Rabu, 16 November 2016

PARADIGMA TAUHID, KONSEP DASAR PSIKOLOGI ISLAM.

Catatan Kuliah Intensif Psikologi Islam 2, 
Kamis, 6 November 2014 
oleh Islamic Psychology Learning Forum (IPLF)- 
Keluarga Muslim Psikologi (KMP) 
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Pengajar: Dr. Bagus Riyono

PARADIGMA TAUHID, KONSEP DASAR PSIKOLOGI ISLAM.

Paradigma adalah 
suatu kerangka pikir 
berserta seluruh perlengkapannya 
dalam mengembangkan suatu ilmu. 

Psikologi Islam adalah 
psikologi yang memiliki paradigma tauhid. 

Sebelum itu mari kita pahami dahulu apa itu psikologi.

Psikologi adalah ilmu tentang manusia 
(perilaku, pemikiran, perasaan, aspirasi, 
serta apa yang diandalkan dalam kehidupan). 

Intinya, 
psikologi merupakan ilmu 
tentang manusia dan dinamika kehidupannya.

Dahulu, 
Psikologi yang berasal dari kata psyche, 
merupakan ilmu tentang jiwa. 
Namun 
dalam perjalanannya terjadi pendangkalan yaitu 
psikologi menjadi ilmu tentang perilaku, 
dan selanjutnya 
berubah mendalam lagi 
menjadi yang kita ketahui sekarang, yaitu 
ilmu tentang perilaku dan proses mental.

Paradigma Psikologi Barat terbagi menjadi tiga:

1. Psikologike-Binatang-an, 
disebut demikian 
karena mempelajari atau membahas 
sifat-sifat kebinatangan dari manusia. 
Di samping juga 
menggunakan binatang dalam eksperimennya.

Termasuk di dalamnya ialah,
a. Freudianismeàmembahas hawa nafsu
b. Behaviorismeà jasad mekanistik
c. Psikobiologiàjasad kimiawi 
(hormone, senyawa-senyawa kimia dalam jasad kita)
(Aliran-aliran di atas, kecuali Freud, 
menggunakan binatang dalam eksperimennya)

2. Psikologi ke-Manusia-an/Humanistik, 
yang mengangkat psikologi dari binatang ke manusia.

Diantaranya ialah,

a. Humanistikà Freedom
b. CognitivismàManusia Pemikir
c. Positive Psychology àHuman Virtues
d. Cultural Psychology à Norma Budaya


3. Psikologi Spiritual.

a. Psikologi Transpersonal
b. Hypnosis mempercayai 
adanya kekuatan yang tidak kelihatan 
seperti kekuatan berpikir
c. Samanismeàaliran perdukunan.

Psikologi Spiritual belum tentu islami. 

Bagi kaum sekuler, 
spiritualitas adalah 
semua hal yang tidak bisa dilihat 
secara materi. 
Tidak bisa membedakan 
mana yang takhayul, mana yang gaib. 

Takhayul itu 
sesuatu yang tidak kelihatan 
dan tidak ada, 
sedangkan hal ghaib adalah 
sesuatu yang tidak kelihatan 
namun ada.

Psikologi Islam memiliki beberapa sifat, 
diantaranya,

1. Integrated
2. Holistik 
(Jasad, jiwa, hawa nafsu, dan pikiran semua berinteraksi)
3. Dinamik
4. ParadigmaTauhid
a. Tidak adaTuhan selain Allah
b. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah
c. Segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali ke Allah.

Psikologi Islam sebagai ilmu pengetahuan,

1. Dasarnya adalah Al Qur’an dan Hadist (referensi utama)
Konsekuensinya Al Qur’an dan Hadist 
dijadikan sebagai perspektif yang menjelaskan fenomena.

2. Nilai-nilai islam adalah sumber atau landasan berpikir 
(fondasi dari apa yang kita pikirkan)

3. Logika tunduk pada ayat-ayat Al Qur’an.

Al Qur’an adalah 
sumber yang tidak akan kita utak-atik lagi, 
logikalah yang harus dibangun di atas ayat-ayat Al Qur’an 
(logika tidak boleh didahulukan). 

Menundukan logika di bawah Al Qur’an, 
sehingga 
jika ada sesuatu hal yang belum bisa diselesaikan 
maka 
“logika belum mendapat petunjuk dari Al Qur’an 
sehingga masih bisa digali.”

Dalam Islam, 
empirisme bukan alat untuk mempertanyakan kebenaran 
tetapi alat untuk memahami kebenaran. 
Sedangkan banyak ilmuwan psikologi 
yang berpandangan keliru bahwa 
suatu hal hanya layak untuk dipercayai 
jika ada bukti empirisnya.

Jika ada 
hasil penelitian bertentangan dengan Al Qur’an, 
maka 
yang salah adalah penelitiannya. 
Logika kita mungkin baru sampai level 2, 
tapi Al Qur’an sudah level 1000.

Tauhid sebagai paradigma keilmuan, 
dapat dilihat pada QS Ibrahim 14:52. 

Untuk bisa mengambil pelajaran dari Al Qur’an 
kita harus menjadi orang yang berakal, 
karena hanya orang berakal saja 
yang bisa menangkap ilmu. 

Fakta-fakta kebenaran 
yang terungkap dari Al Qur’an 
berfungsi sebagai peringatan.

Paradigma Tauhid.

1. Semua berasal dari Allah 
dan akan kembali kepada Allah.

2. Setiap fenomena psikologis 
pasti ada hakikatnya yang universal (deskriptif)

Ilmu psikologi sekarang 
hanya berhenti pada individual differences, 
dibalik itu 
ada sesuatu yang sama atau universal (fitrah), 
dan 
hal inilah yang digali Psikologi Islam.

3. Diantara berbagai macam fenomena kehidupan 
pasti ada kondisi ideal yang hakiki (preskriptif). 
Sedangkan 
yang ada sekarang, 
kebenaran itu subjektif, misalnya 
tentang teori kepribadian 
yang berhenti hanya pada variasi. 

Dalam Psikologi Islam , 
ada yang sifatnya perbedaan, 
ada yang kualitas 
(memberi arah mana yang baik, dan mana yang buruk).

Definisi “normal” seseorang dalam psikologi, 
diambil dari kurva normal 
atau dengan kata lain kebanyakan orang.
Bisa jadi 
orang baik (ideal) masuk ke bagian yang tidak normal. 

Dalam Psikologi Islam, 
yang “baik” lah yang normal, yang ideal. 
Jadi perlu “dakwah” ke masyarakat 
agar orang-orang baik 
bisa menjadi orang yang “normal” (kebanyakan orang).

Ilmu tidak berhenti pada diferensiasi 
tapi mengarah pada integrasi (tidak parsial), 
holistic-integratif (unity of knowledge). 

Orang baik itu 
yang perilakunya baik, 
ibadahnya baik, 
jadi tidak ada dikotomi absurd 
yang mengatakan 
“lebih baik 
orang yang tidak pernah ibadah 
tapi perilakunya baik, 
daripada 
orang yang ibadah 
tapi perilakunya buruk.”

Dalam Islam, 
perbedaan itu dihargai, 
tidak seperti pluralisme 
yang berusaha menyama-nyamakan 
seperti dengan memunculkan kesetaraan gender. 

Allah swt menciptakan perbedaan, 
namun
itu bukan untuk ditakuti 
atau dijadikan sumber konflik, 
namun 
agar semua saling kenal-mengenal.

Tentu 
perbedaan yang disanjung disini 
bukan dalam hal kualitas 
namun sebatas perbedaan luar 
seperti kulit, ras, dan bahasa. 
Sedangkan 
dalam kualitas, 
yang paling baik adalah 
orang yang paling bertaqwa. 

Jadi 
“Horizontal differences but vertical unity” 
(berbeda-beda kulit, ras, 
namun bersama-sama meningkatkan ketaqwaan).

Perbedaan pendapat dalam islam itu dihargai. 

Karya-karya ulama islam, 
bukan berarti mereka tidak seragam, 
namun 
mereka saling menghargai. 
Sedangkan saat ini, 
di Jerman 
ada kelompok ilmuwan yang dibully 
karena tidak percaya teori Darwin. 
Bagi mereka, 
perbedaan itu sumber konflik 
sehingga 
semua hal perlu disamakan 
atas nama Pluralisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar