Dia penyair sufi terbesar Persia.
Dia salah seorang penyair terkemuka
dunia.
Dikenal dan berpengaruh di Barat dan Timur hingga kini,
namanya
terpahat kuat di hati dunia yang mencintai dunia tasawuf, spiritualitas,
ketuhanan, cinta, dan puisi. Dia menarik perhatian dunia terutama
karena wawasan tasawufnya yang begitu dalam, universal, dan tetap
relevan, sebagaimana tercermin dalam perjalanan hidup dan
karya-karyanya. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
Barat dan Timur, termasuk Indonesia. Dia mengilhami kebudayaan dunia.
Dia duta cinta sepanjang masa.
Jalaluddin Rumi adalah sosok pencari jalan spiritual yang tak pernah
berhenti. Nama Rumi dinisbahkan kepada sufi agung ini karena dia
menghabiskan sebagian besar hidupnya di Anatolia, Turki, yang ketika itu
merupakan pusat pemerintahan Romawi Timur. Di sinilah dia mengukuhkan
dirinya sebagai guru spiritual yang sangat berpengaruh. Dia dipanggil
Maulana Jalaluddin Rumi, Yang Mulia atau Tuan Guru Jalaluddin Rumi. Di
sini pula dia meletakkan dasar-dasar baru jalan spiritual, yaitu
melalui tari dan musik, yang kemudian dikenal dengan jalan Maulawiyah
–jalan sang Maulana Rumi.
Lahir di Balkh, Khurasan, Afghanistan sekarang, 30 September 1207 (6
Rabi’ul Awwal 604 H), Jalaluddin Rumi tumbuh dari keluarga terpandang.
Ayahnya, Muhammad ibnu Hussain al-Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah
seorang ulama terkemuka di Balkh, sedangkan ibunya, Mu’min Khatun,
berasal dari keluarga Dinasti Khawarizmi, dinasti yang berkuasa dengan
ibukota Bukhara saat itu. Adapun Balkh, adalah salah satu kota penting,
pusat intelektual dan kebudayaan Persia pada Dinasti Khawarizmi.
Keluarga Rumi adalah pengembara. Ketika Rumi baru 7 tahun, keluarganya
hijrah ke Khurasan, dan tak lama kemudian hijrah ke Nisyapur. Ketika
Rumi 12 tahun, mereka hijrah ke Baghdad. Setelah beberapa lama tinggal
di kota Seribu Satu Malam itu, mereka hijrah lagi ke Makkah, kemudian
Damaskus, sebelum akhirnya menetap di Konya, Turki sekarang, yang
ketika itu merupakan ibukota Kesultanan Saljuk.
Menjelang keluarga Rumi hijrah ke Baghdad, Balkh dan kota-kota Persia
lainnya bukanlah kota yang tenang. Di seberang Dinasti Khawarizmi,
Dinasti Mongol sedang giat-giatnya melancarkan serangan ke mana-mana
secara membabibuta guna meluaskan wilayah kekuasaanya. Setelah
sebelumnya menaklukkan Cina, kini Dinasti Mongol yang begitu perkasa
mengincar Dinasti Khawarizmi. Tersiar luas kabar bahwa Persia akan
segera dicaplok dengan cara bengis sebagaimana dilakukan pasukan Mongol
terhadap Cina dan daerah-daerah lain. Dan benar. Tak lama kemudian
pasukan Mongol menyerang dan membumihanguskan Balkh. Juga kota-kota
Persia terkenal lainnya, seperti Bukhara dan Samarkand.
Tetapi Rumi dilahirkan memang tidak untuk merebut kembali kota
kelahirannya dan membangunnya kembali dari kehancuran. Dia meninggalkan
kota kelahirannya dengan membawa biru apinya yang terus menyala-nyala
dalam hatinya. Biru api khazanah kebudayaan Persia yang kelak akan
menyalakan dunia batinnya ketika disulut api Cinta Ilahi, hingga
demikian bercahaya di tempat lain, Konya, tempat yang jauh dari Balkh,
Samarkand, Bukhara, bahkan dari Persia itu sendiri. Dalam sebuah
puisinya, Rumi berdendang dengan haru-biru:
Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja!
Gelorakan jiwa kita, Kekasih –sebentar saja!
Dari Konya pancarkan cahaya Cinta
Ke Samarkand dan Bukhara –sebentar saja!
Puisi ini pastilah merefleksikan kecintaan sekaligus kerinduan Rumi akan
kampung halamannya, yang telah lama ditinggalkan. Ia tahu kampung
halamannya sudah luluh-lantak dan jadi bumi-hangus di tangan-bengis
gerombolan orang-orang Mongol. Dan sejarah tak mungkin lagi ditarik
mundur. Maka dia memanggil orang-orang berkumpul di rumahnya, baik dalam
pengertian harfiah maupun metaforis, dan dari sana bersama-sama
memancarkan cahaya cinta ke kampung halaman yang telah luluh-lantak itu,
sebentar saja. Tapi dalam konteks puisi-puisi Rumi, yang dia ajak
untuk bersama-sama memancarkan cinta ke Samarkand dan Bukhara adalah
Tuhan. Dengan demikian, puisi tersebut merupakan ungkapan cinta dan
rindu yang sangat dalam terhadap kampung halamannya nun jauh di masa
silam yang hancur.
Sebagai pengembara, Rumi mereguk berbagai disiplin ilmu dari beberapa
guru terkemuka di kota-kota tempatnya pernah tinggal. Tinggal beberapa
lama di kawan Arab, terutama Makkah dan Damaskus, dia belajar sastra
Arab hingga mahir menulis puisi dalam bahasa itu. Sudah tentu dia juga
belajar ilmu-ilmu Islam. Apalagi ayahnya sendiri, Bahauddin Walad,
adalah juga seorang ulama terpandang. Tak pelak lagi, ketika tiba di
Konya, Sultan Konya yang cinta ilmu dan seni menyambut kedatangan
keluarga Rumi dengan baik. Bahauddin Walad dipercaya sebagai ahli fiqih,
mubalig, dan mengajar di madrasah kesultanan, hingga dia wafat di
tahun 1230.
Jalaluddin Rumi segera menggantikan posisi ayahnya. Ketika itu, dia
telah menikah dan dikaruniai 2 anak. Anak pertamanya diberi nama Sultan
Walad, yang kelak juga menjadi seorang sufi dan memperkenalkan beberapa
segi kehidupan Jalaluddin Rumi yang unik. Anak keduanya bernama
Alauddin, yang merupakan nama saudara laki-laki Jalaluddin Rumi yang
meninggal di Konya. Hingga saat itu, tampaknya Rumi tidak begitu
berminat pada segi-segi sufistik dari kehidupan dan pemikiran ayahnya.
Setahun setelah Bahauddin Walad wafat, Burhanuddin Muhaqqiq
Al-Tirmidzi tiba di Konya. Burhanuddin adalah murid Bahauddin Walad di
Balkh. Tahu gurunya sudah meninggal, kepada Jalaluddin Rumi yang adalah
anak sang guru, Burhanuddin mengajarkan ajaran-ajaran sufistik sang
guru dan beberapa sufi lain. Burhanuddin juga membimbing Rumi melakukan
latihan-latihan spiritual sebagaimana dipraktekkan oleh para sufi
–mereka yang mengabdikan diri bagi kehendak untuk menyatu dengan Tuhan.
Sekitar 10 tahun di bawah bimbingan Burhanuddin, minat Rumi pada
tasawuf dan cinta Ilahi sedemikian bergairah. Dia mencurahkan seluruh
hidupnya untuk mengalami setiap maqam (tingkatan spiritual) kehidupan
tasawuf. Maka, setelah Burhanuddin wafat di tahun 1240, Jalaluddin Rumi
memangku jabatan sebagai guru spiritual (syaikh) persaudaraan sufi.
Mulailah dia membangun persaudaraan spiritual dimana para pengikutnya
terus bertambah dan lingkup pengaruh penyair sufi ini semakin luas.
Persaudaraan sufi inilah yang kemudian dikenal dengan Tarekat
Maulawiyah.
Pesona Rumi memancar pula dari ritual meditasi persaudaraan kerohanian
ini. Musik dan tarian berputar merupakan ritual mereka yang sangat
khas, dan tetap hidup hingga sekarang di beberapa daerah di Timur
Tengah, negara-negara Balkan, bahkan Eropa. Di samping itu, bentuk
ritual Maulawiyah telah pula mengilhami beberapa aktivitas seni-budaya
di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hingga hari ini.
Sudah 800 tahun kini (2007) riwayat Jalaluddin Rumi membentang dari
Persia, Arabia, Turki, hingga Eropa dan benua-benua lain. Para
pengikutnya mengamalkan ajaran-ajarannya; para sarjana meneliti
pandangan dan karya-karyanya; para seniman menimba inspirasi dari
kedalaman rohani dan keluasan wawasannya; dan dunia modern memetik
hikmah dari kearifannya.
Rumi wafat di Konya pada 16 Desember 1273 (5 Jumatil Akhir 672 H).
Kepergiannya ditangisi oleh banyak pengikut dan pengagumnya yang
berlatar belakang agama berbeda-beda. Bukan saja karena dia sufi besar
dan, seperti dikatakan A.J. Arberry, “puncak gunung yang paling tinggi
dalam bentangan luas perpuisian sufi”, melainkan juga karena “dia
benar-benar mampu membuktikan diri sebagai sumber inspirasi dan
kebahagiaan yang tidak terlampaui oleh banyak penyair lainnya dalam
kesusastraan dunia.”
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw, Jalaluddin Rumi adalah pecinta kucing.
Dia pun memelihara seekor kucing yang cantik. Ketika Rumi wafat, kucing
kesayangannya mengeong sedih menatap sang tuan tergolek di ranjang
kematian. Tapi bagi Rumi, suara meongnya pastilah bukan tangis
kehilangan karena kepergian tuannya. Tangis kucing itu adalah raung
pedih kerinduan seekor kucing akan dunia asalnya.
Kucing itu tidak mau makan sejak sang tuan mangkat, seakan tidak rela
tak diajak sang tuan pergi ke dunia asal. Dan ia pun turut mati
seminggu kemudian. Malika Khatun, anak-perempuan Rumi dari Kira Khatun,
istri kedua yang dinikahi Rumi setelah istri pertamanya meninggal,
menguburkannya di sisi kuburan sang ayah, sebagai lambang kedekatan sang
penyair dengan binatang dan semua makhluk, sebab dia adalah sahabat
Sang Pencipta.
Gerbang Taman Rohani
Puisi-puisi Jalaluddin Rumi tidak lahir dari proses intuisi
kepenyairan biasa. Bagaimanapun, pertama-tama dia adalah seorang sufi,
seorang yang diharu-biru oleh kehendak untuk bersatu dengan Tuhan. Maka
dorongan menulis puisi bukan pertama-tama karena bakat kepenyairannya,
melainkan karena dorongan dahsyat pengalaman rohaninya yang meluap-luap
dan tak terbendung untuk menyatakan diri. Rumi adalah gunung berapi,
dimana magma spiritualnya sedemikian aktif dan bergolak terus-menerus
hingga memuntahkan lahar puisi yang bisa menyuburkan tanah-tanah
spiritual yang disentuhnya.
Pengalaman rohani pastilah merupakan sesuatu yang tak terbatas, tak
terumuskan, tak terlukiskan. Kini ia harus mengekspresikan diri lewat
bahasa puisi, medium yang amat terbatas itu. Dalam konteks ini
Jalaluddin Rumi adalah sebuah paradoks: ketakberhinggaan pengalaman
rohaninya dilukiskan dalam keberhinggaan bahasa puisinya. Namun
puisi-puisinya yang berhingga justru memperlihatkan ketakberhinggaan
pengalaman rohaninya.
Inilah yang terjadi: puisi Rumi adalah puisi ekstatis saat sang sufi
berada di dunia spiritual yang sedemikian mengharu-biru, yang sekali
keluar dari mulut sang sufi akan mengalir deras seakan tak bisa
dihentikan. Puisi-puisi itu dirangsang oleh musik dan tarian-berputar
yang menghanyutkan batin sang sufi, dan menariknya ke pusat Cinta Ilahi
yang menyediakan seluruh tenaga dan keindahan rohaninya. Puisi-puisi
itu direkam murid-muridnya dengan baik.
Musik, tarian-berputar, dan puisi. Itulah medium melalui mana Rumi merangsang dan mengekspresikan pengalaman rohaninya.
Sebenarnya, bagi Rumi sendiri, puisi dan penyair sedikit-banyak
merupakan sesuatu yang ganjil. Sebab, Al-Quran dalam beberapa ayatnya
secara eksplisit memperlihatkan ketidaksukaannya pada profesi penyair
dan puisi. Tapi Rumi pasti tahu, ketidaksukaan Al-Quran kepada puisi dan
penyair berakar pada fakta bahwa dalam masyarakat Arab pra-Islam puisi
selalu dihubungkan dengan ilmu sihir dan perbuatan amoral yang tidak
dikehendaki oleh Islam, seperti minum minuman memabukkan dan percintaan
birahi yang bebas. Maka itu, Rumi tahu bagaimana bisa menyelamatkan
diri dari kecaman Al-Quran terhadap puisi-puisinya yang melimpah dan
dirinya sendiri sebagai penyair sufi.
Apa yang mengaktifkan magma spiritual Rumi hingga sedemikian
menggelegak, hingga pula dari sana lahir sekitar 40.000 puisi liris dan
lebih dari 20.000 puisi didaktis?
Pertemuan Rumi dengan pada sufi, baik langsung maupun tidak, pastilah
memberikan pengaruh besar pada kehidupan rohaninya. Terutama ayahnya
sendiri, Bahauddin Walad, dan Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi, murid
ayahnya yang kemudian menjadi pembimbing intelektual dan spiritualnya
selama sekitar 10 tahun. Mereka menyiapkan sekaligus memuluskan jalan
bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya.
Momen yang paling menentukan bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya
adalah ketika di tahun 1244 seorang sufi pengembara tiba di Konya.
Namanya Syamsuddin at-Tabrizi, yang berarti Matahari Agama dari Tabriz.
Dalam diri sufi inilah Rumi menemukan bayangan sempurna Kekasih Tuhan
yang telah lama dicarinya. Bagi Rumi, dia adalah matahari yang membakar
jiwanya, menyalakan hatinya, menariknya ke dalam pusat kesempurnaan
Cinta Ilahi, dan mengubah hidupnya. Dia adalah pribadi penuh pesona
rohani, kepada siapa Rumi mengidentifikasikan diri berulangkali.
Mereka tinggal bersama selama satu atau dua tahun, bersama-sama
mengarungi samudera rohani dan melaju kencang di lautan Cinta Ilahi.
Rumi berdendang: … jiwaku menaiki kereta Syamsi Tabriz yang lari
kencang bagaikan perahu melaju di lautan yang tenang. Sejak itu, Rumi
tak bisa dipisahkan dari mataharinya. Dia tenggelam dalam pesona
rohaninya yang begitu bercahaya: … Tabriz! Jika Syamsuddin muncul dari zodiakmu, mendung pun akan menyerupai bulan, dan bulan akan lebih bersinar-sinar.
Sedemikian terpesona Rumi pada mataharinya, hingga dia menghentikan
kegiatan mengajar dan diskusi bersama murid-muridnya. Dia benar-benar
menaiki kereta Syamsi Tabris —sebagaimana dikatakannya sendiri— nyaris
secara harfiah.
Tentu saja murid-muridnya kehilangan kesempatan belajar dan berdialog
dengan Rumi, sebagaimana berlangsung selama beberapa tahun sebelum
kedatangan tamu asing tak diundang itu. Mereka pun cemburu, dan beredar
suara-suara miring tentang sang sufi. Tahu bahwa mereka cemburu,
mungkin juga tidak tahan mendengar suara-suara miring tentang dirinya,
pada tahun 1247 Syamsi Tabris menghilang dari Konya, Turki sekarang,
kota dimana Rumi tinggal.
Ketika kemudian terdengar kabar Syamsi berada di Damaskus, Rumi segera
mengutus anaknya, Sultan Walad, menjemput sufi itu dan membawanya
kembali ke Konya. Tak terlukis kebahagiaan Rumi ketika dia lihat Syamsi
benar-benar kembali. Dia tak ingin lagi berpisah dengan mataharinya.
Maka Rumi mengawinkan gurunya itu dengan seorang gadis yang dibesarkan
dalam keluarganya. Tapi api kecemburuan keluarga dan murid-murid Rumi
belum padam benar. Desas-desus negatif tentang Syamsi kini terdengar
lebih santer lagi. Dan, kali ini dia benar-benar hilang. Tak pernah
kembali lagi.
Rumi menangis. Bagi dia, apalah arti hidup tanpa sang matahari. Siapa
lagikah yang mampu menyalakan rohani dan membakar Cintanya? Diwan-i Syams-i Tabriz
(Lirik-lirik Syamsi Tabriz) adalah puisi Rumi yang merupakan
persembahan rohani bagi sahabat sekaligus guru spiritualnya yang telah
pergi tanpa jejak itu. Nada kesedihan dalam puisi-puisi Rumi
berjalin-berkelindan dengan nada riang. Sebab, sebagaimana kehilangan
mengandaikan sebuah pertemuan, kesementaraan mengandaikan keabadian.
Begitulah maka perasaan berpisah dengan sang matahari secara rohani tak
lain merupakan pertemuan-tak-terpisahkan; kebersamaan yang singkat
adalah kebersamaan abadi.
Apalagi, Rumi sebenarnya kini sudah benar-benar matang secara rohani.
Rasa sesal dan kerinduannya pada sang matahari tersublimasi sedemikian
rupa, menjadi jalan bagi dunia batin Rumi sendiri dalam proses
penghayatan tentang, dan penyatuan esensial dengan Tuhan. Puisi dan
risalah Rumi segera memancarkan cahaya rohani, wawasan tasawuf, dan
renungan sufistiknya yang amat dalam dan luas. Syamsi Tabriz tak lain
hanyalah kunci pintu gerbang kerohanian Rumi sendiri yang sesungguhnya
sudah siap dibuka.
Setelah pintu gerbang itu terbuka, kunci boleh hilang. Pastilah ada
rasa sesal dengan kunci yang hilang, tapi bagaimanapun Rumi bisa
berjalan-jalan sendiri tanpa tersesat mengitari taman rohaninya yang
luas, lapang, dan rimbun. Di taman itu, Rumi mendendangkan puisinya
(puisi-puisi Rumi dalam tulisan ini diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M.):
Ada taman indah, penuh pepohonan lebat
Anggur dan rerumputan menghijau
Seorang sufi duduk sambil memejamkan mata
Kepalanya tunduk, karam dalam tafakur.
Seseorang bertanya, “Hai, mengapa tidak kau lihat
Tanda-tanda Yang Maha Pengasih di sekelilihgmu
Yang dititahkan oleh-Nya untuk direnungkan?”
Sufi itu menjawab, “Tanda-tanda-Nya terbentang
Pula dalam diriku, yang ada di luar
Hanyalah lambang dari Tanda-tanda.”
…
Kehidupan rohani Rumi yang dipupuk terus-menerus telah melahirkan puisi
sufistik yang luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun mutu. Tapi
perlu diingat bahwa sebelumnya Rumi bagaimanapun telah mempelajari
dengan baik sastra tradisional Persia dan Arab. Wawasan dan kemampuan
teknis sastra tampaknya telah mendarah-daging dalam tubuh Rumi. Yang
diperlukan selanjutnya adalah persyaratan paling penting seorang
penyair: kedalamanan penghayatan dan renungan tentang makna hidup dan
kearifan-kearifan universal. Dan Rumi telah mencapainya dengan gemilang.
Cinta Sejati Jalauddin Rumi
Membaca puisi-puisi Jalaluddin Rumi adalah membaca Cinta —Cinta
dengan C besar. Penyair sufi asal Persia yang kemudian menetap di
Turki hingga akhir hayatnya ini tampak begitu menghayati arti Cinta,
menemukan maknanya yang begitu dalam, sekaligus meyakininya sebagai
dasar utama kehidupan. Baginya, tak ada kehidupan tanpa Cinta. Karena
itu, dia mengembangkan arti Cinta dan mengarahkannya sebagai prinsip
metafisis sekaligus sebagai dasar konkret kehidupan-sementara menuju
kehidupan-abadi.
Sebagai sufi, sudah tentu Rumi menulis banyak tema dalam puisi dan
risalah tasawufnya, yaitu tema-tema utama —termasuk spekulasi filosofis—
dalam dunia tasawuf dan filsafat. Misalnya, dia berbicara tentang
esensi wujud tunggal yang menyatakan diri dalam wujud jamak,
transendensi dan imanensi Tuhan, manifestasi-abadi Tuhan melalui
penciptaan, dan lain-lain. Tetapi semua itu lebih merupakan keterlibatan
Rumi secara intelektual dalam polemik yang mengasyikkan di kalangan
ilmuwan Muslim hingga abad ke-13. Pada akhirnya, Rumi memiliki sistem
berpikirnya sendiri yang dibangun melalui pengalaman spiritual dan
intelektualnya.
Sudah tentu juga gagasan utama Rumi adalah hasrat spiritual untuk
bersatu dengan Tuhan, dilandasi asumsi-asumsi metafisis dan spekulatif
sebagaimana berkembang dalam tasawuf dan filsafat, dan diperkuat oleh
imajinasi kreatifnya sendiri. Pandangan Rumi tentang Cinta untuk
sebagian menjelaskan hasrat tersebut.
Dalam menjelaskan pandangannya tentang Cinta, Rumi menggunakan banyak
sekali metafor. Yang sangat terkenal di antaranya adalah seruling.
Menurutnya, suara seruling adalah lagu pedih keterpisahan seruling itu
sendiri dari tempat asalnya, yaitu rumpun bambu yang rimbun. Di samping
itu, suara seruling adalah nyanyi rindu dendam sang seruling untuk
bersatu kembali dengan rumpun bambu tempatnya berasal. Begitulah Rumi
melukiskan derita dan rindu dendam roh manusia pada Penciptanya.
Dalam puisinya yang lain tentang seruling, Rumi melukiskan lebih jauh hubungan manusia dan Tuhan. Katanya, kami adalah suling dan musik dalam diri kami berasal darimu; kami seumpama gunung, dan gaung dalam diri kami berasal darimu.
Jadi, di sini bukan saja seruling yang berasal dari Tuhan. Musik yang
dialunkan seruling itu sendiri juga berasal dari Tuhan. Sejalan dengan
itu, gunung dan gaung di dalamnya adalah juga berasal dari Tuhan. Itu
berarti, apa pun alunan musik seruling, lagu pedih ataukah lagu riang,
berasal dari Tuhan juga. Apa pun gaung dalam gunung, apakah pertanda
rahmat atau laknat, tak lain berasal dari Tuhan jua.
Seruling dan musik merupakan unsur sangat penting dalam kehidupan Rumi.
Keduanya bukan saja metafor dalam puisi, melainkan juga medium
pengembaraan rohani. Rumi tidak saja memandang musik sebagai sesuatu
yang bersifat temporal dan profan. Lebih jauh, mendengarkan musik
temporal dia membayangkan suara alam semesta dan terutama musik yang
mengalun abadi di sorga. Itulah sebabnya, musik dapat menghubungkan roh
manusia dengan alam ketuhanan. Musik dapat melambungkan jiwa manusia
mencapai tingkat kesucian dan ketinggian yang kekal. Musik dapat
membakar hati manusia dan membangkitkan Cinta yang menggelora untuk
mencapai sorga.
Tapi alam semesta tak cuma mengalunkan musik. Alam semesta adalah juga
komposisi gerak yang sangat kompleks sebagai tarian sakral yang
menakjubkan. Tarian itu berupa putaran-putaran ritmis dengan titik sumbu
yang tertata rapi secara ajaib. Tidaklah mengherankan kalau Rumi juga
menjadikan tarian-berputar sebagai medium pengembaraan rohani.
Rumi menulis dengan indah:
Baling-baling langit, dengan segenap keindahan dan keajaibannya, berputar mengitari Tuhan seperti jentera.
Rohku demikian pula, tawaf di Ka’bah; begitulah pengemis ini mengitari pemberian dan karunia.
Perjalanan bola mengelilingi lapangan permainan-Nya; itulah yang membuatmu bahagia dan tidak berdaya.
….
Demikianlah hubungan manusia dan Tuhan. Musik mengekspresikan hubungan
penciptaan melalui mana jiwa manusia dibakar api rindu dan Cinta
terhadap sumbernya, sekaligus menghubungkan dunia manusia yang
terbelenggu dengan dunia sorga yang suci lagi merdeka. Sementara itu,
tarian-berputar mengekspresikan kenikmatan, ketakberdayaan, dan
kepasrahan pada Tuhan sebagai pusat perputaran baling-baling langit jiwa
manusia bersama alam semesta.
Dalam pola hubungan itu, di manakah Cinta? Bagi Rumi, Cinta adalah
dasar yang memungkinkan hubungan-hubungan tersebut berlangsung. Tanpa
Cinta, pola hubungan menakjubkan dan indah namun menyakitkan itu adalah
mustahil. Manusia akan merindukan Tuhan dan menari mengitari-Nya
manakala api Cinta menggelora di dalam jiwanya. Tetapi api Cinta tak
akan menggelora dalam jiwa manusia tanpa Tuhan memberikan percikan api
Cinta-Nya kepada manusia itu sendiri. Begitulah maka, kata Rumi, “Bila
cinta Tuhan menyala dalam hatimu, tentu Tuhan telah mencintaimu.” Dalam
sebuah tamsil, Rumi mengibaratkan hubungan percintaan ini sebagai
tepukan, dimana tepukan tak akan terjadi hanya dengan sebelah tangan.
Dengan demikian, pola hubungan itu adalah hubungan timbal-balik antara
pencinta dan yang-dicintai.
Dari sini Rumi menurunkan pola berpasangan sebagai derivasi primordial
dari hubungan timbal-balik antara pencinta dan yang-dicintai. Rumi
menyebut pola berpasangan itu sebagai hikmah Tuhan. Langit dan bumi
adalah pasangan laki-perempuan yang dikemukakan Rumi:
…
Di mata orang arif, Langit adalah lelaki dan Bumi adalah perempuan
Bumi menerima saja apa yang diturunkan Langit ke haribaan dan rahimnya
Jika bumi kurang panas, Langit mengirimkan panas
Jika bumi kurang segar, Langit menyegarkan bumi yang lembab
Langit berputar menurut sumbunya, bagaikan suami mencari nafkah bagi istrinya
Dan Bumi sibuk mengurus rumah: ia menunggui dan menyusui bayi yang dilahirkan
…
Tanpa Bumi apakah Langit bisa menghasilkan air dan panas?
….
Dan, dengan Tuhan memberikan nafsu birahi pada laki dan perempuan,
mereka akan saling mencinta dan menyatu. Dengan cara itu, kata Rumi,
dunia terselamatkan.
Rumi menyadari adanya paradoks atau kontradiksi dalam Cinta, yaitu
keindahan dan kesengsaran, kemesraan dan kepedihan. Seperti suara
seruling yang memperdengarkan suara pedih di balik kemerduannya. Atau
sebaliknya, menyuarakan nyanyian merdu namun dengan nada perih. Seorang
pencinta harus siap menerima keduanya. Bagi Rumi, kesengsaraan dan
kepedihan adalah proses dialekstis untuk mencapai kebahagiaan. Maka bagi
pencinta sejati, kesengsaraan, kepedihan, dan rindu-dendam justru
merupakan kenikmatan. Kesengsaraan bukanlah penghinaan.
Rumi mencontohkan buncis yang direbus. Ketika air mendidih, buncis
melompat-lompat ke permukaan air, merintih kesakitan. Kepada juru rebus
dia bertanya, “Kenapa kau menyiksaku seperti ini?”
“Aku tidak menyiksamu. Aku merebusmu sebab aku mencintaimu. Dengan cara ini engkau akan terasa lezat dan bergizi.”
Rumi sendiri merasa dikuasai oleh Cinta yang amat dahsyat. Cinta
sedemikian rupa bagai magnet yang menarik jiwanya bukan saja untuk
mendekat, melainkan untuk menyatu sepadu-padunya. Dalam pada itu, api
Cinta berkobar-kobar dalam hatinya siang-malam, membakar jiwanya dengan
api rindu yang tak tertahankan. Dan dia percaya kematian adalah jalan
menuju Cinta hakini dan abadi: … jika kaulihat iring-iringan pembawa
jenazahku lewat, jangan berkata, “Dia telah pergi! Dia telah pergi
selamanya!” Saat itu bagiku adalah saat bersatu dan berhadapan muka/
Ketika jenazahku kaubaringkan dalam kubur, jangan berkata, “Selamat
jalan! Selamat jalan!” Kuburan hanyalah tirai pembatas sebelum bersatu
lagi dengan sorga….
Tetapi, sejauh itu Rumi sesungguhnya tidak yakin dengan pandangannya
sendiri tentang Cinta. Dia meragukan kemampuan akal dan pikiran dalam
memahami Cinta, bahkan meragukan pula pemahamannya melalui imajinasi
kreatifnya yang amat kaya. Yang dia yakini hanya bahwa Cinta pada
akhirnya akan membimbing kita ke hadirat-Nya. Menurut Rumi, Cinta
sendirilah yang dapat menerangkan apa itu cinta./ Bukankah seperti
matahari, hanya matahari itu sendiri/ dapat menjelaskan apa itu
matahari. Dengan kata lain, apa pun rumusan tentang Cinta-sejati
bagaimanapun bersifat relatif belaka. Yang memahami dengan akurat Cinta
hanyalah Cinta itu sendiri.
Di sini kita diingatkan pada salah satu nama Tuhan dalam Asmaul Husna, yaitu Al-Wadûd
(Maha Pencinta). Sebagai Maha Pencinta, Tuhan pastilah memercikkan
sebagian api cinta-Nya kepada manusia. Karena api Cinta yang tumbuh
dalam jiwa manusia berasal dari Tuhan, maka ia senantiasa mengarahkan
dirinya ke tempat asalnya. Dalam arti itu maka Tuhan sekaligus adalah
Yang Dicintai. Pada puncaknya, Tuhan sesungguhnya tak lain tak bukan
adalah Cinta Abadi, Cinta Sejati, yang senantiasa memancarkan diri-Nya
kepada seluruh makhluk-Nya.
Jamal D. Rahman
www.jamaldrahman.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar