Kamis, 21 Januari 2016

Ketiadaan Diri - FANA

Ketiadaan Diri


Titik penting seorang sâlikîn yang sedang berjalan menuju Allah SWT adalah 
ketika ia telah sampai pada maqâm fanâ’. 

Sebuah keadaan dimana ke-diri-an (kehambaan) seseorang telah “tiada”. 
Dalam situasi demikian bagi sâlikîn yang bersangkutan tidak ada lagi yang hidup 
kecuali Allah SWT, dan sirnalah semua yang tampak.

Yang dimaksud dengan fanâ’ (hilang) di sini 
bukan fanâ’ fi al-jism atau fanâ’ secara lahiriah. 

Tapi fanâ’ secara maknawiah, yaitu fanâ’ atau hilang dari wilayah akidah. 

Fanâ’ fillâh dengan baqâ’ billâh. 

Fanâ’ fillâh konsep dasarnya adalah Lâ ilâha Illâ Allâh. 

Semua hal hanya untuk diri-Nya dan tidak untuk yang lainnya. 
Sebagai bukti konkret orang yang telah fanâ’ adalah 
ia senantiasa meyakini konsep lâ hawla wa lâquwwata illâ billâh al ‘aliyy al adzîm. 

Tak ada kekuatan diri, tak ada kemampuan diri, 
kecuali kekuatan dan kemampuan diri Allah SWT. 
Pada diri Rasulullah SAW kondisi fana tampak pada periode Mekkah. 
Semua ketakwaan beliau dan berbagai mukjizat yang terjadi 
selama periode Mekkah merupakan bukti kuat akan hal itu.

Seorang sâlikîn yang tengah fanâ’ tampak jelas dalam sifat kesehariannya. 

Berbagai emosi dan reaksi negatif yang biasa bersemayam dalam diri 
telah berubah menjadi sebaliknya. 

Tenang, kuat, dan sabar ketika menghadapi gelombang kehidupan 
merupakan bukti kuat bahwa seseorang telah fana. 
Bahkan, 
ketika dicaci-maki oleh banyak orang pun 
ia tidak serta merta balas memaki atau membenci. 
Karena, 
baginya yang penting Allah SWT tidak murka dan membencinya. 
Konsentrasinya hanya pada Sang Khalik. 
Semua yang dilakukannya senantiasa berangkat dari kesadaran kehambaan 
yang harus senantiasa memiliki catatan baik di sisi Allah SWT.

Dalam keseharian, 
orang yang fanâ’ sepertinya tampak masa bodoh dan asyik dengan dirinya sendiri. Berbagai hal di luar dirinya hanya mendapat sedikit perhatian 
dan sedikit memberi dampak padanya. 
Bahkan ketika ia tengah dalam keadaan serba berkekurangan, ia tetap bergeming. 
Ia tetap bersyukur dan senantiasa mengucap alhamdulillâh.

Fanâ’ bagi seseorang yang belum berkeluarga barangkali tidak menjadi masalah. 

Tapi lain halnya bila ia telah menikah atau bahkan harus menanggung jawabi 
orang seisi rumah. 
Karena sikap kesehariannya terkesan santai dan tidak peduli, 
sudah barang tentu membuat khawatir banyak orang. 
Meski, 
sesungguhnya fana yang benar adalah 
fanâ’yang tetap pada kesadaran kemanusiaannya, 
dan tetap sadar pada tanggung jawab sosialnya.

Seseorang yang masih termasuk dalam kategori seorang sâlikîn, 
fana-nya masih kerap tidak stabil. 
Ia sering fanâ’ hanya untuk hal-hal yang enak baginya, 
tapi tidak fanâ’ ketika menghadapi hal buruk 
yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya. 

Karena itu, 
agar fanâ’ yang terjadi pada seorang salikin adalah 
fanâ’ yang benar menurut agama dan fanâ’nya stabil, 
dibutuhkan bimbingan seorang Mursyid. 

Tidak hanya fanâ’ ketika dalam kesenangan, tapi juga mampu fanâ’ dalam kesulitan. 

Karena fanâ’ dalam bimbingan seorang Mursyid adalah fanâ’ yang terstruktur, yakni dengan ilmu dan amal yang disebut jalan mutawasith pertengahan). 
Sehingga yang terjadi adalah fanâ’ yang tidak membuat orang disekelilingnya 
menjadi gelisah dan marah. 
Karena ia tetap hidup normal dan menjalankan kewajiban sosialnya dengan baik, 
namun orientasinya tetap pada hati nurani.

Zaman dahulu, 
proses fanâ’ dilalui lewat berbagai proses yang terkadang sulit diterima oleh akal, 
seperti khalwat di gua hingga ditidurkan selama ratusan tahun. 
Namun tentu saja hal itu bisa terjadi karena situasi dan kondisi zamannya 
memang berbeda dengan sekarang. 
Maka, 
proses pembelajaran dan laku olah spiritualnya pun berbeda. 
Contohnya, 
di zaman sekarang bayak orang lebih mengutamakan syariatnya daripada tauhidnya. Sehingga, 
akhirnya keislamannya pun hanya di permukaan, 
tidak menyentuh keislaman yang mendalam-Islam yang sesungguhnya.

Tantangan lain, 
kalau dulu orang melakukan khalwat dengan jalan menyendiri di tempat-tempat sepi macam di gua, maka sekarang orang dituntut untuk bisa khalwat dan ‘uzlah 
di tengah-tengah masyarakat ramai. 
Artinya, 
hati kita tetap terpaut dengan Allah SWT 
meski fisik jasmaniah kita sibuk dengan kegiatan kemasyarakatan, 
bekerja mencari nafkah, dan kesibukan mengurus keluarga.

Harus disadari betul bahwa yang khalwat itu adalah khalwat hati bukan jasad. 

Dan kesadaranpun harus terus dijaga, 
bahwa pengamalan ma’rifah, pengamalan hakikat, dan pengamalan aqidah 
merupakan bagian dari perjalanan kita menuju Allah SWT, 
dan kemampuan kita melakukan khalwat juga merupakan anugerah-Nya. 

Maka, semua itu harus dikembalikan kepada Allah SWT. 

Jadi, yang khalwat itu benar-benar bukan jasadnya, melainkan hati dan pikirannya. 

Hati harus senantiasa menghadirkan Allah SWT, 
belajar pada setiap keadaan, 
dan belajar pada setiap persoalan, 
serta mengembalikan semua yang terjadi pada Allah SWT. 

Bahkan, 
bagi seorang mursyid pun khalwat juga merupakan anugerah. 
Tidak ada seorang pun yang bisa khalwat 
kalau bukan karena mendapat anugerah-Nya.

Kata Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailanî, 
banyak orang yang tersesat oleh jin dan iblis ketika berkhalwat. 
Hal itu bisa terjadi karena minimnya ilmu pengetahuan 
dan tidak mendapat bimbingan dari seorang Mursyid. 

Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailanî demikian khusyuk dan bergeming 
ketika tengah ber-khalwat meski digoda oleh iblis. 

Hanya Allah, Allah dan Allah yang memenuhi ruang batin beliau. 
Keyakinan bahwa bukan ilmu yang ada padanya yang memberinya kekuatan, 
namun Allah SWT lah yang memberinya kekuatan dan kemampuan. 
Akhirnya, 
beliau pun selamat dan berhasil menyelesaikan khalwat-nya dengan baik.

Di zaman yang serba sibuk sekarang ini, 
kita tidak perlu 
melakukan khalwat munfarid atau khalwat di suatu tempat yang sepi. 
Kita justru dituntut mampu melakukan khalwat hakiki (di dalam hati). 
Hati senantiasa memandang kepada Allah SWT 
meski fisik jasmaniah sibuk menjalani hidup keseharian.

Khalifah di Muka Bumi

Hakikatnya,
 manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. 
Namun, tidak sembarang orang bisa disebut khalifah. 
Yang bisa benar-benar di katakan khalifah adalah 
mereka yang sudah “sampai” (secara iman-hati-piki-ran) kepada Allah SWT. 

Sedangkan mereka yang belum sampai belum pantas menyandang khalifah, 
karena berarti ia belum punya bekal sebagaimana Nabi Adam AS 
yang diberi bekal oleh Allah SWT nama-nama di bumi dan di langit. 

“Barang siapa yang ma’rifatullâh 
maka tidak ada sesuatu apa pun yang tersembunyi 
di langit maupun di bumi.” 
Artinya, 
ia paham dengan basyirah al-qalbi maupun ladunni. 

Bahkan, 
bila ada sesuatu yang tersembunyi sekalipun dia paham, 
apa yang belum terjadipun dia tahu 
karena ia diberitahu oleh Allah SWT. 

Itulah ilmu ladunni.

Ada pula orang yang disebut Âlim al-Rabbânî, 
yaitu orang yang ‘alim (paham-ahli) dengan Tuhannya, bukan ulama lahiriah. 

Seorang ulama lahiriah biasanya hanya mampu membaca kitab, 
sedangkan seorang professor biasanya hanya fasih berwacana tentang agama 
maupun tasawuf (ia tidak mengamalkan secara mendalam). 

Berbeda dengan orang yang Âlim al-Rabbânî, 
yang diberi ilmu ladunni oleh Allah SWT, 
yang setiap saat membutuhkan ilmu dengan mudah ia memperolehnya, 
namun sembari tetap mengembalikan semua ilmunya kepada Allah SWT. 
Orang semacam itu tidak pernah kehabisan jawaban. 
Semakin banyak orang bertanya padanya, makin mudah ia menjawabnya.

Orang yang Âlim al-Rabbânî juga orang yang sosoknya low profile (rendah hati). 

Ia tidak akan mengumbar kata-kata kalau tidak ada yang bertanya. 
Kecuali pada waktu-waktu tertentu ketika ia menjalankan rutinitas tugasnya 
sebagai ulama. 

Seperti Rasulullah SAW yang tidak akan mengeluarkan (ilmunya) 
bila tidak ditanya oleh umatnya. 
kecuali ketika beliau harus menyampaikan wahyu. 

Makanya, 
semua asbâb al-nuzûl dan asbâb al-wurûd Al-Quran dan Al-Hadis itu 
merupakan hasil pertanyaan dari para sahabat. 

Begitu juga orang yang dekat dengan Allah SWT. 
Ia akan diberikan ilham yang sifatnya setingkat dengan wahyu, 
dan firman Allah akan jelas dan gamblang 
apabila penjelasannya didasari oleh ilham. 

Cara Allah memelihara Al-Quran tidak sebatas penjilidan. 
Karena, penjilidan bisa dilakukan oleh siapa saja. 
Tapi pemahaman Al-Quran hanya bisa dilakukan 
oleh orang-orang yang bersih hatinya dan diangkat oleh Allah SWT. 

Sebagaimana janji Allah SWT, 
“Kami yang menurunkan Al-Quran dan kami yang memelihara.” 

Maka Allah SWT menurunkan orang-orang yang diisi hatinya dengan ilham 
untuk mengurai Al-Quran yang sesungguhnya 
bukan semena-mena dalam bentuk ta’wil.

Ilham dan Wahyu

Turunnya ilham itu sama seperti wahyu. 
Terkadang mudah dan nikmat, terkadang diterima dengan rasa sakit di kepala, 
dan lain sebagainya. 

Wahyu dengan ilham tidak berbeda jauh. 
Bedanya kalau ilham itu tidak boleh ditulis karena akan mengganggu, 
sebagaimana Rasulullah SAW yang tidak pernah menyuruh sahabat 
untuk menulis hadis, 
meski bila para sahabat menulis pun tidak apa-apa, 
karena bukan merupakan sebuah larangan keras.

Setiap salikin dianjurkan untuk menimba ilmu dari yang “hidup” , 
artinya ia menimba ilmu dari seorang mursyid. 

Sebagaimana Abu Yazid menyatakan, 

“Hai kamu, mengambil ilmu dari mayit ilal mayit. 
Kamu ambil ilmu dari buku (benda mati), 
kemudian diajarkan ke orang dan orang itu juga mati, 
maka ilmunya tidak akan berkembang dan tidak ada berkahnya.” 

Karena yang benar adalah mengambil ilmu dari yang “hidup” yang tidak pernah mati. 

Banyak ulama yang belajar dengan, katanya. 
Katanya kitab ini, dan katanya kitab itu. 
Dan, bagi siapa saja yang mengajarkan ilmu 
dan dia merasa bisa mengajar-berarti dia hamba, dan hamba itu mati. 

Lain halnya seorang Mursyid, 
yang tidak pernah merasa memberi sesuatu (ilmu), 
dan tidak pilih kasih pada murid-muridnya. 
Semua sâlikîn diperlakukan sama 
dan mendapat perhatian serta kasih sayang yang sama darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar