Sabtu, 02 Januari 2016

MEREGUK SARI TASAWUF

KEBAJIKAN  KEBAJIKAN.

Semua perjalanan spiritual bagi kemanusiaan yang telah jatuh,
haruslah dimulai dengan penyesalan (inabah) dan pertaubatan (tawbah),
karena jiwa dalam keadaannya yang biasa tereksteriorkan 
dengan  punggung menghadap dunia Ruh dan 
wajah menghadap dunia material di luar yang dicirikan oleh 
keserberagaman , keterserakan, kesementaraan, kerusakan  
dan kematian.

Tawbah adalah kata bahasa Arab yang artinya secara harfiah , 
"berbalik memutar" .
Kita harus mengubah arah jiwa kita, berbalik  dan 
menghadap Realitas Ilahi dengan punggung menghadap ke dunia.
Ada laki--laki dan perempuan yang bertaubat dan kemudian kembali 
ke jalan mereka yang lama lalu bertaubat lagi.

Meskipun Allah tidak suka dengan pola seperti itu 
dalam kehidupan seseorang yang bertekad 
untuk mengikuti jalan menuju Dia, 
Dia juga mengetahui kelemahan manusia dan mudah memberi maaf.

Guru agung Rumi mempunyai puisi berikut ini terukir pada makamnya :

"Kembali, kembalilah...
 bahkan jika engkau sudah mengingkari taubatmu 
 seribu kali."

Tetapi , orang yang ingin maju di atas jalur ini harus membuat 
perubahan haluan ini menjadi permanen.
Mereka harus terus bergerak ke arah  dunia ruhani 
dengan wajah menghadap ke dunia Ruh itu dan 
punggung menghadap dunia ini berarti  mengatasi  keburukan 
keterikatan jiwa  pada keserberagaman yang mengelilingi dunia 
secara eksternal,  dan  karena itu berlatih keterlepasan , 
keterjagaan pikiran,kesalehan, kesucian, dan kecermatan 
dalam hal agama.

Itu berarti pengekangan diri dan kezuhudan (asketisisme) 
dalam pengertian spiritual dan batiniah.
Itulah  sebabnya kenapa perhentian ini disebut zuhd atau wara',
yang pertama merujuk kepada pengekangan diri (asketisme)
dan yang kedua kepada kepasrahan dan kesalehan.

Banyak di antara tokoh Sufi awal adalah orang-orang yang zuhud, 
dan sebagian orang karenanya menyamakan Tasawuf 
dengan askerisme, tetapi para guru yang terkemudian berupaya 
mempertahankan perbedaan di antara keduanya.
Seperti yang dikatakan Hafizh dalam salah satu ghazal-nya 
yang terkenal:

"Jangan kritik Sufi yang bijak, Wahai zahid sejati ,
 Karena dosa-dosa orang lain , tidak akan dibebankan atasmu."

Tetapi , untuk maju ke stasiun yang lebih tinggi ,  
orang perlu memiliki sifat-sifat zuhud.
Dari landasan kezuhudan dan ketakutan pada Allah 
yang dibangun oleh Sufi Mesopotamian awal itulah 
tumbuh pohon cinta dan makrifat Sufi  pada abad-abad nanti.

Demikian pula, dalam kasus individual, 
adalah penting untuk meraih kebajikan 
yang terkait dengan kedudukan zuhd dan wara' 
agar individu itu dapat meminum anggur Cinta Ilahi dan
bermandikan cahaya pengetahuan yang mencerahkan.

Penguasaan keadaan zuhud dan kesalehan yang menumbuhkan rasa takut
kepada Allah menggiring kepada ketundukan mutlak kepada Allah
dan kepercayaan kepada Nya (tawakkul) .
Seorang penempuh jalan yang sejati bersandar pada Allah 
dalam segala kondisi - susah dan senang , mudah dan sulit.

Ini adalah stasiun yang sulit untuk dicapai 
karena sudah menjadi kebiasaan jiwa untuk mengandalkan 
kekuatannya sendiri atau kekuatan dan sebab musabab eksternal
seolah-olah itu merupakan realitas independen.
Ada pula bahaya si penempuh jalan akan keliru mengartikan 
ketergantungan penuh kepada Tuhan sebagai tiada perlunya 
upaya manusiawi.

Pernah seorang Badui datang untuk menjumpai Nabi 
dan meninggalkan untanya tak terikat di luar.
Ketika Nabi bertanya mengapa begitu , 
dia menjawab telah menyerahkan untanya kepada Allah.
Nabi menyuruhnya untuk pertama-tama menambatkan unta itu dulu,
baru kemudian menyandarkan kepercayaan pada Allah.

Rumi menceritakan hadis ini dalam syair berikut ,
"Ikatlah lutut unta dengan tawakkul".

Banyak guru Sufi yang ber hati-hati dalam menjelaskan ini 
ketika mereka berbicara tentang stasiun ini, seperti yang kita lihat
dalam tulisan-tulisan Abu Thalib al-Makki dan Al-Ghazali.
Kaum Sufi mengidentifikasikan tawakkul dengan iman, 
dan Dzun al-Nun-al-Mishri meyamakannya dengan kepastian,
dan mereka menekan kan pentingnya upaya manusia 
dalam pencapaian keadaan ini.

Selain itu , 
tawakkul harus digabungkan dengan sifat kesabaran (as-shabr),
karena bagaimana kita bisa bergantung kepada Allah 
dengan seluruh wujud kita tanpa kesabaran dalam menghadapi 
kendala dan cobaan kehidupan bahkan 
dalam mencapai kebutuhan fisik dasar kita ?

Stasiun ini dicapai oleh orang yang sabar dan penuh kepercayaan,
menyadari bahwa sementara kita harus mengerahkan segenap upaya
terbaik dari kemampuan kita, semua terjadi pada waktu yang tepat
sesuai Kehendak Allah dan juga sesuai kebijaksanaan Ilahi 
yang seringkali melampaui pemahaman kita.
Injil mengatakan bahwa bersama Allah , 
segala sesuatu adalah mungkin,
tapi mereka tidak mengatakan kapan.

#HSN.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar