Oleh: Muhammad Muhsinin
Kitab ini satu-satunya kitab tafsir yang penyusunnya dua orang.
Uniknya mereka tidak mengerjakannya secara bersamaan.
Siapa yang tak kenal dengan Tafsir Jalalain?
Setiap pengkaji tafsir al-Quran pasti mengenal kitab tafsir ringkas yang disusun dua maestro ilmu tafsir, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti.
Jalaluddin, yang berarti orang yang mengagungkan agama,
adalah gelar yang diberikan kepada seorang ulama yang dianggap sangat ahli dalam bebarapa ranah ilmu.
Dalam khazanah tasawuf, misalnya, nama Jalaluddin dinisbatkan kepada sufi besar Maulana Muhammad bin Muhammad al-Qunuwi al-Balkhi ar-Rumi alias Jalaluddin Rumi.
Karena disusun oleh dua Jalaluddin itulah kitab tafsir berusia empat abad yang menjadi rujukan wajib di banyak pesantren ini dinamakan Tafsir Jalalain, Tafsir Dua Jalal.
Jika ditilik dari model penafsiran, Tafsir Jalalain cenderung menonjolkan analisis kebahasaan atau nahwu dan sharaf, dari sisi susunan kalimat dan asal-usul kata, serta analisis tajwid dan qiraah atau tata cara membaca al-Quran.
Terkait dengan al-Quran, penguasaan ilmu-ilmu tersebut merupakan pra-syarat mutlak untuk bisa membaca dan memahami al-Quran dengan benar.
Meski disebut-sebut penyusunnya oleh dua orang, sebenarnya al-Mahalli dan as-Suyuthi tidak mengerjakannya dalam waktu yang bersamaan.
Masing-masing penyusun yang berbeda generasi itu hanya menulis tafsir separuh al-Quran pada masanya.
Sebab ketika sang mufassir pertama menyusun bagian pertama Tafsir Jalalain, mufassir kedua baru saja memulai pengembaraannya mencari ilmu.
Sekali tempo liku-liku arah pengembaraan membuat keduanya bertemu dalam hubungan guru dan murid. Namun setelah itu mereka berpisah lagi. Baru beberapa tahun setelah sang guru wafat, sang murid datang untuk meneruskan pekerjaan besar sang guru yang belum usai.
Penulis awal Tafsir Jalalain adalah Jalaluddin al-Mahalli, tokoh kelahiran Kairo, Mesir, tahun 791H/1389 M, yang bernama asli Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad bin Hasyim al-Mahalli al-Mishri asy-Syafi’i. Uniknya, entah mengapa, ulama besar yang juga termasyhur karena kealimannya di bidang fiqih, ilmu kalam, nahwu dan manthiq dan karya-karya besarnya, itu mengawali penulisan tafsirnya dari Surah al-Kahfi yang terletak di pertengahan juz lima belas lalu terus ke belakang hingga surah terakhir, An-Nas.
Usai menafsirkan Surah An-Nas, al-Mahalli lalu kembali ke halaman muka Al-Quran, menafsirkan surah Al-Fatihah. Tadinya, setelah usai menafsirkan surah pertama dalam Al-Quran itu ia akan melanjutkan dengan surah Al-Baqarah, Ali Imran dan seterusnya hingga akhir surah Al-Isra. Namun taqdir berkata lain, ketika baru selesai menulis tafsir Al-Fatihah, sang Allamah berpulang ke haribaan Allah pada tahun 864 H/1459 M.
Gaya Yang Sama
Merasa sayang dengan karya besar sang guru yang nyaris terbengkalai, belasan tahun kemudian, pekerjaan mulia itu pun dilanjutkan oleh salah satu murid al-Mahalli yang saat itu telah menjadi ulama besar yang sangat alim, Abdurrahman bin Kamaluddin Abi Bakar bin Muhammad Sabiquddin bin Fakhrudin bin Utsman bin Nashiruddin Muhammad bin Saifudin Khidhir al-Khudhairi As-Suyuthi Al Mishri Asy-Syafi’i, atau Jalaluddin as-Suyuthi. Secara mengagumkan, As-Suyuthi melanjutkan penafsiran dari Surah Al-Baqarah sampai akhir Surah Al-Isra di juz 15, dengan metodologi serta pola dan gaya bahasa yang nyaris sama persis dengan tulisan awal sang guru.
Jika bukan karena ada keterangan bahwa kitab tafsir itu disusun oleh dua mufassir, orang-orang pasti akan mengira penyusun Tafsir Jalalain hanya satu orang saja. Bahkan, untuk menyamakan metodologi dengan sang pendahulu, As-Suyuthi juga meletakkan surah Al-Fatihah berikut penafsirannya di akhir kitab.
Untuk melengkapi penjelasan dalam kitab-kitab tafsirnya, Imam as-Suyuthi juga menyusun kitab Lubabun Nuqul yang menjelaskan asbabun nuzul (sebab-musabab turunnya sebuah ayat) setiap surah. Pada edisi cetak modern, kutipan asbabun nuzul setiap surah Al-Quran tersebut tertera sebagai hasyiyah (catatan pinggir) kitab Tafsir Jalalain. Selain itu juga dimuat kutipan kitab Nasikh wal Mansukh, karya Imam Ibnu Hazim.
Pemuatan asbabun nuzul tersebut dimaksudkan untuk menuntun pemahaman akan makna tafsir yang benar sesuai dengan konteks sosial dan masalah ketika ayat tersebut turun. Sedangkan nasikh wal mansukh (yang membatalkan dan yang dibatalkan) merupakan salah satu sarana untuk memahami kesimpulan yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran.
Meski terbilang sangat ringkas, informasi-informasi penting dalam Tafsir Jalalain membuat kitab itu terus menjadi rujukan ulama, bahkan hingga saat ini. Keringkasan penjabarannya juga mengundang minat banyak ulama sesudahnya untuk menyusun komentar atas kitab tafsir tersebut. Sebut saja Majma’ al-Bahrain Wa Mathla’ al-Badrain karya Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Karkhi, al-Futuhat al-Ilahiyyah atau Hasyiyah al-Jamal dan Hasyiyah ash-Shawi karya Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Mishri al-Maliki al-Khalwati.
Kebesaran dua tokoh penyusun Tafsir Jalalain sangat melegenda. Di samping dikenal karena pembahasannya yang luas dalam setiap kitab, Jalaluddin al-Mahalli dan as-Suyuthi juga telah menghasilkan karya yang jumlahnya cukup banyak. Dalam bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran, misalnya, as-Suyuthi telah menghasilkan sedikitnya dua puluh kitab, seperti al-Itqan fi Ulumil Quran dan ad-Durrul Mantsur fi Tafsir Bil Ma’tsur.
Semua kitab-kitab karya as-Suyuthi selalu menarik untuk dikaji. Sebab, selain kajiannya yang mendalam, setiap karyanya juga mempunyai keunikan. Kitab Ad-Durrul Mantsur, misalnya, ialah sebuah kitab tafsir al-Qur’an yang sumbernya berasal dari hadits-hadits yang diriwayatkan ath-Thabarani.
Dengan teliti as-Suyuthi menukil semua hadits marfu’ (periwayatannya sampai kepada Rasulullah SAW) dan atsar (ucapan atau keterangan) para sahabat dan tabi’in yang menafsirkan atau mengulas ayat-ayat al-Quran. Namun, berbeda dengan setiap hadits selalu ia jelaskan juga derajat keshahihannya, atsar-atsar yang nukilnya ia biarkan saja tanpa komentar.
Muhaddits Piawai
Selain mufassir, As-Suyuthi memang dikenal juga sebagai muhaddits piawai. Tengok saja karya-karya dalam bidang hadits yang jumlahnya tak kurang dua belas kitab. Di antaranya yang paling populer adalah Ainul Ishabah Fi Ma’rifati ash-Shahabah, Durru ash-Shahabah Fi Man Dakhala Mishra Minash Shahabah dan al-Luma’ Fi Asmaa`i Man Wadla’.
As-Suyuthi lahir ba’da Maghrib, malam Senin bulan Rajab 849 H, enam tahun sebelum bapaknya wafat. Ia berasal dari lingkungan cendekiawan. Tak heran sejak dini ayahnya berusaha mengarahkannya menjadi ilmuwan dan orang shalih.
Sejak usia belia ia selalu diajak sang ayah menghadiri berbagai majelis ilmu. Di forum yang mulai itu sang ayah sering meminta doa dari ulama besar untuk anaknya. Salah satu ulama yang pernah mendoakan as-Suyuthi agar menjadi ulama besar adalah Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, muhaddits besar penyusun kitab Bulughul Maram. Tak hanya mendoakan, setiap kali minum segelas air usai mengajar, Syaikh Ibnu Hajar selalu menyisakan sedikit untuk diminum as-Suyuthi.
Ketika sang ayah wafat, as-Suyuthi diasuh oleh Syaikh Kamaluddin bin Humam al-Hanafi, pengarang kitab Fathul Qadir. Di bawah asuhan sang allamah itulah as-Suyuthi berhasil hafal al-Qur’an di usia delapan tahun. Setelah itu ia lalu menghafal kitab al-’Umdah, lalu Minhajul Fiqhi Wal Ushul dan Alfiyah Ibnu Malik.
Ketika usianya menginjak 15 tahun, as-Suyuthi mulai berkelana dan berguru kepada para ulama besar. Sebut saja Syaikh Siraajuddien al-Balqini, yang mengajarnya berbagai kitab fiqih seperti al-Hawi Ash-Shaghir, Al-Minhaj, Syarah Al-Minhaaj dan Ar-Raudhah. Syaikh Sihabuddin Asy-Syaarmasahi dan Asy-Syari Al-Manawi Abaz Kuriya Yahya bin Muhammad, guru-guru ilmu faraidh (waris)-nya.
As-Suyuthi juga menimba ilmu tata Bahasa Arab dan ilmu hadits kepada Syaikh Taqiyuddin Asy-Syamini Al-Hanafi (w 872 H), dan berguru ilmu tafsir, ilmu Ushul, ilmu bahasa Arab dan ilmu Ma’ani kepada Syaikh Muhyiddin Muhammad bin Sulaiman Ar-Rumi Al-Hanafi selama empat belas tahun. Ia juga sempat berguru kepada Jalaluddin Al-Mahalli (penyusun pertama Tafsir Al-Jalalain) dan ‘Izzul Kinaani Ahmad bin Ibrahim al-Hanbali, serta banyak lagi ulama yang lain.
Selain ilmu agama, Imam Suyuthi juga beberapa bidang ilmu umum seperti ilmu hitung dan ilmu faraidl dari Majid bin As-Siba’ dan Abdul Aziz Al-Waqaai, serta ilmu kedokteran kepada Muhammad bin Ibrahim Ad-Diwani Ar-Rumi.
Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, salah satu murid As-Suyuthi mengatakan dalam kitab Thabaqat-nya, bahwa gurunya telah berguru kepada lebih dari 600 ulama. Ditunjang modal kecerdasan, kekuatan hafalan dan keuletan belajar, As-Suyuthi yang ahli ibadah, zuhud dan tawadhu’ pun segera menjelma menjai seorang ulama besar yang memenuhi taraf kemampuan untuk berijtihad.
Selain alim, Imam Suyuthi juga dikenal sebagai sosok yang teguh pendirian dan tak suka menjilat kepada pemerintah. Bahkan ia tak pernah mau menerima hadiah dari raja. Suatu ketika raja Ghuri memberinya hadiah berupa uang seribu dinar dan seorang budak perempuan. Segera saja uang itu dikembalikan. Sedangkan sang budak perempuan itu dimerdekakan. Ia lalu berkata kepada sang raja, “jangan berusaha memalingkanku hanya dengan memberi hadiah semacam itu, karena Allah telah menjadikanku tidak merasa butuh lagi terhadap hal-hal semacam itu.”
Dan setelah hidup dengan penuh gemilang cahaya ilmu dan ibadah, ulama yang telah menulis lebih dari 500 judul kitab itu wafat pada hari Jum’at, 19 Jumadi Ula 911 H. Sebelumnya sang Allamah sempat menderita sakit selama tujuh hari, sebelum akhirnya berpulang dalam usia 61 tahun 10 bulan 18 hari. Jenazah ilmuwan agung itu dimakamkan di pemakaman Qaushun atau Qaisun, di luar pintu gerbang Qarafah, di Kairo, yang terkenal dengan sebutan Bawwabah As-Sayyidah ‘Aisyah (Pintu gerbang Sayyidah ‘Aisyah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar