BAB II
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
1)   Harta bersama
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami istri salama dalam ikatan perkawinan. Hai ini diatur dalam pasal 35 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu sebagai berikut:
A. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
  1. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh    masing-masing sebagai hadia atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing  sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari pengertian pasal 35 diatas dapat dipahami bahwa segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan diluar harta warisan, hibah. Karena itu, harta yang diperoleh suami atau istri berdasarkan uahanya masing-masing merupakan milik bersama suami istri.
Lain halnya harta yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebelum akad nikah, yaitu harta asal, atau harta bawaan, harta asal itu, akan diwarisi oleh masing-masing keluarganya bila pasangan suami istri itu meninggal dan tidak mempunyai anak. hal ini diatur dalam firman Allah dalam surat An-nisaa’ ayat 32 sebagai berikut:
artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Isyarat dan penegasan ayat tersebut dijelaskan lebih lanjud dalam kompilasi pasal 85.86.87. yaitu sebagai berikut:
Pasal 85 KHI:
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
Pasal 86 KHI:
Ayat 1:  Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
Ayat 2: Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87 KHI:
Ayat 1: Harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah pengusaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Ayat 2:  Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-msing berupa hibah,hadiah, Shodaqah, atau lainnya.
Pengunaan harta bersama suami istri atau harta dalam perkawinan, di atur dalam pasal 36 ayat 1. Undang-undang perkawinan, yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Lain halnya penggunaan harta asal, atau harta bawaan penggunaanya di atur dalam pasal 36 ayat {2}Undang-undang tentang perkawinan, yang menyatakan bahwa menjelasakan tentang hak suami atau istri untuk mebelanjakan harta bawaan masing-masing.
Pasal 89  KHI: Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri, maupun harta sendiri.
Pasal 90 KHI:Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.
Dari pengaturan harta tesebut, baik harta bersama maupun harta asal/harta bawaan berdasarkan firman Allah urat An-nisaa ayat 34 yang berbunyi sebagai berikut :
aritnya :  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara {mereka}.
Pengaturan  kekayaan harta bersama diatur juga dalam pasal 39  KHI:
  1. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat benda berwujud atau tidak berwujud.
  2. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
    1. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
    2. Harta bersam dapat dijadikan sebagai barang jaminan dan salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 91 KHI di atas dapat di pahami bahwa adanya perbedaan kehidupan sosial dizaman Nabi Muhammad dengan kondisi sosial saat ini, saat ditemukan harta yang berupa surat-surat berharga{polisi, saham, cek, dan lain-lain.}. oleh karna itu, pengertian harta kekayaan menjadi luas jangkauannya. Sebab, tidak hanya barang-barang materil yang langsung menjadi bahan makanan, malainkan termasuk non materil  berupa jasa dan sebagainya. yang penting adalah pengunaan kekayaan dimaksud, baik kepentingan salah satu pihak maupun kepentinga bersama harus selalu berdasarkan musyawarah sehingah akan tercapai tujuan perkawinan.
Pasal 92 KHI: Mengatur mengenai persetuan pengunaan harta bersama, suami atau istri tanpa persetuan pihak lain, diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Penggunaan harta bersama,lebih lanjud diatur dalam pasal 93, 94, 95, 96, dan 97 KHI.
Pasal 93 KHI:
1)   Petagung jawaban terhadap utang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2)   Pertangung jawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebakan kepada harta bersama.
3)   Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4)   Bila harta suami tidak ada atau tudak mencukupi maka dibebankan kepada harta istri.
Meskipun ketentuan pasal 93 tersebut seakan mengesankan adanya pemisahan antra harta suami dan istri, karna tidak penjelasan tenteng kapan utang suami atau istri itu dilakukan, maka penafsiran yang dapat dilakukan adalah apabila utang tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan keluarga. Namun sebaliknya, untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, jika harta bersama tidak mencukupi, maka di ambil dari harta pribadi masing-masing suami atau sang istri. Itupun apabila perkawinanya yang bersifat monogami yang relatif kecil peluang terjadinya, perselisihan di antara mereka. Di banding perkawinan poligami.
Dalam kaitan dalam perkawinan poligami, kompilasi mengaturnya dalam
pasal 94 KHI :
1)   Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2)   Pemilikan harta bersama dari perkawinan seseorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagai mana tersebut pada ayat 1. Dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atu keempat.
Ketentuan ini dimaksudkan agar antara istri petama, kedua,ketiga, ataupu keempat, tidak menjadi perselisihan, termasuk mengantisipasi kemungkinan gugat warisan diantara masing-masing keluarga dari istri-istri tersebut.
Akibat ketidak jelasan pemilikan harta bersama antara istri pertama dan kedua, sering menimbulkan sangketa waris. yang diajukan kepengadilan Agama. Lebih-lebih lagi apabila poligami tersebut dilakukan dengan tanpa pertimbangan tetib hukum dan administrasi, berupa pencatatan nikah, itu tentu saja menyulitkan keluarga mereka itu sendiri, boleh jadi tidak dapat dijangkau oleh hukum karena secara yuridis formal tidak ada bukti-bukti otenntik, bahwa mereka telah melakukan perkawinan.
Pasal 95 KHI.
1)   Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat {2} huruf c peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 dan pasal 136 ayat{2}, suami atau istri dapat memintak pengadilan agama untuk meletakan sita jaminan atas harta  bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahyakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2)   Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentinga keluarga dengan izin pengadilan agama.
Pasal 96 KHI:
1)   Apabilah terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama, maka separuh harta menjadi hak pasangan yang hidp lebih lama.
2)   Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan pengadilan agama.
Pasal 97 KHI:
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq. Hukum islam Di Indonesia, Manejemen PT Raja Granfindo Persada Jakarta 2000
BAB.III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari kasus diatas, yakni:
a. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, macam-macam harta perkawinan, yaitu:
Harta pribadi, adalah harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
Harta bersama (syirkah), adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
b. Status harta perkawinan pada dasarnya tidak ada percampuran harta pribadi masing-masing karena perkawinan.                                          Suami dan isteri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi masing-masing. Kecuali para pihak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
c. Tanggung jawab suami isteri terhadap harta perkawinan yaitu: Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama,                      harta istri dan hartanya sendiri; Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya; Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama; dan apabila ada hutang suami atau isteri, maka dibebankan pada hartanya masing-masing, hutang keluarga dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi dibebankan pada harta suami, selanjutnya baru dibebankan pada harta isteri apabila masih belum mencukupi.
d. Dari seluruh putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi inti permasalahan adalah apakah barang yang dipersengketakan tersebut termasuk harta bersama ataukah harta bawaan? Dalam kasus posisi diketahui bahwa harta tersebut merupakan harta bawaan Agustono, dimana ia memperolehnya sebelum melangsungkan perkawinan dengan Yanti. Agustono pun hanya berjanji secara lisan kepada Yanti akan membagi harta tersebut jika pada akhirnya perkawinan mereka bermasalah. Oleh karena Agustono hanya berjanji secara lisan saja, maka janji Agustono tersebut tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Dimana berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, suatu perjanjian perkawinan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  • Persetujuan suami isteri Harus tertulis
  • Harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan
  • Isi perjanjian tersebut berlaku untuk pihak ketiga, apabila pihak ketiga tersangkut
  • Sehingga jelaslah bahwa harta sengketa tersebut bukan harta bersama.
B. Saran
Saran yang penulis berikan atas adanya kasus sengketa harta perkawinan ini adalah: Diperlukan adanya ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing pihak agar status harta bawaan tersebut jelas dan pasti. Karena ketentuan di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta bawaan dengan harta bersama tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat akan dilangsungkannya perkawinan atau sebelumnya dapat menimbulkan permasalahan dikemudian hari, terutama dalam segi pembuktian asal usul harta pada waktu pembagian harta saat perceraian.