Kamis, 21 Januari 2016

SATU - AHAD

SATU

“Allah itu adalah keadaanku, 
kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang? 

Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua,
nanti Allah sekarang Allah, 
tetap dzahir batin Allah, 
kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?

Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut 
diucapkan pada saat para wali menghendaki diskusi 
yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. 

Diskusi para wali diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa 
Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. 

Sementara dalam tugas resmi yang diberikan oleh Dewan Walisanga 
hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. 

Sementara menurut Syekh Siti Jenar 
justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah manunggal, 
di mana seluruh ciptaan 
pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan.

Pada saat itu, 
Sunan Gunung Jati mengemukakan, 
“Adapun Allah itu adalah yang berwujud haq”; 

Sunan Giri berpendapat, 
“Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.”; 

Sunan Bonang berkata, 
“Allah itu tidak berwarna, 
tidak berupa, 
tidak berarah, 
tidak bertempat, 
tidak berbahasa, 
tidak bersuara, 
wajib adanya, mustahil tidak adanya.”; 

Sunan Kalijaga menyatakan, 
“Allah itu adalah seumpama memainkan wayang.”; 

Syekh Maghribi berkata, 
“Allah itu meliputi segala sesuatu.”; 

Syekh Majagung menyatakan, 
“Allah itu bukan disana atau disitu, tetapi ini.”; 

Syekh Bentong menyuarakan, 
“Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; 

Setelah ungkapan Syekh Bentong inilah, 
tiba giliran Syekh Siti Jenar 
dan mengungkapkan konsep dasar teologinya di atas. 
Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut 
ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, 
yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut, 

“Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba 
adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”

Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali memanas, 
sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya. 
Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi 
yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. 

Sampai masa persidangan penentuannya, 
Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan lantang 
teologi manunggalnya bahwa, 

“Utawi Allah iku nyataning sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) .

‪#‎catatan‬ : Cahaya Allah (yang terang dan jelas didalam itu ada kebenaran-kebenaran).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar