Hari Senin, ketika itu, dunia berguncang dahsyat. Seorang kekasih, seorang Nabi dan seorang Rasul terakhir, kembali kepada PenciptaNya. Sayyidina Muhammad Saw. wafat, setelah beberpa hari beliau sakit.
Seperti kelengangan yang mencekam, sekaligus bayang-bayang keruntuhan, tetapi juga sebuah tonggak yang hendak ditegakkan. Tonggak besar sepeninggal beliau. Duka dan harapan bercampur baur. Sebuah sudut sejarah paling tajam, dalam sirkuit perjalanan perjuangan membela agama Allah Swt dan RasulNya Sallallahu ‘alaihi wasallam.
Saat itulah ummat Islam harus keluar dari kemelut yang begitu besar. Sekaligus harus memenangkan perjuangan melawan diri sendiri, juga memenangkan perjuangan melawan musuh-musuh Islam dari luar yang hendak merampas kekuatan Islam.
Tampillah manusia besar, pahlawan yang tiada tara, mengurai benang kusut dan membebaskan kemelut yang luar biasa. Abu Bakr ash-Shiddiq ra, kekasih Rasulullah Saw., pembela dan pendamping selama hidupnya, yang menenangkan gelombang dahsyat kala itu, hampir-hampir darah bertumpah, dan api fitnah membubung ke angkasa.
Ia hadir antara duka nestapa dan harapan besar terhadap Rahmat Allah Swt di masa depan. Ia tampil dengan fitrah dan cahaya. Ia muncul membentengi bangunan kokoh yang hampir diruntuhkan oleh kekafiran, kemurtadan dan kemunafikan. Keperkasaan kharisma yag melampaui kegagahan para panglima perang, tetapi juga kelembutan, cinta dan kasih saying yang mengungguli jiwa-jiwa kasih yang membumbung ke angkasa.
Itulah Abu Bakr ash-Shiddiq yang tak pernah membuat kering para penulis sejarah menggoreskan tinta emasnya. Begitu dekatnya, jiwa, qalbunya, dan hartanya untuk Allah Swt dan RasulNya, di saat yang sama begitu kuat dan besarnya tanggung jawab atas keselamatan ummat sepeninggal Sang Nabi dan Sang Rasul Sallallahu ‘alaihi wasallam dunia akhiratnya, sampai selamat di hadapanNya kelak.
Ketegasan yang teguh dalam membela Sang Rasul Saw. yang tak terbayangkan dengan kesalehan seorang Sufi yang terus mengalirkan sungai-sungai air mata yang membelah celah-celah pipinya, membasahi janggutya, dengan rintihan-rintihan kefanaan, munajat cinta, dan rasa rindu yang dahsyat kepada Sang Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam. yang telah mendahuluinya.
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu’anhu, teladan yang tak pernah sunyi dalam ruang kosong sejarah. Seorang panutan dalam religiusitas yang menjulang ke langit, seorang yang terbuka (inklusif) dan sangat demokratis, melebihi para raja dan penguasa dunia kala itu. Tokoh yang sangat menghargai kearifan lokal, dengan pencahayaan Islam yang dalam. Negarawan yang gagah nan saleh, tampil sebagai bapak pelindung ummat, tak kenal kompromi bila harus menghadapi mereka yang hendak merobohkan pilar-pilar agama yang dibangun oleh Sang Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun ia merasakan kesunyian yang dahsyat ketika malam menyelimuti kegelapan tiba, rindunya bergelora dalam lembah Cinta kepada Tuhan RasulNya. Dialah Khalifatullah yang sesungguhnya, walau ia dengan kerendahan hati dan rasa hina dinanya dihadapan Allah Swt, hanya menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasul.
Maka, tak mengherankan jika namanya selalu disebut dalam milyaran bibir yang bergetar setelah nama Sang Nabi Saw. Semetara milyaran jantung ummat berdetak, menggetarkan ArasyNya, ketika Hadharat Al-Fatihah diucapkan setelah Sang Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam. Berkah-berkah cahaya melimpah, hingga menyirnakan luka-luka sejarah di masa lampau. Era yang paling sulit dilaluinya, seperti meniti jembatan Shirathal Mustaqim, ketika di bawahnya berkobar api neraka dunia. “Jalan Lurus” menuju Allah bersama ummat ketika itu.
DIPANGGIL Abu Bakr ash-Shiddiq ra, dialah Abdullah bin Abi Quhafah, Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’b bin Taym bin Murrah bin Ka’b Lu’ay bin Ghalib al-Qurasy at-Taymi. Nasabnya bertemu dengan Nabi Saw. pada Murrah bin Ka’b. Bertemu nasabnya dengan Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Luai.
Abu Bakr adalah ayah dari Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw. Nama yang sebenarnya adalah Abdul Ka’bah (artinya ‘hamba Ka’bah’), yang kemudian diubah oleh Muhammad Saw. menjadi Abdullah (artinya ‘hamba Allah’). Muhammad Saw. memberinya gelar Ash-Shiddiq (artinya ‘yang berkata benar’) setelah Abu Bakr membenarkan peristiwa Isra Mi’raj yang diceritakan oleh Muhammad Saw. kepada para pengikutnya, sehingga ia lebih dikenal dengan nama “Abu Bakr ash-Shiddiq”.
Abu Bakr ash-Shiddiq, lahir: 572 - wafat: 23 Agustus 634/21 Jumadil Akhir 13 H. Lelaki pertama yang beriman kepada Allah dan Rasulullah Saw. Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, Abu Bakr menjadi khalifah Islam yang pertama pada tahun 632 hingga tahun 634 M.
MENJADI KHALIFAH
Pagi itu 12 Rabiul Awal tahun 11 H (3 Juni 632 M), subuh dinihari Rasulullah Saw. merasa sudah sembuh dari sakitnya. Ia keluar dar rumah Aisyah ra ke masjid, dan sempat berbicara denga kaum Muslimin. Dipanggilnya Usamah bin Zaid dan diperintahkan untuk melakukan jihad menghadapi Romawi.
Beberapa saat setelah itu, ummat sedang berbicang-bincang, sembari duduk-duduk, tersiar kabar bahwa Rasulullah Saw. wafat. Umar bin Khaththab ra berdiri dan berpidato membantah berita itu. Ia katakan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak meninggal, namun hanya pergi menghadap Tuhannya seperti Musa bin Imran yang menghilang dari ummatnya selama 40 malam. Siapa yang membantah Umar, akan dipotong tangan dan kakinya.
Saat itu Abu Bakr ash-Shiddiq ra sudah pulang ke rumahnya di Sunh, pinggiran kota Madinah, ketika mendengar berita sedih itu, ia kembali. Ia menuju rumah Aisyah ra. Dilihatnya Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu bagian dalam rumah itu, sudah diselubungi kain. Ia maju menyingkap kain itu dari wajah Nabi lalu menciumnya dan katanya:
“Alangkah sedapnya sewaktu engkau hidup, dan alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat.”
Ia keluar lagi menemui orang banyak lalu berkata kepada mereka:
“Saudara-saudara. Barang siapa mau menyembah Muhammad Saw., Muhammad Saw. sudah meninggal. Tetapi barang siapa menyembah Allah, Allah hidup selalu, tak pernah mati.”
Selanjutnya ia membacakan firman Allah: “Muhammad Saw. hanyalah seorang Rasul; sebelumnya pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu akan berbalik belakang? Barang siapa berbalik belakang samasekali tak akan merugikan Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang bersyukur.” (Qur’an, 3. 144).
Setelah didengarnya Abu Bakr membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah dia yakin bahwa Rasulullah Saw. memang sudah wafat. Orang semua terdiam setelah mendengar dan melihat kenyataan itu. Setelah sadar dari rasa kebingungan demikian, mereka tidak tahu apa yang hendak mereka perbuat.
Di tengah kegaduhan luar biasa itu, tiba-tiba orang-orang Anshar berkumpul dalam Saqifah Bani Saidah, sedang mendiskusikan siapa pemimpin pengganti Rasulullah Saw. Mendengar berita itu Umar bin Khatthab ra. bergegas mengajak Abu Bakr as-Shiddiq ra. bersama Abu Ubaidah bin Jarrah, untuk mengatasi persoalan ummat dan kenegaraan yang hampir menjadi fitnah dahsyat, yang mengancam persatuan ummat.
Umar sudah menyiapkan argumen dan pidatonya, tetapi dicegah oleh Abu Bakr ash-Shiddiq, kawatir situasi emosional tak terkendali, dan ia sangat mengenal kawan dekatnya itu.
Kaum Anshar hendak menunjuk pemimpin sepeninggal Rasul adalah dari kalangan mereka, dengan berbagai alasan. Mereka ini dipelopori oleh Sa’d bin Ubaidah. Maka Abu Bakr ash-Shiddiq yang bicara pertama kali, kepada kaum Anshar:
“......Orang-orang Arab itu berat sekali untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka. Kaum Muhajirin yang mula-mula dari masyarakat Nabi sendiri telah mendapat karunia Allah, mereka percaya kepadanya, beriman kepadanya, senasib seperjuangan dengan menanggung segala macam penderitaan, yang datangnya justru dari masyarakat mereka sendiri. Mereka didustakan, ditolak dan dimusuhi. Mereka tak merasa gentar, meskipun jumlah mereka kecil, menghadapi kebencian dan permusuhan lawan yang begitu besar. Mereka itulah yang telah lebih dulu menyembah Allah di muka bumi, beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Mereka itu termasuk sahabat-sahabatnya dan keluarganya. Sepeninggal Nabi, merekalah orang-orang yang paling berhak memegang pimpinan ini. Tak ada orang yang akan menentang kecuali orang yang zalim.”
“Dan kalian, Saudara-saudara Anshar! Siapa yang akan membantah jasa kalian dalam agama serta sambutanmu yang mula-mula, yang begitu besar artinya dalam Islam. Allah telah memilih kamu sebagai pembela (Anshar) agama dan Rasul-Nya. Ke tempat kalian inilah Ia hijrah dan dari kalangan kalian ini pula sebagian besar istri-istri dan sahabat-sahabatnya. Posisi itu hanya ada pada kamu sekalian setelah kami. Karena itu, maka kamilah para amiir dan Tuan-tuan para waziir. Kami tak akan meninggalkan Tuan-tuan dalam musyawarah dan tak akan memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan”
“......Kami para amiir dan Tuan-tuan para waziir. Kami tidak akan meninggalkan Tuan-tuan dalam musyawarah, dan kami takkan memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan.” Kata-kata ini mirip sekali dengan pendapat Anshar yang mengatakan:
“.....dan kami seorang amiir dan dari Muhajirin seorang amiir.” Kata-kata yang lebih teratur ini dan akan membawa segala persoalan ke arah yang lebih baik dan membangun. Barangkali ini pula tujuan Abu Bakr — tujuan yang sangat bijaksana dengan pandangan yang jauh. Barangkali pihak Aus pun yang tadinya masih bersaing dengan Khazraj, sekarang sudah puas menerima Abu Bakr. Dan kalangan Khazraj sendiri barangkali banyak yang tidak keberatan terhadapnya.
JAWABAN ANSHAR KEPADA ABU BAKR
Orang-orang yang masih diliputi semangat mempertahankan Anshar merasakan pengaruh kata-kata Abu Bakr itu dalam hati kalangan Saqifah. Mereka khawatir kesepakatan yang semula sudah ada akan buyar. Keadaan itu dipaksakan oleh pihak Muhajirin dan kekuasaan akan dipegang mereka sendiri. Maka salah seorang dari Anshar berdiri dan berkata:
“Kemudian daripada itu. Kami adalah Ansharullah dan pasukan Islam, dan kalian dari kalangan Muhajirin sekelompok kecil dari kami, datang ke mari mewakili golongan Tuan-tuan. Tetapi ternyata sekarang Tuan-tuan mau mengambil hak kami secara paksa.”
Dalam kedudukannya itu, apa yang didengarnya tentu tidak menyenangkan Abu Bakr. Sekali lagi ia menunjukkan kata-katanya kepada Anshar, seraya katanya:
“Saudara-saudara! Kami dari Muhajirin orang yang pertama menerima Islam. Keturunan kami orang baik-baik, keluarga kami terpandang, kedudukan kami baik pula. Di kalangan Arab kamilah yang banyak memberikan keturunan, dan kami sangat sayang kepada Rasulullah Saw. Kami sudah memeluk Islam sebelum Tuan-tuan, di dalam Qur’an juga kami didahulukan dari Tuan-tuan, seperti dalam firman Allah: “Pelopor-pelopor pertama dari Muhajirin dan Anshar, dan yang mengikuti mereka dalam segala perbuatan yang baik (Qur’an, 9. 100). Jadi kami Muhajirin dan Tuan-tuan adalah Anshar, Saudara-saudara kami seagama, bersama-sama menghadapi rampasan perang dan penolong-penolong kami dalam menghadapi musuh. Apa yang telah Tuan-tuan katakan, bahwa segala kebaikan ada pada Tuan-tuan itu sudah pada tempatnya. Dari segenap penghuni bumi ini Tuan-tuanlah yang patut dipuji. Tetapi dalam hal ini orang-orang Arab itu hanya mengenal lingkungan Quraisy. Jadi dari pihak kami para amiir dan dari pihak Tuan-tuan para waziir.”!
Tetapi ucapan Abu Bakr ash-Shiddiq ini ditimpali dengan keras oleh Hubab bin al-Mundzir bin Jamuh yang menginginkan kesamaan, “Sekarang saudara-sudara dari kami seorang amiir, dan dari tuan-tuan juga seorang amiir!” Katanya mengakhiri pidato.
Inilah yang membuat naik pitam Umar bin Khaththab, yang tidak menginginkan adanya dua nakhoda dalam kapal kepemimpinan. Akhirnya tokoh Anshar yang selama ini diam, Abu Ubaidah bin Jarrah turun tangan. “Saudara-saudara Anshar! Kalian adalah orang yang pertama memberikan bantuan dan dukungan, janganlah sekarang jadi orang yang pertama pula mengadakan perubahan dan perombakan.”
Tiba-tiba tokoh Anshar lain Basyir bin Sa‘d, mengambil kesempatan bicara. Ia adalah Basyir bin Sa’d Abu an-Nu’man bin Basyir, salah seorang pemimpin Khazraj, berdiri menyambut ucapan Abu Ubaidah yang bijaksana itu:
“Kalau kita sudah mendapat tempat pertama dalam perang melawan kaum musyrik dan juga yang mula-mula menyambut agama ini, yang kita tuju hanya rida Allah serta kepatuhan kita kepada Nabi kita yang sudah bekerja keras untuk kita. Maka tidaklah pada tempatnya kita akan menyombongkan diri kepada orang lain, juga bukan tujuan kita ganjaran duniawi ini sebagai balasan buat kita. Tuhanlah yang akan memberikan ganjaran kepada kita untuk ini semua. Ya, Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam dari Quraisy, maka kabilah inilah yang lebih berhak atas semua itu. Demi Allah aku bersumpah. Janganlah sekali-kali kita disaksikan Allah dalam keadaan bersengketa mengenai hal ini. Takutlah kalian kepada Allah, dan janganlah menentang dan bertengkar dengan mereka.”
Abu Bakr mengitarkan pandangannya kepada Anshar, ingin melihat kesan apa yang timbul dan kata-kata Basyir itu. Dilihatnya Aus seolah mereka saling berbisik dan banyak pula dan pihak Khazraj yang tampaknya merasa puas dengan kata-kata Basyir itu. Ia yakin, bahwa keadaannya sekarang sudah reda dan sudah tiba pula saatnya mengambil keputusan. Kesempatan ini tak boleh dibiarkan. Oleh karena waktu itu Ia sedang duduk di tengah-tengah, antara Umar dan Abu Ubaidah, maka dipegangnya tangan mereka itu masing-rnasing dan katanya seraya mengajak Anshar menjaga persatuan dan menghindari perpecahan:
“Ini Umar dan ini Abu Ubaidah, berikanlah ikrar Tuan-tuan kepada yang mana saja yang Tuan-tuan sukai.”
Ketika itu timbul pula kegaduhan dan perselisihan pun mulai merebak lagi. Umarkah yang akan dibaiat dengan sikapnya yang begitu keras, tetapi dalam pada itu Ia pendamping (waziir) Nabi dan ayah Hafsah Ummul Mukminin?! Atau Abu Ubaidah yang akan dilantik, yang sampai saat itu wibawa dan kedudukannya belum seperti Umar dalam hati kaum Muslimin?!
UMAR DAN ABU UBAIDAH MELANTIK ABU BAKR
Tetapi Umar tidak akan membiarkan perselisihan itu menjadi perkelahian yang berkepanjangan. Dengan suaranya yang lantang menggelegar Ia berkata: “Abu Bakr, bentangkan tanganmu.”
Abu Bakr membentangkan tangan dan oleh Umar ia diikrarkan seraya katanya:
“Abu Bakr, bukanlah Nabi menyuruhmu memimpin Muslimin bersembahyang? Engkaulah penggantinya (khalifahnya). Kami akan mengikrarkan orang yang paling disukai oleh Rasulullah Saw. di antara kita semua ini.”
Menyusul Abu Ubaidah memberikan ikrar:
“Engkaulah di kalangan Muhajirin yang paling mulia,” katanya, “dan yang kedua dari dua orang dalam gua. menggantikan Rasulullah Saw. dalam salat, sesuatu yang paling mulia dan utama dalam agama kita. Siapa lagi yang lebih pantas dari engkau untuk ditampilkan dari memegang pimpinan ini!”
Seluruh yang hadir akhirnya bergant ian membaiat Abu Bakr Shiddiq sebagai Khalifah.
Setelah itu beliau berpidato. Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah Abu Bakr radiallahi’anhu berkata:
“Kemudian, Saudara-saudara. Saya sudah terpilih untuk memimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya saya berikan kepadanya — insya Allah, dan orang yang kuat buat saya adalah lemah sesudah haknya nanti saya ambil — insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasulullah Saw. maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian.”
PERISTIWA ERA ABU BAKR ASH-SHIDDIQ
Maka betapa hebatnya tokoh ini, yang mencatat kegemilangan dalam waktu singkat saat menjadi Khalifah Rasulullah Saw. Sukses-sukses itu antara lain:
Melanjutkan ekspedisi milter Usamah.
Memerangi kaum Murtad.
Memerangi penolak bayar zakat.
Memerangi Musailamah al-Kadzdzab para Nabi Palsu.
Mengumpulkan al-Qur’an.
Banyak prestasi luar biasa dalam bidang politik dan kenegaraan; Abu Bakr ash-Shiddiq berhasil mempresentasikan di hadapan sejarah bahwa konsep Islam tentang Negara dan khilafah sesungguhnya tidak ada, karena itu beliau tetap mengunggulkan konsep demokrasi religius yang berdasar musyawarah demi kesatuan dan keutuhan serta tegaknya agama.
Karena itu tidak ada konsep tegas mengenai sistem kenegaraan dan khilafah dalam Islam, sehingga setiap periode Khulafaur-Rasyidin saja, sistem suksesinya berbeda-beda. Inilah keleluasaan Islam dan universalitasnya, justru memberikan penghargaan pada situasi dan kondisi sosiologis dan historis, dalam rangka menegakkan agama dan kehidupan ummat manusia.
NASAB DAN KARAKTER FISIKNYA
Ammar bin Yasir radhiallahu‘anhu mengatakan, “(Di awal Islam) Aku melihat Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam. hanya bersama lima orang budak, dua orang wanita, dan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhum ajmain.” (Riwayat Bukhari).
Sebagaimana telah masyhur, laqob ash-shiddiq disematkan padanya karena ia selalu membenarkan apa yang datang dari Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana pada pagi hari setelah kejadian Isra’ dan Mi’raj orang-orang kafir berkata kepadanya, “Temanmu (Muhammad Saw) mengaku-ngaku telah pergi ke Baitul Maqdis dalam semalam”. Abu Bakr menjawab, “Jika ia berkata demikian, maka itu benar”.
Ummul Mukminin, Aisyah ra. menuturkan sifat fisik ayahnya, “Ia seorang yang berkulit putih, kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggangnya, wajahnya selalu berkeringat, hitam matanya, dahinya lebar, tidak bisa bersaja’, dan selalu mewarnai jenggotnya dengan memakai inai atau katam. (Thabaqat Ibnu Sa’ad, 1: 188).
KEUTAMAAN ABU BAKR
Pertama, dijamin masuk surga dan memasuki semua pintu yang ada di sana, padahal saat itu beliau masih menjejakkan kaki di muka bumi. Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga: “Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan.” Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah, mereka yang berpuasa akan dipanggil dari pintu puasa, yaitu pintu Rayyan. Lantas Abu Bakr bertanya; “Jika seseorang (yang masuk surga) dipanggil dari salah satu pintu, itu adalah sebuah kepastian. Apakah mungkin ada orang akan dipanggil dari semua pintu tersebut wahai Rasulullah Saw?” Rasulullah Saw menjawab, “Benar, dan aku berharap kamu termasuk diantara mereka, wahai Abu Bakr.” (HR. al-Bukhari & Muslim).
Kedua, Abu Bakr adalah laki-laki yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw.
Amr bin Al-Ash ra bertanya kepada Nabi Saw, “Siapa orang yang kau cintai?” Rasulullah Saw. menjawab: “Aisyah.” Aku bertanya lagi: “Kalau laki-laki?” Beliau menjawab: “Ayahnya Aisyah (yaitu Abu Bakr)” (HR. Muslim).
Ketiga, Allah mempersaksikan bahwa Abu Bakr adalah orang yang ikhlas dalam mengamalkan ajaran Islam. Allah Taala berfirman, “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.” (QS. Al Lail: 17-21)
Para ulama, di antaranya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sadi ketika menafsirkan ayat ini beliau berkata, sebab turun ayat ini adalah berkaitan dengan Abu Bakr ash-Shiddiq (Tafsir as-Sadi, Hal: 886).
Keempat, orang-orang musyrik menyifati Abu Bakr sebagaimana Khadijah menyifati Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Bakr adalah salah seorang sahabat yang diperintahkan Rasulullah Saw. untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Meskipun Abu Bakr lebih senang berada di sisi Rasulullah Saw. namun Rasulullah Saw. mengkhawatirkan keselematan Abu Bakr karena kabilahnya termasuk kabilah yang lemah, tidak mampu melindunginya dari ancaman orang-orang kafir Quraisy.
Dalam perjalanan menuju Habasyah, saat sampai di suatu wilayah yang bernama Barku al-Ghumad, Abu Bakr berjumpa dengan seseorang yang dikenal dengan Ibnu Dughnah yang kemudian menanyakan perihal tentangnya. Lalu Ibnu Dughnah mengajak Abu Bakr kembali ke Mekah dan ia berkata kepada kafir Quraisy, “Apakah kalian mengusir orang yang suka menghilangkan beban orang-orang miskin, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu, dan selalu menolong di jalan kebenaran?” (Riwayat Bukhari)
Sifat yang sama seperti sifat yang dikatakan Ummul Mukminin Khadijah tatkala menenangkan Rasulullah Saw. tatkala pertama kali menerima wahyu.
Oleh karena itu, tidak heran sampai-sampai Umar bin al-Khattab menyifati keimanan Abu Bakr dengan permisalan yang sangat luar biasa. Umar mengatakan, “Seandainya ditimbang iman Abu Bakr dengan iman seluruh penduduk bumi, niscaya lebih berat iman Abu Bakr.”
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu’anha, ia menceritakan, setiap harinya Rasulullah Saw. selalu datang ke rumah Abu Bakr di waktu pagi atau di sore hari. Namun pada hari di mana Rasulullah Saw. diizinkan untuk berhijrah, beliau datang tidak pada waktu biasanya. Abu Bakr yang melihat kedatangan Rasulullah Saw. berkata, “Tidaklah Rasulullah Saw. datang di waktu (luar kebiasaan) seperti ini, pasti karena ada urusan yang sangat penting”. Saat tiba di rumah Abu Bakr, Rasulullah Saw. bersabda, “Aku telah diizinkan untuk berhijrah.” Kemudian Abu Bakr menanggapi, “Apakah Anda ingin agar aku menemanimu wahai Rasulullah Saw?” Rasulullah Saw. menjawab, “Iya, temani aku.” Abu Bakr pun menangis.
Kemudian Aisyah mengatakan, “Demi Allah! Sebelum hari ini, aku tidak pernah sekalipun melihat seseorang menangis karena berbahagia. Aku melihat Abu Bakr menangis pada hari itu”.
Abu Bakr kemudian berkata, “Wahai Nabi Allah, ini adalah kedua kudaku yang telah aku persiapkan untuk hari ini.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Subhanallah! Abu Bakr menangis bahagia karena bisa hijrah bersama Rasulullah Saw. Padahal hijrah dari Mekah ke Madinah kala itu benar-benar membuat nyawa terancam, meninggalkan harta, meninggalkan keluarga; anak dan istri yang ia cintai, tapi cinta Abu Bakr kepada Rasulullah Saw. membuatnya lebih mengutamakan Rasulullah Saw. daripada harta, anak, istri, bahkan dirinya sendiri.
MENANGIS SAAT MEMBACA AL-QURAN
Abu Bakr Ash-Shiddiq ra, adalah seorang laki-laki yang amat lembut hatinya sehingga tatkala membaca Al-quran, matanya senantiasa berurai air mata. Tatkala Rasulullah Saw. sakit menjelang wafatnya, beliau memerintahkan Abu Bakr agar mengimami kaum muslimin. Lalu Aisyah mengomentari hal itu, “Sesungguhnya Abu Bakr adalah seorang yang sangat lembut, apabila ia membaca Al-quran, ia tak mampu menahan tangisnya”. Aisyah khawatir kalau hal itu mengganggu para jamaah. Namun Rasulullah Saw. tetap memerintahkan agar Abu Bakr mengimami kaum muslimin.
Karena bacaan Al-qurannya pula, orang-orang kafir Quraisy mengeluh kepada Ibnu Dhughnah –orang yang menjamin Abu Bakr- agar ia meminta Abu Bakr membaca Al-quran di dalam rumahnya saja, tidak di halaman rumah, apalagi di tempat-tempat umum. Mereka khawatir istri-istri dan anak-anak mereka terpengaruh dengan lantunan ayat suci yang dibaca oleh Abu Bakr.
Dikisahkan pula dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
“Abu Bakr ash-Shiddiq memiliki budak laki-laki yang senantiasa mengeluarkan kharraj (setoran untuk majikan) padanya. Abu Bakr biasa makan dari kharraj itu. Pada suatu hari ia datang dengan sesuatu, yang akhirnya Abu Bakr makan darinya. Tiba-tiba sang budak berkata, Apakah Anda tahu dari mana makanan ini?. Abu Bakr bertanya, Dari mana? Ia menjawab, Dulu pada masa jahiliyah aku pernah menjadi dukun yang menyembuhkan orang. Padahal bukannya aku pandai berdukun, namun aku hanya menipunya. Lalu si pasien itu menemuiku dan memberi imbalan buatku. Yang Anda makan saat ini adalah hasil dari upah itu. Akhirnya Abu Bakr memasukkan tangannya ke dalam mulutnya hingga keluarlah semua yang ia makan.” (HR. Bukhari).
AWAL KEHIDUPAN
Abu Bakr ash-Shiddiq dilahirkan di kota Mekah dari keturunan Bani Tamim , sub-suku bangsa Quraisy. Beberapa sejarawan Islam mencatat ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar, serta dipercaya sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.
Ketika Muhammad Saw. menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, ia pindah dan hidup bersama Abu Bakr. Saat itu Muhammad Saw. menjadi tetangga Abu Bakr. Sejak saat itu mereka berkenalan satu sama lainnya. Mereka berdua berusia sama, pedagang dan ahli berdagang.
Istrinya Qutaylah binti Abdul Uzza tidak menerima Islam sebagai agama sehingga Abu Bakr menceraikannya. Istrinya yang lain, Ummu Ruman, menjadi Muslimah. Juga semua anaknya kecuali ‘Abd Rahman bin Abu Bakr, sehingga ia dan ‘Abd Rahman berpisah.
PENYIKSAAN OLEH QURAISY
Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakr membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan.
Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad Saw. pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakr adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakr juga terikat dengan Nabi Muhammad Saw. secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad Saw. beberapa saat setelah Hijrah.
KAROMAH ABU BAKR AS-SIDDIQ
Fakhrur Razi, tatkala menafsirkan Surat Al-Kahfi banyak menceritakan tentang karomah para sahabat Nabi termasuk di dalamnya karomah Abu Bakr As-Siddiq. Diceritakan bahwa saat mayat Abu Bakr dibawa dan mendekati pintu makam Rasulullah Saw. para pengusung mengucapkan salam, “Assalammu’alaika ya Rasulullah Saw. ini Abu Bakr sedang di luar pintu.” Tanpa diduga pintu makam langsung terbuka dan terdengar suara, “Masuklah orang yang dicintai kepada orang yang mencintainya.” Menurut Imam Taj Al-Subki, Abu Bakr memiliki 2 macam karamah. Pertama, mengetahui penyakit yang dialaminya membawa kematian dan mengetahui bayi yang ada didalam.
Pada suatu hari, Ali ra. sedang memberikan ceramah, dan dia berkata kepada para hadirin “Siapa orang yang paling kuat?” Orang-orang berkata “Engkau adalah yang paling kuat.” Mereka berpikir begitu karena Ali ra. selalu siap untuk bertarung pada orang yang melawan umat Muslim. Dia-lah pahlawan pada perang Khaybar. Bayangkanlah, Ali pernah menggunakan pintu kastil sebagai tameng pada perang Khaybar! Bayangkan betapa kuatnya dia. Jadi orang-orang mengatakan bahwa Ali ra. adalah orang yang paling kuat.
Ali ra. berkata “Aku siap bertarung dengan orang-orang yang menantangku, Meskipun begitu, Abu Bakar As Saddiq ra. akan melawan siapapun yang menantang Rasulullah Saw. Dia lebih kuat daripada aku.”
Abu Bakar adalah orang yang paling berani dalam umat ini setelah Rasulullah Saw. Seseorang dapat melihat kekuatan hatinya pada perang Badar, Uhud, Parit, Hudaibiyah, dan Hunain. Semua ini cukup untuk membuktikan ketabahan, keteguhannya, dan menguatkan seluruh umat Islam ketika tragedi terbesar menimpa umat Islam, yaitu wafatnya Rasulullah Saw.
CIRI KHAS MASA ABU BAKR
Memang saya sederhanakan tatkala saya sebutkan bahwa masa (periode) pemerintahan Abu Bakr punya jati diri dan bentuknya sendiri yang sempurna, yaitu dalam hubungannya dengan masa Rasulullah Saw. sebelum itu dan dengan masa Umar sesudahnya, yang ditandai dengan suatu ciri khas. Masa Rasulullah Saw. adalah masa wahyu dari Allah. Allah telah menyempurnakan agama itu untuk umat manusia, telah melengkapinya dengan karunia-Nya dan dengan Islam sebagai agama yang dipilihkan-Nya untuk mereka.
Sedang masa Umar ialah masa pembentukan hukum yang dasar-dasarnya sudah ditertibkan dengan kedaulatan yang sudah mulai berjalan lancar. Sebaliknya masa Abu Bakr adalah masa peralihan yang sungguh sulit dan rumit, yang bertalian dengan kedua masa itu; namun berbeda dengan kedua masa itu. Bahkan berbeda dari setiap masa yang pernah dikenal orang dalam sejarah hukum dan ketertibannya serta dalam sejarah agama-agama dan penyebarannya.
AL-QUR’AN
Abu Bakr juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al-Qur’an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah al-Kadzab dalam perang Riddah, banyak para penghafal Al-Qur’an yang ikut tewas dalam pertempuran. Umar lantas meminta Abu Bakr untuk mengumpulkan koleksi dari Al-Qur’an. oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, mulailah dikumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an dari para penghafal Al-Qur’an dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya,setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan oleh Abu Bakr. Setelah Abu Bakr meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khaththab dan kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi Muhammad Saw. Kemudian pada masa pemerintahan Usman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks Al-Qur’an yang dikenal saat ini.
MENGATASI KESULITAN
Dalam masa transisi yang sangat kritis ini Abu Bakr dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang begitu besar sehingga pada saat-saat permulaan itu timbul kekhawatiran yang dirasakan oleh seluruh umat Muslimin.
Setelah semua itu dapat diatasi berkat kekuatan imannya, dan untuk waktu berikutnya Allah telah memberikan sukses dan kemenangan, datang Umar memegang tampuk pimpinan umat Islam. Ia memimpin mereka dengan berpegang pada keadilan yang sangat ketat serta memperkuat pemerintahannya sehingga negara-negara lain tunduk setia kepada kekuasaannya.
Memang, telah timbul kekhawatiran di kalangan umat melihat kesulitan yang dihadapi Abu Bakr itu. Sebabnya ialah wilayah Arab yang pada masa Rasulullah Saw. sudah tuntas kesatuannya, tiba-tiba jadi goncang begitu Rasulullah Saw. wafat. Bahkan gejala-gejala kegoncangan itu memang sudah mulai mengancam sebelum Rasulullah Saw. berpulang.
Musailimah bin Habib di Yamamah mendakwakan diri nabi dan mengirim delegasi kepada Nabi di Medinah dengan menyatakan bahwa Musailimah juga nabi seperti Muhammad Saw. dan bahwa “Bumi ini separuh buat kami dan separuh buat Quraisy; tetapi Quraisy adalah golongan yang tidak suka berlaku adil.” Juga Aswad Ansi di Yaman mendakwakan diri nabi dan tukang sihir, mengajak orang dengan sembunyi-sembunyi. Setelah merasa dirinya kuat ia pergi ke daerah selatan lalu mengusir wakil-wakil Muhammad Saw. lalu terus ke Najran. Ia hendak menyebarkan pengaruhnya di kawasan ini. Muhammad Saw. mengutus orang kepada wakilnya di Yaman dengan perintah supaya mengepung Aswad atau membunuhnya. Soalnya karena orang Arab yang sudah beriman dengan ajaran tauhid dan sudah meninggalkan penyembahan berhala, tak pernah membayangkan bahwa kesatuan agama mereka telah disusul oleh kesatuan politik. Malah banyak di antara mereka yang masih rindu ingin kembali kepada kepercayaan lamanya.
Itu sebabnya, begitu mereka mendengar Rasulullah Saw. wafat mereka menjadi murtad, dan banyak di antara kabilah itu yang menyatakan tidak lagi tunduk pada kekuasaan Medinah. Mereka menganggap membayar zakat itu sama dengan keharusan pajak. Oleh karena itu mereka menolak.
PEMBERONTAKAN DAN PERANG RIDDAH
Seperti jilatan api, cepat sekali pemberontakan itu menjalar ke seluruh jazirah Arab begitu Rasulullah Saw. wafat. Berita pemberontakan ini sampai juga kepada penduduk Medinah, kepada mereka yang berada di sekeliling Abu Bakr setelah mereka membaiatnya. Mereka sangat terkejut. Berselisih pendapat mereka apa yang harus diperbuat. Satu golongan berpendapat, termasuk Umar bin Khattab, untuk tidak menindak mereka yang menolak membayar zakat selama mereka tetap mengakui, bahwa tak ada tuhan selain Allah dan Muhammad Saw. Rasulullah Saw. Dengan begitu barangkali mereka menghendaki agar tidak banyak musuh yang akan dapat mengalahkan mereka. Allah tidak memberikan janji kemenangan kepada mereka seperti yang diberikan kepada Rasulullah Saw. Juga wahyu sudah tidak diturunkan kepada siapa pun lagi setelah Nabi dan Rasul penutup itu berpulang ke rahmatullah. Tetapi Abu Bakr tetap bersikeras, mereka yang menolak membayar zakat dan murtad dari agamanya harus diperangi. Dan itulah Perang Riddah yang telah menelan waktu setahun lebih.
Perang Riddah itu tidak hanya melibatkan ratusan orang dari pasukan Khalifah dan ratusan lagi dari pihak lawan, bahkan di antaranya sampai puluhan ribu dari masing-masing pihak yang terlibat langsung dalam pertempuran yang cukup sengit itu. Ratusan, bahkan ribuan di antara kedua belah pihak terbunuh. Pengaruhnya dalam sejarah Islam cukup menentukan. Andaikata Abu Bakr ketika itu tunduk pada pihak yang tidak menyetujui perang, sebagai akibatnya niscaya kekacauan akan lebih meluas ke seluruh kawasan Arab, dan kedaulatan Islam tentu tidak akan ada. Juga jika pasukan Abu Bakr bukan pihak yang menang dalam perang itu, niscaya akibatnya akan lebih parah lagi. Jalannya sejarah dunia pun akan sangat berlainan.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan ketika orang mengatakan, bahwa dengan posisinya dalam menghadapi pihak Arab yang murtad disertai kemenangannya dalam menghadapi mereka itu, Abu Bakr telah mengubah arah sejarah dunia. Tangan Tuhan jugalah yang telah melahirkan kebudayaan umat manusia itu dalam bentuknya yang baru.
PENGARUH KEMENANGAN PERANG RIDDAH
Kalau tidak karena kemenangan Abu Bakr dalam Perang Riddah, penyerbuan ke Irak dan ke Syam tentu tidak akan dimulai, dan pasukan Muslimin pun tak akan berangkat dengan kemenangan memasuki kedua imperium besar itu, Rumawi dan Persia, untuk kemudian digantikan oleh kedaulatan Islam di atas puing itu juga! Kebudayaan Islam telah menggantikan kedua pola kebudayaan itu. Lagi, kalau tidak karena Perang Riddah, dengan gugurnya sahabat-sahabat sebagai syahid yang memastikan kemenangan itu, niscaya tidak akan cepat-cepat Umar menyarankan kepada Abu Bakr agar Qur’an segera dikumpulkan. Karena pengumpulan inilah pula yang menyebabkan adanya penyatuan bacaan menurut dialek Mudar pada masa Usman. Dengan demikian, Qur’an adalah dasar yang kukuh dalam menegakkan kebenaran, merupakan tonggak yang tak tergoyahkan bagi kebudayaan Islam. Selanjutnya, kalau tidak karena kemenangan yang diberikan Allah kepada kaum Muslimin dalam Perang Riddah itu, jangan-jangan Abu Bakr belum dapat menyusun suatu sistem pemerintahan di Medinah, yang di atas sendi itu pula kemudian Umar menggunakan asas musyawarah. Polanya keadilan dan kasih sayang, intinya kebajikan dan ketakwaan.
Inilah peristiwa-peristiwa agung yang telah dapat diselesaikan dalam waktu singkat, tak sampai dua puluh tujuh bulan. Barangkali karena waktu yang sesingkat itu pula yang menyebabkan sebagian orang sampai merentang jarak begitu panjang hingga pada masa Umar, dengan anggapan bahwa jika hanya dalam beberapa bulan saja tidak akan cukup waktu orang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang sampai mengubah jalannya sejarah dunia ini.
Hubungan kebesarannya sebagai KhaIifah dengan kebesarannyasebagai Sahabat
Bagaimana Abu Bakr dapat menghadapi segala kesulitan itu pada permulaan ia memegang pimpinan dan dia tetap bertahan, kemudian dapat mengatasinya? Sesudah itu pula mulai ia merintis jalan menyebarkan agama dan membuat sebuah kedaulatan sementara kesulitan-kesulitan itu masih ada? Sudah tentu sifat pribadinya besar sekali pengaruhnya. Tetapi sifat-sifat itu saja tidak akan sampai ke tingkat yang sudah dicapainya itu kalau tidak karena persahabatannya dengan Rasulullah Saw. selama dua puluh tahun penuh itu.
Oleh karena itu para ahli sejarah sepakat bahwa kebesaran Abu Bakr selama masa menjadi Khalifah itu erat Sekali hubungannya dengan persahabatannya dengan Rasulullah Saw. Selama dalam persahabatan itu ia telah menghirup jiwa agama yang dibawa oleh Muhammad Saw., ia sepenuhnya mengerti maksud dan tujuannya, mengerti secara naluri, tidak dikacaukan oleh adanya kesalahan atau keraguan. Apa yang telah dihirupkan dan dipahaminya dengan nalurinya itu ialah bahwa iman adalah suatu kekuatan yang tak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun selama seorang mukmin dapat menjauhkan diri dari maksud-maksud tertentu selain untuk mencari kebenaran demi kebenaran semata. Banyak memang orang yang dapat memahami kebenaran rohani demikian ini pada setiap zaman, tetapi mereka menangkapnya dengan akal, sedang Abu Bakr menangkap semua itu dengan kalbunya, dengan matanya Ia melihat bulat-bulat hidup dalam diri Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dan dalam perbuatannya.
ABU BAKR MEMIMPIN SALAT
Karena sakit bertambah berat juga maka Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam meminta Abu Bakr memimpin sembahyang. Disebutkan bahwa Aisyah pernah mengatakan:
“Setelah sakit Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam semakin berat, Bilal datang mengajak bersembayang: ‘Suruh Abu Bakr memimpin shalat!’ Kataku: Rasulullah, Abu Bakr cepat terharu dan mudah menangis. Kalau dia menggantikanmu suaranya tak akan terdengar. Bagaimana kalau penintahkan kepada Umar saja! Katanya: ‘Suruh Abu Bakr memimpin sembahyang!’ Lalu kataku kepada Hafsah: Beritahukanlah kepadanya bahwa Abu Bakr orang yang cepat terharu dan kalau dia menggantikanmu suaranya tak akan terdengar. Bagaimana kalau perintahkan kepada Umar saja! Usul itu disampaikan oheh Hafsah. Tetapikata Nabi lagi: ‘Kamu seperti perempuan-perempuan yang di sekeliling Yusuf. Suruhlah Abu Bakr memimpin sembahyang.’ Kemudian kata Hafsah kepada Aisyah: Usahaku tidak lebih baik dari yang kaulakukan.”
Sekarang Abu Bakr bertindak memimpin salat sesuai dengan perintah Nabi. Suatu hari, karena Abu Bakr tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umar yang diminta mengimami salat. Suara Umar cukup lantang, sehingga ketika mengucapkan takbir di mesjid terdengar oleh Muhammad Saw. dan rumah Aisyah, maka katanya:
“Mana Abu Bakr? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian.”
Dengan itu orang menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakr sebagai penggantinya kelak, karena memimpin orang-orang salat merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah Saw.
Sementara masih dalam sakitnya itu suatu hari Muhammad Saw. keluar ke tengah-tengah kaum Muslimin di mesjid, dan antara lain ia berkata:
“Seorang hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia memilih berada, di sisi Allah.” Kemudian diam. Abu Bakr segera mengerti, bahwa yang dimaksud oleh Nabi dirinya. Ia tak dapat menahan air mata dan Ia menangis, seraya katanya:
“Kami akan menebus Tuan dengan jiwa kami dan anak-anak kami.”
Setelah itu, Muhammad Saw. minta semua pintu mesjid ditutup kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr. Kemudian katanya sambil menunjuk kepada Abu Bakr: “Aku belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman) maka Abu Bakr-lah khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ini dalam iman, sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita di sisi-Nya.”
Dari al Hasan berkata, Abu Bakr ash Shiddiq ra. pernah berkata, “Duhai, andai saja aku adalah sebuah pohon yang ditebang kemudian di makan.”
Dari Yahya bahwa Abu Bakr ash Shiddiq radhiyallahu‘anhu berkata dalam khutbahnya, “Dimanakah orang-orang yang wajahnya elok dan kagum dengan keadaan dirinya? Dimanakah para raja yang telah membangun kota-kota dan membentenginya dengan tembok-tembok? Dimanakah orang-orang yang selalu menyumbangkan kemenangan di medan-medan pertempuran? Sungguh mereka telah dibinasakan oleh masa hingga mereka berada di dalam kegelapan kubur. Maka bersegeralah, bersegeralah (dalam beramal). Selamatkanlah, selamatkanlah (diri kalian dari neraka).” [Shifatush Shafwah I/261]
“Patuhilah Aku selama Aku patuh kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw. bila Aku tidak mematuhi Allah Swt. dan Rasulullah Saw. maka jangan patuhi Aku lagi.”
“Tidak ada pembicaraan yang baik, jika tidak diarahkan untuk memperoleh ridha Allah Swt.”
“Tidak ada manfaat dari uang jika tidak dibelanjakan di jalan Allah. Tidak ada kebaikan dalam diri seseorang jika kebodohannya mengalahkan kesabarannya. Dan jika seseorang tertarik dengan pesona dunianya yang rendah, Allah Swt tidak akan ridha kepadanya selama dia masih menyimpan hal itu dalam hatinya.”
“Kita menemukan kedermawanan dalam Taqwa (kesadaran akan Allah), kekayaan dalam Yaqin (kepastian), dan kemuliaan dalam kerendahan hati.”
“Waspadalah terhadap kebanggaan, sebab kalian akan kembali ke tanah dan tubuhmu akan dimakan oleh cacing.”
“Ketika beliau dipuji oleh orang-orang, beliau akan berdo’a kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, Engkau mengenalku lebih baik dari diriku sendiri, dan Aku lebih mengenal diriku daripada orang-orang yang memujiku. Jadikanlah Aku lebih baik daripada yang dipikirkan oleh orang-orang ini mengenai diriku, maafkanlah dosa-dosaku yang tidak mereka ketahui, dan janganlah jadikan Aku bertanggung jawab atas apa yang mereka katakan.”
“Jika kalian mengharapkan berkah Allah, berbuatlah baik terhadap hamba-hamba-Nya.”
“Suatu hari beliau memanggil Umar ra. dan menasihati nya sampai Umar ra. menangis. Abu Bakr ra. berkata kepadanya, “Jika engkau memegang nasihatku, engkau akan selamat, dan nasihatku adalah “Harapkan kematian selalu dan hidup sesuai dengannya””
“Mahasuci Allah yang tidak memberi hamba-hamba-Nya jalan untuk mendapat pengetahuan mengenai-Nya kecuali dengan jalan ketidak-berdayaan mereka dan tidak ada harapan untuk meraih pencapaian itu”
ABU BAKR ASH-SHIDDIQ WAFAT
Aisyah ra. berkata, “Permulaan sakitnya Abu Bakr adalah pada saat beliau mandi pada hari senin pada hari ketujuh dari jumadil akhir, hari itu cuaca sangat dingin, maka dia sakit selama lima belas hari yang menyebabkan dirinya tidak keluar untuk shalat berjamaah, banyak para shahabat yang menjenguknya pada saat dia sakit, dan mereka pernah berkata:
Bolehkah kami memanggil seorang tabib untuk melihat apa yang engkau derita? Abu Bakr menjawab: “Dia telah melihatku.” Para sahabat bertanya: “Apa yang dia katakan?” Dia berkata: “Sesungguhnya semua kehendak -Ku pasti terlaksana seperti apa yang Aku inginkan.” Aisyah berkata: Pada saat rasa sakit yang menimpa bapakku telah kritis aku menyenandungkan bait syair di bawah ini:
Sungguh kekayaan tidak memberikan apapun bagi seseorang
Apabila nafas kematian sudah terdengar dan dada menyempit
Lalu dia membuka wajahnya dan berkata, “Bukan itu wahai anakku akan
tetapi bacalah firman Allah:
Dan datanglah sakaratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. (QS. Qaaf: 19)
Kemudian dia berkata, “Lihatlah pada pakaianku ini dan cucilah dia lalu kafanilah aku dengannya sesungguhnya orang yang masih hidup lebih butuh pada yang baru dari pada orang yang telah mati, dan dia mewasiatkan agar dikuburkan disamping kuburan Rasulullah Saw.”
Abu Bakr meninggal pada tanggal 23 Agustus 634 di Madinah. Lalu setelah dia wafat maka kepalanya disejajarkan dengan pundak Rasulullah Saw. dan menempelkan lahadnya dengan kubur Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam.
(dari berbagai sumber)
Read 1879 times Last modified on Wednesday, 08 July 2015 10:05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar