Metode penafsiran Ibnu ‘Arabi dalam karya-karyanya khususnya,
al-Futūhat al-Makkiyyah dan Fusūs al-Hikam,
sebagaimana telah dibahas, berdiri di atas paradigma sufisme yang ia munculkan yaitu paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud) atau disebut juga pantheisme.
Wahdat al-wujud sendiri maknanya, menurut Ibnu ‘Arabi, adalah wujud hakiki itu hanya satu, sementara yang berbilang yang nampak secara zahir di mata, merupakan indikator adanya wujud mutlak tersebut, jadi keberadaanya tidak hakiki, sebab wujud yang hakiki itu adalah sesuatu yang wujudnya tidak karena yang lain dan tidak disebabkan oleh wujud yang lain.
Oleh karenanya, selain yang wujud hakiki ada yang disebut wujud idāfi.
Wujud idāfi hakikatnya tidak ada.
Oleh karena tidak ada, maka wujud itu hanya satu atau disebut wahdat al-wujud.
Masih berkaitan dengan wahdat al-wujud, Ibnu ‘Arabi menyatakan:
Telah menjadi ketetapan bagi para muhaqqiqīn (orang-orang yang telah mencapai kedekatan dengan Allah) bahwa dalam wujud ini tiada yang lain kecuali hanya Allah swt.
Walapun kita ada, namun adanya kita adalah karena wujud-Nya, dan yang wujudnya disebabkan oleh wujud yang lain maka sebenarnya ia tidak ada.
Bagi Ibnu ‘Arabi, al-Haq mempunyai dua wujud yang berlainan satu sama lain, namun berhubungan antara keduanya.
Pertama adalah wujud yang haqiqi, yaitu wujud Tuhan di dalam diri-Nya, dan
yang kedua adalah wujud idāfi (relatif) yang tak lain adalah wujud Tuhan yang tampak pada segenap fenomena yang ada di alam selain-Nya.
Yang pertama adalah wujud Tuhan yang batin, yang hanya diketahui oleh diri-Nya sendiri, dan yang kedua adalah wujud Tuhan yang lahir yang tampak pada segenap makhluk yang ada.
Di dalam al-Qur’an Al-Haq digambarkan sebagai yang pertama (al-awwal), yang terakhir (al-ākhir), yang lahir dan yang batin.
Kalau wujud yang pertama adalah wujud yang tetap sejak azali, maka wujud yang kedua adalah wujud yang senantiasa berubah dan berganti terus-menerus.
Timbul persoalan, apakah faham wahdat al-wujud itu merupakan faham yang bersumber dari al-Qur’an atau faham yang terlepas dari al-Qur’an?
Setelah mengkaji tafsir karya Ibnu ‘Arabi, dapat ditarik natijah bahwa faham wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi ternyata berakar kepada al-Qur’an.
Dalam bahasa lain wahdat al-wujud merupakan interpretasi dari banyak ayat al-Qur’an yang secara maknawi (tersirat) ayat-ayat itu batinnya menggambarkan faham wahdat al-wujud.
Makna yang batin itu, dalam paradigma sufistik, hanya dapat diselami oleh orang-orang yang suci hatinya.
Proses pensucian hati yang ditempuh para sufi disebut suluk, artinya pendekatan spiritual melalui pelaksanaan yang al-wajib secara benar,
an-nawāfil secara kontinyu dan riyādoh secara istiqamah.
Orang yang mengamalkan teori ini, menurut Ibnu ‘Arabi disebut ahlullah (keluarga Allah). Kata Ibnu ‘Arabi sebagaimana al-Qur’an diturunkan kepada orang yang suci hatinya, demikian juga al-Qur’an lebih dapat dipahami dan diselami kedalaman maknanya oleh orang yang suci hatinya.
Orang yang suci hatinya adalah para sufi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar