Kamis, 24 November 2016

Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami

F. Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami 

Ketentuan tentang harta bersama 
juga berlaku dalam perkawinan poligami. 

Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam 
pada pasal 94 ayat (1), 35 ibid, h. 83 45 
disebutkan bahwa 

“ Harta bersama 
dari perkawinan seorang suami 
yang mempunyai istri lebih dari seorang, 
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri”. 

Berdasarkan ketentuan ini, 
harta bersama 
dari perkawinan seorang suami 
yang mempunyai istri lebih dari satu, 
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. 

Kepemilikan harta bersama tersebut 
dihitung 
pada saat berlangsungnya akad nikah perkawinan 
yang kedua, 
ketiga, 
dan 
keempat.

36 .Hal ini 
sesuai dengan ketentuan 
dalam pasal 94 Kompilasi Hukum Islam, 
yang mana dalam pasal tersebut 
diterangkan bentuk harta bersama 
dalam masalah poligami. 

Menurut ketentuan 
yang dirumuskan dalam pasal tersebut 
harta bersama dalam perkawinan poligami 
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. 

Bentuk harta bersama 
yang terdapat dalam perkawinan serial 
sama halnya dengan perkawinan poligami. 

Jika 
suami berpoligami dengan dua istri, 
maka 
dalam perkawinan tersebut 
terbentuk dua harta bersama 
antara suami dan masing-masing istri. 
Demikian seterusnya, 
tergantung pada jumlah istri 
dalam perkawinan poligami yang bersangkutan.

37 .Dalam perkawinan poligami 
harta bersama terpisah dan berdiri sendiri, 
maksudnya adalah 
tidak terjadi penggabungan atau campur aduk 
antara masing-masing harta bersama. 

Asas ini 
sesuai dengan penegasan pasal 65 ayat (1) huruf b 
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: 
“istri yang kedua dan seterusnya 
tidak mempunyai hak atas harta yang telah ada 
sebelum 
perkawinan dengan istri kedua dan berikutnya itu terjadi”.

(36 Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, h. 34 37 
M. Yahya Harahap, 
Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, 
h. 283 46  

Berdasarkan ketentuan tersebut, 
istri pertama dari suami yang berpoligami 
mempunyai hak atas harta bersama 
yang dimilikinya bersama dengan suaminya. 

Istri kedua dan seterusnya 
hanya berhak atas harta bersamanya bersama suaminya 
sejak perkawinan mereka berlangsung. 

Kesemua istri 
memiliki hak yang sama atas harta bersama tersebut. 
Namun, 
istri yang kedua dan seterusnya 
tidak berhak terhadap harta bersama 
milik istri yang pertama. 

Jadi 
apa yang menjadi harta bersama 
antara suami dengan istri yang pertama 
dalam kehidupan rumah tangga mereka 
merupakan harta bersama 
yang terpisah dan berdiri sendiri 
dari harta bersama antara suami dan istri kedua. 

Istri kedua dan seterusnya, 
tidak berhak atas harta bersama 
suami dengan istri pertamanya.

38 .Berbeda dengan ketentuan di atas, 
dalam Buku II diterangkan bahwa 
harta bersama dalam perkawinan poligami 
yang ada dalam pasal 94 Kompilasi Hukum Islam 
mengandung unsur ketidakadilan 
terhadap istri yang dinikahi terlebih dahulu. 
Oleh karenanya 
pasal tersebut harus dipahami 
dengan pemahaman bahwa 
harta yang diperoleh suami 
selama dalam ikatan perkawinan dengan istri pertama, 
merupakan 
harta bersama milik suami dengan istri pertama. 
Sedangkan 
harta yang diperoleh suami 
selama dalam ikatan perkawinan dengan istri kedua 
dan selama itu pula masih terikat perkawinan dengan istri pertama, 
maka 
harta tersebut 
merupakan harta bersama milik suami, istri pertama,dan istri kedua
( 38 ibid, h. 284 47)  . 

Demikian pula halnya 
sama dengan perkawinan kedua 
apabila 
suami melakukan perkawinan dengan istri ketiga dan keempat.

39. Namun 
ketentuan tersebut 
bisa saja tidak berlaku 
atas harta yang diperuntukkan 
terhadap istri kedua, ketiga dan keempat 
(seperti rumah, perabotan dan pakaian) 
selama harta yang diperuntukkan 
terhadap istri kedua, ketiga dan keempat 
tidak melebihi 1/3 dari harta bersama 
yang diperoleh dengan istri kedua, ketiga dan keempat.

40. Pada prinsipnya, 
ketentuan tentang harta bersama 
dalam perkawinan poligami adalah 
untuk menentukan hukum yang adil bagi perempuan. 

Dalam praktiknya, 
perkawinan poligami 
banyak menimbulkan dampak negatif 
terhadap kehidupan istri dan anak-anaknya. 
Padahal, 
Islam mengajarkan 
agar para suami jangan menelantarkan 
kehidupan istri dan anak-anaknya
 karena mereka adalah bagian dari tanggung jawabnya 
yang harus dipenuhi segala kebutuhannya. 

Hal ini senada dengan apa yang difirmankan oleh Allah
 dalam surat al-Nis>a' ayat 9: الَّذِ مِ فِهِ ضِ افً افُ هِ اااللهَ دِ 
Artinya: 
Hendaklah orang-orang itu merasa khawatir 
jika meninggalkan keturunan yang lemah 
dibelakang hari yang sangat mereka takutkan.
 39 Buku II 
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, 
h.131 40 ibid, h. 131 48 . 
Hendaklah mereka takut kepada Allah 
dan hendaklah mereka bertutur kata yang baik.

41 Terlebih lagi 
al-Quran telah mengisyaratkan 
betapa sulitnya berlaku adil di antara para istri, 
padahal 
adanya kecondongan hati 
kepada salah seorang di antara istri itu 
merupakan sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah SWT 
dan berlawanan dengan prinsip “Bergaul secara baik”. 

Adapun tentang sulitnya memenuhi tuntutan keadilan 
dalam perkawinan poligami itu dijelaskan oleh Allah SWT 
dalam firmannya dalam surat al-Nis>a' ayat 129: طِ دِ النِّ اءِ مِ الْ لِ الْ ةِ إِ لِ إِ االلهَ انَ حِ 
 Artinya: 
Dan kamu 
tidak akan mungkin berlaku adil 
di antara istri-istrimu 
walau kamu berusaha untuk itu. 
Oleh karena itu, 
janganlah kamu cenderung 
kepada salah seorang di antara mereka 
dan kamu meninggalkannya seperti tergantung, 
dan jika kamu berbuat baik dan bertakwa, 
Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

42 G. Tata Cara Pembagian Harta Bersama Harta bersama 
pada umumnya dibagi dua sama rata di antara suami istri. 

Hal ini didasarkan 
pada ketentuan pasal 128 Kitab Undang-Undang Hukum 41 Departemen Agama RI, 
Al-Quran dan Terjemahannya. 42 ibid. 49 Perdata yang menyatakan bahwa, 
“Setelah bubarnya persatuan, 
maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami istri, 
atau antara ahli waris mereka masing-masing, 
dengan tidak mempedulikan 
soal dari pihak yang manakah barang-barang yang diperolehnya”. 
Sementara itu 
harta bawaan dan harta perolehan 
tetap otomatis menjadi hak milik pribadi masing-masing 
yang tidak perlu dibagi secara bersama.

43 Pembagian harta bersama bagusnya dilakukan secara adil, 
sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan 
antara mana yang merupakan hak suami dan hak istri. 
Apabila terjadi perselisihan, 
maka harus merujuk 
kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 88 bahwa,
 “Apabila 
terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, 
maka 
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”. 

Penyelesaian melalui jalur pengadilan adalah pilihan satu-satunya.

44 Secara umum pembagian harta bersama 
baru bisa dilakukan setelah adanya gugatan cerai. 
Artinya, 
daftar harta bersama dan bukti-buktinya dapat diproses 
jika harta tersebut diperoleh selama perkawinan 
dan dapat disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (posita), 
yang kemudian disebutkan dalam permintaan pembagian harta 
dalam berkas tuntutan (petitum). 
Namun, 
gugatan cerai 
belum menyebutkan tentang pembagian harta bersama. 
Untuk itu, 
pihak suami atau pihak istri 
perlu mengajukan gugatan baru yang terpisah
 setelah 43 Happy Susanto, 
Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. 
h. 37 44 ibid, h. 38 50 adanya putusan yang dikeluarkan pengadilan. 

Bagi yang beragama Islam, 
gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama 
di wilayah tempat tinggal tergugat, 
sedangkan bagi yang nonmuslim gugatan diajukan 
ke Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. 

Ketentuan tentang pembagian harta bersama 
didasarkan 
pada kondisi yang menyertai hubungan suatu perkawinan, 
seperti kematian, perceraian, dan sebagainya.

45 Harta bersama antara suami istri 
baru dapat dibagi apabila 
hubungan perkawinan itu sudah terputus, 
hubungan perkawinan itu dapat terputus 
dengan alasan adanya kematian, perceraian 
dan dapat juga oleh keputusan pengadilan. 

Putusnya hubungan perkawinan karena kematian 
mempunyai kekuatan hukum yang pasti 
sejak kematian salah satu pihak. 

Secara hukum formil 
sejak saat itu harta bersama sudah boleh dibagi, 
tetapi kenyataannya pembagian itu baru dilakukan 
setelah acara penguburan selesai, 
bahkan ada yang menunggu 
sampai acara empat puluh hari atau seratus hari. 

Dalam hal ini 
apabila 
putusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum pasti 
maka harta bersama tersebut belum bisa dibagi.

46 Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami 
tidak semudah dalam perkawinan biasa. 
Namun demikian, 
pada dasarnya 
pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami adalah 
sama dengan pembagian harta 
 45 ibid, h. 38 46 M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Kewarisan, 
Acara PA dan Zakat Menurut Hukum Islam, h. 37 51 
bersama dalam perkawinan biasa, yaitu 
masing-masing pasangan mendapatkan seperdua. 

Hanya saja, 
pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami 
harus memperhatikan 
bagaimana nasib anak-anaknya 
dalam perkawinan model ini.

47 Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami 
dalam hal tidak ada anak 
hampir sama dengan pemecahan harta bersama 
dalam bentuk perkawinan tunggal tanpa anak. 
Yaitu, 
masing-masing harta bersama dibagi menjadi dua, 
yakni masing-masing suami istri 
mendapatkan setengah bagian. 

Kesamaannya ialah 
dalam menerapkan cara pembagiannya. 

Misalkan 
apabila suami mempunyai tiga istri 
dalam perkawinan poligaminya. 
Maka 
pembagiannya adalah 
setengah dari harta bersama dengan istri pertama 
dijumlah 
dengan setengah bagian dari harta bersama dengan istri kedua 
dan 
dijumlah lagi 
dengan setengah bagian dari harta bersama dengan istri ketiga. 

Maka 
jumlah keseluruhan dari harta bersama yang diperoleh suami 
dari jumlah keseluruhan harta bersama adalah 3/2 bagian, yaitu 
melalui proses penghitungan 1/2+1/2+1/2=3/2.

48 Perbedaannya 
dengan pembagian harta bersama 
dalam perkawinan poligami 
dalam hal ada anak ialah 
terletak pada masalah pewarisannya saja. 
Yaitu bahwa 
harta bersama yang menjadi harta peninggalan atau tirkah 
digabung dengan harta bawaan atau harta pribadi. 
Selanjutnya 
terhadap harta tersebut seluruh ahli waris 
serentak bersama-sama 
berhak secara bersekutu untuk mewarisi 
atau membagi harta tersebut 
sesuai dengan porsi 
yang ditentukan dalam ilmu faraidh.
(47 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. 
h. 41 48 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, 
h. 285 52 )

49 Sedangkan 
terhadap harta bersama yang menjadi bagian istri-istri, 
harta bersama tersebut tetap terpisah 
dan hanya untuk istri dan anaka-naknya masing- masing. 
Sedangkan 
dalam Buku II ditegaskan, 
apabila 
terjadi pembagian harta bersama 
terhadap suami yang melakukan perkawinan poligami 
karena kematian ataupun karena perceraian, 
maka 
perhitungannya ialah bahwa 
untuk istri pertama 
1/2 dari harta bersama dengan suami 
yang diperoleh selama perkawinan, 
kemudian 
ditambah 1/3x harta bersama yang diperoleh suami 
bersama dengan istri pertama dan istri kedua, 
kemudian 
ditambah 1/4x harta bersama yang diperoleh suami 
bersama dengan istri pertama, istri kedua dan istri ketiga, 
kemudian 
ditambah 1/5x harta bersama yang diperoleh suami 
bersama istri pertama, istri kedua, istri ketiga dan istri keempat.

50. Pembagian harta bersama 
perlu didasarkan pada aspek keadilan 
untuk semua pihak yang terkait. 

Keadilan yang dimaksud 
mencakup pada pengertian bahwa 
pembagian tersebut 
tidak mendiskriminasikan salah satu pihak. 
Kepentingan masing-masing pihak 
perlu diakomodasi 
asalkan sesuai 
dengan keadaan yang sesungguhnya. 

Dalam realitas kehidupan bermasyarakat, 
pembagian harta bersama 
kerap menimbulkan persengketaan 
diantara pasangan suami istri yang telah bercerai, 
terutama apabila disebabkan adanya salah satu di antara kedua pasangan tidak mempunyai penghasilan,baik istri maupun suami.
 49 ibid, h. 288 50 Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama,
 h.132 53 ,  Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, 
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam 
sebagaimana yang telah dijelaskan, 
maka 
masing-masing dari pasangan tersebut mendapat bagian yang sama. 
Artinya, 
pasangan yang tidak bekerja tetap mendapatkan bagian. 
Meskipun demikian, 
pembagian dengan persentase 50:50 tidaklah mutlak, 
bisa juga didasarkan pada siapa yang paling besar penghasilannya.

51 H. Berbagai Pandangan Ahli Hukum Terhadap Harta Bersama 

Beberapa ahli hukum seperti Hazairin dan Soerjono Soekamto 
berpendapat bahwa 
harta bersama dapat terbentuk apabila 
suami istri sederajat dan adanya hidup bersama. 

Menurut mereka 
tanpa adanya derajat yang sama 
maka salah satu pihak dapat menguasai pihak yang lain. 

Ketentuan ini dapat berubah 
karena semua menusia mempunyai kedudukan yang sama 
di mata hukum. 
Selanjutnya 
menurut Hazairin harta bersama adalah 
harta yang diperoleh suami istri dari usahanya. 
Baik mereka bekerja bersama-sama 
ataupun hanya suami saja yang bekerja 
sedangkan istrinya hanya mengurus rumah tangga 
beserta anak-anaknya di rumah, 
sekali mereka terikat 
dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri, 
maka 
semuanya bersatu baik dalam kepengurusan anak atau harta.
 51 Happy Susanto, 

Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. 

h. 44 54  

Tidak perlu diiringi syirkah 
sebab perkawinan yang sah 
sudah dianggap syirkah antara suami istri tersebut.

52 Menurut Ismuha, 
dalam perkawinan harta kekayaan bersatu karena syirkah 
seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan 
karena usaha bersama suami istri selama perkawinan 
menjadi milik bersama, 
karena itu 
apabila kelak perjanjian perkawinan itu terputus 
karena perceraian, 
maka 
harta kekayaan tersebut dibagi antara suami istri 
menurut pertimbangan 
sejauh mana kadar usaha suami istri tersebut 
turut berusaha dalam syirkah.

53 Tentang harta bersama, 
Wirjono Prodjodikoro 
berpendapat berbeda dengan para ahli hukum di atas. 
Yaitu, bahwa 
di antara tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, 
Hukum Islam adalah yang paling sederhana pengaturannya, 
tidak rumit, dan mudah dalam menerapkannya. 

Hukum Islam 
tidak mengenal adanya pencampuran harta milik suami istri, 
masing-masing bebas mengatur harta milik masing-masing 
dan tidak diperkenankan adanya campur tangan 
salah satu pihak 
dalam pengaturannya. 

Ikut campurnya salah satu pihak 
hanya sebatas memberikan nasihat saja, 
bukan penentu 
dalam pengelolaan harta milik pribadi suami atau istri tersebut. 

Ketentuan Hukum Islam tersebut sangat realistis, 
karena kenyataanya pencampuran harta bersama 
banyak menimbulkan permasalahan dan kesulitan 
sehingga memerlukan aturan khusus untuk  menyelesaikannya.
 52 M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Kewarisan, 
Acara PA dan Zakat Menurut Hukum Islam, h. 34 53 Ismuha, 
Pencaharian Bersama Suami Istri di Indonesia, h. 43 55.54 

Hal senada 
juga dikemukakan oleh Zahri Hamid yang memandang bahwa 
Hukum Islam mengatur sistem terpisahnya 
antara harta suami dan harta istri 
sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain 
(tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). 

Hukum Islam juga memberikan kelonggaran 
kepada mereka berdua untuk membuat perjanjian perkawinan 
sesuai dengan keinginan mereka berdua, 
dan perjanjian tersebut 
akhirnya mengikat mereka secara hukum. 

Pandangan Hukum Islam 
yang memisahkan harta kekayaan suami istri 
sebenarnya memudahkan pemisahan 
mana yang termasuk harta suami 
dan mana yang termasuk harta istri, 
mana harta bawaan suami 
dan mana harta bawaan istri sebelum perkawinan, 
mana harta yang diperoleh suami 
dan harta yang diperoleh istri secara sendiri-sendiri 
selama perkawinan, 
serta mana harta bersama yang diperoleh secara bersama 
selama terjadinya perkawinan. 

Pemisahan tersebut akan sangat berguna 
dalam pemisahan antara harta suami dan harta istri 
jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka. 

Ketentuan Hukum Islam tersebut tetap berlaku 
hingga berakhirnya perkawinan 
atau salah seorang dari keduanya meninggal dunia. 

Tentang harta warisan, 
Hukum Islam memandang bahwa 
harta warisan yang ditinggalkan oleh suami atau istri 
dibagi berdasarkan ketentuan hukum pewarisan Islam. 

Harta warisan yang dibagi adalah 
hak milik masingmasing suami istri yang telah meninggal dunia, yaitu 
setelah dipisahkan dengan  harta suami istri yang masih hidup

 54 Wirjono Prodjodikoro, 
Hukum Perdata Perjanjian-Perjanjian Tertentu, h. 170 56. 

Harta milik istri 
tidak dimasukkan sebagai harta warisan yang harus dibagi. 
Bahkan, 
istri tetap berhak memiliki harta pribadinya sendiri, 
dan dirinya juga berhak 
mendapat bagian dari peninggalan harta suaminya.


5 .Ahmad Azhar Basyir juga mengemukakan bahwa 
Hukum Islam memberi hak kepada masing-masing pasangan, 
baik suami atau istri, 
untuk memiliki harta benda secara perorangan, 
yang tidak bisa diganggu oleh masing-masing pihak. 
Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya, 
berhak menguasai harta yang diterimanya itu 
tanpa ada campur tangan istrinya. 
Demikian halnya istri 
yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya, 
berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu 
tanpa ada campur tangan suaminya. 

Dengan demikian, 
harta bawaan yang mereka miliki 
sebelum terjadinya perkawinan 
menjadi hak milik masing-masing pasangan suami istri. 

Hukum Islam juga berpendirian bahwa 
harta yang diperoleh suami 
selama perkawinan terjadi 
menjadi hak suami, 
sedangkan istri 
hanya berhak terhadap nafkah 
yang diberikan suami kepadanya. 
Namun, 
al-Quran dan Hadis| 
tidak memberikan ketentuan yang jelas bahwa 
harta benda yang diperoleh suami 
selama berlangsungnya perkawinan 
sepenuhnya menjadi hak suami. 

Al-Quran juga tidak menerangkan secara jelas bahwa 
harta yang diperoleh suami dalam perkawinan,  
maka 
secara tidak langsung istri juga berhak terhadap harta tersebut.

55 Happy Susanto, 
Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. 
h. 51 57 56 56 ibid, h. 52 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar