Sabtu, 31 Oktober 2015

IQBAL.

Demikianlah kita saksikan bahwa Iqbal tidaklah berpandangan picik.
Dia tidak secara apriori menolak apa yang datang dari Barat.
Semangat Barat  yang tak kunjung padam untuk mengadakan 
penjelajahan dan penelitian , ilmu pengetahuan yang telah maju pesat,
usahanya yang tak kenal lelah dalam menghadapi tantangan lingkungan,
diterimanya dengan senang hati.
Akan tetapi dengan tegas ia menolak untuk menerima begitu saja 
secara mentah-mentah peradabannya yang dangkal dan sensasional,
karena segi peradaban Barat yang dangkal ini mendorong 
melemahkanharga diri  kita, bertentangan secara diametral 
dengan nilai-nilai budayakita yang asasi dan memberikan 
kepada kita suatu gambaran yang lancung tentang apa 
yang disebut "maju", "progresif", atau "modern' itu.

Iqbal ingin mencamkan kepribadian , kepercayaan pada diri sendiri
pada golongan intelektual muda.
Dengan tegas ia mencela sikap mengemis-membudak 
yang tanpa malu-malu menyembah-nyembah dan menjiplak-menjilat 
apa yang datang dari Barat.
Sikap seperti dipandangnya sebagai suatu degradasi martabat 
kemanusiaan dan menunjukkan kelemahan individualitas 
yang tidak terobati lagi :

"Berapa lama lagikah kan 'kan mengemis  kerjaan kantoran
  Bagaikan anak kecil menari-nari ditingkah tiupan seruling orang ?
  
 Suatu dunia yang tiangnya dipancang di awang-awang
 'kan terhembus habis terbius nikmat melintas.

 Biar melarat biar sengsara
 Biar tenggelam di samudera derita
 Pantang mengemis belas kasih
 Pantang terpancing gelombang pasang
 Yang menjulang memancar dari mentari".

Implikasi politis dan edukatif dari situasi yang dikecam -dicela 
Iqbal tidaklah asing bagi mereka yang bergerak dan mendalami
kebangunan kembali dan emansipasi Timur dalam bidang 
politik dan budaya.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar