Habib Luthfi Yahya:
"Tentang keimanan seseorang sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an,
"Katakanlah, jika kamu mencintai Allah..." (Ali Imran: 31).
Ketika ayat ini turun,
seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad (saw),
"Matta akunu mu'mman shadiqan?" atau
"Bilamanakah aku menjadi mukmin yang sesungguhnya?"
Dijawab oleh Baginda Nabi (saw),
"Idza ahbabtallah" atau
"Apabila engkau mencintai Allah"
Seianjutnya sahabat itu bertanya lagi,
dan dijawab oleh Rasulullah (saw),
"Orang itu mencintai Rasul-Nya.
Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya,
dan mencintai orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya"
Dan akhirnya, Nabi Muhammad (saw) bersabda lagi
"Wayatawaffatuna fil- Imani qadrl tawannutihim fi mahabati,"
atau
"Dan keimanan mereka bertingkat-tingkat
menurut tingkatan kecintaan kepada Allah."
Itu diucapkan sampai tiga kali oleh Rasulullah (saw).
Hadit itu melanjutkan bahwa kadar bobot iman seseorang,
tergantung pada kecintaannya kepada Nabi Muhammad (saw).
Sebaliknya kadar kekafiran seseorang
juga tergantung pada kebenciannya kepada beliau (saw).
Kalau kecintaannya kepada Rasulullah (saw) bertambah,
keimanannya kepada Allah (Swt) pun akan bertambah.
bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya.
Maka, apabila kita melihat ayat,
« Katakanlah:
Jika kamu mencintai Allah,
ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihl dan mengampunlmu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
(All Imran: 31).
Lalu bagaimanakah cara mencintai Allah
dan apa yang terkandung di dalam makna mencintai tersebut?
Jawabanya;
di antaranya bahwa Allah dan Rasul-Nya jelas tidak bias dipisah-pisahkan.
Kalau seseorang mencintai Allah, pasti dan harus mencintai Nabi-Nya.
Dan tentu saja,
dia akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintai Rasul-Nya."
Allahuma soli ala sayidina Muhammad nabiyil umiy wa alihi wa shobihi wa salim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar