Minggu, 03 Januari 2016

MEREGUK SARI TASAWUF

KEBAJIKAN-KEBAJIKAN.

Kebajikan dan stasiun-stasiun ini juga telah disoroti 
dalam cara yang lain.
Apa yang saya sajikan di sini  adalah sebuah sintesis 
dari banyak karya klasik, atau bahkan lebih penting, 
stasiun-stasiun aktual yang harus di alami jiwa agar menjadi layak
untuk tujuan tertinggi jalan pendakian tersebut, 
dipandang oleh kaum Sufi sebagai
 peniadaan (al-fana') dan kekekalan *al-baqa').
Stasiun-stasiun ini juga berhubungan dengan level eksistensi 
di balik level sehari-hari dan bekenaan dengan tahap-tahap 
kepulangan akhir kepada asal usul Ilahi kita.

Secara paradoks , hadiah terbesar yang telah diberikan kepada kita
adalah kemungkinan untuk merealisasikan ketiadaan kita sendiri.
Proses kosmogenesis telah melahirkan dan mengaruniakan eksistensi
atas segala sesuatu dari sang Asal, Wujud Mutlak.

Di dalam kosmos , ada penciptaan dan peniadaan, 
tetapi hanya Allah-lah yang dapat mengadirkan ada dari tiada
dan mengubah ada menjadi tiada.
Biasanya ketika kita mengatakan bahwa objek ini atau itu 
telah menjadi tiada atau nihil , kita menggunakan istilah tersebut 
hanya secara metaforis, sejauh kita mempertimbangkan 
keberadaan serta bentuk  sesuatu.

Anihilisasi berasal dari akar kata nihil, atau ketiadaan, 
dan tidak dapat mengubah apa pun yang ada di luar diri kita 
menjadi tiada secara harfiah sepanjang menyangkut eksistensi
(bukan hanya bentuk) sesuatu itu.

Kita dapat"menganihilisasi" sebuah bangunan , 
tetapi tidak dapat mengubah materialnya menjadi ketiadaan.
Bahkan dalam fisika kontemporer , 
materi dapat berubah menjadi energi dan sebaliknya, 
namun tidak menjadi tiada.

Fisikawan memang berbicara tentang lubang hitam atau anti materi,
tetapi pemahaman tentang objek-objek seperti ini 
didasarkan pada aksiden dan karakteristik matematikanya, 
bukan pada eksistensi dan kenyataan ontologis nya 
dalam pengertian filosofisnya , karena sebagian besar fisika modern
tidak memiliki ketertarikan pada ontologi.
Namun,segelintir fisikawan yang memiliki perspektif metafisika 
berbicara tentang "medan" subtil  yang memenuhi seluruh alam semesta, 
bahkan di tempat-tempat yang sepertinya diisi kekosongan.
Sebagian menyebut ini medan Akashir ,  
menggunakan istilah yang diambil dari kosmologi Hindu.
Tranformasi yang terkait dengan anihilasi yang terjadi di dunia materi 
sesungguhnya merupakan integrasi dan penyerapan ke dalam medan 
yang subtil ini, dan bukan anihilisasi dalam pengertian otologis.
Hanya Allah yang dapat membalik efek dari Perintah-Nya , "Jadilah !"

Namun demikian, di alam semesta di mana setiap wujud , 
dari debu hingga malaikat , menempati keadaan wujudnya 
masing-masing , yang tak dapat dilanggarnya.

Allah sendiri telah memungkinkan manusia untuk  membatalkan 
proses kosmogenik dan merealisasikan non-eksistensial mereka sendiri
dihadapan Kebenaran, yang hanya Dialah yang ada 
memberikan eksistensi mereka kembali kepada Asalnya.

Melalui batas yang disebut Sufi anihilasi atau peniadaan (al-fana'),
manusia memasuki Taman Kebenaran dan hidup di dalam Allah (baqa).
Kondisi yang mutlak diperlukan untuk memasukinya tetaplah kesadaran
bahwa kita di dalam diri kita sendiri adalah non-eksisten dan bahwa
semua wujud adalah milik Allah .

Kharaqani , Sufi dari Khurasani , berkata 
"Seorang Sufi sejati adalah dia yang tiada".
Dalam keadaan inilah ,  Rumi melagukan ,

"Kita adalah tiada yang muncul sebagai ada,
 Engkau adalah Wujud Mutlak yang muncul sekaligus fana".   

Sebagai manusia , 
kita memiliki kemampuan untuk mencapai status lenyap dan nihil
seraya tetap menyadari bahwa kita ini tiada di dalam diri kita sendiri
dan semua wujud adalah milik Allah.
Kita bisa  mencapai keadaan penyatuan kesadaran 
sebelum mengalami dualitas objek  dan subjek.

Untuk mencapai keadaan seperti itu , diperlukan, 
menurut beberapa Sufi , ketiga tahap yang sudah disebutkan ;
lenyap di dalam sang guru spiritual, yang mewakili Nabi,
lenyap di dalam Nabi , 
yang telah secara langsung diajak berbicara oleh Allah, dan akhirnya 
lenyap di dalam Tuhan.

Juga di dalam Tatanan Ilahi , ada tiga tahapan lagi, yaitu
lenyap di dalam Tindakan Allah ,
lenyap di dalam Nama dan Sifat Allah, dan akhirnya
lenyap di dalam Zat-Nya.

Tingkat tertinggi itu menyiratkan lenyapnya kelenyapan (fana' al-fana')
dan yang juga disebut kekekalan (al-baqa') di dalam Allah.
Itulah keadaan yang disebut penyatuan spiritual, 
walaupun Tasawuf biasanya menggunakan istilah lain.

Keadaan ini juga berkaitan dengan apa yang dalam doktrin 
agama Oriental tertentu disebut dengan identitas Suprima.
Dalam keadaan ini seseorang berenang di samudera 
KeIlahian dan Kesatuan,  dan selaras dengan Hadis :

"Dia adalah aku yang kucintai, Dia yang kucintai adalah aku,
 Dua Ruh di bersemayam di dalam satu tubuh.
 Maka engkau lihat aku, lalu engkau lihat Dia
 Dan engkau lihat Dia, maka engkau lihat Kami."

Tidak ada seorangpun yang mencapai Allah 
tanpa melalui pintu gerbang al-fana' dan menyadari kebenaran bahwa 
di dalam diri kita sendiri kita adalah tiada,secara ontologis, dan bahwa
Allah sendirilah Realitas yang ada.

Melalui al-fana' , 
manusia mendapatkan "Kebenaran yang Pasti" (Haqq al-yaqin).
Orang yang telah  membenamkan dirinya di dalam kebenaran 
seperti itu disebut muhaqqiq, secara harfiah berarti 
orang yang di dalam dirinya Kebenaran telah terwujud.
Orang ini telah terhiasi oleh  Sifat-Sifat Allah , 
mewujudkan sepenuhnya perintah Nabi dalam hadis, 
"berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah" (takhallaqu bi akhlaqillah).

Guru-Guru seprti Ibn 'Arabi memandang muhaqqiq sebagai 
pemilik peringkat tertinggi diantara para Sufi.

Seseorang yang telah mewujudkan kekekalan di dalam Allah 
layak menjadi penghuni Taman Esensi ,  atau Ridhwan, 
yang berdiri di bagian tengah Taman Kebenaran 
dan yang disamakan dengan sang Tukang Kebun , Realitas Tertinggi,
yang juga merupakan Diri dari diri kita sendiri , 
bersemayam di pusat wujud kita.

"Disana" adalah juga "disini" 
karena Realitas pada saat yang sama transenden dan sekaligus imanen.

Amalan Tasawuf yang telah digariskan dalam bab ini membawa kita 
dari kesadaran dan tingkat wujud yang biasa menembus 
pegunungan kosmik dan lapisan-lapisan langit menuju Hadhirat Ilahi 
itu sendiri, tetapi proses ini juga merupakan 
penetrasi yang lebih dalam ke pusat wujud kita sendiri, ke dalam hati,
tempat bersemayamnya Realitas Ilahi.

Orang yang terjaga secara spiritual , 
sadar bahwa berada "di sini" sesungguhnya juga berarti berada "di sana"
dan berada "di sana" sesungguhnya juga berarti berada "di sini".

Selain itu, 
ketika hati seorang penempuh jalan itu telah di buka kepada Allah 
melalui disiplin moral dan spiritual , amalan spiritual, 
perolehan kebajikan, dan rahmat dari Langit , 
atau apa yang disebut kaum Sufi Penegasan Ilahi (ta'yid) ,
hati itu dalam realitas batinnya merupakan Taman tersebut .

Sebagaimana yang pernah dikatakann seorang bijak dan guru Sufi 
kontemporer : 

"Das Herz will heilig werden
 Und steht vor Gottes Tur
 lst Paradies auf Erden
 Dann ist hier, ja hier".

"Hati ingin menjadi kudus
 Dan berdiri di hadapan pintu gerbang Allah.
 Jika ada surga di bumi
 Itu terdapat di  sini  , ya , di sini".

#HSN.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar