap menggunakan setiap bukti kebenaran yang melandasinya,
di mana pun hal itu bisa ditemukan.
Kekuatan asimilasi dan kemampuan
untuk membangkitkan simbolisme, cerita dan pemikiran
dari dasar arus Sufistik ini
telah menyebabkan para komentator (bahkan di Timur)
merasa sangat kagum dan menjadikan masa lalu sebagai sesuatu yang baru.
Mereka menelusuri asal-usul sebuah cerita di India,
sebuah pemikiran di Yunani dan
sebuah latihan spiritual di kalangan Shaman.
Unsur-unsur ini dengan senang hati mereka himpun di meja,
pada akhirnya untuk menyediakan amunisi dalam perjuangan
dimana para lawannya adalah di antara mereka sendiri.
Atmosfir unik dari madzhab-madzhab Sufi
ditemukan dalam Matsnawidan Fihi Ma Fihi.
Tetapi dua karya ini
oleh para eksternalis dianggap membingungkan,
kacau dan ditulis secara longgar.
Adalah benar bahwa
kedua kitab ini sebagian merupakan pembimbing
yang harus digunakan dalam hubungannya
dengan ajaran dan praktek Sufi yang sesungguhnya
-- kerja, pemikiran, kehidupan dan seni.
Namun bahkan
seorang komentator yang menerima kenyataan atmosfir ini
sebagai sengaja diciptakan dan yang mengulang penilaian Sufi dalam buku, memperlihatkan dirinya sendiri
dalam hubungan personal menjadi agak kebingungan
terhadap semua hal itu.
Selain itu harus dikatakan bahwa
ia memandang dirinya sebagai seorang Sufi,
meskipun tidak diakui oleh metode Sufi mana pun.
Di bawah pengaruh orang-orang semacam ini,
studi Barat tentang Sufisme
dan sekarang dalam periode kebangkitan yang luar biasa,
telah menjadi sedikit lebih Sufistik,
meskipun ia masih harus menempuh jalan panjang.
"Sufi intelektual" merupakan kegemaran mutakhir di Barat.
Sufisme tentu saja mempunyai terminologi teknis yang khas,
dan puisi-puisi Rumi kaya akan jenis-jenis umum dan khusus
dari istilah-istilah dasar itu.
Sebagai contoh,
ia menggambarkan dalam kitab ketiganya,
Diwan asy-Syams at-Tabriz,
beberapa konsep pikiran dan aktivitas
yang diproyeksikan dalam suatu pertemuan rahasia para darwis.
Diramu dengan puisi rapsodik (penuh semangat),
ajaran-ajaran Sufi "dalam pemikiran dan tindakan"
disampaikan melalui metode yang secara khusus dirancang proyeksinya:
Bergabunglah dengan komunitas Sufi,
jadilah seperti mereka,
maka lihatlah kebahagiaan dari kehidupan sejati.
Pergilah sepanjang jalan yang runtuh
dan lihatlah orang-orang yang merana (para pemilik rumah yang runtuh).
Minumlah anggur,
agar engkau tidak mempunyai rasa malu.
Tutuplah kedua mata lahirmu,
sehingga engkau bisa melihat dengan mata batin.
Bukalah kedua tanganmu,
jika engkau mengharap pelukan.
Hancurkan berhala bumi
untuk melihat wajah banyak berhala.
Mengapa seorang perempuan tua
begitu senang menerima sebuah mahar --
dan karena tiga potong roti,
mengapa engkau menerima kewajiban militer?
Sahabat kembali di malam hari;
malam ini jangan minum
-- tutuplah mulutmu dari makanan,
hingga engkau memperoleh makanan mulut.
Di Majelis sang Pembawa Cawan yang ramah,
berputarlah
-- masuklah ke dalam lingkaran.
Berapa lama engkau mengitarinya?
Inilah tawarannya
-- tinggalkan satu kehidupan,
raihlah keramahan Pengembala...
Hentikan pikiran kecuali bagi pencipta pikiran
-- berpikir tentang "kehidupan"
lebih baik dibandingkan berpikir tentang roti.
Di keluasan bumi Tuhan,
mengapa engkau tertidur di sebuah penjara?
Abaikan pemikiran-pemikiran rumit
-- untuk melihat jawaban jawaban yang tersembunyi.
Diamlah
untuk meraih kalam abadi.
Tinggalkan "kehidupan" dan "dunia"
untuk menyaksikan "Kehidupan Dunia".
Meskipun aktualitas Sufi tidak bisa diuji kemurniannya
oleh kriteria yang lebih terbatas dari pemikiran diskursif,
puisi ini bisa dilihat sebagai suatu perakitan faktor-faktor utama
dalam metode Rumi.
Ia mendeskripsikan arti penting komunitas
yang dicurahkan untuk memahami realitas,
dimana realitas hanyalah sebagai suatu pengganti.
Pengetahuan ini hadir melalui hubungan dengan orang lain,
dengan terlibat dalam kegiatan kelompok,
begitu pula dalam pemikiran dan kegiatan personal.
Suatu yang mendasar hanya hadir
jika pola-pola pemikiran tertentu telah direduksi
dengan perspektif yang tepat.
Sang Salik harus "membuka tangannya" untuk menerima sebuah pelukan,
bukan mengharap sebuah pemberian
sementara ia berdiri pasif menunggunya.
"Perempuan tua yang lemah" adalah semua bentuk pengalaman duniawi
sebagai pantulan dari suatu realitas terakhir
yang hampir tidak mungkin dibandingkan
dengan apa yang tampak sebagai kebenaran.
Untuk "tiga potong roti" dalam kehidupan biasa,
orang rela menjual potensialitasnya.
Sahabat datang di malam hari -- datang, yaitu
ketika segala sesuatu masih tinggal
dan ketika seseorang tidak tenggelam oleh pemikiran otomatis.
Makanan khas Sufi tidaklah sama dengan makanan biasa;
tetapi ia merupakan bagian esensial dari kemanusiaan.
Kemanusiaan berputar-putar di sekitar realitas
dalam sebuah sistem yang tidak sejati.
Ia harus memasuki lingkaran
dan bukannya sekadar mengikuti garisnya.
Hubungan kesadaran sejati
dengan apa yang kita pandang sebagai kesadaran itu
bagaikan hubungan dari seratus kehidupan
dengan satu kehidupan.
Beberapa karakteristik kehidupan sebagaimana kita ketahui
-- karakter pemangsa dan egoisme
serta banyak lagi lainnya sebagai penghalang bagi kemajuan --
harus dilenyapkan oleh faktor-faktor halus.
Pemikiran non-diskursif adalah metode.
Pemikiran harus diarahkan untuk seluruh kehidupan,
bukan terhadap aspek-aspeknya semata.
Manusia laksana seseorang yang mempunyai pilihan
untuk menjelajahi bumi,
tetapi ia tertidur di sebuah penjara.
Berbagai kepelikan intelektualisme yang keliru itu
menutupi kebenaran.
Sikap diam
merupakan awal pembicaraan sejati.
Kehidupan batin di dunia
dicapai dengan cara
mengabaikan pemilahan "kehidupan" dan "dunia".
Ketika Rumi meninggal dunia pada tahun 1273,
ia meninggalkan putranya, Bahauddin,
untuk melanjutkan kepemimpinan Tarekat Mevlevi.
Pada masa hidupnya ia dikelilingi oleh orang-orang dari setiap agama,
dan pada waktu pemakamannya
dihadiri oleh orang-orang dari segala jenis (kepercayaan).
Seorang Kristen ditanya,
mengapa ia menangis begitu pilu atas kematian seorang guru Muslim.
Jawabannya memperlihatkan pandangan Sufi
tentang pengulangan ajaran dan penyampaian aktivitas spiritual:
"Kami menghargainya seperti Musa, Dawud, Yesus zaman ini.
Kami semua adalah para pengikut dan muridnya."
Kehidupan Rumi
memperlihatkan campuran dari ajaran warisan dan pencerahan pribadi
yang menjadi pusat Sufisme.
Keluarganya berasal dari keturunan Abu Bakar,
sahabat Nabi saw., dan ayahnya masih ada hubungan dengan keluarga
dengan Raja Khawarizmi Syah.
Jalaluddin dilahirkan di Balkh,
sebuah pusat ajaran kuno pada tahun 1207
dan dalam legenda Sufi dinyatakan bahwa,
telah diramalkan oleh para mistikus Sufi,
ia akan meraih masa depan gemilang.
Raja Balkh di bawah pengaruh orang-orang skolastik,
berbalik menentang para Sufi,
terutama menentang kerabat ayah Rumi.
Seorang guru Sufi ditenggelamkan di Sungai Oxus atas perintah Syah.
Hukuman ini membayangi invasi orang-orang Mongol
dimana Najmuddin al-Kubra,
seorang pemimpin Sufi terbunuh di medan tempur.
Najmuddin inilah pendiri Tarekat Kubrawiyah
yang berkaitan erat dengan perkembangan Rumi.
Penghancuran Asia Tengah oleh tentara-tentara Jengis Khan
telah menyebabkan tercerai-berainya para Sufi Turkistan.
Ayah Rumi mengungsi bersama putranya ke Nisyapur
di mana mereka bertemu dengan guru besar lainnya
dari aliran Sufi yang sama, sang penyair Aththar,
yang secara "spiritual"menganugerahi putranya
dengan barakah Sufi.
Ia menghadiahi Rumi sebuah salinan kitabnya,
Asrar-Namah (Book of Secrets).
Kitab ini ditulis dalam bentuk puisi.
Tradisi Sufi mengatakan bahwa
karena potensi spiritual Jalaluddin muda
telah dikenali oleh para guru di zamannya,
maka perhatian mereka untuk melindungi dan mendidiknya
menjadi motif bagi perjalanan kelompok pengungsi itu.
Mereka meninggalkan Nisyapur
dengan kata-kata kewalian Aththar
yang terngiang dalam telinga mereka,
"Anak ini akan memercikkan api kemuliaan dan keagungan suci
bagi dunia.
" Kota itu tidak aman.
Seperti Najmuddin,
Aththar menunggu gilirannya menuju ke-syahid-an
yang diterimanya dari tangan orang-orang Mongol
tidak lama setelah itu.
Kelompok Sufi dengan pemimpin mudanya itu
sampai ke Baghdad di mana mereka mendengar penghancuran Balkh
dan pembantaian penduduknya.
Selama beberapa tahun mereka mengembara,
menunaikan ibadah Haji ke Mekkah,
kembali menuju utara ke Syria dan Asia Kecil,
mengunjungi pusat-pusat Sufi.
Asia Tengah terpecah-belah karena serangan orang-orang Mongol
yang tiada henti-hentinya,
dan setelah tegak kurang dari enam abad,
peradaban Islam tampaknya menjelang keruntuhannya.
Pada akhirnya
ayah Rumi mendirikan pusat kegiatannya tak jauh dari Konia,
yang terkait dengan nama St. Paul.
Pada saat itu,
kota itu berada di tangan penguasa Seljuk dan
Raja Seljuk mengundang Jalaluddin untuk tinggal di sana.
Ia menerima sebuah jabatan profesional
dan melanjutkan mengajar putranya tentang rahasia-rahasia Sufi.
Jalaluddin juga berhubungan dengan Guru Terbesar (asy-Syekh al Akbar),
penyair dan seorang guru dari Spanyol, yaitu Ibnu Arabi
yang pada waktu itu berada di Baghdad.
Hubungan itu terjadi melalui Burhanuddin,
salah seorang guru Rumi yang melakukan perjalanan ke kawasan Seljuk
untuk menemui ayah Rumi yang baru saja meninggal.
Karena menggantikannya sebagai pembimbing Rumi,
ia membawanya ke Aleppo dan Damaskus.
Ketika usianya mencapai empat puluh tahun,
Rumi memulai pengajaran mistiknya secara semi-publik.
Seorang darwis misterius,
"Syamsuddin at-Tabrizi" mengilhaminya
untuk menghasilkan sejumlah besar puisinya yang terbaik
dan untuk meramu ajaran-ajarannya dengan cara dan bentuk
yang dirancang untuk mempertahankan keseluruhan Tarekat Mevlevi.
Karyanya telah diselesaikan dan
darwis misterius itu lenyap setelah masa sekitar tiga tahun
dan tidak ada lagi jejak tentang dirinya yang bisa dilaporkan.
"Utusan dari dunia tak dikenal" ini
oleh putra Rumi disepadankan dengan Khidr yang misterius,
pembimbing dan pelindung para Sufi yang muncul
kemudian berlalu dari kognisi normal setelah menyampaikan pesannya.
Selama masa inilah Rumi menjadi seorang penyair.
Baginya,
meskipun ia diakui sebagai salah satu penyair terbesar Persia,
puisi hanya suatu produk sekunder.
Ia memandangnya
tidak lebih dari suatu refleksi realitas batin yang besar
dan merupakan kebenaran serta disebutnya
sebagai refleksi dari Cinta.
Cinta terbesar, tuturnya,
adalah keheningan
dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Meskipun puisinya mempengaruhi pikiran manusia sedemikian kuat,
sehingga hanya bisa disebut sebagai kekuatan magis,
ia tidak pernah terbawa olehnya
sampai pada tingkatan mengidentifikasikan puisi itu
dengan wujud yang jauh lebih besar,
dimana puisi hanyalah ekspresi yang lebih kecil.
Pada saat yang sama,
ia mengakuinya sebagai sesuatu yang bisa membangun jembatan
antara apa "yang benar-benar ia rasakan"
dengan apa yang bisa ia lakukan untuk orang lain.
Dengan memakai metode Sufistik
untuk mendapatkan perspektif tentang sesuatu,
bahkan dengan resiko
menghancurkan gagasan-gagasan yang paling mendasar,
ia sendiri mengambil peranan kritik sastra.
Orang-orang datang kepadanya dan ia mencintai mereka.
Dalam rangka memberikan sesuatu kepada mereka
agar bisa memahami, ia memberikan puisi kepada mereka.
Tetapi puisi itu untuk mereka,
bukan untuk dirinya,
betapapun ia sebagai penyair besar --
"Di atas segalanya,
apakah peduliku dengan puisi?"
Untuk menekankan pesan itu,
dimana hanya seorang penyair dengan reputasi kontemporer terbesar
yang berani melakukannya,
ia menyatakan secara kategoris bahwa
jika dibandingkan dengan realitas sejati,
maka dirinya tidak punya waktu untuk menulis puisi.
"Ini hanyalah nutrisi," katanya,
"yang bisa diterima pengunjungnya,"
maka seperti tuan rumah yang baik,
ia menyuguhkannya.
Seorang Sufi
tidak akan pernah membiarkan sesuatu
berdiri sebagai penghalang
antara apa yang ia ajarkan dengan mereka yang sedang mempelajarinya.
Di sinilah penekanan Rumi terhadap peranan subsider puisi
dalam hubungannya dengan pencarian sejati.
Sebenarnya apa yang ingin disampaikannya
berada di luar jangkauan puisi.
Bagi orang
yang pikirannya telah terkondisikan oleh kepercayaan bahwa
tidak ada sesuatu pun yang lebih sublim dari ungkapan puitis,
maka perasaan semacam ini
mungkin bisa mengakibatkan keterkejutan hebat.
Hanya aplikasi dampak inilah yang perlu
bagi tujuan Sufi dalam membebaskan pikiran
dari ikatan fenomena sekunder, "berhala-berhala".
Sebagai pewaris ayahandanya,
Rumi sekarang memproyeksikan ajaran-ajaran mistisnya
melalui kesenian.
Musik, tarian dan puisi
digunakan dalam berbagai pertemuan darwis.
Pengubahan melalui berbagai latihan mental dan fisik ini
dirancang untuk membuka pikiran
menuju pengakuan potensialitasnya yang lebih besar,
melalui tema harmoni.
Pengembangan harmonis melalui sarana harmonis
mungkin merupakan paparan dari apa yang dipraktekkan Rumi.
Mempelajari ajaran-ajaran Rumi semacam ini dari luar,
telah membingungkan banyak pengamat asing.
Salah satu di antara mereka
merujuk pada "pandangannya yang tidak Timur bahwa
perempuan bukan sekadar barang mainan,
tetapi suatu pancaran Ilahi."
Salah satu puisi Rumi
yang diterbitkan dalam Diwan asy-Syams at-Tabriz,
telah menyebabkan sejumlah kebingungan bagi kalangan literalis.
Karya ini merupakan kajian Rumi
terhadap semua bentuk agama yang berlaku,
baik agama lama maupun baru.
Kesimpulannya bahwa
kebenaran esensial terletak pada kesadaran batin manusia itu sendiri,
bukan pada organisasi-organisasi eksternal.
Hal ini benar
jika kita menyadari bahwa menurut kepercayaan Sufi,
"pengujian" kepercayaan dilakukan dengan cara khusus.
Seorang Sufi tidak perlu berkelana
dari satu negeri ke negeri lainnya,
mencari agama-agama untuk dipelajari
dan mengambil apa yang bisa dibawa dari agama-agama itu.
Ia juga tidak harus membaca kitab-kitab teologi dan tafsir
untuk membandingkan satu ajaran dengan ajaran lainnya.
"Perjalanannya" dan "pengujiannya" terhadap gagasan-gagasan lain
terjadi dalam dirinya.
Hal ini karena Sufi percaya bahwa
seperti setiap orang mengalami sesuatu yang lain,
ia memiliki pandangan batin
yang mampu mengukur realitas dari system-sistem keagamaan yang ada.
Tegasnya,
akan sangat berat dan tidak berguna
untuk mendekati suatu persoalan metafisis
dengan menggunakan metode penelitian biasa.
Seseorang yang bertanya,
"Apakah Anda telah membaca buku tentang ini dan itu, karangan si Anu dan si Fulan?" niscaya akan menggunakan pendekatan keliru.
Bukanlah buku atau pengarangnya,
tetapi realitas buku dan penulis yang ingin disampaikan itulah
yang penting bagi Sufi.
Untuk memperoleh pemahaman tentang seseorang atau ajarannya,
seorang Sufi hanya membutuhkan sebuah contoh.
Tetapi contoh ini harus akurat.
Dengan kata lain,
ia harus ditempatkan dalam hubungan erat
dengan faktor esensial dalam pengajaran yang terkait.
Sebagai contoh,
seorang murid
yang tidak memahami secara menyeluruh sistem yang diikutinya,
tidak bisa menyampaikan secara memadai sistem itu kepada Sufi
guna memungkinkannya membuat pengenalan yang diperlukan.
Berikut ini adalah
puisi dimana Rumi berbicara tentang
pencapaian hubungan erat
dengan berbagai agama
dan reaksinya terhadap agama-agama itu:
Salib orang-orang Kristiani,
dari ujung ke ujung
telah aku kaji.
Dia tidak ada di salib itu.
Aku telah pergi ke kuil Hindu,
ke pagoda tua.
Di tempat-tempat itu
tidak ada tanda-tandanya.
Aku pergi ke dataran tinggi Herat dan Kandahar.
Aku melihat.
Dia tidak ada
di dataran tinggi maupun rendah.
Dengan hati yang mantap,
aku pergi ke puncak gunung Kaf.
Di sana hanya ada sarang burung 'Anqa.
Aku pergi ke Ka'bah.
Dia tidak ada di sana.
Aku bertanya kepada Ibnu Sina tentangnya:
Dia di luar jangkauan filosuf ini ...
Aku melihat ke dalam kalbuku sendiri.
Di situlah tempatnya,
Aku melihatnya.
Dia tidak di tempat lain ...
Kata ganti "dia" di sini
maksudnya adalah realitas sejati.
Sufi adalah abadi.
Penggunaan kata-kata
seperti "kemabukan" atau "anggur" maupun "hati" adalah penting,
namun paling jauh hanya untuk mendekati realitas sejati itu
dengan menggunakan suatu parodi.
Sebagaimana Rumi menyatakannya:
Sebelum kebun,
tanaman dan buah anggur tercipta di dunia ini,
Jiwa kami telah mabuk dengan anggur abadi.
Sufi mungkin terpaksa mempergunakan perumpamaan
dari dunia yang dikenal pada jenjang awal penyampaian,
tetapi Rumi mengikuti standar rumusan Sufi dengan sangat ketat.
Tongkat penyangga harus dibuang
jika si pasien sudah mampu berjalan sendiri.
Nilai dari cara ekspresi Rumi bagi murid adalah fakta bahwa
ia menjadikan hal ini jauh lebih jelas dari semua bahan yang tersedia
di luar sekolah-sekolah Sufi.
Jika Tarekat eksternal tertentu
telah terbiasa mengondisikan para pengikutnya secara literal
dengan menggunakan perangsang secara berulang-ulang,
menandai waktu pada jenjang perkembangan tertentu,
mempertahankan kebutuhan murid kepada "tongkat penyangga",
tentu saja ini bukan kesalahan Rumi.
Catatan kaki:
1 Lihat anotasi "Simurgh". Simurgh (tiga puluh burung) adalah
lambang rahasia yang bermakna perkembangan jiwa melalui "Cina".
Cina terletak di antara Persia dan Arab.
Tujuan lambang ini adalah mengungkapkan konsep meditasi
dan metodologi Sufi.
Aththar yang Agung menerapkan ajaran ini dalam sebuah kisah alegoris:
"Pada suatu hari,
dari kegelapan,
Simurgh menampakkan diri di Cina.
Salah satu bulunya jatuh ke bumi:
sebuah lukisan yang pernah dibuat
dan sekarang masih ada di galeri seni Cina.
Karena itulah kemudian dikatakan bahwa,
'Carilah ilmu pengetahuan walau sampai ke Cina.'
Seandainya Simurgh ini tidak ada di Cina,
maka tidak akan ada klaim tentang dunia rahasia.
Jadi,
indikasi ringkas tentang realitasnya adalah
salah suatu bukti keagungannya.
Setiap jiwa membawa gambar umum dari bulu itu.
Sementara materi deskripsinya tidak pernah dimulai atau berakhir.
Kini Para Pengikut Tarekat memilih jalan ini
dan mulailah perjalananmu."
Berikut ini satu cara menjelaskan:
'Ada potensialitas dalam jiwa manusia.
Dalam satu kesempatan, ia bisa aktif,
melalui bentuk konsentrasi mendalam dan upaya tertentu.
Tanpa upaya ini,
tidak ada potensialitas untuk perkembangan.
Setiap orang mempunyai kemampuan itu
dalam suatu bentuk embrionik.
Ia adalah sesuatu yang berhubungan dengan keabadian.
Ke mari dan tempuhlah Jalan itu!"
2 Nama samarannya,
Rumi, dipilih karena jumlah keseluruhan huruf ini adalah 256,
yang kemudian diubah kembali ke dalam tiga huruf NUR.
Nur adalah kata Arab dan Persia untuk "cahaya".
Sumber:
Mahkota Sufi –Menembus Dunia Ekstra Dimensi (Idries Shah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar