Kamis, 24 November 2016

MENAKAR PASAL-PASAL KEWARISAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

MENAKAR PASAL-PASAL KEWARISAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
Oleh: Drs. H. T a r s i, S.H., M.HI
(Ketua Pengadilan Agama Pelaihari/Dosen Fakultas Syari’ah)
Disajikan pada Kuliah Umum Mahasiswa Fakultas Syari’ah/Ahwal Al Syakhshiyyah
STAI Darussalam Martapura

I.          PENDAHULUAN
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan yang menyangkut peradilan agama sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, karena itu dalam upaya memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, Pemerintah telah mensahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (LN Tahun 2006 Nomor 22) dimaksud.[1]
Dalam kompetensi absolut (menyangkut jenis perkara), yang menjadi tugas pokok dan kewenangan peradilan agama menurut undang-undang ini mengalami perkembangan yang bersifat penambahan dan penegasan. Penambahan di sini dimaksudkan dengan bertambahnya butiran kewenangan pengadilan agama dalam tugasnya memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara[2] di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam.
Sebagai penegasan, pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini menjelaskan (TLN No. 4611), bahwa yang dimaksud dengan “rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan di Indonesia. Penegasan berikutnya dapat dibaca pada penjelasan pasal 49 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan pasal ini.
Penegasan lainnya adalah berkenaan dengan peniadaan kemungkinan melakukan pilihan hukum (choice of law) di bidang kewarisan sebagaimana masih terbuka dalam undang-undang yang telah direvisi. Dalam kaitan ini, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menyatakan “para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan,” dinyatakan dihapus.[3]
Hapusnya choice of law dalam bidang kewarisan menurut Undang-Undang  Nomor 3 Tahun 2006 ini, maka pengadilan agama dibolehkan volunter waris. Kalau sebelumnya hanya berbentuk P3HP, perkaranya tidak terdaftar dalam register permohonan perkara yang berakibat menurunnya jumlah perkara yang ditangani pengadilan agama dari jumlah perkara yang sebenarnya. Sekarang dengan hadirnya perubahan ini, mampukah hukum waris yang ada memberikan penyelesaian hukum bagi masyarakat pencari keadilan itu?.
Di satu sisi, Indonesia sampai saat ini masih belum memiliki undang-undang khusus tentang masalah kewarisan, di sisi lain hukum waris Islam versi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang seyogianya dapat dijadikan acuan bagi seluruh pengadilan agama di wilayah hukum Indonesia,[4] tampaknya masih mengundang pro-kontra seputar pemunculannya yang hanya didasarkan atas instruksi presiden saja, di sampingtakaran muatan materinya yang tidak dapat menjangkau keseluruhan bidang kewarisan alias tidak selengkap dan sedetail kitab-kitab fikih waris klasik.
Namun satu hal yang patut digarisbawahi, kehadiran Kompilasi Hukum Islam ini sudah merupakan satu terobosan baru dalam hubungannya dengan serangkaian reformasi hukum di bidang ahwal al syakhshiyyah, termasuk masalah kewarisan. Dengan pengertian lain, pada sebagian pasal-pasalnya, sudah terkandung aspek-aspek reformatif hasil sumbangan pemikiran sejumlah tokoh dan pemerhati hukum, yang mereka upayakan dan suarakan diperbagai kesempatan, dalam waktu dan perjuangan yang relatif panjang.
Atas dasar demikian, diskusi tentang kewarisan menurut perangkat hukum ini akan menjadi menarik ketika ia diperbincangkan dalam konteks satu-satunya rujukan (semacam perundangan) yang dapat dijadikan acuan atau pedoman bagi seluruh hakim pengadilan agama di Indonesia dalam menyelesaikan kasus-kasus waris, terkait dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, pasal 49 huruf b dengan penjelasan sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan bagian masing-masing ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.”[5]

Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdiri dari tiga buku, buku II nya berisi tentang hukum kewarisan, memuat 6 bab dengan rincian sebanyak 43 pasal, dua bab di antaranya membahas tentang masalah wasiat dan hibah. Untuk melihat apakah pasal-pasalnya ini mampu mengcover apa yang disebutkan dalam penjelasan pasal 49 huruf b di atas, dan sesuai dengan tema tulisan ini, telaah hanya difokuskan pada 23 pasal yang berhubungan dengan ketentuan umum menyangkut definisi operasional terhadap beberapa pengertian yang ada dalam buku II, kemudian ahli waris dan besarnya bagian ditambah dengan kasus ‘Aul dan Radd.

II.        MENAKAR PASAl-PASAL KEWARISAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
A.      Pasal-pasal Kewarisan Kompilasi Hukum Islam
KHI yang merupakan kumpulan materi/bahan hukum Islam yang tersebar di perbagai kitab fikih klasik, di samping bahan-bahan lain yang berhubungan, kemudian diolah melalui proses dan metode tertentu, lalu dirumuskan dalam bentuk yang serupa perundang-undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu) lahir berdasarkan atas landasan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tertanggal 10 Juni 1991.[6]
Khusus mengenai buku II tentang hukum kewarisan, KHI memuat enam bab 43 pasal, terhitung mulai pasal 171 sampai dengan pasal 214 dengan perincian sebagai berikut:
·           Bab I memuat 1 pasal tentang Ketentuan Umum;
·           Bab II memuat 4 pasal tentang Ahli Waris;
·           Bab III memuat 16 pasal tentang Besarnya Bagian;
·           Bab IV memuat 2 pasal tentang ‘Aul dan Radd;
·           Bab V memuat 16 pasal tentang Wasiat;
·           Bab VI memuat 5 pasal tentang Hibah.[7]
Empat bab dengan 23 pasal di antaranya terkait langsung dengan masalah kewarisan Islam. Dihubungkan dengan kewarisan pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, pasal 49 huruf b penjelasan di atas, secara otomatis KHI menjadi sumber dan pedoman bagi penyelesaian kasus-kasus waris yang tengah dihadapi masyarakat Islam Indonesia, dalam konteks perkara yang diajukan ke pengadilan agama. Melalui penjelasan pasal-pasalnya, Kompilasi Hukum Islam menyatakan: Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam hukum waris Islam, yang demikian sering dikenal dengan istilah faraidh.[8] Dari pengertian ini, sekaligus tergambar apa yang dikehendaki dengan rukun dan syarat terjadinya kewarisan itu, yakni matinya pewaris, hidupnya ahli waris, dan terdapatnya harta peninggalan atau disebut dengan istilah tirkah.
Peristiwa kematian membawa akibat hukum yang selanjutnya timbul, yakni bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak dan kepemilikan si mati kepada ahli warisnya. Oleh karenanya rukun pertama dari proses waris mewarisi adalah matinya pewaris yang bisa ditentukan secara hakiky atau hukmy,[9] demikian juga halnya dengan penentuan hidupnya ahli waris. Terkait dengan tidak adanya persyaratan waris itu harus dewasa, maka penentuan hidup secara taqdiry pun kadang turut dipertimbangkan dalam proses pembagian ini.
Ahli waris nasabiyah dan sababiyah, di samping harus seagama dengan pewaris, yang keislamannya dapat diketahui dan dibuktikan melalui kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, secara hukum mereka juga tidak terhalang menjadi ahli waris dengan sebab-sebab seperti yang disebut dalam pasal 173 point (a dan b), yaitu “seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris, dan dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.”[10]
Kelompok waris nasabiyah yang furu’ul mayyit, ushulul mayit, dan hawasyi, baik dari golongan laki-laki atau perempuan, termasuk waris sababiyah yang terbatas pada sebab nikah saja, lima orang di antaranya, yakni anak, ayah, ibu, janda atau duda pewaris termasuk ahli waris yang tidak pernah terhijab hirman,[11] dan menjadi kewajiban mereka untuk mengurus dan menyelesaikan penyelenggaraan jenazah (tajhizul mayyit), menyelesaikan hutang-hutang[12] atau menagih piutang, dan menyelesaikan wasiat sebelum membagi harta warisan.
Itu artinya, tirkah merupakan harta peninggalan pewaris, baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya, masih belum dipandang sebagai harta warisan apabila segala sesuatu yang bersangkut paut dengan harta peninggalan si mati belum “dibersihkan” karena harta warisan sebagaimana pasal 171 point (e) dimaksudkan dengan harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan-keperluan di atas.
Harta warisan dibagi kepada ahli waris yang berhak menurut kadar dan ketentuan besar kecilnya bagian sebagaimana disebutkan oleh pasal 176-182. Bilangan pecahan atau furudhul muqaddarah seperti 1/2,1/3,1/4,1/6,1/8,2/3, termasuk 1/3 sisa untuk ibu dalam dua kasus khususnya, diperuntukkan bagi waris-waris tertentu seperti anak perempuan, ayah, ibu, suami, istri, saudara seibu (baik laki-laki atau perempuan), saudara perempuan kandung dan saudara perempuan seayah.
Potongan pasal 177 tentang bagian ayah yang menyebutkan bahwa “ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak…,” tampaknya mendapat tanggapan serius dari pihak-pihak (para tokoh/pemuka agama), dan bahkan ini pernah dipertanyakan pada kesempatan pertemuan di Wisma Sejahtera Departemen Agama Jakarta pada tanggal 26-30 Oktober 1992. Pertanyaan itu berkisar apakah pasal tersebut memang ada kekeliruan tik atau salah cetak. Sebab bila hal itu terjadi, perlu diadakan pembetulan, dan kalau perlu disesuaikan dengan nash agama.[13]
Kompilasi Hukum Islam mengadopsi istilah sepertiga sisa[14] atau dikenal dengan faraidh dengan tsulutsul baaqi; bagian khusus yang diberikan kepada ibu dalam dua struktur kasus kewarisan yang terdiri dari seorang suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu dan ayah. Sehingga jika dihubungkan dengan pasal-pasal terkait seperti 178 ayat (2), 179, 180 termasuk potongan pasal 177 di atas, maka hasil penyelesaian dua kasus ini tampak seperti berikut:
Ahli Waris                    Fardh               Asal Masalah = 6, bagiannya
Suami                         1/2                                           3
I b u                             1/3 sisa                                    1
Ayah                           1/3                                           2

Ahli Waris                    Fardh               Asal Masalah = 4, bagiannya
Istri                             1/4                                           1
I b u                             1/3 sisa                                    1
Ayah                            Pasal tidak menyebut bagian ayah dalam struktur ini!

Dalam hal kalalah atau mati punah[15]pasal 182 tidak menjelaskan apakah  saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah bisa berkedudukansebagai ashabah ma’al ghair ketika mereka mewaris bersama-sama dengan keturunan perempuan dari pewaris. Di sisi lain, pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam tetap memberlakukan formula 2:1 dalam konteks kewarisan ashabah bil ghair, baik terhadap saudara perempuan kandung dan saudara perempuan seayah ketika mereka bersama-sama dengan saudaranya yang laki-laki dan sederajat, maupun terhadap anak-anak perempuan yang mewaris bersama saudaranya yang laki-laki (anak laki-laki pewaris) sebagaimana disebutkan oleh pasal 176 dan 182.
Mereka yang tergolong ke dalam kelompok waris yang berhak, dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. Dengan pengertian lain, setelah mengetahui berapa bagian sesungguhnya (yang menjadi haknya berdasarkan ketentuan), ahli waris bisa saja melakukan takharuj, atau berbagi sama antara laki-laki dan perempuan, ataukah sikap-sikap lainnya yang mencerminkan adanya semacam persetujuan dan kerelaan.
Untuk ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan hakim atas usul anggota keluarga. Sedangkan bagi anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.[16] Beberapa persoalan waris lainnya, seperti masalah waris pengganti, lahan pertanian yang dipertahankan keutuhannya untuk tidak dibagi, masalah pembagian gono gini pewaris yang berpoligami, termasuk peninggalan yang tidak ada dan tidak diketahui ahli warisnya, semuanya dapat ditelusuri pada pasal-pasal berikut:
            Pasal 185
1)      Ahli waris meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2)      Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Pasal 189
1)      Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
2)      Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Pasal 190
Bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka masing-masing istri berhak mendapat bagian atas gono gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.
Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.

Dua kasus terakhir yang ditunjuk KHI melalui pasal kewarisannya adalah berkenaan dengan dua kemungkinan yang mesti ditemui dalam proses penyelesaian pembagian harta warisan, yaitu kasus ‘Aul yang di dalamnya harta warisan akan kurang jika dibagi berdasarkan ketentuan furudhul muqaddarah, atau sebaliknya dengan kasus Radd yang harta warisannya akan berlebih (ada sisa), jika pembagian dilakukan dengan cara demikian.[17]
Oleh karenanya cara-cara ‘aul dan radd yang dikehendaki pasal 192 dan 193 tampaknya merupakan jalan keluar terbaik dalam penyelesaian terhadap dua kasus dimaksud. Apakah pembilangnya yang harus dinaikkan sesuai penyebutnya (faridhah al ‘ailah), ataukah sebaliknya diturunkan (faridhah al qashirah)supaya pembilang dan penyebutnya bersesuaian (faridhah al ‘adilah).[18]
Pada bab VI buku II Kompilasi Hukum Islam tentang hibah, pasal 210 ayat (2) dan pasal 211, sebenarnya masih terdapat kaitan dengan masalah-masalah kewarisan, karena di dalam pasal ini dijumpai adanya “hak si penghibah” untuk memberikan suatu harta bendanya secara sukarela dan tanpa imbalan kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki, tidak terkecuali terhadap anak-anaknya, dengan batasan maksimal 1/3 harta bendanya. (Lihat pasal 171 point (g) dan pasal 210 ayat (1)).
Oleh pasal-pasal ini disebutkan bahwa harta benda yang dihibahkan anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan, demikian juga halnya dengan hibah orang tua kepada anaknya. Kemudian pasal 212 menjelaskan kembali tentang “hibah seperti ini (orang tua terhadap anaknya) dapat ditarik kembali.”

B.      Analisa
Memperhatikan dari beberapa uraian terdahulu tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), di mana takaranmuatan materi di buku II hukum kewarisan (empat bab, 23 pasal), jika dihubungkan dengan kewarisan pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang disebut langsung oleh pasal 49 huruf b dengan penjelasan pasalnya, dan sesuai tema tulisan ini, maka ada beberapa catatan terkait dengan hasil telaah terhadap pasal-pasal yang ada dalam perangkat hukum dimaksud.
Hubungannya dengan masalah, hal terpenting yang menjadi bagian dari agenda reformasi hukum itu adalah berkenaan dengan dihapusnya hak opsi. Tidak ada pilihan hukum lain selain Islam yang akan diberlakukan terhadap masyarakat pencari keadilan (para pihak yang berperkara) dalam menyelesaikan perkara pembagian warisan, apakah mereka berstatus sebagai warga negara Indonesia yang beragama Islam ataukah orang asing (badan hukum) yang menundukkan diri pada hukum Islam.
Penyelesaian perkara waris yang menjadi tugas dan kewenangan pengadilan agama pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, pada intinya tetap menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman yang harus diterapkan, sesuai dengan kenyataan bahwa sampai saat ini bangsa Indonesia masih belum memiliki undang-undang khusus tentang kewarisan.
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam yang berlandaskan pada Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 serta Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Dirjen Binbaga Islam Nomor: 3694/EV/HK.003/AZ/91, pada hakikatnya bertujuan untuk menjadi pedoman fikih dan hukum positif yang wajib dipatuhi, sehingga upaya penyeragaman putusan pengadilan agama dalam wilayah hukum Indonesia bisa diwujudkan.
Di satu sisi, Kompilasi Hukum Islam diharapkan menjadi acuan, tapi di sisi lain, terbatasnya jangkauannya, di mana jumlah pasal yang dimuat dalam materi kedua buku ini, terkadang menjadikan penyelesaian sesuatu kasus waris dipandang belum bisa menuntaskannya secara utuh sebagaimana kitab fikih mawaris yang klasik. Ini terbukti ketika dilakukan penelitian terhadap para hakim pengadilan agama yang berbeda-beda pendapatnya dalam memahami dan mencoba menerapkan pasal 178 ayat (2) tentang bagian sepertiga sisa untuk ibu dalam dua struktur kasus dikaitkan dengan potongan pasal 177 bagian ayah dan suami di pasal 179. Variasi pendapat yang mereka persepsikan, semata-mata disebabkan oleh maksud pasal yang masih memberikan peluang tanda tanya dengan serba kemungkinan, seperti halnya penyelesaian dalam ilustrasi contoh sebelumnya.
Namun tidak dipungkiri, bahwa Kompilasi Hukum Islam itu juga sudah merupakan satu langkah maju dalam konteks aspek-aspek reformatif yang dikandungnya. Sebagai contoh, pembaharuan dalam bidang kewarisan melalui metode extra-doctrinal reform[19] telah memunculkan pasal 173 KHI yang menyebutkan tentang halangan mewarisi dan pasal 185 ayat 1 dan 2 tentang waris pengganti atau plaatsvervulling dalam istilah Budgerlijk Weetboek (BW).
Aspek reformatif yang terkandung dalam pasal 173 ini, selain faktor membunuh, faktor percobaan pembunuhan dan menganiaya berat juga menjadi penyebab terhalangnya hak seseorang untuk dapat mewarisi, padahal dalam kitab-kitab fikih klasik, ulama sepakat bahwa yang dapat menghalangi hak kewarisan seseorang waris itu ada tiga, yaitu budak (hamba sahaya), berbeda agama, dan membunuh pewaris. Faktor membunuh sebagai satu sifat yang menjadikan seorang waris berstatus mamnu’/mahrum, adalah jika memang benar-benar telah melakukan pembunuhan, dan mereka tidak menetapkan apakah orang yang melakukan percobaan pembunuhan dan menganiaya berat terhadap pewaris juga menghalangi hak kewarisannya (gugur).
Waris pengganti atau disebut dengan istilah mawalisebagaimana pasal 185 ayat 1 dan 2, murni merupakan hasil upaya pembaharuan, karena yang demikian tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih umumnya, mengenai persoalan orang yang mati lebih dahulu dari pada pewaris yang kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya. Hanya saja, pasal ini masih terbatas/membatasi pada aspek furu’ul mayyit, padahal Hazairin, tokoh dan sang penggagasnya justru menghendaki penggantian ini dalam aspek yang lebih luas. Tidak hanya menurun dalam garis lurus ke bawah, tapi juga ke atas dan menyamping (furu’, ushul, hawasyi).[20]
Terbatasnya (tidak tegasnya) pasal-pasal kewarisan Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan tentang penyelesaian pembagian warisan, utamanya yang menyangkut tentang dapat tidaknya atau besarnya bagian seseorang waris, tampaknya juga dibuktikan oleh tanggapan yang dilontarkan seputar putusan Mahkamah Agung yang menggugurkan hak waris saudara kandung (laki-laki atau perempuan) ketika ia mewaris bersama-sama dengan anak pewaris.[21]
Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menjelaskan bahwa selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami dan istri menjadi tertutup (terhijab). Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir di kalangan sahabat Nabi dalam menafsirkan kata-kata walad mencakup anak laki-laki maupun anak perempuan.
Dari tanggapan ini dapat difahami bahwa, tiga kasus waris dalam konteks kalalah (pasal 182 KHI) dimaksud menimbulkan kontroversial di kalangan pemerhati hukum waris Islam. Tidak hanya itu, kasusnya pun sudah sampai pada tingkat kasasi karena ditangani langsung oleh Mahkamah Agung. Memperhatikan putusannya, jelas ketiga kasus tersebut muncul ketika Kompilasi Hukum Islam sudah diberlakukan. Namun kenyataannya, dengan putusan Mahkamah Agung itu ternyata masih didapati tanggapan dan sorotan terhadap butiran pertimbangannya yang didasarkan pada pendapat Ibnu Abbas, padahal Hazairin lewat ide-ide pemikirannya telah menyuarakan itu.
Sebenarnya putusan dengan pertimbangan menggugurkan hak waris saudara di saat ia bersama anak perempuan, dapat saja dikorelasikan dengan pasal 174 tentang waris yang tidak terhijab hirman, sebab di situ tersirat pengertian bahwa jika semua ahli waris ada (nasabiyah atau sababiyah) termasuk di dalamnya kerabat yang menyamping, maka yang berhak di antara lima orang waris itu tidak termasuk di dalamnya saudara. Artinya secara tersurat pasal KHI memang tidak menyebutkan langsung saudara mahjub dengan adanya anak, termasuk anak perempuan.[22] Inilah yang penulis maksudkan bahwa pasal-pasal KHI terkadang memberikan kesan “ada kemungkinan-kemungkinan lain” yang bisa difahami dari apa yang tersurat dalam teks-teks pasalnya, sehingga diperlukan kejelian dalam upaya pemahamannya.
Di lain pihak, pasal-pasal kewarisan Kompilasi Hukum Islam ini tampaknya memang masih terlalu umum, atau bahkan tidak menyebut sama sekali, seperti halnya kasus-kasus istimewa yang mempunyai kekhususan struktur warisnya yang baku dan adanya penyimpangan dari faraidh dalam konteks penyelesaiannya. Yang demikian, bisa jadi disebabkan oleh karena ia hanya merupakan salah satu acuan dan pedoman saja atau karena bukan merupakan undang-undang yang bersifat mengikat, dan boleh jadi karena keumumannya itu, para hakim pengadilan agama yang berwenang menyelesaikannya, dituntut untuk memiliki pengetahuan dan penguasaan yang sedemikian luas terkait dengan apa yang sudah diperbincangkan fukaha di belasan abad yang silam.
Termasuk dalam persoalan ini, kasus raddsebagaimana ditunjuk oleh pasal 193 bab IV dengan pernyataan, “apabila  dalam pembagian harta waris di antara para ahli waris dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari pada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.”
Dari ketentuan ini dapat difahami bahwa ternyata Kompilasi Hukum Islam menerima konsep radd di dalam ketentuan kewarisannya. Dalam artian bahwa, jika terjadi satu kasus waris yang struktur kewarisannya setelah ditentukan fardh masing-masing waris kemudian hasil (jumlah) perolehan ternyata lebih kecil dari pada asal masalah[23] pertama (ditetapkan berdasarkan memperhatikan perbandingan penyebut waris-waris yang ada), maka untuk penyelesaian akhir terhadap harta warisan dipergunakan asal masalah baru, sesuai dengan jumlah bagian para waris dalam struktur itu yakni dengan menurunkan angka penyebut sesuai dengan angka pembilangnya.
Pasal 193 merupakan pasal satu-satunya yang membahas tentang radd ini, dan dari sini dapat ditarik suatu pengertian bahwa suami/istri pewaris tidak  tertolak menerima kelebihan sisa harta warisan (sebagaimana teori Utsman)[24] disebabkan tidak adanya penjelasan lebih jauh tentang itu.  Dengan demikian operasional metode perhitungan radd versi KHI ini adalah sama ketika menyelesaikan masalah ‘aul (sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab faraidh). Atau dengan kata lain, tidak perlu memperhatikan ketentuan cara-cara pemecahan radd dalam hal ashhabul furudhbersama/tidak dengan salah seorang suami atau istri pewaris.
Satu hal barangkali yang perlu digarisbawahi dalam persoalan radd versi KHI ini adalah meski ayah pewaris tidak disebut-sebut sebagai kelompok ashabah (dalam pasalnya tentang kelompok ahli waris), namun dalam pasal 192 tertulis kata-kata”…tidak ada ahli waris ashabah…,” sehingga jika dihubungkan dengan faraidh,ayah termasuk salah seorang yang berkedudukan sebagai ashabah itu. Berarti kehadiran ayah dalam satu struktur kewarisan, menjadikan salah satu rukun (syarat) terjadinya sebuah kasus radd belum terpenuhi. Padahal ini bukanlah sesuatu yang diperselisihkan para fukaha.[25]
Sebagai ilustrasi contoh penyelesaian kasus raddversi pasal 193 ini dapat diikuti pada struktur waris yang terdiri dari seorang istri, ibu, dan satu orang anak perempuan dengan harta warisan sejumlah Rp. 456.000,00 maka operasional metode perhitungannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris                  Fardh               AM.24                                    Bagiannya
Istri                             1/8                   3 = 3/19 x Rp.456.000,-        = Rp.   72.000,-
Ibu                              1/6                   4 = 4/19 x Rp.456.000,-        = Rp.   96.000,-
1 anak pr                    1/2                  12 = 12/19 x Rp.456.000,-      = Rp. 288.000,-
                                              _________________________________________
                                              Jumlah 19 (raddnya 5/24)                 = Rp.   95.000,-

            Para waris ini (otomatis) semuanya mendapat tambahan sisa secara berimbang sesuai dengan farh masing-masing, sebab seyogianya istri hanya berhak Rp. 57.000,- (1/8), ibu 1/6 berarti Rp.76.000,- sedangkan anak perempuan Rp.228.000,- karena (1/2). Keseluruhan berjumlah (dikeluarkan secara furudhul muqaddarah) Rp.361.000,-. Berarti ada kelebihan sebesar Rp.95.000,- yang akan dibagi secara proporsional terhadap mereka dengan perbandingan 3:4:12=19.
Kelebihan yang Rp.95.000,- (radd) dibagi 19=Rp.5.000,- (nilai per 1 bagiannya), maka istri yang memiliki fardh 3 x Rp.5.000,-= Rp.15.000,-; ibu fardhnya 4 x Rp.5.000,-=Rp.20.000,-; dan anak perempuan 12 x Rp.5.000,-=Rp.60.000,-. Totalnya, istri mendapat Rp.57.000,- + Rp.15.000,-=Rp.72.000,-; ibu Rp.76.000,- + Rp.20.000=Rp.96.000,-; dan anak perempuan Rp.228.000,- + Rp.60.000,-=Rp.288.000,-.
Penyelesaian sebagaimana maksud pasal di atas tampaknya “berlebihan” jika dihubungkan dengan kenyataan praktik masyarakat yang menurut kebiasaannya harus membagi dua dulu harta peninggalan si pewaris dengan alasan “harta bersama”, untuk kemudian separonya dibagi lagi berdasarkan ketentuan hukum waris, dan jika ada sisa seperti kasus ini, suami istri mendapat tambahan lagi atas nama radd. Padahal pendapat kelompok mayoritas terkait kasus ini barangkali lebih memiliki nilai kekeluargaan jika diterapkan.”[26]
Secara keseluruhan apa yang dikehendaki oleh pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 terkait dengan aturan kewarisan Kompilasi Hukum Islam, tampaknya sudah bisa memenuhi dan menjawab sesuatu yang dimaksud oleh penjelasan pasal dimaksud. Hanya saja dalam kaitannya dengan penentuan siapa yang menjadi ahli waris berikut penentuan bagian masing-masing, para hakim pengadilan agama dituntut kejeliannya dalam upaya memahami teks-teks pasal yang berhubungan dengan itu.
Selain keharusan memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas berhubungan dengan produk hukum fukaha di belasan abad silam, mereka juga hendaknya tidak mengabaikan ide-ide pemikiran yang digagas sejumlah pembaharu hukum waris Islam di masa-masa sesudahnya, sebab Kompilasi Hukum Islam hanya menyediakan (sekitar) 13 pasal saja terkait dengan penentuan ahli waris dan besarnya bagian, padahal potensi sengketa barangkali bisa saja muncul dalam konteks ini. Belum lagi dihadapkan dengan pasal terkait tentang masalah hibah, sebagaimana disebut oleh pasal 210 ayat (1 dan 2) dan pasal 211.
Kebolehan ditariknya kembali hibah orang tua terhadap anaknya sebagaimana pasal 212, dan kaitannya dengan hibah dapat diperhitungkan sebagai warisan, barangkali akan lebih mendorong pasal-pasal ini digugat ketika terjadi praktik dimaksud, sebab para waris yang barangkali merasa dirugikan dalam hal ini, justru mendapat saluran hukum untuk bersikap keberatan, sehingga pasal-pasal ini secara tidak langsung menjadi jawaban dan solusi yang mesti dipertimbangkan dalam upaya penyelesaiannya.
Di samping itu, ketentuan besar kecilnya bagian, berdasarkan pasal-pasal  yang masih sangat terbatas dan memerlukan upaya pemahaman secara kontekstual, tentunya juga menjadi fokus perhatian mereka, sebab kaitannya dengan yang namanya hibah, secara otomatis (ketika berpindah) terhadap seseorang akan berubah menjadi milik. Karena milik, orangpun akan berbuat dan bertindak sesuai dengan penguasaan yang ada padanya, apakah akan dinikmatinya sehingga habis, atau hal-hal dan tindakan lainnya yang berhubungan dengan konsekuensinya.
Terobosan ini, mungkin tidaklah sesederhana yang dibayangkan kalau di belakang hari ternyata akan menimbulkan masalah dan tidak menutup kemungkinan menjadi objek sengketa yang memerlukan ketelitian hakim dalam memeriksa dan menyelesaikannya, sehingga mengharuskan mereka konsern terhadap hal-hal yang menyangkut perhitungan harta peninggalan (tirkahpewaris), kemudian penetapan harta warisan, untuk kemudian dioperasionalkan terhadap waris yang berhak.
Tidak terkecuali dalam masalah ini, yaitu tentang penetapan harta peninggalan atau harta warisan yang dalam praktiknya, terkadang didapati bermasalah. Seperti halnya, harta dan milik pewaris yang semasa hidupnya mengalami proses perubahan, baik disebabkan oleh faktor dipinjamkan, atau dikelola oleh seseorang atau kelompok tertentu, ataukah sebab-sebab lainnya yang belakangan menjadikan milik pewaris tersebut berpindah tangan. Persoalan ini tentu saja berpotensi menjadi sengketa waris dalam konteks hak dan kepemilikan, sedangkan satu-satunya pasal yang menyediakan jawaban untuk itu hanyalah pasal 171 point (d dan e) mengenai definisi operasional tirkah dan harta warisan.
Hapusnya hak opsi dalam kewarisan sebagaimana ditegaskan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini, sebenarnya sudah merupakan satu perubahan besar bagi kewarisan Islam dalam upaya penerapan nilai-nilai keislaman, tapi di satu sisi, Kompilasi Hukum Islam dengan aturan-aturan kewarisannya yang masih sangat umum dan jangkauannya yang terbatas senantiasa menghajatkan ijtihad-ijtihad hakim dalam upaya penyelesaian kasus-kasus kewarisan, utamanya yang berpeluang atau memiliki potensi disengketakan.
Solusi terbaik melalui hasil pemahaman yang mendalam, tanggap, dan kejelian yang tidak hanya terbatas pada aturan (teks-teks) pasal yang ada, senantiasa menjadi keharusan bagi para hakim dalam melakukan proses pemeriksaan dan penyelesaian kasus kewarisan yang diajukan kepada mereka. Dengan terobosan-terobosan baru yang telah diadopsi pada sebagian pasal dan aturan kewarisannya yang ada, niscaya akan menjadikan hukum waris Islam yang berazas compulsory, sebagai sesuatu penyelesaian yang dihajatkan oleh “rakyat pencari keadilan yang beragama Islam,” sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

III.      PENUTUP
Sebagai penutup tulisan ini, kewarisan pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang di dalamnya terkandung unsur perubahan besar dalam konteks dihapusnya hak opsi, paling tidak telah menjadikan Kompilasi Hukum Islam buku II (khususnya 23 pasal terkait langsung), masih sebagai acuan dan pedoman bagi penyelesaian kewarisan oleh “rakyat pencari keadilan yang beragama Islam.”
Terobosan-terobosan baru yang telah diadopsi oleh sebagian pasal kewarisannya, merupakan satu penyelesaian yang sudah menjadi kebutuhan hukum yang hidup di masyarakat Islam Indonesia, di samping terkadang menjadi sesuatu yang agak “berlebihan” atau bahkan mengundang ketidakjelasan, ketika pasal-pasal dimaksud difahami secara tekstual, sebagaimana halnya dengan kasus radd (teori Utsman) dan sepertiga sisa untuk ibu pewaris dikaitkan dengan potongan pasal 177 tentang bagian ayah tampak gharib bagi faraidh.
Pada dasarnya, Kompilasi Hukum Islam sampai saat ini masih dapat mengcover apa yang disebutkan dalam penjelasan pasal 49 huruf b tentang kewarisan pasca revisi undang-undang peradilan agama. Hanya saja, diperlukan upaya pemahaman mendalam dan wawasan pengetahuan yang sedemikian luas oleh hakim agama dalam serangkaian kegiatan melakukan pemeriksaan dan penyelesaian kasus perkara yang diajukan. Terlebih-lebih lagi terhadap kasus terkait di pasal 210 ayat (2), pasal 211 dan 212 tentang masalah “hibah.”
Yang demikian barangkali akan berpotensi besar menjadi objek sengketa waris, sehingga hakim yang dihadapkan dengan kasus dan kenyataan pasal yang sangat terbatas, tentunya dituntut memiliki kesiapan untuk dapat menyelesaikan dengan operasional metode perhitungan yang memuaskan para pihak. Atas dasar ini, pilihan satu-satunya pencari keadilan terhadap hukum waris Islam versi Kompilasi Hukum Islam, menjadikan hapusnya hak opsi semakin bermakna.
Meski di satu sisi, sesuai dengan latar belakang penyusunannya, kompilasi bersifat mengikat pihak terkait, namun kehadiran undang-undang khusus tentang kewarisan senantiasa menjadi harapan pemakai hukum Islam itu sendiri, sebab pada gilirannya kesan kontra yang dilontarkan seputar pemunculannya yang hanya berlandaskan instruksi presiden itu, tidak lagi dijadikan alasan untuk tidak menerapkan muatan materi yang terkandung di dalamnya. Padahal harus difahami bahwa, upaya penyeragaman putusan pengadilan agama di wilayah hukum Indonesia menjadi salah satu penyebab lahirnya perangkat hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Paradigma Baru tentang Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia, Makalah Seminar dalam Rangka Rapat Kerja Para Dekan Fakultas Syari’ah Seluruh Indonesia di Banjarmasin, tanggal 19 September 2006.

Al Andalusy, Ibn Hazm, Al Muhalla IX, Maktabah Tijary.

Al Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Mimbar Hukum, Jurnal Dua Bulanan, Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 44 Tahun X, September-Oktober, 1999.

Anwar, Moh, Fara’idl Hukum Waris dalam Islam dan Masalah-masalahnya, Al Ikhlas, Surabaya, 1981.

Ash Shabuny, Muhammad Ali, Al Mawarits fi Al Syari’at Al Islamiyyah ‘ala Dhauil Kitab wa Al Sunnah, cet.II 1399 H/1979 M.

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, ed.I, cet.2, 2002.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al Qur’an dan Hadith, Tintamas, Jakarta, cet.ketiga, 1964.

Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris, terj. Ahkam Al Mawarits fi Al Fiqhi Al Islamy, Senayan Abadi, Jakarta, cet.pertama, 2004.

Maruzi,Muslich, Asas Al Mawarits, Pokok-pokok Ilmu Waris, Pustaka Amani, Jakarta cet. II.

Media Akademika, Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman, Vol.19 Nomor 1, Januari, 2004.

Panji Masyrakat Nomor 806, Pengaruh Ajaran Tsulutsul Baaqi dalam Kompilasi Hukum Islam, 16 Jumadil Awwal 1415 H/11-21 Oktober 1994.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawarits, Raja Grafindo Persada, Jakarta, ed.I, cet.III, 1998.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Al Sunnah, Dar Al Fikr, juz 3, cet.1, 1997.

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Arkola, Surabaya.

Varia Peradilan, Nomor 245, April 2006.


                [1]Lihat pint (c) pertimbangan lahirnya keputusan tentang undang-undang ini.
                [2]Seperti perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah. Tiga di antaranya, yakni infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah merupakan bidang tambahan sebagaimana disebut oleh pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini.
                [3]Abdurrahman, Paradigma Baru tentang Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia, hal.7. Makalah disampaikan pada seminar dalam rangka Rapat Kerja Para Dekan Fakultas Syariah seluruh Indonesia di Banjarmasin tanggal 19 September 2006 .
                [4]Lihat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991tanggal 10 Juni 1991hal. 64-65. 
                [5]Varia Peradilan Nomor 245, April 2006, hal. 64-65.
                [6]Abdurrahman, Op.cit., hal. 14 dan lihat Farid Mu’adz dalam pengaruh ajaran “Tsulutsul Baaqi” dalam Kompilasi Hukum Islam, Panji Masyarakat, Nomor 806, 16 Jumadil Awwal 1415 H, 11-21 Oktober 1994. KHI ini terdiri dari tiga buku, buku I tentang hukum perkawinan, buku II tentang hukum kewarisan, dan buku III tentang hukum perwakafan.
                [7]Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Arkola, Surabaya, hal. 239-252.
                [8]Adalah masalah-masalah pembagian harta warisan. Kata faraidh, adalah bentuk jamak dari Al Faridhah yang bermakna Al Mafrudhah atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagiannya yang telah ditentukan kadarnya. Lafadz Al Faraidhmemiliki beberapa makna etimologis dan terminologis yang pada intinya meliputi beberapa bagian kepemilikan yang telah ditentukan secara tetap dan pasti. Di samping penjelasan Allah swt tentang setiap ahli waris yang menerima bagiannya masing-masing, semuanya merujuk pada sebutan atau penamaan ilmu faraidh. Tiga unsur yang dicakup di dalamnya berkaitan dengan pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris dengan bagian masing-masing serta cara perhitungannya. (Lihat Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris, terj. dari Ahkam Al Mawarits fi Al fiqhi Al Islamy, Senayan Abadi, Jakarta, Maret 2004, cet.1,  hal.11-13.     
                [9]Hakiky dimaksudkan dengan kematian yang orang lain bisa mengetahui dan menyaksikannya, sedangkan secara hukmy, kematian tersebut didasarkan atas putusan hakim atau pengadilan, misalnya terhadap kasus orang yang hilang (Al Mafqud).
                [10]Tentang sebab-sebab terhalangnya ahli waris ini, terdapat sedikit perbedaan dengan istilah Mamnu’/Mahrum dalam Faraidh.
                [11]Terdinding secara keseluruhan lantaran ada orang “dekat” yang lebih berhak. Di lain pihak, mereka bisa saja terhijab nuqshan oleh waris yang ada dalam struktur kasus kewarisan.
                [12]Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
                [13]Tetapi kemudian, maksud pasal 177 ini menjadi jelas dan tegas dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1994.
                [14]Sepertiga sisa dimaksudkan dengan sepertiga dikali sisa (setelah suami atau istri) mengambil bagiannya.
                [15]Arti Kalalah telah dijelaskan oleh Allah dalam Qur’an surah IV ayat 176, yaitu jika seseorang mati dengan tidak ada baginya “walad” sehingga definisi itu baru jelas jika telah diketahui apa maksudnya “walad” tersebut. Dalam surah yang sama ayat 11 dijumpai bentuk jama’ dari “walad”  yaitu “awlad” dan di sana tegas dinyatakan bahwa ”awlad” itu mungkin anak laki-laki mungkin anak-anak  perempuan, mungkin bergandengan kedua jenis anak-anak itu dan mungkin pula tidak. Dihubungkan dengan arti Mawali, surah IV ayat 33, maka arti anak mesti pula diperluas dengan keturunan, sehingga arti kalalah selengkapnya ialah “keadaan seseorang yang mati punah, artinya mati dengan tidak berketurunan.” (Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith, Tintamas, Jakarta, 1982, cet VI, hal. 50)
                [16]Lihat pasal 184 dan 186. Ia dihukumkan sebagai anak zina, karena lahir di luar perkawinan yang sah. Termasuk anak yang dilahirkan seorang perempuan yang tidak mempunyai suami, atau mempunyai suami yang akad pernikahannya belum sampai enam bulan anaknya sudah lahir. Muslich Maruzi, Asasul Mawarits Pokok-pokok Ilmu Waris, Pustaka Amani, Jakarta, cet. II, hal. 81.
                [17]Cara-cara “aul dan radd” ini ditempuh dalam kaitan penyelesaian kewarisan dengan pengurangan atau pemberian sisa yang berlebih terhadap semua ahli waris yang terdapat dalam strukturnya secara berimbang atau proporsional. Lihat contoh-contoh penyelesaiannya sebagaimana M. Ali Ash Shabuny, Al Mawarits fi Al Syari’atil Islamiyyah ‘ala Dhauil kitab wa Al Sunnah, cet. II, 1399 H/1979 M, hal. 121-123; Ahmad Rofiq, Fiqh Mawarits,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, ed.I, cet. III, hal. 97.
                [18]Lihat Ibn Hazm Al Andalussy, Al Muhalla IX, Maktabah Tijary, hal. 267. Dalam praktiknya, ketika hak-hak waris ini didistribusikan, maka akan timbul tiga kemungkinan dalam kaitannya dengan jumlah harta waris yang dibagikan, Lihat pula Muhammad Yusuf Musa, Al Tirkah wal Mirats fi al Islam, Dar al Ma’rifah, 1967, cet. II, hal. 320.  
                [19]Sedangkan metode pembaharuan yang bersifat intra-doctrinal reformsecara langsung tidak berhubungan dengan masalah kewarisan ini, kecuali akibat hukum dari pasal 99 huruf a KHI tentang status anak yang dilahirkan dari ketentuan bolehnya menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang menghamilinya (pasal 53 ayat (1)). Demikian juga halnya dalam pembaharuan yang berifat regulary reform. Lihat Media Akademika, Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman, vol. 19, nomor 1, Januari, 2004, hal. 42-48.
                [20]Menurut garis-garis tertentu keutamaannya. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadith, op.cit., hal. 32-38.
                [21]Paling tidak, terdapat tiga putusan Mahkamah Agung yang menetapkan demikian, seperti: No. 86 K/AG/1994 tanggal 20 Juli 1995, No. 184 K/AG/1995 tanggal 30 September 1996, dan No. 327 K/AG/1997 tanggal 26 Februari 1998, sebagaimana dikutip dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam No. 44 Thn X 1999 September-Oktober, Al Hikmah dan Ditbinbapera Islam, hal. 5.
                [22]Ibid., hal. 12, tulisan Baidlowi di bawah judul “Ketentuan Hak Waris Saudara dalam Konteks Hukum Islam.” Oleh sebab itu jika seseorang meninggal dunia, sedang ia hanya meninggalkan ahli waris anak perempuan dan saudara, maka anak perempuan akan mendapatkan bagian seluruh harta, sementara saudara tidak memperoleh apapun disebabkan terhijab oleh anak.
                [23]Atau Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) dalam istilah matematika, angka terkecil yang bisa dibagi pada semua penyebut. Misalnya terhadap bilangan pecahan 1/8 1/6, dan 1/2, asal masalahnya tentu 24.
                [24]Dengan logika semata Utsman bin Affan dalam teorinya menyatakan, “layak dan pantas” kalau suami atau istri itu mendapat pula tambahan sisa, jika harta warisan berlebih, sebab jika terjadi kasus ‘aul, suami atau istri juga dikurangi.
                [25]Sebab perbincangan mereka lebih difokuskan pada persoalan bolehnya tidaknya ashhabul furudh termasuk suami atau istri pewaris menerima radd.Selanjutnya dikenal adanya istilah “pendapat Ali”  dan “teori Utsman.”
                [26]Lihat Moh.Anwar, Faraidl Hukum Waris dalam Islam dan Masalah-masalahnya, Al Ikhlas, Surabaya, 1981, hal.49. Menurut pendapat Ali (jumhur), suami atau istri tidak boleh menerima sedangkan suami atau istri radd, sebab ia diterima dengan jalan rahim yang didasarkan pada surah Al Anfal ayat 75, tergolong waris sababiyah (dalam hal ini sebab nikah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar