Demikianlah kita saksikan bahwa Iqbal tidaklah berpandangan picik.
Dia tidak secara apriori menolak apa yang datang dari Barat.
Semangat Barat yang tak kunjung padam untuk mengadakan
penjelajahan dan penelitian , ilmu pengetahuan yang telah maju pesat,
usahanya yang tak kenal lelah dalam menghadapi tantangan lingkungan,
diterimanya dengan senang hati.
Akan tetapi dengan tegas ia menolak untuk menerima begitu saja
secara mentah-mentah peradabannya yang dangkal dan sensasional,
karena segi peradaban Barat yang dangkal ini mendorong
melemahkanharga diri kita, bertentangan secara diametral
dengan nilai-nilai budayakita yang asasi dan memberikan
kepada kita suatu gambaran yang lancung tentang apa
yang disebut "maju", "progresif", atau "modern' itu.
Iqbal ingin mencamkan kepribadian , kepercayaan pada diri sendiri
pada golongan intelektual muda.
Dengan tegas ia mencela sikap mengemis-membudak
yang tanpa malu-malu menyembah-nyembah dan menjiplak-menjilat
apa yang datang dari Barat.
Sikap seperti dipandangnya sebagai suatu degradasi martabat
kemanusiaan dan menunjukkan kelemahan individualitas
yang tidak terobati lagi :
"Berapa lama lagikah kan 'kan mengemis kerjaan kantoran
Bagaikan anak kecil menari-nari ditingkah tiupan seruling orang ?
Suatu dunia yang tiangnya dipancang di awang-awang
'kan terhembus habis terbius nikmat melintas.
Biar melarat biar sengsara
Biar tenggelam di samudera derita
Pantang mengemis belas kasih
Pantang terpancing gelombang pasang
Yang menjulang memancar dari mentari".
Implikasi politis dan edukatif dari situasi yang dikecam -dicela
Iqbal tidaklah asing bagi mereka yang bergerak dan mendalami
kebangunan kembali dan emansipasi Timur dalam bidang
politik dan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar