Kamis, 24 November 2016

PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

PROBLEMATIKA PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) TENTANG AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA

Penyelundupan Hukum KHI?

Kompilasi Hukum Islam (KHI) kini telah berusia 19 (sembilan belas) tahun sejak dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 1991. Walaupun masih dalam bentuk Inpres No. 1 Tahun 1991, namun eksistensi dari KHI itu sendiri masih cukup diperhitungkan. Setidaknya membantu para hakim dalam mencari sumber hukum Islam yang tepat dan dapat menghindari disvarietas mahzab dalam praktek sehari-hari.

Khusus menghadapi perkara kewarisan dan putusan-putusan hakim pada Peradilan Agama, keheranan akan isi KHI dan penerapannya semula dipandang sebagai suatu hasil ijtihad baru Ulama Indonesia. Meskipun menyimpang dari Fiqh Ulama Mujtahid, namun semua itu tetap dipandang sebagai suatu hal yang benar-benar telah disepakati seluruh Ulama Indonesia dalam lokakarya. Dan juga mustahil bagi para Ulama bersepakat tentang hal yang tidak diridhai Allah (karena ulama adalah pewaris Nabi).

Allah Ta’ala berfirman:[1]


Artinya: "Dan katakanlah bahwa yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap."

Namun, ternyata Buku II tentang Hukum Kewarisan dalam KHI bukanlah hasil kesepakatan Ulama, dan tidak lain lebih dari sebuah rekayasa dari sekelompok orang-orang dalam Tim Penyusun KHI, yaitu dengan cara menyelundupkan hukum-hukum yang mereka inginkan, diluar pengetahuan Ulama yang duduk di dalam Tim Perumus Hukum Kewarisan tersebut (sebanyak 48 Ulama terkemuka di Indonesia).

Cara-cara yang tidak terpuji ini, selain menjerumuskan nama baik Ulama yang sangat kita hormati dan kita segani, juga suatu tindakan yang sangat berani menentang hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini, penyelundupan hukum tersebut adalah adanya aturan tentang “ahli waris pengganti”, dimana pada waktu perumusan sama sekali tidak disepakati untuk dimasukkan, namun kemudian tercantum dalam Buku II KHI. Ketua Tim Perumus Hukum Kewarisan telah menyatakan bahwa ahli waris pengganti tidak ada dalam draft rumusan, namun tiba-tiba setelah lahir Inpres muncul dalam Pasal 185 KHI.

Sudah saatnya, pasal-pasal hukum kewarisan dalam KHI yang menyalahi nash dikaji ulang oleh Ulama Indonesia, dan mempertahankan pasal-pasal yang sesuai dengan nash, serta menyempurnakan hal-hal yang perlu diperbaiki. Demikian pula putusan-putusan terdahulu yang oleh sebagian hakim dianggap sebagai yurisprudensi, sedangkan putusan tersebut jelas-jelas menentang nash, untuk diatur lebih lanjut dalam KHI.

Berdasarkan uraian diatas, maka isu hukum yang menarik untuk dibahas adalah terkait dengan kedudukan ahli waris pengganti. Apakah ketentuan ini, memang telah sesuai dengan keinginan para mujtahid ulama kita yang tergabung dalam Tim Perumus Hukum Kewarisan ataukah ada unsur penyelundupan hukum yang terkandung didalamnya(?).

Ketentuan Ahli Waris Pengganti dalam Buku II KHI tentang Hukum Kewarisan Islam adalah Penyelundupan Hukum

Baik nash Al-Quran dan Al-Sunnah maupun kitab-kitab Fiqh Ulama Mujtahid tidak mengatur bagian ahli waris pengganti. Pasal 185 KHI bersumber dari ajaran Hazairin dalam bukunya Kewarisan Bilateral menurut Al-Quran, dimana beliau menggolongkan ahli waris menjadi ahli waris keutamaan, ahli waris penggantian, dan ahli waris mawali.

Tentang penggantian dalam Pasal 841 KUHPeradata dinyatakan sebagai berikut:

“penggantian menurut hak kepada seorang yang menggantikan untuk bertindak sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti.”

Pasal 185 KHI meskipun tidak sama persis dengan KUHPerdata tersebut, akan tetapi muatannya adalah sama. Pasal tersebut menyatakan bahwa:
  1. Ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173;
  2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Sebagaimana diketahui bahwa ahli waris pengganti bersumber dari KUHPerdata, atau rekayasa dengan memasukkan hukum adat ala Hazairin ke dalam hukum Islam (teori receptie), dan bukan bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah.
 
Ahmad Syalaby dalam bukunya Tarikh al-Tasyari’ al-Islamy mengisahkan betapa amat hati-hatinya para sahabat r.a dalam melangkah kepada sesuatu permasalahan yang Rasulullah Saw tidak lakukan, tentang hukum sesuatu kejadian atau peristiwa yang sebelumnya tidak terdapat ketentuan hukum dari Al-Quran dan Al-Sunnah.

Berpikir dengan sungguh-sungguh haruslah dengan alat kelengkapan seperti menguasai segala sesuatu tentang Al-Quran dan Ilmu Tafsir, menguasai kaidah-kaidah hukum (qawaid al-fiqhhiyah), mengetahui bahasa arab secara mendalam. Hasil pemikiran tersebut bersifat perorangan dan tidak mengikat atau memaksa orang lain untuk mengikutinya, kecuali itiba’, yaitu mengikuti buah pikiran tersebut setelah mengetahui sumber-sumber pengambilannya (misalnya: dilarang taklid buta yaitu mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber pengambilannya, dan tersesat jalan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang bersumber dari KUHPerdata ataupun hukum adat).

Demikian pula tidak tertutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat antara satu mujtahid dengan mujtahid lainnya, bila kita yakini pendapat-pendapat tersebut bersendikan kepada nash-nash yang ada kemudian mereka meng-qiyas-kan atau menggunakan alasan sebab turunnya ayat atau sebab wujud hadist, atau dengan kaidah bahasa, atas kejadian yang tidak terdapat nashnya tersebut, dan pendapat-pendapat tersebut telah sesuai dengan kadiah hukum yang benar, maka hal tersebut haruslah dipandang sebagai “rahmah-inna di-ikhtilafi ummati rahmah”. Kecuali nash-nash sebagaimana praktek Umar r.a yang tidak sesuai dengan praktek masyarakat yaitu nash yang perlu dita’wil, nash yang lahir dari suatu keadaan yang sedang dihadapi dan bersifat kasuisits, dan sebagainya.[2]
 
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah betapa sangat hati-hatinya para sahabat utama Rasulullah dalam melangkah ke satu perbuatan yang sangat baik dan terpuji, sedangkan pekerjaan sedemikian itu tidak dilakukan oleh Rasulullah Saw.

Terkait dengan adanya pencantuman ketentuan ahli waris pengganti, maka dapat diketahui adanya bantahan dari Prof. Wasit Aulawo, MA dan Prof. Dr. Daud Ali di hadapan peserta pendidikan Hakim Senior Angkatan II Tahun 1992/1993 di Tugu Bogor.[3] Juga bantahan dari K.H. Azhar Basyir, MA dihadapan Majelis Ta’limnya di Yogyakarta, dan pengecekkan langsung dari beberapa ulama yang duduk dalam Tim Perumus tentang “ahli waris pengganti”. Dengan demikian, dapat diyakini bahwa ketentuan Pasal 185 KHI tidak lain adalah hasil rekayasa, bukan atas hasil kesepakatan Ulama.

Atas dasar fakta itulah, dapat diyakini bahwa Pasal 185 KHI bukanlah hasil kesepakatan Ulama Indonesia, karena selain telah dibantah oleh Tokoh atau Ulama yang duduk dalam Tim Perumus Hukum Kewarisan, maka sumber ketentuan tersebut tidak lain adalah KUHPerdata atau teori Hazairin yang didasarkan atas hukum adat, sehingga bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Al-Sunnah.

Berikut 10 (sepuluh) fakta ketidaklogisan pemikiran Hazairin yang masuk dalam KHI, yaitu:[4]

1. Beliau adalah almamater[5] dari sekolah atau perguruan penjajah Belanda: HIS (di Bengkulu), MULO (di Padang), AMS (di Bandung), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Pascasarjana (Doktor) dengan disertasi “De Rejangs” di bawah bimbingan Ter Haar BZN (seorang guru besar Belanda).

2. Diangkat menjadi aparat penjajah (Hakim pada Landraad di Sibolga) dan dengan tugas tambahan menjadi “penyelidik hukum adat batak, sehingga oleh masyarakat Bata dia mendapat gelar “pahlawan”.

3. Pada masa pendudukan Jepang, Hazairin tetap bertugas di Sibolga sebagai Penasehat hukum, konotasinya tetap bersengkokol dengan penjajah;

4. Berikut beberapa judul buku karangan Hazairi, yaitu (i) Hukum Kewarisan Bilateral Menurut AL-Quran, Tintamas, Jakarta, 1961, (ii) Hadith Kewarisan dan Sistem Bilateral, Tintamas, Jakarta, 1962, (iii) Hukum Islam dan Masjarakat, Bulan Bintang, Jakarta, 1963, (iv) Hukum Keluarga Nasional, Tintamas, Jakarta 1968, dan (v) Hendak Kemana Hukum Islam?, Tintamas, Jakarta, 1976.

Dalam Islam diajarkan bahwa setiap memulai sesuatu pekerjaan yang baik hendaklah dimulai dengan “basmalah”. Kemudian “Hamdalah” yaitu pujian kepada Allah Ta’ala, sebagai pengakuan bahwa kepada Allah-lah kita memuji, karena Dia-lah yang berhak menerima pujian, sebab sifat-Nyalah setinggi-tinggi sifat. Dan diiringi dengan shalawat bagi Rasulullah Muhammad Saw[6], agar kita beroleh syafa’at dari beliau di yaum al-masyhar, serta salam sejahtera bagi keluarga dan sahabat-sahabat beliau r.a. Namun, sayang tidak satupun buku karangan beliau tersebut memuji Allah dan apalagi shalawat serta salam. Padahal selintas kita melihat bahwa judulnya terkesan sebagai buku yang berisi tentang ajaran agama Islam;

5. Kalimat pertama dalam “pendahuluan” beliau mengatakan karangan ini adalah suatu ijtihad untuk menguraikan hukum kewarisan dalam Al-Quran setjara bilateral…..[7]. Beliau mengaku sebagai seorang Mujtahid. Pengakuan seperti ini boleh jadi sah-sah saja. Hal ini pernah disebutkan dalam suatu hadist yang mengisahkan Rasulullah Saw pada waktu itu hendak mengutus Mu’adz bin  Jabal menjadi Qadhi di Kuffah. Namun apakah ilmu pengatahuan Hazairin sudah memadai di bidang Al-Quran dan As-Sunnah sudah cukup memadai? Bila kita menilik latar belakang pendidikan beliau di atas sebelumnya, dimana ia dididik oleh Pemerintah kolonial Belanda dan disiplin ilmu di bidang “hukum adat”, maka tidak ada keterangan kepada siapa Hazairin belajar ilmu Al-Quran, ilmu As-Sunnah, ushul al-FIqh, kaidah-kaidah bahasa Arab, dan persyaratan berijtihad lainnya. Sehingga mustahil dapat diterima pengakuannya bahwa ia adalah seorang mujtahid.

6. Alinea III dalam Pendahuluan” dikatakan bahwa:

“dari hasil studi saja mengenai fiqh Ahlu-sunnah, jang telah masuk di Indonesia ini agaknya sudah lebih dari tudjuh abad saja, jang mendapat kesan bahwa ada konflik antara hukum fiqh tersebut dengan hukum adat. Konflik yang berkepandjangan sampai sekarang. Fiqh Ahlu-Sunnah terbentuk dalam masjarakat Arab jang bersendikan sistem kekeluargaan jang patrilineal dalam suatu masa di dalam sedjarah dimana ilmu mengenai bentuk-bentuk kemasjarakatan ini belum berkembang. Sehingga mujtahid-mujtahid Ahlu-Sunnah djuga belum mungkin memperoleh bahan-bahan perbandingan menenai pelbagai sistem kewarisan jang dapat dijumpai dalam pelbagai bentuk masjarakat itu”.

Nampak jelas bahwa pola pikir teori receptie, sangat mengakar kedalam pola pikir beliau. Dimana hukum yang berlaku bagi rakyat pribumi adalah hukum adat. Menurutnya, Fiqh Islam tidak cocok bagi masyarakat adat di Indonesia, dan  hanya cocok untuk bagi masyarakat arab. Hukum Islam baru dapat diterima, apabila telah sesuai dengan Hukum adat mereka;
  
7. Teori “Receptie Exit” yang dikemukakan oleh Hazairin sebagai pernyataan kontra produktif, karena beliau tidak membarenginya dengan pernyataan bahwa hukum adat baru dapat diterima apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam atau beliau meninggalkan hukum adat (yang menjadi alat ukur penjajah Belanda untuk dapat menerima hukum Islam);

8. Pemikiran-pemikiran Hazairin berlandaskan pada hukum adat bukan bersumber pada Al-Quran atau As-Sunnah, yang berbeda dengan para Ulama Mujtahid yang menghasilkan hukum dari dalil-dalilnya. Dalam hal ini beliau menyatakan:

“Dengan terhapusnya pelbagai larangan mengenai kawin sepupu itu, larangan mana dalam masjarakat jang patrilineal dan matrilineal adalah untuk seluruhnja atau hampir seluruhnja paralel dengan larangan kawin se-klan, maka akan ikut terhapus pula-lah larangan perkawinan se-klan dalam masjarakat jang patrilineal dan matrilineal itu, dimana berarti menanggalkan sjarat exogami itu, dan djika klan telah tumbang maka akan timbulah masjarakat jang bilateral. Djuga dari ajat-ajat kewarisan dalam Al-Quran dapat setjara langsung diambil kenyataan bahwa sistem kekeluargaan menurut Al-Quran adalah bilateral”.

Teori klan ala Hazairin ini bertujuan untuk menghapuskan garis patrilenal atau matrilineal. Dengan dasar inilah beliau menolak fiqh para Ulama Mujtahid yang berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah, karena menurut Hazairin, fiqh-fiqh tersebut memakai sistem patrilenal; 

9. Pengahapusan “ashabah” dalam ajaran KHI, juga mengacu kepada ajaran hukum kewarisan Hazairin, dimana beliau mengemukakan sebagai berikut:

“Ketentuan Al-Quran mengenai fara’id itu menimbulkan penggolongan ahli waris dalam dzawu ‘il faraid. Jang bukan dzawu ‘il faraid ini dibagi oleh Ahlu-Sunnah atas dua golongan, yaitu pertama ‘asabat jang diperintji lagi dalam ‘asabat bi nafshihi, ‘asabat bi ghairi dan ‘asabat ma’al-ghairi. Semuanja itu orang-orang jang termasuk pengertian anggauta-anggauta suatu kekeluargaan jang patrilineal, dan kedua dzawu-‘ilfara’id dan bukan ‘asabat dan pada umumnya terdiri dari orang-orang jang termasuk anggauta-anggauta keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki atau anggauta-anggauta keluarga pihak ajah dari mak. Pembagian menurut Ahlu-‘il-Sunnah itu mudah dipahamkan djika orang dapat berpikir menurut alam fikiran masjarakat jang patrilineal. Hubungan antara ‘asabat dengan dzawu-‘larham itu dapat dalam batas-batas tertentu dibandingkan dengan hubungan antara kahanggi disatu pihak dengan mora dan anak boru dilain pihak pada orang batak. 

Saja sendiri membagi ahli waris menurut Al-Quran itu dalam tiga djenis, yaitu dzawu-‘ilfara’id, dzawu-iqarabat  dan mawali. Pembagian jang saja adakan dalam tiga djenis ini adalah berhubungan langsung dengan soal apakah Ql-Quran mengenai atau tidak akan garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian seperti dikenal dalam sistem kewarisan jang individual dalam masjarakat jang bilateral di Indonesia”.[8]

Dicetak tebal pada pertanyaan beliau: “apakah Al-Quran mengenal atau tidak”, adalah suatu sinisme pengikut teori receptive terhadap Hukum Islam yang berlandaskan Al-Quran dimana menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Garis pokok keutamaan yang mengahapuskan adanya “ashabah”,[9] anak perempuan sendirian atau beberapa orang dapat menghabisi seluruh harta: hal ini menjadi bagian Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Isalam, dan Garis Pokok penggantian yang melahirkan adanya “ahli waris pengganti” (Hazairin menjiplak dari Pasal 841 KUHPerdata) dan “hajib mahjub” hilang dari Kompilasi Hukum Islam. Banyak ahli waris yang berhak mendapat harta warisan menurut Al-Quran dan Al-Sunnah, menjadi hapus karena mengacu kepada pasal-pasal yang bersumber dari hukum adat tersebut;

10. Dalam seminar Tahun 1963, ketika menjawab  sanggahan Prof. Thaha, MA, antara lain menyatakan:

“djika dalam suatu masjarakat jang homogen didjumpai lebih dari satu matjam perkawinan, maka sungguh benar bahwa setiap matjam perkawinan itu dapat membawakan suatu variasi dalam hak kewarisan anak-anak atau hak kewarisan fihak mak atau fihak ajah, hal mana ternjata dalam masjarakat adat teristimewa dalam masjarakat jang patrilineal tetapi mungkin djuga dalam masjarakat bilateral dan masjarakat matrilineal. Disini tidak ada waktu saja untuk menguraikan hal-hal tersebut. Tetapi dalam hukum berlandaskan Al-Quran tjuma ada satu matjam sistem perkawinan, sehingga sistim kewarisannja karena itu hanja mungkin satu matjam pula”.

Cemoohan (cetak tebal di atas) tidak selayaknya ditujukan kepada Allah yang menurunkan Kitab petunjuk bagi umat beriman, hujatan kepada Allah yang hanya mengenal satu macam sistem perkawinan (sistem patrilineal saja), dapat diartkan bahwa Allah tidak melihat ada bermacam-macam sistem perkawinan.

Sabab al-nuzul disyariatkannya hukum kewarisan, bahwa isteri Sa’ad bin ar-Rabi’ mengahadap Rasulullah Saw dan berkata: “Yaa Rasulullah, kedua puteri ini anak Sa’ad bin ar-Rabi’ yang ikut berperang di Perang Uhud bersama tuan dan dia telah gugur sebagai syahid. Paman kedua anak ini mengambil harta peninggalan Sa’ad dan tidak berisisa sama sekali, sedangkan kedua anak ini akan sukar mendapatkan jodoh bila tidak berharta”. Rasulullah Saw bersabda: “Allah akan memutusan hukumnya”. Maka turunlah Surah An-Nisa’ (IV): 11-12. Dengan turunnya ayat itu terhapuslah adat jahiliyah yang tidak memberikan pusaka para wanita dan anak laki-laki yang masih kecil. Jelas disini syariat kewarisan diwahyukan Allah guna menghapuskan adat-istiadat kaum jahiliyah.

Sebaliknya Hazairin justru mempertentangkan Al-Quran dengan hukum adat. Pendapat Hazairin tentang sistem bilateral bukan patrilineal sebagaimana pendapat Ulama Fiqh, seharusnya beliau memperhatikan ayat-ayat Al-Quran selain ayat-ayat tentang kewarisan, antara lain sebagai berikut:

Bahwa rezeki kaum perempuan:[10]
  1. Mendapat harta warisan (meskipun lebih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki);
  2. Mendapat hibah; 
  3. Emas kawin tidak dapat diusik sedikit pun tanpa seizin isteri.[11] Dimana hal tersebut merupakan pemberian yang tidak disertai dengan harapan mendapatkan imbalan apapun, tanpa ada tawar menawar seperti lazimnya yang berlaku dalam jual beli, mahar menjadi milik isteri untuk selama-lamanya;
  4. Harta-harta pemberian suami, seperti: perhiasan, kendaraan, rumah, dan lain-lain;[12]
  5. Nafaqah yang merupakan kewajiban suami menafkahi isterinya, memenuhi kebutuhan makan  dan minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya sesuai kemampuan suami;[13]
  6. Isteri boleh membantu meringankan beban suaminya atas dasar kerelaan, bahkan suami yang miskin sedangkan isterinya menghasilkan harta kekayaan, dapat memberi zakat kepada suaminya, akan tetapi tidak sebaliknya, karena isteri berada dalam tanggungan suami, bila isteri merelakan sebagian mahar yang menjadi milknya, (bagian dari mahar tersebut wujudnya telah diganti menjadi makanan) dan suami boleh memakannya;[14]
  7. Nafkah iddah dan mut’ah bagi isteri-isteri yang dithalak oleh suaminya.[15] 
Apabila Hazairin mengetahui uraian diatas dan diperkuat dengan dalil-dalil yang sahih yang memberi rezeki secara khusus kepada kaum perempuan, yang tidak saja melalui waris–mewarisi, kelebihan-kelebihan yang tidak diberikan kepada kaum lelaki, tentu akan membuat dirinya dapat memahami konsep-konsep Al-Quran secara utuh dan tidak secara parsial, serta tidak menuduh Ulama Mujtahid berpola pikir patrilineal.

Sebagai perbandingan adalah negara Mesir, dimana mengutip dari peraturan perundang-undangan Mesir, bahwa ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris atau bahwa cucu (yang orang tuanya meninggal lebih dahulu dari kakek atau neneknya) memperoleh “wasiat wajibah”.

Simpulan dan Saran

Baik nash Al-Quran dan Al-Sunnah maupun kitab-kitab Fiqh Ulama Mujtahid tidak mengatur bagian ahli waris pengganti. Hal ini juga telah dibantah oleh beberapa Ulama yang tergabung dalam Tim Perumus Hukum Kewarisan KHI. Adanya ketentuan “ahli waris pengganti” dalam Pasal 185 KHI dinilai merupakan suatu penyelundupan hukum yang sama sekali tidak berdasar dan tidak sesuai dengan kesepakatan para Ulama sebelumnya

Bila diteliti lebih jauh, ketentuan tersebut tidak ada bedanya dengan ketentuan Pasal 841 KUHPerdata yang juga mengatur tentang ahli waris pengganti. Sehingga, hal tersebut tidak lain adalah suatu rekayasa hukum yang dilatarbelakangi oleh pemikiran Hazairin ke dalam hukum Islam (teori receptive) dan bukan bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Hal tersebut juga dapat dibuktikan dengan adanya 10 (sepuluh) fakta-fakta yang telah dikemukakan bahwa ia tidak dapat disebut sebagai seorang mujtahid, sehingga pemikirannya yang merumuskan ketentuan ahli waris pengganti adalah keliru.  

Sebagai suatu kumpulan aturan-aturan yang bersendikan hukum Islam, KHI hendaknya menjadi suatu pedoman yang luhur dalam menyelesaikan suatu perkara. Konsekuensi logisnya, maka penyempurnaan dalam aturan-aturan yang terkandung didalamnya haruslah menjadi prioritas utama. Adanya ketentuan ahli waris pengganti dalam Pasal 185 KHI, menjadi suatu pukulan telak bagi umat Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu, untuk meminimalisir hal demikian (walaupun baru disadari saat ini), maka perubahan (amanademen) pasal tersebut menjadi suatu urgensi dalam prioritas perbaikan hukum dewasa ini. Pemerintah sebagai “ulil amri” haruslah bersikap tanggap dan cerdas dalam mengatasi hal ini, sehingga tidak menimbulkan kekacauan yang lebih besar lagi dikemudian hari.
Muara Enim, Oktober 2014
M. Alvi Syahrin


Foot Note
[1] QS. Al-Isra: 81
[2] Hal tersebut diantaranya: Umar r.a tidak memotong tangan pencuri yang mencuri makanan karena dalam keadaan terpaksa (akibat kelaparan), dan hukuman bagi pencuri massal, apakah semua harus dijatuhi hukuman, maka beliau berpendapat “semua”. Dan beliau menyetujui pendapat Ali r.a tentang pembunuhan seseorang yang dilakukan oleh 2 (dua) orang pembunuh dan keduanya diberlakukan hukumann qishash.
[3] Samarcondu Nawawi dan Muzani, Surat Kesaksian (terlampir)
[4] Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Makalah disampaikan dalam acara seminar sehari yang diselenggarakan oleh PPHI2M di Jakarta, Hari Jum’at tanggal 19 Februari 2010, hal 15
[5] Bagir Manan, Pidato Wisuda Bhakti KPT Riau. Bahwa almamater diartikan sebagai tempat ibu menyusui, dimana hasil dari menyusu menjadi darah daging.
[6] QS. Al-Ahzab: 33
[7] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran, Tintamas, Jakarta, 1961, hal 1
[8] Hazairin, Hukum Kewarisan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968, hal 15
[9] Ibid., hal 29-34
[10] Huzaimah Tahido Yanggo, Hak-hak SIpil dan Kedudukan Perempuan di Aceh, GTZ, hlm 20-21
[11] QS. An-Nisa’: 20, 21, 35
[12] QS. An-Nisa’: 34
[13] QS. Al-Baqarah: 233; QS. Ath-Thalaq: 7
[14] QS. An-Nisa’: 4
[15] QS. Al-Baqarah: 236-237


Bahan Bacaan
Buku-Buku

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran, Tintamas, Jakarta, 1961

Hazairin, Hukum Kewarisan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968
Huzaimah Tahido Yanggo, Hak-hak SIpil dan Kedudukan Perempuan di Aceh, GTZ

Makalah
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Makalah, 19 Februari 2010

Peraturan Perundang-Undangan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Al-Quran
QS. Al-Baqarah: 233, 236 dan 237
QS. An-Nisa’: 4, 20, 21, 34, dan 35
QS. Al-Isra: 81
QS. Al-Ahzab: 33
QS. Ath-Thalaq: 7


Lampiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar