Minggu, 06 November 2016

HAKIKAT JALAN SUFI DARI SYEKH ABU HASAN ASY-SYADZILI

HAKIKAT JALAN SUFI 
DARI SYEKH ABU HASAN ASY-SYADZILI.

Menurut Imam Asy-Syadzili, 
jalan tasawuf itu 
bukanlah jalan kerahiban, 
menyendiri di goa, 
meninggalkan tanggung jawab sosial, 
tampak miskin menderita, 
memakan makanan sisa, 
pakaian compang-camping 
dan sebagainya. 

Tetapi, 
jalan sufi adalah 
jalan kesabaran 
dan 
keyakinan 
dalam petunjuk Ilahi.

Allah SWT berfirman, 
“Dan, 
Kami jadikan di antara mereka itu 
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk 
dengan perintah Kami ketika mereka sabar 
(dalam menegakkan kebenaran) 
dan 
mereka meyakini ayat-ayat Kami. 
Sesungguhnya 
Tuhanmu 
Dialah yang memberikan keputusan 
di antara mereka pada hari Kiamat 
tentang apa yang selalu mereka perselisihkan 
padanya.” 
(QS As-Sajadah [32]: 24-25)

Imam Asy-Syadzili mengatakan, 
“Pelabuhan (tasawuf) ini sungguh mulia, 
padanya lima perkara, 
yakni: 
sabar, takwa, wara’, yakin dan makrifat. 

Sabar jika ia disakiti, 
takwa dengan tidak menyakiti, 
bersikap wara’ 
terhadap yang keluar masuk dari sini
—beliau menunjuk ke mulutnya—
dan pada hatinya, bahwa 
tidak menerebos masuk ke dalamnya 
selain apa 
yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, 
serta 
keyakinan terhadap rezeki (yang diberikan Allah) 
dan 
bermakrifat terhadap Al-Haqq, 
yang tidak akan hina seseorang bersamanya, 
kepada siapa pun dari makhluk.

Allah SWT berfirman, 
“Bersabarlah (Hai Muhammad) 
dan 
tiadalah kesabaranmu itu 
melainkan dengan pertolongan Allah 
dan 
janganlah engkau bersedih hati 
terhadap (kekafiran) mereka 
dan 
janganlah engkau bersempit dada 
terhadap apa yang mereka tipu dayakan. 
Sesungguhnya 
Allah beserta orang-orang yang bertakwa 
dan 
orang-orang yang berbuat kebaikan.” 
(QS An-Nahl [16]: 127-128)

Imam Asy-Syadzili juga mengatakan, 
“Orang yang berakal adalah 
orang yang mengenal Allah, 
apa-apa yang Dia kehendaki atasnya 
dan 
apa yang berasal darinya secara syariat. 
Dan, 
hal yang Allah inginkan 
dari seorang hamba adalah 
empat perkara: 
adakalanya berupa 
nikmat atau cobaan, ketaatan ataupun kemaksiatan.

Jika engkau berada dalam kenikmatan, 
maka 
Allah menuntutmu untuk bersyukur secara syariat. 
Jika Allah menghendaki cobaan bagimu, 
maka 
Dia menuntutmu untuk bersabar secara syariat. 
Jika Allah menghendaki ketaatan darimu, 
maka 
Allah menuntutmu untuk bersaksi 
atas anugerah dan taufik-Nya secara syariat. 
Dan, 
jika Dia menghendaki kemaksiatan dirimu, 
maka 
Allah menuntut dirimu untuk bertobat 
dan 
kembali kepada-Nya 
dengan penyesalan mendalam secara syariat.

Siapa yang mengerti 
empat perkara ini datang dari Allah 
dan 
melakukan apa yang Allah cintai darinya 
secara syariat, 
maka 
dia adalah hamba yang sebenar-benarnya. 

Rasulullah SAW bersabda, 
“Barangsiapa 
yang ketika diberi lalu ia bersyukur, 
jika ditimpa cobaan dia bersabar, 
jika dia menzalimi lalu meminta ampun 
dan 
jika dia dizalimi lalu memaafkan.” 
Kamudian Rasul terdiam...
Para sahabat pun heran dan bertanya, 
“Ada hal apa, wahai Rasulullah?”
Kemudian 
Rasul pun menjawab, 
“Merekalah 
orang-orang yang mendapat keamanan 
dan 
mereka adalah 
orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dalam ungkapan sebahagian dari mereka menyebutkan, 
“Tidak akan dianggap mudah melakukan itu, 
kecuali 
bagi seorang hamba yang memiliki cinta. 
Dia tidak mencintai 
kecuali 
karena Allah semata 
atau 
mencintai 
apa yang Allah perintahkan 
sebagai syariat agamanya.”

--Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili 
dalam kitab Durrat Al-Asrar wa Tuhfat Al-Abrar 
karya Muhammad Ibn Abi Qasim Al-Humairi.

Moga bermanfaat! - Tasawuf Underground.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar