Alkisah, ketika Dzun Nun al-Misri mengembara dan berjumpa dengan seorang rahib, ia pun bertanya: “Apa itu cinta, menurut Anda?” Sang Rahib pun menjawab, “Cinta sejati tidak mau dibelah dua. Jika cinta telah tertumpah kepada Allah, tak ada lagi cinta selain pada-Nya. Jika tertumpah selain Allah, tak mungkin dipersatukan dengan cinta kepada-Nya. Karena itu, renungilah dirimu pada siapa kau mencintai” (Hamka, 1983: 100). Apa yang menarik dari kisah ini?
Pertama, perjumpaan dialogis dua tradisi berbeda, antara Dzun Nun dan seorang rahib. Kedua, satu masalah yang membongkar garis pembatas sectarian, yakni cinta. Tidak mungkin seorang faqih bertanya tentang hukum fiqh kepada seorang pastur. Tetapi, berkaitan dengan cinta, sufi dan rahib dapat saling berbagi pengalaman (Moch. Tijani Abu Na’im, 2012: 94-95). Bahkan, sebagaimana diungkapkan Javad Nurbakhs (2002), ciri utama sufisme awal abad ketiga Hijriah adalah memiliki sikap toleransi agama.
Sejarah sufisme menurut Abu Na’im (h. 95), adalah sejarah manusia mengelola batinnya, dimensi spiritualnya, dalam koridor keislaman. Salah mengelola sisi batinnya menyebabkan manusia mengalami keretakan eksistensial yang bermuara pada segenap tata etika moral perbuatannya. Dari kisah di atas, lahir harapan pada sufisme berkaitan dengan problem historis hari ini, yakni bagaimana mewujudkan kerukunan manusia, secara universal?
Problem tersebut haruslah diselesaikan pada tingkat fundamental. Sejauh sufisme dan spiritualitas menaruh perhatian pada sisi batin fundamental manusia, harapan akan kesadaran moral universal bisa bergantung padanya. Demikian juga toleransi dan kerukunan hidup di antara sesama manusia, dalam kacamata Na’im, hanya dapat diwujudkan melalui kesadaran spiritualnya. Pada aras inilah kita akan menemukan urgensi dari ajaran para sufi. Doktrin-doktrin yang dikembangkan para sufi memiliki derajat universalitas yang memadai bagi upaya mengatasi problem kemanusiaan.
Tasawuf, sebagaimana dikutip Abu Na’im dari pernyataan Muhammad bin Ali al-Kattani, adalah moral. Karena itu, masalah konflik horizontal di tengah masyarakat, terutama yang bersumber dari tiadanya toleransi antar umat beragama, mestilah diatasi dengan mendasarkannya di atas prinsip spiritualitas. Na’im menggarisbawahi, bahwa bersikap harmonis dan bertindak baik tidak terbatas terhadap sesama pemeluk agama, tapi terhadap manusia, secara lahir dan batin.
Yang harus pula kita pahami, tasawuf, sebagaimana diuraikan Taftazani, bukan ajaran melainkan sikap. Seorang sufi bukanlah penghafal dokrin tasawuf secara didaktis, tetapi bertasawuf. Karena itu, professor tasawuf tidak otomatis menjadi sufi. Tasawuf adalah “falsafah hidup untuk meningkatkan jiwa manusia secara moral melalui latihan-latihan praktis tertentu, terkadang untuk menyatakan pemenuhan fana dalam Realitas Mutlak serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara rasional, yang buahnya adalah kebahagiaan rohaniah, yang hakikat realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata, sebab karakternya bercorak intuitif, dan subjektif” (Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, 2003: 6).
Dari uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa dengan bertasawuf mampu menumbuhkan kecerdasan spiritual seseorang sekaligus mengasah kepekaan social dan juga melatih diri untuk dapat menerima “yang lain” yang berbeda dengan kita. Kesediaan menerima yang lain inilah yang saat ini kita butuhkan di tengah maraknya budaya takfiriyah (mengkafirkan orang lain yang berdeda) yang belakangan kian meluas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar