Ketentuan tentang harta bersama
juga berlaku dalam perkawinan poligami.
Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
pada pasal 94 ayat (1), 35 ibid, h. 83 45
disebutkan bahwa
“ Harta bersama
dari perkawinan seorang suami
yang mempunyai istri lebih dari seorang,
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri”.
Berdasarkan ketentuan ini,
harta bersama
dari perkawinan seorang suami
yang mempunyai istri lebih dari satu,
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
Kepemilikan harta bersama tersebut
dihitung
pada saat berlangsungnya akad nikah perkawinan
yang kedua,
ketiga,
dan
keempat.
36 .Hal ini
sesuai dengan ketentuan
dalam pasal 94 Kompilasi Hukum Islam,
yang mana dalam pasal tersebut
diterangkan bentuk harta bersama
dalam masalah poligami.
Menurut ketentuan
yang dirumuskan dalam pasal tersebut
harta bersama dalam perkawinan poligami
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
Bentuk harta bersama
yang terdapat dalam perkawinan serial
sama halnya dengan perkawinan poligami.
Jika
suami berpoligami dengan dua istri,
maka
dalam perkawinan tersebut
terbentuk dua harta bersama
antara suami dan masing-masing istri.
Demikian seterusnya,
tergantung pada jumlah istri
dalam perkawinan poligami yang bersangkutan.
37 .Dalam perkawinan poligami
harta bersama terpisah dan berdiri sendiri,
maksudnya adalah
tidak terjadi penggabungan atau campur aduk
antara masing-masing harta bersama.
Asas ini
sesuai dengan penegasan pasal 65 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
“istri yang kedua dan seterusnya
tidak mempunyai hak atas harta yang telah ada
sebelum
perkawinan dengan istri kedua dan berikutnya itu terjadi”.
(36 Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, h. 34 37
M. Yahya Harahap,
Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
h. 283 46
Berdasarkan ketentuan tersebut,
istri pertama dari suami yang berpoligami
mempunyai hak atas harta bersama
yang dimilikinya bersama dengan suaminya.
Istri kedua dan seterusnya
hanya berhak atas harta bersamanya bersama suaminya
sejak perkawinan mereka berlangsung.
Kesemua istri
memiliki hak yang sama atas harta bersama tersebut.
Namun,
istri yang kedua dan seterusnya
tidak berhak terhadap harta bersama
milik istri yang pertama.
Jadi
apa yang menjadi harta bersama
antara suami dengan istri yang pertama
dalam kehidupan rumah tangga mereka
merupakan harta bersama
yang terpisah dan berdiri sendiri
dari harta bersama antara suami dan istri kedua.
Istri kedua dan seterusnya,
tidak berhak atas harta bersama
suami dengan istri pertamanya.
38 .Berbeda dengan ketentuan di atas,
dalam Buku II diterangkan bahwa
harta bersama dalam perkawinan poligami
yang ada dalam pasal 94 Kompilasi Hukum Islam
mengandung unsur ketidakadilan
terhadap istri yang dinikahi terlebih dahulu.
Oleh karenanya
pasal tersebut harus dipahami
dengan pemahaman bahwa
harta yang diperoleh suami
selama dalam ikatan perkawinan dengan istri pertama,
merupakan
harta bersama milik suami dengan istri pertama.
Sedangkan
harta yang diperoleh suami
selama dalam ikatan perkawinan dengan istri kedua
dan selama itu pula masih terikat perkawinan dengan istri pertama,
maka
harta tersebut
merupakan harta bersama milik suami, istri pertama,dan istri kedua
( 38 ibid, h. 284 47) .
Demikian pula halnya
sama dengan perkawinan kedua
apabila
suami melakukan perkawinan dengan istri ketiga dan keempat.
39. Namun
ketentuan tersebut
bisa saja tidak berlaku
atas harta yang diperuntukkan
terhadap istri kedua, ketiga dan keempat
(seperti rumah, perabotan dan pakaian)
selama harta yang diperuntukkan
terhadap istri kedua, ketiga dan keempat
tidak melebihi 1/3 dari harta bersama
yang diperoleh dengan istri kedua, ketiga dan keempat.
40. Pada prinsipnya,
ketentuan tentang harta bersama
dalam perkawinan poligami adalah
untuk menentukan hukum yang adil bagi perempuan.
Dalam praktiknya,
perkawinan poligami
banyak menimbulkan dampak negatif
terhadap kehidupan istri dan anak-anaknya.
Padahal,
Islam mengajarkan
agar para suami jangan menelantarkan
kehidupan istri dan anak-anaknya
karena mereka adalah bagian dari tanggung jawabnya
yang harus dipenuhi segala kebutuhannya.
Hal ini senada dengan apa yang difirmankan oleh Allah
dalam surat al-Nis>a' ayat 9: الَّذِ مِ فِهِ ضِ افً افُ هِ اااللهَ دِ
Artinya:
Hendaklah orang-orang itu merasa khawatir
jika meninggalkan keturunan yang lemah
dibelakang hari yang sangat mereka takutkan.
39 Buku II
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama,
h.131 40 ibid, h. 131 48 .
Hendaklah mereka takut kepada Allah
dan hendaklah mereka bertutur kata yang baik.
41 Terlebih lagi
al-Quran telah mengisyaratkan
betapa sulitnya berlaku adil di antara para istri,
padahal
adanya kecondongan hati
kepada salah seorang di antara istri itu
merupakan sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah SWT
dan berlawanan dengan prinsip “Bergaul secara baik”.
Adapun tentang sulitnya memenuhi tuntutan keadilan
dalam perkawinan poligami itu dijelaskan oleh Allah SWT
dalam firmannya dalam surat al-Nis>a' ayat 129: طِ دِ النِّ اءِ مِ الْ لِ الْ ةِ إِ لِ إِ االلهَ انَ حِ
Artinya:
Dan kamu
tidak akan mungkin berlaku adil
di antara istri-istrimu
walau kamu berusaha untuk itu.
Oleh karena itu,
janganlah kamu cenderung
kepada salah seorang di antara mereka
dan kamu meninggalkannya seperti tergantung,
dan jika kamu berbuat baik dan bertakwa,
Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
42 G. Tata Cara Pembagian Harta Bersama Harta bersama
pada umumnya dibagi dua sama rata di antara suami istri.
Hal ini didasarkan
pada ketentuan pasal 128 Kitab Undang-Undang Hukum 41 Departemen Agama RI,
Al-Quran dan Terjemahannya. 42 ibid. 49 Perdata yang menyatakan bahwa,
“Setelah bubarnya persatuan,
maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami istri,
atau antara ahli waris mereka masing-masing,
dengan tidak mempedulikan
soal dari pihak yang manakah barang-barang yang diperolehnya”.
Sementara itu
harta bawaan dan harta perolehan
tetap otomatis menjadi hak milik pribadi masing-masing
yang tidak perlu dibagi secara bersama.
43 Pembagian harta bersama bagusnya dilakukan secara adil,
sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan
antara mana yang merupakan hak suami dan hak istri.
Apabila terjadi perselisihan,
maka harus merujuk
kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 88 bahwa,
“Apabila
terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama,
maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”.
Penyelesaian melalui jalur pengadilan adalah pilihan satu-satunya.
44 Secara umum pembagian harta bersama
baru bisa dilakukan setelah adanya gugatan cerai.
Artinya,
daftar harta bersama dan bukti-buktinya dapat diproses
jika harta tersebut diperoleh selama perkawinan
dan dapat disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (posita),
yang kemudian disebutkan dalam permintaan pembagian harta
dalam berkas tuntutan (petitum).
Namun,
gugatan cerai
belum menyebutkan tentang pembagian harta bersama.
Untuk itu,
pihak suami atau pihak istri
perlu mengajukan gugatan baru yang terpisah
setelah 43 Happy Susanto,
Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian.
h. 37 44 ibid, h. 38 50 adanya putusan yang dikeluarkan pengadilan.
Bagi yang beragama Islam,
gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama
di wilayah tempat tinggal tergugat,
sedangkan bagi yang nonmuslim gugatan diajukan
ke Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.
Ketentuan tentang pembagian harta bersama
didasarkan
pada kondisi yang menyertai hubungan suatu perkawinan,
seperti kematian, perceraian, dan sebagainya.
45 Harta bersama antara suami istri
baru dapat dibagi apabila
hubungan perkawinan itu sudah terputus,
hubungan perkawinan itu dapat terputus
dengan alasan adanya kematian, perceraian
dan dapat juga oleh keputusan pengadilan.
Putusnya hubungan perkawinan karena kematian
mempunyai kekuatan hukum yang pasti
sejak kematian salah satu pihak.
Secara hukum formil
sejak saat itu harta bersama sudah boleh dibagi,
tetapi kenyataannya pembagian itu baru dilakukan
setelah acara penguburan selesai,
bahkan ada yang menunggu
sampai acara empat puluh hari atau seratus hari.
Dalam hal ini
apabila
putusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum pasti
maka harta bersama tersebut belum bisa dibagi.
46 Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami
tidak semudah dalam perkawinan biasa.
Namun demikian,
pada dasarnya
pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami adalah
sama dengan pembagian harta
45 ibid, h. 38 46 M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Kewarisan,
Acara PA dan Zakat Menurut Hukum Islam, h. 37 51
bersama dalam perkawinan biasa, yaitu
masing-masing pasangan mendapatkan seperdua.
Hanya saja,
pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami
harus memperhatikan
bagaimana nasib anak-anaknya
dalam perkawinan model ini.
47 Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami
dalam hal tidak ada anak
hampir sama dengan pemecahan harta bersama
dalam bentuk perkawinan tunggal tanpa anak.
Yaitu,
masing-masing harta bersama dibagi menjadi dua,
yakni masing-masing suami istri
mendapatkan setengah bagian.
Kesamaannya ialah
dalam menerapkan cara pembagiannya.
Misalkan
apabila suami mempunyai tiga istri
dalam perkawinan poligaminya.
Maka
pembagiannya adalah
setengah dari harta bersama dengan istri pertama
dijumlah
dengan setengah bagian dari harta bersama dengan istri kedua
dan
dijumlah lagi
dengan setengah bagian dari harta bersama dengan istri ketiga.
Maka
jumlah keseluruhan dari harta bersama yang diperoleh suami
dari jumlah keseluruhan harta bersama adalah 3/2 bagian, yaitu
melalui proses penghitungan 1/2+1/2+1/2=3/2.
48 Perbedaannya
dengan pembagian harta bersama
dalam perkawinan poligami
dalam hal ada anak ialah
terletak pada masalah pewarisannya saja.
Yaitu bahwa
harta bersama yang menjadi harta peninggalan atau tirkah
digabung dengan harta bawaan atau harta pribadi.
Selanjutnya
terhadap harta tersebut seluruh ahli waris
serentak bersama-sama
berhak secara bersekutu untuk mewarisi
atau membagi harta tersebut
sesuai dengan porsi
yang ditentukan dalam ilmu faraidh.
(47 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian.
h. 41
48 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 285 52 )
49 Sedangkan
terhadap harta bersama yang menjadi bagian istri-istri,
harta bersama tersebut tetap terpisah
dan hanya untuk istri dan anaka-naknya masing- masing.
Sedangkan
dalam Buku II ditegaskan,
apabila
terjadi pembagian harta bersama
terhadap suami yang melakukan perkawinan poligami
karena kematian ataupun karena perceraian,
maka
perhitungannya ialah bahwa
untuk istri pertama
1/2 dari harta bersama dengan suami
yang diperoleh selama perkawinan,
kemudian
ditambah 1/3x harta bersama yang diperoleh suami
bersama dengan istri pertama dan istri kedua,
kemudian
ditambah 1/4x harta bersama yang diperoleh suami
bersama dengan istri pertama, istri kedua dan istri ketiga,
kemudian
ditambah 1/5x harta bersama yang diperoleh suami
bersama istri pertama, istri kedua, istri ketiga dan istri keempat.
50. Pembagian harta bersama
perlu didasarkan pada aspek keadilan
untuk semua pihak yang terkait.
Keadilan yang dimaksud
mencakup pada pengertian bahwa
pembagian tersebut
tidak mendiskriminasikan salah satu pihak.
Kepentingan masing-masing pihak
perlu diakomodasi
asalkan sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya.
Dalam realitas kehidupan bermasyarakat,
pembagian harta bersama
kerap menimbulkan persengketaan
diantara pasangan suami istri yang telah bercerai,
terutama apabila disebabkan adanya salah satu di antara kedua pasangan tidak mempunyai penghasilan,baik istri maupun suami.
49 ibid, h. 288 50 Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama,
h.132 53 , Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam
sebagaimana yang telah dijelaskan,
maka
masing-masing dari pasangan tersebut mendapat bagian yang sama.
Artinya,
pasangan yang tidak bekerja tetap mendapatkan bagian.
Meskipun demikian,
pembagian dengan persentase 50:50 tidaklah mutlak,
bisa juga didasarkan pada siapa yang paling besar penghasilannya.
51 H. Berbagai Pandangan Ahli Hukum Terhadap Harta Bersama
Beberapa ahli hukum seperti Hazairin dan Soerjono Soekamto
berpendapat bahwa
harta bersama dapat terbentuk apabila
suami istri sederajat dan adanya hidup bersama.
Menurut mereka
tanpa adanya derajat yang sama
maka salah satu pihak dapat menguasai pihak yang lain.
Ketentuan ini dapat berubah
karena semua menusia mempunyai kedudukan yang sama
di mata hukum.
Selanjutnya
menurut Hazairin harta bersama adalah
harta yang diperoleh suami istri dari usahanya.
Baik mereka bekerja bersama-sama
ataupun hanya suami saja yang bekerja
sedangkan istrinya hanya mengurus rumah tangga
beserta anak-anaknya di rumah,
sekali mereka terikat
dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri,
maka
semuanya bersatu baik dalam kepengurusan anak atau harta.
51 Happy Susanto,
Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian.
h. 44 54
Tidak perlu diiringi syirkah
sebab perkawinan yang sah
sudah dianggap syirkah antara suami istri tersebut.
52 Menurut Ismuha,
dalam perkawinan harta kekayaan bersatu karena syirkah
seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan
karena usaha bersama suami istri selama perkawinan
menjadi milik bersama,
karena itu
apabila kelak perjanjian perkawinan itu terputus
karena perceraian,
maka
harta kekayaan tersebut dibagi antara suami istri
menurut pertimbangan
sejauh mana kadar usaha suami istri tersebut
turut berusaha dalam syirkah.
53 Tentang harta bersama,
Wirjono Prodjodikoro
berpendapat berbeda dengan para ahli hukum di atas.
Yaitu, bahwa
di antara tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia,
Hukum Islam adalah yang paling sederhana pengaturannya,
tidak rumit, dan mudah dalam menerapkannya.
Hukum Islam
tidak mengenal adanya pencampuran harta milik suami istri,
masing-masing bebas mengatur harta milik masing-masing
dan tidak diperkenankan adanya campur tangan
salah satu pihak
dalam pengaturannya.
Ikut campurnya salah satu pihak
hanya sebatas memberikan nasihat saja,
bukan penentu
dalam pengelolaan harta milik pribadi suami atau istri tersebut.
Ketentuan Hukum Islam tersebut sangat realistis,
karena kenyataanya pencampuran harta bersama
banyak menimbulkan permasalahan dan kesulitan
sehingga memerlukan aturan khusus untuk menyelesaikannya.
52 M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Kewarisan,
Acara PA dan Zakat Menurut Hukum Islam, h. 34 53 Ismuha,
Pencaharian Bersama Suami Istri di Indonesia, h. 43 55.54
Hal senada
juga dikemukakan oleh Zahri Hamid yang memandang bahwa
Hukum Islam mengatur sistem terpisahnya
antara harta suami dan harta istri
sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain
(tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan).
Hukum Islam juga memberikan kelonggaran
kepada mereka berdua untuk membuat perjanjian perkawinan
sesuai dengan keinginan mereka berdua,
dan perjanjian tersebut
akhirnya mengikat mereka secara hukum.
Pandangan Hukum Islam
yang memisahkan harta kekayaan suami istri
sebenarnya memudahkan pemisahan
mana yang termasuk harta suami
dan mana yang termasuk harta istri,
mana harta bawaan suami
dan mana harta bawaan istri sebelum perkawinan,
mana harta yang diperoleh suami
dan harta yang diperoleh istri secara sendiri-sendiri
selama perkawinan,
serta mana harta bersama yang diperoleh secara bersama
selama terjadinya perkawinan.
Pemisahan tersebut akan sangat berguna
dalam pemisahan antara harta suami dan harta istri
jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka.
Ketentuan Hukum Islam tersebut tetap berlaku
hingga berakhirnya perkawinan
atau salah seorang dari keduanya meninggal dunia.
Tentang harta warisan,
Hukum Islam memandang bahwa
harta warisan yang ditinggalkan oleh suami atau istri
dibagi berdasarkan ketentuan hukum pewarisan Islam.
Harta warisan yang dibagi adalah
hak milik masingmasing suami istri yang telah meninggal dunia, yaitu
setelah dipisahkan dengan harta suami istri yang masih hidup
54 Wirjono Prodjodikoro,
Hukum Perdata Perjanjian-Perjanjian Tertentu, h. 170 56.
Harta milik istri
tidak dimasukkan sebagai harta warisan yang harus dibagi.
Bahkan,
istri tetap berhak memiliki harta pribadinya sendiri,
dan dirinya juga berhak
mendapat bagian dari peninggalan harta suaminya.
5 .Ahmad Azhar Basyir juga mengemukakan bahwa
Hukum Islam memberi hak kepada masing-masing pasangan,
baik suami atau istri,
untuk memiliki harta benda secara perorangan,
yang tidak bisa diganggu oleh masing-masing pihak.
Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya,
berhak menguasai harta yang diterimanya itu
tanpa ada campur tangan istrinya.
Demikian halnya istri
yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya,
berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu
tanpa ada campur tangan suaminya.
Dengan demikian,
harta bawaan yang mereka miliki
sebelum terjadinya perkawinan
menjadi hak milik masing-masing pasangan suami istri.
Hukum Islam juga berpendirian bahwa
harta yang diperoleh suami
selama perkawinan terjadi
menjadi hak suami,
sedangkan istri
hanya berhak terhadap nafkah
yang diberikan suami kepadanya.
Namun,
al-Quran dan Hadis|
tidak memberikan ketentuan yang jelas bahwa
harta benda yang diperoleh suami
selama berlangsungnya perkawinan
sepenuhnya menjadi hak suami.
Al-Quran juga tidak menerangkan secara jelas bahwa
harta yang diperoleh suami dalam perkawinan,
maka
secara tidak langsung istri juga berhak terhadap harta tersebut.
55 Happy Susanto,
Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian.
h. 51 57 56 56 ibid, h. 52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar