Saat menyaksikan orang tua bongkok yang mengerikan itu,
Abdul Jalil (syeh Siti Jenar) mengetahui bahwa
dia adalah perwujudan setan. Itu sebabnya,
saat orang tua ttu mendekat,
ia meneguhkan kiblat hati dan pikirannya kepada-Nya belaka.
Ketika jarak di antara mereka sudah dekat, setan itu menyampaikan salam,
Ketika jarak di antara mereka sudah dekat, setan itu menyampaikan salam,
“Assallamu ‘alaika ya Abdul Jalil”
“Assala’mulillah ya la’in,” sahut Abdul JaliL
“Assala’mulillah ya la’in,” sahut Abdul JaliL
“Kenapa engkau kemari, o makhluk yang dikutuk?”
“Aku mendatangimu karena aku melihat engkau sangat berbeda dibanding manusia lain,” kata setan sambil mengangguk-angguk. “Aku telah melihat saat engkau melempar batu tidak menyebut aku, melainkan engkau sebut nafi-mu. Apa yang menjadi penyebab kelakuanmu itu?”
“Aku tahu, o yang dikutuk, bahwa engkau adalah bagian dari Iblis, sang bayangan maya, yang tidak wujud
Akn tahu, Iblis dan engkau beserta balamu adalah khayyal (ilusi) ciptaan-Nya yang memancar dari nama-Nya, al-Mudhill (Yang Maha Menyesatkan). Karena itu o setan, akan sia sia aku melempar keberadaan mu karena engkau bersembunyi di mahligai nafsuku” kata Abdul Jalil tegas.
“Orang-orang yang bertindak keras terhadap nafsunya sendiri sepertimu, o Abdul Jalil, adalah orang orang yang paling aku benci.” seru setan dengan suara bergetar.
“Sesungguhnya, al-Haqq telah memberi tahu bahwa engkau hanya mampu menjalankan tugasmu dengan baik kepada orang-orang yang memanjakan nafsunya dengan kelezatan dan kenikmatan duniawi serta pikiran-pikiran yang serba menguntungkan din pribadi belaka. Sedang kepada mereka yang meninggalkan segah sesuatu selain-Nya maka engkau tak akan mampu mempengaruhinya,” kata Abdul JaliL
“Ketahuilah, o Abdul Jalil,” seru setan dengan napas tersengal-sengal, “ketika engkau melempar ketiga jumrah dengan ikrar melempar nafsumu sendiri, sesungguhnya kudapati diriku bagaikan disambar halilintar. Tubuhku terasa terbakar. Sebab, di dalam relung nafsu manusialah aku bertakhta. Itu sebabnya, o Abdul Jalil, janganlah kiranya engkau memberitahukan rahasia ini kepada siapa pun agar tugasku memuliakan dan mengagungkan Allah dapat kupenuhi sebaik-baiknya.”
Abdul Jalil tertawa mendengar permohonan itu. Ia sadar bahwa setan sangat ulet dan licin dalam mempengaruhi orang. Setan tidak pernah menyerah dalam upaya menjerumuskan manusia ke jalan sesat yang menyimpang dari Nya. Itu sebabnya, dengan tegas ia menolak “Aku tak akan terperdaya oleh kelicikanmu, o Abu Murrah karena tanpa engkau minta pun aku tak akan memberitahukan kepada siapa pun tentang apa yang telah kulakukan. Sebab aku tahu, meski seseorang mengucapkan kata-kata seperti yang kuikrar-kan, jika hati dan pikiran mereka masih tenkat pada pamrih kehidupan duniawi maka tidak akan ada artinya sama sekali. Karena itu, o Abu Murrah, biarlah mereka yang melaksanakan ibadah haji tetap mengikuti ketentuan yang sudah diatur oleh hukum syari’at.”
Mendengar ucapan Abdul Jalil, orang tua bongkok jelmaan setan itu meraung sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke atas tanah. Dia tampak diliputi amarah.
Abdul Jalil yang menyaksikan kemarahan setan itu, bangkit dan berjalan mendekati tiang batu sambil berkata, “Akan kutunjukkan kepadamu, o makhluk terkutuk, di mana pun engkau bersembunyi maka engkau tetaplah bayangan maya yang tanpa wujud. Engkau hanya khayyal yang terkutuk.”
“Apa yang akan engkau lakukan?” seru setan dengan suara gemetar.
Abdul Jalil diam. ln terus melangkah mendekati tiang batu. Tidak dihiraukannya seruan seruan setan vang mengharu biru di belakangnya,
Abdul Jalil menunduk memungut sejumlah batu yang berserakan di sekitar tiang batu. Setelah terkumpul dua puluh butir, ia tegak berdiri di hadapan tiang Jumrah al-Aqabah. Kemudian dengan sekuat tenaga ia lemparkan baru batu yang digenggamnya sambil berseru. “Rajman li Asy-syaithan wa ridhaka robbi Allahu Akbar !’
Bersamaan dengan terbenturnya batu ke jumrah al-‘aqabah, terdengar raungan panjang dari orang tua bongkok yang berdiri di belakang Abdul Jalil yang diikuti oleh lenyapnya tubuh tua jelmaan setan itu. Suasana mendadak hening. Sunyi. Senyap.
*Suluk Abdul Jalil (Syeh Siti Jenar)
“Aku mendatangimu karena aku melihat engkau sangat berbeda dibanding manusia lain,” kata setan sambil mengangguk-angguk. “Aku telah melihat saat engkau melempar batu tidak menyebut aku, melainkan engkau sebut nafi-mu. Apa yang menjadi penyebab kelakuanmu itu?”
“Aku tahu, o yang dikutuk, bahwa engkau adalah bagian dari Iblis, sang bayangan maya, yang tidak wujud
Akn tahu, Iblis dan engkau beserta balamu adalah khayyal (ilusi) ciptaan-Nya yang memancar dari nama-Nya, al-Mudhill (Yang Maha Menyesatkan). Karena itu o setan, akan sia sia aku melempar keberadaan mu karena engkau bersembunyi di mahligai nafsuku” kata Abdul Jalil tegas.
“Orang-orang yang bertindak keras terhadap nafsunya sendiri sepertimu, o Abdul Jalil, adalah orang orang yang paling aku benci.” seru setan dengan suara bergetar.
“Sesungguhnya, al-Haqq telah memberi tahu bahwa engkau hanya mampu menjalankan tugasmu dengan baik kepada orang-orang yang memanjakan nafsunya dengan kelezatan dan kenikmatan duniawi serta pikiran-pikiran yang serba menguntungkan din pribadi belaka. Sedang kepada mereka yang meninggalkan segah sesuatu selain-Nya maka engkau tak akan mampu mempengaruhinya,” kata Abdul JaliL
“Ketahuilah, o Abdul Jalil,” seru setan dengan napas tersengal-sengal, “ketika engkau melempar ketiga jumrah dengan ikrar melempar nafsumu sendiri, sesungguhnya kudapati diriku bagaikan disambar halilintar. Tubuhku terasa terbakar. Sebab, di dalam relung nafsu manusialah aku bertakhta. Itu sebabnya, o Abdul Jalil, janganlah kiranya engkau memberitahukan rahasia ini kepada siapa pun agar tugasku memuliakan dan mengagungkan Allah dapat kupenuhi sebaik-baiknya.”
Abdul Jalil tertawa mendengar permohonan itu. Ia sadar bahwa setan sangat ulet dan licin dalam mempengaruhi orang. Setan tidak pernah menyerah dalam upaya menjerumuskan manusia ke jalan sesat yang menyimpang dari Nya. Itu sebabnya, dengan tegas ia menolak “Aku tak akan terperdaya oleh kelicikanmu, o Abu Murrah karena tanpa engkau minta pun aku tak akan memberitahukan kepada siapa pun tentang apa yang telah kulakukan. Sebab aku tahu, meski seseorang mengucapkan kata-kata seperti yang kuikrar-kan, jika hati dan pikiran mereka masih tenkat pada pamrih kehidupan duniawi maka tidak akan ada artinya sama sekali. Karena itu, o Abu Murrah, biarlah mereka yang melaksanakan ibadah haji tetap mengikuti ketentuan yang sudah diatur oleh hukum syari’at.”
Mendengar ucapan Abdul Jalil, orang tua bongkok jelmaan setan itu meraung sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke atas tanah. Dia tampak diliputi amarah.
Abdul Jalil yang menyaksikan kemarahan setan itu, bangkit dan berjalan mendekati tiang batu sambil berkata, “Akan kutunjukkan kepadamu, o makhluk terkutuk, di mana pun engkau bersembunyi maka engkau tetaplah bayangan maya yang tanpa wujud. Engkau hanya khayyal yang terkutuk.”
“Apa yang akan engkau lakukan?” seru setan dengan suara gemetar.
Abdul Jalil diam. ln terus melangkah mendekati tiang batu. Tidak dihiraukannya seruan seruan setan vang mengharu biru di belakangnya,
Abdul Jalil menunduk memungut sejumlah batu yang berserakan di sekitar tiang batu. Setelah terkumpul dua puluh butir, ia tegak berdiri di hadapan tiang Jumrah al-Aqabah. Kemudian dengan sekuat tenaga ia lemparkan baru batu yang digenggamnya sambil berseru. “Rajman li Asy-syaithan wa ridhaka robbi Allahu Akbar !’
Bersamaan dengan terbenturnya batu ke jumrah al-‘aqabah, terdengar raungan panjang dari orang tua bongkok yang berdiri di belakang Abdul Jalil yang diikuti oleh lenyapnya tubuh tua jelmaan setan itu. Suasana mendadak hening. Sunyi. Senyap.
*Suluk Abdul Jalil (Syeh Siti Jenar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar