Selasa, 01 Maret 2016

Gelora Rindu Sang Sufi

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy

“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, 
 maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. 
 Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ankabut: 5)

Atha’ bin as-Sa’ib menuturkan bahwa ayahnya menceritakan kepadanya, 
“Suatu ketika Ammar bin Yasir mengimami kami shalat 
dan dia mempercepatnya.
 Aku berkata, 
Anda tergesa-gesa dalam mengimami shalat, wahai Abul Yaqzan.
’ Dia menjawab, 
‘Hal itu tidak ada salahnya, 
karena aku memanjatkan kepada Allah sebuah doa 
yang pernah kudengar dari Rasulullah Saw’, 
Ketika hendak beranjak, 
salah seorang jamaah mengikutinya 
dan bertanya kepadanya tentang doa yang dibacanya itu.

Dia pun mengulanginya, 
‘Ya Allah, 
dengan ilmu-Mu yang ghaib 
dan dengan kekuasaan-Mu atas semua makhluk, 
hidupkanlah aku jika Engkau tahu bahwa 
hidup itu membawa kebaikan untukku, dan 
matikanlah aku jika Engkau tahu bahwa 
mati itu membawa kebaikan untukku. 

Ya Allah 
aku meminta kepada-Mu 
agar aku takut kepada-Mu dalam semua perkara, 
baik yang nyata maupun yang ghaib. 

Aku memohon kepada-Mu 
ungkapan yang benar ketika aku senang maupun ketika aku marah. 

Aku mohon kepada-Mu kesederhanaan 
dalam kekayaan maupun kemiskinan. 

Aku mohon kepada-Mu kesenangan yang abadi, 
dan kesejukan jiwa yang tak terputus. 

Aku mohon kepada-Mu keridhaan 
dengan apa yang telah ditentukan. 
Dan aku mohon kepada-Mu 
kehidupan yang sejuk sesudah mati. 

Aku memohon 
agar bisa melihat Wajah-Mu yang Mulia, 
dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu 
tanpa bahaya yang mengancam, 
atau menjadi korban fitnah yang menyesatkan.

Ya Allah, 
hiasilah kami dengan keindahan iman. 

Ya Alah, 
jadikanlah kami sebagai pemberi petunjuk 
maupun penerima petunjuk’.”

Rindu adalah keadaan gairah hati 
yang berharap untuk berjumpa dengan Sang Kekasih. 
Kadar rindu tergantung besar volume cinta. 

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq 
membedakan antara rindu dan hasrat yang bergolak, 
katanya, 
“Rindu 
ditentramkan oleh perjumpaan dan memandang. 
Sedangkan hasrat yang bergolak 
tidak sirna karena pertemuan.”

Mengenai konteks ini para Sufi bersyair:

Mata tak pernah berpaling ketika memandang-Nya,
Sehingga-kembali kepada-Nya, penuh gelora.

An-Nashr Abadzy menyatakan, 
“Semua orang mempunyai tahap kerinduan. 
Namun tidak semuanya mengalami tahap gelora, 
dan siapa yang memasuki gelora itu, 
justru akan linglung, 
sehingga ia tidak dipandang lagi 
pengaruh atau kesan dan keteguhan.”

Diceritakan bahwa Ahmad bin Hamid al-Aswad 
datang kepada Abdullah ibnul Mubarak dan berkata kepadanya, 
“Aku bermimpi engkau akan meninggal setahun lagi. 
Barangkali engkau harus bersiap-siap untuk keluar dari dunia.” 

Abdullah ibnul Mubarak menjawab, 
“Engkau memberiku waktu yang lama,
 aku hidup sampai setahun penuh! 
Padahal aku selalu menyukai syair 
yang kudengar dari Abu Ali ats-Tsaqafy:

Wahai yang tercekam rindu karena perpisahan panjang
Bersabarlah, 
siapa tahu esok engkau bertemu Sang Kekasih.

Abu Utsman menuturkan, 
“Tanda rindu adalah mencintai kematian dengan hati yang ringan.”

Yahya bin Mu’adz menyatakan, 
“Tanda rindu adalah membebaskan tubuh dari hawa nafsu.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, 
“Pada suatu hari Daud as. 
pergi sendirian ke padang pasir, 
kemudian Allah Swt. menurunkan wahyu kepadanya, 
‘Wahai Daud, 
Aku tidak memandangmu 
sebagai orang yang sendirian!’ 

Daud menjawab, 
‘Tuhanku, 
aku terpengaruh oleh kerinduan dalam hatiku 
untuk bertemu dengan-Mu,
 lantas terhalang antara diriku 
untuk bergaul dengan sesama manusia.’

Maka Allah Swt berfirman: 
“Kembalilah kepada mereka. 
Sebab bila engkau mendatangi-Ku 
bersama seorang hamba yang lari dari tuannya, 
Aku tetapkan dirimu di Lauh Mahfudz 
sebagai seorang arif yang bijak’.”

Diceritakan, 
ada seorang wanita tua 
yang didatangi oleh pemuda yang termasuk kerabatnya. 
Keluarga lainnya merasa gembira, 
namun wanita itu justru menangis tersedu. 
Ia ditanya, ‘Apa yang engkau tangisi?” 
Wanita itu menjawab, 
“Aku teringat kedatangan pemuda itu, 
jika kelak di hari kedatangan kita kepada Allah Swt.”

Ketika Ahmad bin Atha’ ditanya tentang rindu, 
dia menjawab, 
“Jiwa yang terbakar, 
qalbu yang berkobar, 
dan jantung yang berkeping-keping.”

Pada kesempatan lain dia ditanya, 
“Manakah yang lebih utama,
 rindu ataukah cinta?” 

Ibnu Atha’ menjawab,
 “Cinta, 
 karena rindu terlahir dari cinta.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar