Surat yang ditulis tentang shaum oleh Syaikh Syarafudin Maneri,
seorang guru sufi dari India yang ditujukan kepada muridnya yang bernama
Qazi Syamsuddin.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Wahai
Syamsuddin, sesungguhnya para pemangku kebenaran dan keihsanan telah
berkata: “Seperti halnya kekuatan raga tergantung pada makanan dan
minuman, maka kekuatan jiwa tergantung kepada kondisi menahan lapar dan
haus. Karena dalam ranah Tuhan, rasa lapar adalah jamuan yang sangat
khusus.” Dikatakan bahwa salah sifat Tuhan adalah sebagai
berikut:
“Dan Dia yang memberi makan, bukan Dia yang diberi makan.” (QS Al An’aam [6]:14)
Jika seorang hamba mendekat melalui shaum, maka sesuai dengan
kesepakatan para ulil albab maka ia berjalan di atas permadani yang
membawanya mendekat kepada Allah. Sang hamba pun kemudian menjadi
semakin berjarak dari sifat insaniyahnya. Ketika seseorang shaum dengan
niatan “menjadikan perbuatannya mendekati perbuatan Tuhan,” kemudian ia
pada saat yang sama mampu memberi makan hamba yang lain, maka dengannya
ia makin mendekati kualitas Sang Maha Kasih. Sang hamba kemudian akan
semakin menjauh dari tarikan ragawiyah dan menikmati pancaran kedekatan
jiwa dengan-Nya, sebaimana Allah Rabbul ‘Aalamin telah berfirman,
“Mereka yang shaum akan menikmati dua kebahagiaan, yaitu saat berbuka
dan saat bertemu dengan Tuhannya.”
Apa sebenarnya kebahagiaan
yang tersedia saat si hamba berbuka? Sang pencari Tuhan adalah bagaikan
seseorang yang menempuh perjalanan jauh untuk bertemu sang kekasih.
Syarat yang diberikan kepadanya adalah “Jika kau ingin bertemu
dengan-Nya, maka shaumlah!”. Oleh karena itu ia menahan keinginan
ragawinya selama perjalanan kembali.
“Dan kepada Rabb-mu lah kembali segala sesuatu.”(QS An Najm [53]:42)
Dan di akhir perjalanan, saat waktu shalat maghrib telah tiba dan kuda
yang menopang dia dalam perjalanan telah ditambatkan. Sang pejalan
menerima sajian alfalfa (sejenis tumbuhan yang kaya gizi) dan segelas
air untuk menyudahi shaumnya pada hari itu dan memberi tenaga kepada
sang pejalan. Pada saat itu hilanglah semua kepayahan yang ia telah
alami sepanjang hari.
Adapun kebahagiaan kedua bagi orang yang
berbuka sesungguhnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Itu adalah
sesuatu yang harus dialami, seperti kata pepatah “Siapapun yang belum
mencecap rasa sesuatu sesungguhnya belum mengetahui apapun tentang hal
itu.” Antara Tuhan dengan hamba-Nya terbentang 70.000 hijab, jika saja
salah satu hijab itu tersingkap maka apapun yang ada di hadapannya akan
tenggelam dalam balutan sinar-Nya. Lalu siapa yang mampu mengungkapkan
dengan kata-kata sebuah pengalaman seperti itu? Inilah maksud sebuah
pepatah “Adalah sia-sia membicarakan sesuatu yang telah demikian jelas!”
“Buatlah perutmu lapar dan badanmu kehausan, dengannya semoga engkau bisa melihat Tuhan di dunia ini.”Demikian firman Tuhan.
Wahai saudaraku, lalu mengapa raga ini harus menanggung sekian
kepayahan? Berkaitan dengan shaum Rasulullah SAW bersabda, “Setiap
amalan seorang hamba akan mendapat pahala hingga tujuh puluh kali lipat,
kecuali shaum. Shaum yang dikerjakan demi mendapatkan ridho-Nya akan
diganjar langsung oleh-Nya.” Maka saudaraku, sadarilah ganjaran yang
sangat mulia saat seorang hamba menempa dirinya melalui shaum,
sesungguhnya ia tengah diangkat dari kegelapan
kecenderungan-kecenderungan hawa dan syahwat yang melingkupi dirinya
untuk mendekat kepada-Nya hingga ke langit ketujuh meraih momen saat
melihat wajah-Nya terjadi bagai mereka yang mencari-Nya dengan
sungguh-sungguh.
Ibadah shaum sangat dianjurkan bagi para salik.
Bagi mereka yang ingin mendengarkan titah Tuhan lebih jelas dalam
hatinya, mereka akan menjalankan shaum selama empat puluh hari. Oleh
karena itu dianjurkan untuk melanjutkan shaum Ramadhan dengan shaum di
bulan syawal.
Seorang syaikh berpesan kepada muridnya, “Seorang
murid dianjurkan memiliki tiga hal : Pertama, kecuali engkau ditaklukan
oleh rasa kantuk, maka tidurlah sesedikit mungkin; Kedua, kecuali jika
engkau harus mengemukakan sesuatu yang penting, maka sedikitlah
berbicara; yang ketiga, kecuali jika engkau tak kuasa menanggung rasa
lapar, maka shaumlah.”
Wahai saudaraku, sesungguhnya siklus makan
dan memenuhi kebutuhan syahwat adalah menyibukkan kita dari
memandang-Nya. Maka ketika seseorang mencoba mengosongkan dirinya
melalui shaum kehadiran-Nya akan semakin jelas terasa. Sungguh menahan
diri tarikan syahwat sembari duduk di karpet jamuan di hadapan-Nya
adalah jauh lebih baik dibanding berpesta pora di dalam istana-Nya tanpa
kehadiran Sang Maha Raja.
Wassalam (Adaptasi dan terjemahan dari Bahasa Inggris oleh Tessa Sitorini)
=====
Selamat menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan. Mohon maaf lahir dan batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar