Minggu, 20 November 2016

Cinta Ibnu Arabi Kepada Perempuan (Cinta Platonik)

Cinta Ibnu Arabi Kepada Perempuan (Cinta Platonik)

Buku Tarjuman al Asywaq 
(Tafsir Kerinduan) berisi kumpulan (kompilasi) puisi 
dengan komposisi notasi yang beragam. 

Tarjuman al Asywaq ditulis 
ketika dia bermukim di Makkah, tahun 597 H/1214 M. 
Di kota suci kaum muslimin ini 
dia bertemu dengan sejumlah ulama besar, 
para sufi dan sastrawan terkemuka, laki-laki dan perempuan. 
Mereka adalah orang-orang yang menjalani hidupnya dengan serius. 
Ibnu Arabi banyak menimba ilmu dari mereka. 
Tetapi 
perhatiannya tertumbuk pada beberapa orang perempuan “suci”. 

Dalam pendahuluan buku ini 
dia menyebut tiga orang perempuan. 
Pertama, Fakhr al Nisa, 
saudara perempuan 
Syeikh Abu Syuja’ bin Rustam bin Abi Raja al Ishbihani. 
Perempuan ini adalah sufi terkemuka 
dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. 
Kepadanya dia mengaji kitab hadits; “Sunan Tirmizi”. 

Kedua, Qurrah al ‘Ain. 
Pertemuannya dengan perempuan ini terjadi 
ketika Ibnu Arabi tengah asyik Tawaf, memutari Ka’bah.

Puisi Ibnu Arabi mengatakan :

Aku sungguh melihat
Sang Kebenaran
Dalam realitas-realitas
Dalam nama-nama
Aku tidak melihat semuanya
Kecuali Aku

Kontempelasi Ketuhanan melalui Perempuan

Puisi-puisi Ibnu Arabi seringkali dipahami pembaca awam dan tekstualis 
sebagai bentuk kerinduan Ibnu Arabi kepada seorang perempuan; 
sebuah kerinduan birahi, seksual dan erotis (gharami) 
terhadap tubuh perempuan nan cantik-jelita, 
yang pernah ditemuinya selama di Makkah: Sayyidah Nizam. 

Mereka dalam hal ini 
telah terjebak dalam pemahaman 
yang amat dangkal, gersang dan tanpa makna. 

Orang-orang awam 
memang selalu dan hanya dapat memahami ucapan verbal seseorang 
atau goresan kata-kata menurut arti lahiriah, literalnya. 
Mereka teramat sulit untuk bisa mengerti bahwa 
kata-kata , sebenarnya adalah 
symbol-simbo dari pikiran dan relung hati yang amat dalam. 

Puisi adalah 
untaian kata yang sarat makna, penuh nuansa pikiran dan hati 
yang sulit ditebak. 
Maka
 ia memang bisa diberi makna ganda, 
eksoterik dan esoterik. 

Dalam puisi-puisi di atas, 
Ibnu Arabi boleh jadi 
memang sedang dicekam kerinduan yang membara 
terhadap seorang perempuan dalam arti secara fisik. 
Dengan kata lain 
kecintaan ibnu Arabi kepadanya 
tidak hanya secara spiritual dan intelektual, 
namjun juga secara fisik dan psikis. 

Katanya : 
“Jika saja tidak mengkhawatirkan jiwa-jiwa rendah 
yang selalu siap terhadap skandal dan hasrat kebencian, 
akan aku sebutkan pula di sini keindahan lahiriah 
sebagaimana jiwanya yang merupakan taman kedermawanan”.

Akan tetapi 
para pengagumnya menolak tafsir ini. 

Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi, 
menurut mereka 
memang sungguh-sungguh tengah berkontempelasi 
dan merefleksikan cinta yang menggelora kepada Tuhan. 

Katanya suatu ketika : 
“Kontempelasi terhadap Realitas 
tanpa dukungan formal adalah tidak mungkin, 
karena Tuhan, Sang Realitas, 
dalam Esensi-Nya terlampau jauh 
dari segala kebutuhan alam semesta. 
Maka 
bentuk dukungan formal yang paling baik adalah 
kontempelasi akan Tuhan dalam diri perempuan”. 

Dengan kata lain, 
merenungkan ke Ilahian, 
menurutnya, 
hanya dapat dicapai dengan merenungkan perempuan.

Refleksi dan kontempelasi 
Spritualitas Ketuhanan Ibnu Arabi seperti ini 
sebagaimana diungkapkan dalam buku ini 
rasanya amat sulit dapat dipahami

Kontemplasi akan Tuhan dalam diri perempuan”. 

Dengan kata lain, 
merenungkan ke Ilahian, 
menurutnya, 
hanya dapat dicapai dengan merenungkan perempuan.

Ibnu Arabi mengatakan : 
“Jika anda mengetahui keadaan-keadaan kami berdua, 
niscaya anda mengerti satu tempat (maqam) 
yang tidak dapat dipahami akal pikiran. 

Ia adalah penyatuan sifat kasar (al qahr) dan kelembutan (al Luthf).

 Ini mengingatkan kita pada ucapan Abu Sa’id al Jazar :

 “Dengan cara apakah engkau mengetahui Tuhan?”. 

Jawabnya adalah 
dengan penyatuan dua hal yang berlawanan. 

Ini memang amat sulit untuk dipahami oleh akal, nalar”.
Ya, 
ini pengalaman spritualitas yang menghanyutkan, 
sangat ruhaniah dan irrasional. 
Mungkinkah bahwa ini juga adalah 
gagasan Ibnu Arabi tentang penyatuan yin dan yang 
atau Maskulinitas dan Feminitas pada satu sisi, 
dan tentang “Ittihad” atau “Hulul” pada sisi yang lain?.

Tampaknya 
dia ingin mengatakan bahwa 
pengetahuan tentang ketuhanan (ma’rifah Ilahiyyah) 
hanya bisa ditempuh 
melalui kontempelasi pada diri perempuan. 
Atau, 
melalui perempuanlah Tuhan ditemukan 
dalam Wujud-Nya yang Maha Sempurna dan Maha Indah.

Mabuk cinta Ibnu Arabi kepada Sang Kekasih 
juga diungkapkan dengan menyebut 
realitas-realitas alam ; 
burung-burung yang bernyanyi riang, 
mata rusa yang menatap tajam, 
sayap-sayap burung merak 
yang indah bagai pelangi, 
bunga-bunga yang mekar-mewangi, 
taman-taman yang teduh nan meriah bagai pelangi, 
puing-puing yang menggugah rindu dan mabuk kepayang, 
tempat-tempat persinggahan 
yang mengingatkan romantisme masa lalu, 
padang rumput yang terhampar menghijau, 
angin yang semilir sepoi-sepoi, 
musim semi yang penuh bunga warna-warni, 
mega yang berarak, tenang dan teduh, 
mata air yang mengalir, 
mata hari yang menghangatkan, 
rembulan yang bersinar lembut, 
senja yang temaram dan seterusnya. 

Dalam waktu yang sama 
dia juga mengutarakan isi hatinya 
yang kelu, merindu dan mencinta ; 
air mata yang menetes satu-satu, 
pipi perempuan yang ranum, 
mata yang sendu, 
luka di relung-relung sanubari, 
hari-hari perpisahan yang menghancurkan kalbu,
 canda ria dan celoteh yang menggemaskan, 
keriangan yang meledak-ledak, 
pelukan tubuh yang menggairahkan,
 nyanyi sunyi yang mengiris dan lain-lain. 
Ini semua diungkapkan Ibnu Arabi 
dalam buku kompilasi puisi sufistiknya ini.

Kajian-kajian terhadap pemikiran dan gagasan filosofis Ibnu Arabi ini 
menunjukkan bahwa 
fenomena-fenomena alam semesta (kosmos) adalah 
“tajalliyyat” (Penyingkapan) Tuhan dalam alam semesta. 

Fenomena alam semesta dalam pandangannya adalah 
keindahan-keindahan yang menunjukkan Eksistensi Tuhan. “
Tak ada pada alam semesta ini kecuali Tuhan. 
Segala selain Tuhan adalah ketiadaan hakiki”.

Pada akhirnya dia mengatakan : 
“tidak ada agama yang dipeluk manusia di manapun, 
setinggi agama yang dibangun 
di atas cinta dan kerinduan (al mahabbah wa al syauq)

As-Syekh al-Akbar (Guru Teragung), 
demikian Ibn Arabi sering disapa. 
Ada pula yang menyapanya Muhyiddin (Penghidup Agama), 
atau al Kabrit Al Ahmar (Belerang Merah). 

Sang pengusung ajaran wihdat al-wujud ini 
merupakan sosok yang kontroversial. 
Syair-syair mistisnya 
disenandungkan dengan bahasa erotis 
sehingga mengundang reaksi dari kalangan fuqaha.

Nama Muhyidin Ibn Arabi, 
mengingatkan pada tokoh sufi seperti Al-Hallaj (Baghdad), 
Syekh Siti Jenar, dan Hamzah Fansuri. 
Syair-syair maupun ungkapan-ungkapannya 
banyak mengandung kontroversi. 
Namun demikian, 
bila dicermati secara saksama, 
apa yang diucapkan atau tertulis dalam syairnya, 
menggambarkan kecintaan dan kedekatan sang tokoh 
dengan Tuhannya.

Profesor Nicholson telah menterjemahkan 
salah satu puisi yang paling mengejutkan 
kalangan agamawan yang saleh 
dan meyakini bahwa 
kepercayaan mereka merupakan jalan 
bagi penyelamatan manusia:

Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk: 
Sebuah biara bagi pendeta, 
dupa untuk berhala, 
Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa.
 Aku lah Ka’bah bagi orang-orang yang shalat, 
Lembaran-lembaran Taurat dan al-Qur’an.
Cinta adalah agama yang kupegang: 
Ke mana pun. kendaraan dalam melangkah, 
Cinta tetap agama dan keyakinanku.

Orang yang berpikiran romantis 
mungkin memahaminya dengan makna yang biasa dikenal, 
jenis cinta kuantitatif yang secara otomatis 
oleh pikirannya dikaitkan dengan kata-kata,

 “Itulah yang dimaksud Ibnu Arabi.” 
Bagi Sufi yang biasa menggunakan tema “cinta”, 
Sufisme hanyalah satu bagian, terbatas, 
dimana di baliknya, 
di bawah keadaan-keadaan biasa,
 tidak pernah dirambah oleh orang kebanyakan.

Dalam sebuah syair ia katakan:

“Bila engkau nyatakan transenden (murni), 
engkau telah membatasi Tuhan. 
Dan bila engkau nyatakan imanen (murni), 
maka 
engkau telah mendefinisikan Tuhan.”

Seluruh pengetahuan tentang ketuhanan (ma’rifat Ilahiyyah) 
hanya bisa ditempuh melalui kontempelasi 
pada eksistensi perempuan. 
Melalui permenungan 
atas Wujud Dia Yang Maha Sempurna, 
Maha Indah ditemukan.

Cinta Segitiga

Ibn ‘Arabî dalam Tarjuman al-Asywaq 
juga tampak menggambarkan cinta 
yang berbentuk segitiga. 
Mari kita coba simak alunan syairnya:

Betapa rinduku begitu panjang/

Kepada gadis kecil penulis prosa/

Nizham, mimbar, dan bayan//

Dialah putri raja-raja Persia/

Negeri megah dari Ashbihan//

Putri Irak, putri imamku/

Sementara aku sebaliknya, 
hanyalah keturunan orang Yaman//

Andai kalian tahu betapa kami berdua/

Saling menghidangkan cawan-cawan cinta

Meski tanpa jari-jemari//

Apakah kalian tahu, wahai tuan/

Dua tubuh yang berbeda dapat bersatu//

Cinta kami berdua yang menuntun kami bicara/

Dengan manis, dengan indah, 
meski tanpa kata-kata//

Nicaya kalian tahu meski hilang akal/

Bahwa orang Yaman dan Irak bisa berpelukan

Syair itu ditulis di Mekkah oleh Ibn ‘Arabî 
untuk dipersembahkan kepada Nizham. 
Sekilas, 
memang tampak adanya nuansa erotisme 
dalam syair itu. 

Ibn ‘Arabî menyukai gadis Irak atas kecantikannya. 
Karena hal inilah 
Ibn ‘Arabî dikecam oleh beberapa ulama sezamannya.

Namun, 
cinta Ibn ‘Arabî nyatanya melampaui kata-kata. 
Bahasa sudah tidak bisa menjamahnya. 
Satu-satunya pilihan, 
Ibn ‘Arabî mengungkapkan rasa cintanya 
dengan figur seorang wanita. 
Di luar penggambaran itu semua, 
Ibn ‘Arabî sejatinya 
menghasrati “Yang-Metafisik”: yang di luar bahasa, 
‘Yang Negatif’.

Jadilah cinta Ibn ‘Arabî berbentuk segitiga: 
dirinya, Nizham, dan Yang-Metafisik. 

Hal ini menyerupai model persahabatan 
(yang merupakan bagian dari cinta) Platonik. 
Platon, dalam dialog bejudul Lysis, 
melalui tokoh Sokrates menggambarkan bahwa 
persahabatan yang sejati 
selalu mengandaikan adanya “pihak ketiga”. 
Di luar dua orang yang saling bersahabat, 
yang saling mencintai, 
ada satu hal yang diinginkan bersama, yaitu ‘kebaikan’. ‘

Kebaikan’ itulah 
yang menjadi 
dasar persahabatan, 
dasar percintaan, dan 
dasar kasih sayang.

Gambaran cinta Ibn ‘Arabî kepada Nizham itu 
persis seperti cinta Platonik. 
Cinta yang menghasrati Yang-Ideal. 
Cinta yang bisa jadi non-resiprokal. 
Pertanyaanya: 
kenapa pilihan Ibn ‘Arabî itu dijatuhkan kepada Nizham 
yang merupakan seorang perempuan?

Hal itu terjawab dalam teks Ibn ‘Arabî yang lain, 
yaitu Fushûs al-Hikam. 

Di dalam bab Hikmah Fardiyah fî Kalimat Muhammadiyah, 
Ibn ‘Arabî menulis: 
“Fasyuhûduhu li al-haqqi fi al-mar-ati atammu wa akmalu. 

Menjumpai Tuhan dalam diri seorang perempuan itu 
cara yang paling sempurna.”

 Kenapa? 
“Liannahu yusyâhidu al-haqqa min haytsu huwa fâ’ilun wa munfa’ilun. 
Karena dengan cara itu, 
seorang lelaki dapat menjumpai Tuhan 
dengan cara aktif sekaligus reseptif."

‘Arabî menggambarkan bahwa 
perempuan adalah simbol jiwa yang aktif (fâ’il) 
dan sekaligus reseptif (munfa’il). 
Sementara jiwa laki-laki melulu bersifat aktif, 
namun tak memiliki kemampuan reseptif. 
Atas alasan itulah, 
cinta Ibn ‘Arabî kepada Yang-Metafisik 
dijembatani oleh kehadiran seorang perempuan 
bernama Nizham.

Nizham semata-mata hanya sebagai jembatan, 
yang apabila Ibn ‘Arabî sudah sampai kepada Yang-Dituju 
jembatan itu bisa tidak dipakai. 
Nizham bisa hilang, 
ketika Ibn ‘Arabî sudah ‘terbakar’ (fana’). 
Cinta yang tadinya berbentuk segitiga, 
akhirnya lenyap, 
dan hanya akan tinggal berdua: 
Ibn ‘Arabî dan Sang Kekasih Sejati.

Kekasih merinduiku
Berhasrat memandangku
Aku lebih merindui-Nya
jiwa kami gemetar
Dan keputusan bertemu menghalang
Aku perintih
dia merintih

(Ibnu Arabi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar