Rabu, 16 November 2016

Hindarkan Psikologi Atheis.

Hindarkan Psikologi Atheis, 
Bagus Riyono Ajak Umat Muslim 
Kembangkan Psikologi Islam

YOGYAKARTA—

Pakar psikologi Bagus Riyono mengungkapkan 
Ilmu Psikologi yang selama ini berkembang 
menganut ilmu psikologi yang atheis. 

Dimana menganggap 
yang paling berkuasa di dunia ini adalah manusia, 
yang paling penting adalah hawa nafsu, 
dan 
kebahagaiaan adalah hedonistik dan materialistik.

“Untuk itu kita wajib mengembangkan psikologi Islam, 
karena berdasar Al Quran, 
dan 
secara isi, ilmunya sudah lengkap, 
yang akan membawa kita pada pemahaman tauhid, 
dan 
pelajaran bagi mereka yang menggunakan akal,” 
jelas Bagus Riyono dalam Seminar Al-Quran 
yang merupakan serangkaian acara Festival Al-Quran 
yang diselenggarakan oleh 
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), 
Kamis (11/8/2016).

Bagus menilai, 
semua ilmu, 
harus berkembang dari kajian-kajian ayat-ayat Al-Quran.

”Sementara ini 
ilmu psikologi masih berangkat dari pengalaman penulisnya. 
Dalam bentuk teori, latar belakang, 
dan 
alasan kenapa teori ini muncul. 
Alhasil, 
teori psikologi berbeda-beda dan bertentangan. 
Jadi, 
jika ingin mempelajari psikologi secara ilmiah, 
maka 
kita harus mempelajari Al Quran,” terangnya.

“Psikologi menurut Islam itu apa? 

Tidak lain dan tidak bukan ya Islam itu sendiri. 
Islam diturunkan untuk memperbaiki akhlah manusia, 
itulah ilmu psikologi. 

Ilmu untuk memahami dan menghayati, 
apa yang harus kita lakukan di dunia ini, 
siapa kita ini, 
apa karakteristik dasar kita sebagai manusia, 
yang harus kita jaga, 
agar kita tidak tersesat dalam hidup,” tambah Bagus.

Sedangkan psikologi islam lewat Al Quran, 
Bagus mengatakan, 
mampu mengajarkan, 
berpikir kritis, 
menggunakan akal, 
kemudian 
diuji secara empiris. 
Psikologi Islam justru lebih ilmiah, 
karena 
ciri ilmiah itu lepas dari objek.

“Justru prinsip dasar psikologi, bahwa 
semua manusia itu subjektif. 
Jangan pernah merasa 
pendapat kita paling benar. 
Dibuktikan oleh pemikir Islam, 
Ibnu Khaldun, bahwa 
sejarah bukan representasi dari kenyataan, 
tapi sejarah adalah 
representasi subjektif dari penulisnya,” 
demikian Bagus dilansir Muhammadiyah.or.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar