THASAWUF SULUK
Di antara teks-teks Islam terawal dalam sejarah
sastra Jawa terdapat untaian puisi-puisi mistikal (suluk) karya Sunan
Bonang, seorang wali sufi terkemuka di pulau Jawa yang tinggal di Tuban,
Jawa Timur. Selain sejumlah suluk, Sunan Bonang juga meninggalkan karya
penting yaitu risalah tasawuf yang oleh Drewes diberi judul Admonitions
of She Bari. Sunan Bonang lahir pada pertengahan abad ke-15 M dan wafat
pada awal abad ke-16, sekitar tahun 1526 atau 1530 M (De Graff
1985:55). Dia adalah ulama yang mumpuni pada zamannya, juga seorang ahli
falak, musikus dan tentu saja sastrawan. Karya-karyanya memperlihatkan
bahwa dia menguasai bahasa dan sastra Arab di samping Persia, Jawa Kuna
dan Melayu.
Namanya semula ialah Makhdum Ibrahim. Dalam
suluk-suluknya dia memakai beberapa nama julukan seperti Ibrahim Asmara,
Ratu Wahdat, Sultan Khalifah dan lain-lain (Hussein Djajadiningrat
1913; Purbatjaraka 1938; Drewes 1969). Nama Bonang diambil dari nama
desa tempat dia mendirikan pesujudan dan pesantren, yaitu Bonang. Desa
itu tidak jauh dari kota Rembang dan Lasem di perbatasan antara propinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur sekarang ini.
Sejak muda Makhdum
Ibrahim adalah seorang pelajar yang tekun dan muballigh yang handal.
Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu, serta berbagai cabang ilmu
agama yang penting seperti fiqih, usuluddin, tafsir Qur’an, hadis dan
tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekkah dengan
singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Sulalatus Salatin
(Sejarah Melayu) mencatat kunjungan Sunan Bonang dan Sunan Giri ke
Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dari Mekkah,
dia ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin masjid Singkal, Daha di
Kediri (Kalamwadi 1990:26-30).
Pada tahun 1498 M Sultan Demak
Raden Patah mempercayakan kepada Sunan Bonang untuk menjadi imam Mesjid
Agung Demak. Dalam tugasnya itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki
Ageng Selo dan wali yang lain. Di bawah pimpinannya masjid Demak segera
berkembang menjadi pusat keagamaan dan kebudayaan terkemuka di pulau
Jawa. Tetapi beberapa tahun kemudian, dia berselisih pandangan dengan
Sultan Demak dan memutuskan untuk mngundurkan diri dari jabatannya
sebagai imam masjid agung. Dari Demak Sunan Bonang pindah ke Lasem, dan
memilih desa Bonang sebagai tempat kegiatannya yang baru. Di sini dia
mendidirikan pesujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan Bonang,
khususnya Suluk Wujil, mengambil latar kisah di pesujudannya ini di mana
dia memberikan ajaran rahasia agama kepada muridnya, seorang bekas abdi
dalem Majapahit yang terpelajar bergelar Wujil (Abdul Hadi W. M.
2000:96-107).
Suluk-suluk Sunan Bonang
Sunan Bonang adalah
penulis prolifik. Karangan-karangannya dapat digolongkan ke dalam dua
kelompok: (1) Untaian puisi mistikal yang lazim disebut suluk dalam
sastra Jawa. Dalam suluk-suluknya dia mengungkapkan pengalaman
keruhaniannya mengikuti jalan sufi. Dalam suluknya pula dia menyampaikan
pokok-pokok ajaran tasawuf melalui ungkapan-ungkapan simbolik sastra.
Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk
Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan,
Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk
Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain. (2) Karangan prosa seperti Pitutur
Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi
dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab
dan Persia.
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah
yang memuat suluk-suluk Sunan Bonang. Khususnya yang terdapat di Museum
Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi
suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya
terdapat dalam Gita Suluk Latriyang ditulis dalam bentuk tembang
wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah
menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan
kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula
berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas
lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah
sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan
ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang
menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka
mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup
panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di
Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke
Mekkah.
Suluk Gentur dan Gita Suluk Wali
Dari
suluk-suluknya itu yang sangat penting antara lain ialah Suluk
Genturatau / Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong
dan cukup panjang. Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempurna. Di
dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk
mencapai kesadaran tertinggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan
dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun
ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk
ialah syahadat da`im qa`im. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara
sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik
jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan.
Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan
menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian
pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam
Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan
jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan
bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, iaitu
‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan
gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat
menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang
Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya
menyaksikan kebenaran hakiki ayat Al-Qur`an 28:88 : “Segala hal binasa
kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas
bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya
sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang
dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan
dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan
Bonang, ada tiga macam syahadat:
Mutawilah (Muta`awillah di dalam bahasa Arab)
Mutawassitah (Mutawassita)
Mutakhirah (Muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia
iaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di
dalam ayat Al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku
menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang kedua ialah
syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan
mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”.
Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang
Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka
dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis,
tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat
diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana
gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan.
Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan,
akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan
jujur.
Dikatakan juga dalam suluknya itu bahwa dalam hati yang
bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang
melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin
senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang
menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama. Perumpamaan ini
dapat dirujuk kepada perumpamaan seupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya
Ibn `Arabi dan Lama`at karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik
ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat.
Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti
laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai
hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengan pepatah sufi “Qalb
al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman
Tuhan).
Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat
diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah
yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod.
Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin,
serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam
disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat
juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische
Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini
ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions
of Seh Bari (1969), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa
Inggris.
Suluk Wujil
Di antara suluk karya Sunan Bonang
yang paling dikenal dan relevan untuk dikemukakan ialah Suluk Wujil.
Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya
dengan perkembangan awal sastra Pesisir, Suluk Wujil benar-benar
mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang
sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks Suluk Wujil dijumpai
antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka
disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan
transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam
tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)”
(majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia
pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak
memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri
teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
Sebagai karya zaman
peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam
hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam Suluk Wujil tergambar suasana
kehidupan budaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad
ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam.
Di arena politik peralihan itu ditandai dengan runtuhnya Majapahit,
kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak,
kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja
Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan
seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya
Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari
sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata
nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
Sunan Bonang sebagai
seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang
sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir
sudah sejak awal huruf Jawi, yaitu huruf Arab yang disesuaikan dengan
system fonem Melayu. Sedangkan Sunan Bonang dan para penulis Muslim Jawa
yang awal tetap menggunakan huruf Jawa telah mapan dan dikenal
masyarakat terpelajar. Sunan Bonang juga menggunakan tamsil-tamsil yang
tidak asing bagi masyarakat Jawa, misalnya wayang. Selain itu bentuk
tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita juga masih digunakan. Dengan
demikian kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing
bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu
kesinambungan. Pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya
tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran
agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai
mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. Suluk
Wujil dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda
sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:
1. Inilah ceritera si Wujil Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat, Ratu Wahdat nama gurunya Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf Ingin tahu hakikat Dan seluk beluk ajaran agama Sampai rahasia terdalam.
2. Sepuluh tahun lamanya Sudah Wujil Berguru kepada Sang Wali Namun
belum mendapat ajaran utama Ia berasal dari Majapahit Bekerja sebagai
abdi raja Sastra Arab telah ia pelajari Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata Seraya menghormat Minta maaf
3. Dengan tulus saya mohon, Di telapak kaki tuan Guru Mati hidup hamba serahkan Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya Namun tetap saja saya bingung Mengembara kesana-kemari Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4. Ya Syekh al-Mukaram! Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarangYang saya pelajari tidak berbeda Tidak beranjak dari
tatanan lahir Tetap saja tentang bentuk luarnya Saya meninggalkan
Majapahit Meninggalkan semua yang dicintai Namun tak menemukan sesuatu
apa
Sebagai penawar
5. Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna Semua pendeta dan ulama
hamba temui Agar terjumpa hakikat hidup Akhir kuasa sejati Ujung utara
selatan Tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan
hakikat maut Akhir ada dan tiada
Pertanyaan-pertanyaan Wujil
kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta
menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh
ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan
selatan, berkaitan dengan kiblar dan gejala kehidupan yang senantiasa
berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti
fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi.
Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan
lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam
pagelaran wayang. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti
Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk
menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan
Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina
memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999). Makna simbolik wayang dan
layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang
dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang
seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan
melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya,
meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh
Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan
hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah
Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di
dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri,
mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar
mewakili golongan kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili
nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung
dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk
mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.
Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman
yang sempurna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang.
Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang.
Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli
(pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah
maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah
kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat
wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu
minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi
segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak terhitung. Bagi mereka yang
tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan
tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud
zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan,
karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar